Oleh: Syamsul
Kurniawan
Agama adalah
cahaya yang seharusnya membimbing umat menuju jalan yang benar. Namun, apa yang
terjadi ketika cahaya itu disalahgunakan? Apa jadinya ketika agama, yang
seharusnya menjadi pelindung dan pencerah, malah dibengkokkan oleh nafsu
pribadi? Film Bidaah—sebuah drama Malaysia yang kini ramai
dibicarakan—membuka mata kita pada realitas gelap tersebut. Di balik jubah suci
seorang guru agama, tersembunyi nafsu yang tak terkontrol, memanipulasi ajaran
agama demi kepentingan pribadi. Inilah pertanyaan yang diajukan oleh film ini:
sejauh mana kita bisa mempercayai ajaran seorang guru agama, ketika ajarannya
malah mengarah pada penyimpangan?
Cerita dalam Bidaah
tidak hanya sekadar menyentuh isu tentang kesalahan dalam beragama. Ia membawa
kita pada sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana agama bisa
disalahgunakan. Dalam film ini, seorang pemimpin spiritual, yang seharusnya
menjadi pelita bagi para pengikutnya, malah menggunakan agama sebagai alat
untuk memenuhi hawa nafsu pribadi. Ketika agama disalahgunakan untuk tujuan
seperti ini, kita harus bertanya kembali: apakah ini yang kita sebut dengan
agama?
Film Bidaah
sendiri memiliki judul yang penuh makna. Kata "Bidaah" merujuk pada
bid'ah dalam agama Islam, yang secara umum berarti penyimpangan dari ajaran
yang benar. Namun, dalam konteks film ini, bidaah lebih dari sekadar soal cara
beragama yang keliru. Ia menggambarkan bagaimana otoritas agama bisa
disalahgunakan demi keuntungan pribadi. Seorang guru agama, yang mestinya
memberikan teladan dan bimbingan, berubah menjadi predator yang memanfaatkan
kepercayaan orang-orang untuk menutupi tindakan cabulnya. Dalam gelapnya
manipulasi tersebut, para korban—terutama perempuan muda—diperdaya untuk
menerima ajaran sesat yang dipaksakan pada mereka.
Hal ini
mengingatkan kita pada sebuah peristiwa yang tercatat dalam sejarah Indonesia.
Sukarno dalam Islam Sontoloyo (1940) mengkritik tajam oknum guru agama
yang memanfaatkan posisi mereka untuk mengeksploitasi murid-murid perempuan
dengan alasan doktrin agama yang salah. Guru agama tersebut, seperti yang
terjadi dalam Bidaah, tidak hanya melakukan tindakan fisik, tetapi juga
meracuni pikiran murid-muridnya dengan tafsiran yang keliru tentang agama.
Penyalahgunaan otoritas agama ini menimbulkan dampak yang merusak, bukan hanya
secara fisik, tetapi juga secara moral.
Kenapa
Penyimpangan Agama Terus Terjadi?
Penyalahgunaan
ajaran agama seperti yang digambarkan dalam Bidaah bukanlah hal baru. Di
tengah arus modernitas dan perkembangan pengetahuan, ajaran sesat masih saja
bisa berkembang dan mempengaruhi banyak orang. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mengapa banyak orang masih jatuh dalam perangkap ajaran yang menyesatkan ini?
Salah satu penjelasannya dapat kita temukan dalam teori Sigmund Freud tentang
id, ego, dan superego.
Dalam bukunya The
Id, Ego, and Superego (2011), Freud menggambarkan id sebagai bagian dari
kepribadian manusia yang penuh dengan dorongan-dorongan dasar dan naluri
primitif. Id tidak mengenal batasan moral atau hukum sosial. Ia hanya berfokus
pada pemuasan hasrat tanpa memikirkan akibatnya. Dalam konteks Bidaah,
tokoh utama, seorang guru agama, bertindak berdasarkan dorongan id-nya yang
tidak terkendali. Ia menggunakan agama sebagai alat untuk menutupi hasrat
pribadinya yang tak terpuaskan. Ketika ego tidak bisa mengendalikan dorongan id
ini, maka kehancuran moralitas pun tak terelakkan.
Di sisi lain,
para santriwati yang terperangkap dalam ajaran sesat ini memperlihatkan
bagaimana ego mereka gagal untuk membedakan yang benar dari yang salah. Ketika
ego lemah, seseorang lebih mudah terpengaruh oleh tokoh yang mereka percayai.
Superego, yang seharusnya menjadi pengontrol moralitas, juga tampak kacau.
Dalam dunia ajaran sesat ini, nilai-nilai moral yang seharusnya mengarahkan
tindakan mereka telah terdistorsi, dan mereka tidak lagi bisa membedakan antara
perbuatan cabul dan kebenaran agama.
Penyalahgunaan
Otoritas dan Kehancuran Moralitas
Penyalahgunaan
otoritas agama dalam film Bidaah secara nyata merusak fondasi moralitas
yang telah lama menjadi pedoman dalam kehidupan beragama. Jonathan Haidt, dalam
bukunya The Righteous Mind (2012), menyoroti pentingnya lima fondasi
moral—bahaya, keadilan, loyalitas, otoritas, dan kesucian—yang menjadi landasan
bagaimana kita menilai suatu tindakan sebagai benar atau salah. Dalam film ini,
kita melihat bagaimana otoritas agama yang seharusnya dijaga dan dihormati
malah digunakan untuk kepentingan pribadi. Hal ini jelas mengarah pada
pelanggaran prinsip keadilan yang seharusnya melindungi para korban, namun
malah memperburuk ketidakadilan dalam masyarakat.
Guru agama
dalam cerita ini, yang seharusnya menjadi panutan dan pemberi petunjuk jalan
kebenaran, berbalik menjadi sosok yang memanfaatkan posisinya untuk memenuhi
hawa nafsu pribadi. Hal ini menciptakan kekosongan moral yang berbahaya, di
mana ajaran agama yang semestinya membimbing umat menuju kebaikan justru
berfungsi sebagai alat untuk menutupi tindakan tercela. Ketika otoritas agama
disalahgunakan, kepercayaan umat kepada ajaran agama itu sendiri akan terkikis,
dan rasa aman yang semestinya diberikan agama berubah menjadi ancaman.
Keadaan ini
semakin diperparah dengan absennya pengawasan dari masyarakat terhadap
penyalahgunaan tersebut. Dalam konteks Bidaah, kita melihat bagaimana
para korban, terutama perempuan muda, tanpa sadar terperangkap dalam ajaran
sesat yang diajarkan oleh sosok yang mereka percayai sebagai pemimpin
spiritual. Sebagai akibat dari ketidakmampuan mereka untuk mempertanyakan atau
mengkritisi ajaran tersebut, nilai-nilai moral yang seharusnya mengarahkan
mereka pada kebenaran justru terdistorsi. Mereka pun terjebak dalam pemahaman
yang salah, menganggap apa yang seharusnya dianggap sebagai kejahatan, malah
dianggap sebagai bagian dari ajaran agama.
Dalam banyak
kasus penyalahgunaan agama semacam ini, kita melihat bagaimana moralitas yang
seharusnya menjaga keharmonisan dalam masyarakat justru hancur akibat
penyalahgunaan kekuasaan. Agama yang seharusnya membebaskan, memberikan
kedamaian, dan menuntun umat pada kehidupan yang lebih baik, malah digunakan
untuk membenarkan tindakan yang jauh dari esensi kebaikan itu sendiri. Ketika
moralitas hancur, bukan hanya para korban yang menderita, tetapi juga
masyarakat secara keseluruhan kehilangan arah dan kepercayaan terhadap ajaran
agama yang seharusnya menjadi pilar utama dalam kehidupan mereka.
Meningkatkan
Kesadaran Kolektif untuk Menanggulangi Penyimpangan
Melihat
fenomena ini, kita tidak bisa lagi berpangku tangan. Ajaran sesat yang sering
kali mengatasnamakan agama untuk tujuan pribadi atau kelompok merupakan ancaman
nyata bagi masyarakat. Dalam masyarakat yang rapuh dan penuh ketidakpastian,
ajaran agama bisa menjadi benteng terakhir bagi mereka yang mencari kepastian
hidup. Namun, ketika ajaran agama itu digunakan untuk menyembunyikan perbuatan
tercela, maka benteng tersebut akan runtuh dan kepercayaan masyarakat terhadap
agama itu sendiri akan hilang.
Seiring dengan berkembangnya zaman, kita harus semakin waspada terhadap ajaran agama yang menyimpang. Kita sebagai individu harus mengembangkan kesadaran kritis terhadap ajaran yang kita terima. Kepercayaan bukan alasan untuk menutup mata terhadap ajaran yang salah, apalagi yang merugikan banyak orang. Jürgen Habermas, seorang filsuf sosial, mengusulkan konsep ruang publik dalam The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1991) sebagai tempat untuk berdiskusi dan mengkritisi ajaran agama tanpa ada dominasi. Ini adalah langkah pertama agar kita bisa melawan ajaran sesat yang merusak integritas moralitas agama.
Akhirnya, kita
harus berani mengingatkan mereka yang terperangkap dalam ajaran sesat bahwa
mereka berhak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Agama sejati adalah
agama yang membebaskan, yang memberi ruang bagi setiap individu untuk
berkembang sesuai dengan nilai-nilai luhur. Agama yang sejati adalah agama yang
mendatangkan kebaikan, bukan yang membelenggu jiwa. Seperti yang ditunjukkan
dalam Bidaah, meskipun itu hanya sebuah fiksi, kita diajak untuk
merenung: apakah kita sudah cukup waspada terhadap ajaran yang bisa merusak
moralitas dan kehidupan kita?
Tidak ada
tempat bagi penyimpangan agama dalam dunia yang seharusnya penuh kasih sayang
dan keadilan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar agama tetap
berada di jalur yang benar, sebagai sumber pencerahan dan moralitas. Jika kita
tidak berani melawan penyimpangan ini, maka kita semua bisa terperangkap dalam
dunia di mana agama bukan lagi pencerah jiwa, tetapi alat pemuas nafsu yang
mengorbankan banyak orang. Kita harus mempertahankan agama sejati, yang
menuntun kita pada kebaikan dan kebenaran, bukan yang membengkokkan jalan
kehidupan.***