Iklan

Kala Agama Dibengkokkan Oleh Nafsu

syamsul kurniawan
Monday, April 7, 2025
Last Updated 2025-04-08T01:17:55Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Agama adalah cahaya yang seharusnya membimbing umat menuju jalan yang benar. Namun, apa yang terjadi ketika cahaya itu disalahgunakan? Apa jadinya ketika agama, yang seharusnya menjadi pelindung dan pencerah, malah dibengkokkan oleh nafsu pribadi? Film Bidaah—sebuah drama Malaysia yang kini ramai dibicarakan—membuka mata kita pada realitas gelap tersebut. Di balik jubah suci seorang guru agama, tersembunyi nafsu yang tak terkontrol, memanipulasi ajaran agama demi kepentingan pribadi. Inilah pertanyaan yang diajukan oleh film ini: sejauh mana kita bisa mempercayai ajaran seorang guru agama, ketika ajarannya malah mengarah pada penyimpangan?

 

Cerita dalam Bidaah tidak hanya sekadar menyentuh isu tentang kesalahan dalam beragama. Ia membawa kita pada sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana agama bisa disalahgunakan. Dalam film ini, seorang pemimpin spiritual, yang seharusnya menjadi pelita bagi para pengikutnya, malah menggunakan agama sebagai alat untuk memenuhi hawa nafsu pribadi. Ketika agama disalahgunakan untuk tujuan seperti ini, kita harus bertanya kembali: apakah ini yang kita sebut dengan agama?

 

Film Bidaah sendiri memiliki judul yang penuh makna. Kata "Bidaah" merujuk pada bid'ah dalam agama Islam, yang secara umum berarti penyimpangan dari ajaran yang benar. Namun, dalam konteks film ini, bidaah lebih dari sekadar soal cara beragama yang keliru. Ia menggambarkan bagaimana otoritas agama bisa disalahgunakan demi keuntungan pribadi. Seorang guru agama, yang mestinya memberikan teladan dan bimbingan, berubah menjadi predator yang memanfaatkan kepercayaan orang-orang untuk menutupi tindakan cabulnya. Dalam gelapnya manipulasi tersebut, para korban—terutama perempuan muda—diperdaya untuk menerima ajaran sesat yang dipaksakan pada mereka.

 

Hal ini mengingatkan kita pada sebuah peristiwa yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Sukarno dalam Islam Sontoloyo (1940) mengkritik tajam oknum guru agama yang memanfaatkan posisi mereka untuk mengeksploitasi murid-murid perempuan dengan alasan doktrin agama yang salah. Guru agama tersebut, seperti yang terjadi dalam Bidaah, tidak hanya melakukan tindakan fisik, tetapi juga meracuni pikiran murid-muridnya dengan tafsiran yang keliru tentang agama. Penyalahgunaan otoritas agama ini menimbulkan dampak yang merusak, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral.

 

Kenapa Penyimpangan Agama Terus Terjadi?

 

Penyalahgunaan ajaran agama seperti yang digambarkan dalam Bidaah bukanlah hal baru. Di tengah arus modernitas dan perkembangan pengetahuan, ajaran sesat masih saja bisa berkembang dan mempengaruhi banyak orang. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa banyak orang masih jatuh dalam perangkap ajaran yang menyesatkan ini? Salah satu penjelasannya dapat kita temukan dalam teori Sigmund Freud tentang id, ego, dan superego.

 

Dalam bukunya The Id, Ego, and Superego (2011), Freud menggambarkan id sebagai bagian dari kepribadian manusia yang penuh dengan dorongan-dorongan dasar dan naluri primitif. Id tidak mengenal batasan moral atau hukum sosial. Ia hanya berfokus pada pemuasan hasrat tanpa memikirkan akibatnya. Dalam konteks Bidaah, tokoh utama, seorang guru agama, bertindak berdasarkan dorongan id-nya yang tidak terkendali. Ia menggunakan agama sebagai alat untuk menutupi hasrat pribadinya yang tak terpuaskan. Ketika ego tidak bisa mengendalikan dorongan id ini, maka kehancuran moralitas pun tak terelakkan.

 

Di sisi lain, para santriwati yang terperangkap dalam ajaran sesat ini memperlihatkan bagaimana ego mereka gagal untuk membedakan yang benar dari yang salah. Ketika ego lemah, seseorang lebih mudah terpengaruh oleh tokoh yang mereka percayai. Superego, yang seharusnya menjadi pengontrol moralitas, juga tampak kacau. Dalam dunia ajaran sesat ini, nilai-nilai moral yang seharusnya mengarahkan tindakan mereka telah terdistorsi, dan mereka tidak lagi bisa membedakan antara perbuatan cabul dan kebenaran agama.

 

Penyalahgunaan Otoritas dan Kehancuran Moralitas

 

Penyalahgunaan otoritas agama dalam film Bidaah secara nyata merusak fondasi moralitas yang telah lama menjadi pedoman dalam kehidupan beragama. Jonathan Haidt, dalam bukunya The Righteous Mind (2012), menyoroti pentingnya lima fondasi moral—bahaya, keadilan, loyalitas, otoritas, dan kesucian—yang menjadi landasan bagaimana kita menilai suatu tindakan sebagai benar atau salah. Dalam film ini, kita melihat bagaimana otoritas agama yang seharusnya dijaga dan dihormati malah digunakan untuk kepentingan pribadi. Hal ini jelas mengarah pada pelanggaran prinsip keadilan yang seharusnya melindungi para korban, namun malah memperburuk ketidakadilan dalam masyarakat.

 

Guru agama dalam cerita ini, yang seharusnya menjadi panutan dan pemberi petunjuk jalan kebenaran, berbalik menjadi sosok yang memanfaatkan posisinya untuk memenuhi hawa nafsu pribadi. Hal ini menciptakan kekosongan moral yang berbahaya, di mana ajaran agama yang semestinya membimbing umat menuju kebaikan justru berfungsi sebagai alat untuk menutupi tindakan tercela. Ketika otoritas agama disalahgunakan, kepercayaan umat kepada ajaran agama itu sendiri akan terkikis, dan rasa aman yang semestinya diberikan agama berubah menjadi ancaman.

 

Keadaan ini semakin diperparah dengan absennya pengawasan dari masyarakat terhadap penyalahgunaan tersebut. Dalam konteks Bidaah, kita melihat bagaimana para korban, terutama perempuan muda, tanpa sadar terperangkap dalam ajaran sesat yang diajarkan oleh sosok yang mereka percayai sebagai pemimpin spiritual. Sebagai akibat dari ketidakmampuan mereka untuk mempertanyakan atau mengkritisi ajaran tersebut, nilai-nilai moral yang seharusnya mengarahkan mereka pada kebenaran justru terdistorsi. Mereka pun terjebak dalam pemahaman yang salah, menganggap apa yang seharusnya dianggap sebagai kejahatan, malah dianggap sebagai bagian dari ajaran agama.

 

Dalam banyak kasus penyalahgunaan agama semacam ini, kita melihat bagaimana moralitas yang seharusnya menjaga keharmonisan dalam masyarakat justru hancur akibat penyalahgunaan kekuasaan. Agama yang seharusnya membebaskan, memberikan kedamaian, dan menuntun umat pada kehidupan yang lebih baik, malah digunakan untuk membenarkan tindakan yang jauh dari esensi kebaikan itu sendiri. Ketika moralitas hancur, bukan hanya para korban yang menderita, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan kehilangan arah dan kepercayaan terhadap ajaran agama yang seharusnya menjadi pilar utama dalam kehidupan mereka.

 

Meningkatkan Kesadaran Kolektif untuk Menanggulangi Penyimpangan

 

Melihat fenomena ini, kita tidak bisa lagi berpangku tangan. Ajaran sesat yang sering kali mengatasnamakan agama untuk tujuan pribadi atau kelompok merupakan ancaman nyata bagi masyarakat. Dalam masyarakat yang rapuh dan penuh ketidakpastian, ajaran agama bisa menjadi benteng terakhir bagi mereka yang mencari kepastian hidup. Namun, ketika ajaran agama itu digunakan untuk menyembunyikan perbuatan tercela, maka benteng tersebut akan runtuh dan kepercayaan masyarakat terhadap agama itu sendiri akan hilang.

Seiring dengan berkembangnya zaman, kita harus semakin waspada terhadap ajaran agama yang menyimpang. Kita sebagai individu harus mengembangkan kesadaran kritis terhadap ajaran yang kita terima. Kepercayaan bukan alasan untuk menutup mata terhadap ajaran yang salah, apalagi yang merugikan banyak orang. Jürgen Habermas, seorang filsuf sosial, mengusulkan konsep ruang publik dalam The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1991) sebagai tempat untuk berdiskusi dan mengkritisi ajaran agama tanpa ada dominasi. Ini adalah langkah pertama agar kita bisa melawan ajaran sesat yang merusak integritas moralitas agama.

 

Akhirnya, kita harus berani mengingatkan mereka yang terperangkap dalam ajaran sesat bahwa mereka berhak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Agama sejati adalah agama yang membebaskan, yang memberi ruang bagi setiap individu untuk berkembang sesuai dengan nilai-nilai luhur. Agama yang sejati adalah agama yang mendatangkan kebaikan, bukan yang membelenggu jiwa. Seperti yang ditunjukkan dalam Bidaah, meskipun itu hanya sebuah fiksi, kita diajak untuk merenung: apakah kita sudah cukup waspada terhadap ajaran yang bisa merusak moralitas dan kehidupan kita?

 

Tidak ada tempat bagi penyimpangan agama dalam dunia yang seharusnya penuh kasih sayang dan keadilan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar agama tetap berada di jalur yang benar, sebagai sumber pencerahan dan moralitas. Jika kita tidak berani melawan penyimpangan ini, maka kita semua bisa terperangkap dalam dunia di mana agama bukan lagi pencerah jiwa, tetapi alat pemuas nafsu yang mengorbankan banyak orang. Kita harus mempertahankan agama sejati, yang menuntun kita pada kebaikan dan kebenaran, bukan yang membengkokkan jalan kehidupan.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now