Oleh: Syamsul
Kurniawan
PENDIDIKAN di
Indonesia seharusnya menjadi pilar utama untuk memajukan bangsa. Namun,
kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah dalam beberapa tahun
terakhir telah membawa dampak signifikan pada kualitas pendidikan, terutama di
perguruan tinggi. Tujuan efisiensi anggaran, yang tampaknya logis, justru
memicu perdebatan panjang di kalangan pendidik. Sebagai seorang dosen, saya
merasakan langsung dampak kebijakan ini terhadap cara kami mengajar dan
memfasilitasi mahasiswa. Ketika anggaran pendidikan dipangkas, kualitas
pembelajaran yang kami berikan pun mulai tergerus.
Efisiensi
anggaran yang seharusnya mengarah pada pengelolaan sumber daya yang lebih baik,
ternyata memperburuk kondisi pendidikan. Dengan pemangkasan anggaran, banyak
fasilitas dan sarana pendukung pembelajaran yang terpaksa dikurangi. Sebagai
hasilnya, beberapa universitas mengalami keterbatasan dalam menyediakan
teknologi yang memadai untuk pembelajaran digital yang seharusnya menjadi fokus
di abad 21. Ini adalah ironi yang besar, mengingat pendidikan tinggi seharusnya
mempersiapkan mahasiswa untuk dunia yang semakin digital dan berbasis
teknologi.
Di
tengah kebijakan ini, para pendidik dihadapkan pada dilema besar. Kita
diharapkan untuk menyelaraskan pendidikan dengan tuntutan revolusi industri
4.0, tetapi di sisi lain, anggaran yang terbatas membuat kita sulit untuk
mengadopsi teknologi secara maksimal. Sebagai dosen, saya merasa terbatas dalam
memberikan pengalaman belajar yang menyeluruh bagi mahasiswa, terutama terkait
dengan keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, dan
kreativitas. Padahal, keterampilan-keterampilan ini sangat penting untuk
mempersiapkan mereka menghadapi tantangan global.
Sementara
itu, kebijakan efisiensi anggaran ini membawa dampak lain yang lebih dalam,
yakni fragmentasi pendidikan. Pendidikan yang seharusnya mengedepankan
pemerataan akses kini semakin terkotak-kotak. Mereka yang beruntung memiliki
akses ke kampus dengan fasilitas memadai, tetap dapat merasakan manfaat dari
kemajuan teknologi dan pendidikan berkualitas. Namun, bagi mahasiswa yang
belajar di perguruan tinggi dengan keterbatasan anggaran, kualitas pendidikan
yang diterima menjadi jauh tertinggal. Ini menciptakan jurang ketidaksetaraan
yang semakin lebar.
Fragmentasi
Sosial dalam Pendidikan
Kebijakan
efisiensi anggaran semakin memperburuk ketidaksetaraan yang ada dalam
pendidikan. Mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, atau belajar di
daerah dengan fasilitas terbatas, semakin terpinggirkan. Tidak hanya itu,
perbedaan kualitas pendidikan ini juga memperburuk fragmentasi sosial di
masyarakat. Siswa yang terlahir dalam keluarga mampu, atau yang berkuliah di
universitas ternama, memiliki peluang yang lebih besar untuk bersaing di dunia
kerja global. Sementara mereka yang tidak memiliki akses tersebut semakin
tertinggal.
Efisiensi
anggaran, yang diimplementasikan dengan alasan penghematan, tidak hanya
mempengaruhi kualitas pembelajaran, tetapi juga mempengaruhi kualitas moral
dalam pendidikan. Pendidikan seharusnya bukan hanya tentang keterampilan
teknis, tetapi juga tentang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Ketika fasilitas pendidikan semakin terbatas, kita mulai kehilangan kesempatan
untuk mengembangkan karakter dan nilai-nilai moral pada generasi muda. Tanpa
kesadaran moral yang kuat, siswa akan lebih cenderung berpikir sempit, hanya
berfokus pada keuntungan pribadi dan mengabaikan tanggung jawab sosial.
Di
sinilah pentingnya merenungkan kembali tujuan utama pendidikan. Apakah kita
hanya berfokus pada pencapaian angka dan efisiensi anggaran semata? Ataukah
kita ingin menciptakan generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki
rasa keadilan sosial yang tinggi? Di tengah kebijakan efisiensi yang ada, saya
percaya kita harus mencari jalan tengah antara efisiensi dan kualitas
pendidikan, antara kebutuhan praktis dan tujuan moral yang lebih tinggi.
Dalam
pandangan Jonathan Haidt (2012), perbedaan moral antara kelompok-kelompok ini
sering kali disebabkan oleh perbedaan dalam intuisi moral. Di satu sisi, ada
mereka yang mendukung efisiensi anggaran karena alasan ekonomi dan pragmatis,
tetapi di sisi lain, ada mereka yang menentang kebijakan tersebut karena
dampaknya terhadap kualitas pendidikan dan keadilan sosial. Haidt mengingatkan
kita bahwa perbedaan pandangan ini tidak selalu bisa diselesaikan dengan
argumen rasional semata, tetapi dengan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai
yang mendasari setiap keputusan.
Sebagai
pendidik, kita harus memiliki kemampuan untuk membuka ruang dialog yang lebih
terbuka, untuk menyatukan perbedaan ini dan mencari solusi yang terbaik.
Pendidikan tidak hanya tentang memberikan pengetahuan, tetapi juga tentang
membentuk karakter. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan dampak dari
kebijakan efisiensi anggaran ini terhadap tujuan pendidikan yang lebih
luas—yakni menciptakan individu yang tidak hanya terampil, tetapi juga bermoral
dan berkeadilan.
Tantangan
Pendidikan Abad 21
Dalam
konteks pendidikan abad 21, kebijakan efisiensi anggaran yang ada justru
bertentangan dengan kebutuhan untuk mengembangkan keterampilan abad 21, seperti
berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas. Untuk mempersiapkan
mahasiswa menghadapi tantangan global, kita memerlukan fasilitas yang
mendukung, teknologi yang mutakhir, serta kurikulum yang relevan. Sayangnya,
kebijakan yang ada justru menambah beban kita sebagai pendidik, yang harus
terus berusaha memenuhi standar kualitas meski dengan anggaran yang terbatas.
Keterbatasan
anggaran juga berpengaruh pada model pembelajaran yang bisa diterapkan. Jika
dulu kita bisa mengadakan seminar atau lokakarya dengan pembicara dari luar
negeri, sekarang kegiatan-kegiatan tersebut harus dibatasi. Padahal, acara
semacam itu sangat berperan dalam memperluas wawasan mahasiswa dan
memperkenalkan mereka pada perspektif global. Dengan adanya kebijakan ini, kita
mulai kehilangan kemampuan untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih luas
bagi mahasiswa, yang seharusnya menjadi bekal mereka untuk berkompetisi di
dunia yang semakin terhubung.
Namun,
ada peluang dalam setiap keterbatasan. Di tengah krisis anggaran ini, saya
merasa kita dituntut untuk menjadi lebih kreatif dalam mengelola pembelajaran.
Teknologi dapat menjadi solusi, meskipun tidak semua mahasiswa memiliki akses
yang sama. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang lebih besar untuk memastikan
bahwa teknologi tidak hanya tersedia untuk segelintir orang, tetapi bisa
diakses oleh semua mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari daerah
terpencil atau berpendapatan rendah.
Sebagai
pendidik, kita juga harus beradaptasi dengan perubahan ini dan berani mengambil
langkah inovatif. Model pembelajaran berbasis digital, misalnya, dapat menjadi
solusi untuk mengatasi keterbatasan anggaran. Namun, hal ini memerlukan
kerjasama yang erat antara pemerintah, universitas, dan masyarakat untuk
memastikan akses teknologi yang merata bagi seluruh mahasiswa. Tanpa kolaborasi
ini, upaya untuk menciptakan pendidikan berkualitas akan semakin sulit
tercapai.
Refleksi
Ramadhan dalam Pendidikan
Ramadhan,
sebagai momen untuk berintrospeksi diri, memberikan kita banyak pelajaran. Di
bulan penuh berkah ini, kita diajak untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang
kita anut, termasuk dalam hal pendidikan. Pendidikan yang baik tidak hanya
mengajarkan pengetahuan teknis, tetapi juga membentuk karakter dan kesadaran
sosial. Seharusnya, pendidikan kita tidak hanya berfokus pada hasil yang
pragmatis, tetapi juga pada proses untuk menciptakan manusia yang baik, yang
paham akan tanggung jawabnya terhadap masyarakat.
Dalam
bulan Ramadhan, kita diajak untuk berbagi, untuk memberi yang terbaik bagi
sesama. Dalam konteks pendidikan, ini berarti memberikan kesempatan yang sama
kepada setiap siswa untuk berkembang. Pendidikan tidak boleh hanya menjadi
milik mereka yang memiliki akses lebih baik, tetapi harus menjadi hak bagi
semua anak bangsa. Oleh karena itu, kita sebagai pendidik harus berjuang agar
tidak ada yang terpinggirkan, meskipun anggaran semakin terbatas.
Ramadhan
mengingatkan kita untuk menumbuhkan rasa keadilan dan kepedulian terhadap
sesama. Pendidikan yang adil adalah pendidikan yang dapat mengakomodasi
kebutuhan semua pihak, baik mereka yang memiliki akses lebih baik maupun mereka
yang kurang beruntung. Sebagai pendidik, kita harus berupaya untuk memastikan
bahwa setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan
berkembang, tanpa terkendala oleh faktor ekonomi atau sosial.
Di
tengah kebijakan efisiensi anggaran, kita harus menjaga keseimbangan antara
penghematan biaya dan kualitas pendidikan. Memang, efisiensi anggaran adalah
hal yang perlu diperhatikan, namun tidak boleh mengorbankan kualitas pendidikan
yang menjadi dasar kemajuan bangsa. Sebagai pendidik, kita harus terus berjuang
untuk memberikan yang terbaik bagi mahasiswa, meskipun dihadapkan pada
keterbatasan sumber daya.
Kita
perlu mengingat bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang memiliki
dampak besar bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu, kita harus mencari jalan
tengah antara efisiensi anggaran dan kualitas pendidikan yang berkeadilan.
Dengan bekerja sama dan berinovasi, saya yakin kita dapat mengatasi tantangan
ini dan menciptakan pendidikan yang lebih baik untuk semua anak bangsa.***