Oleh: Syamsul Kurniawan
Pendidikan adalah pilar utama dalam membebaskan
peserta didik dari kebodohan dan pembodohan, serta menjadi agen perubahan yang
berkelanjutan. Dalam konteks ini, ajaran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan
yang memerdekakan masih sangat relevan, terutama ketika dunia semakin
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan perubahan sosial. Pembelajaran yang
tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga nilai-nilai luhur yang
diwarisi dari jati diri bangsa, menjadi landasan untuk menghadapi tantangan
dunia pendidikan di abad ke-21.
Ajaran Ki Hadjar Dewantara yang terkenal dengan
filosofi "Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri
Handayani" mengajarkan pentingnya kebebasan belajar yang penuh arah dan
tujuan. Sebagai seorang tokoh pendidikan nasional, beliau memandang pendidikan
bukan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih pada membentuk
karakter dan moral yang selaras dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang
unik. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya soal menguasai keterampilan
praktis atau teknis, tetapi juga mengembangkan potensi-potensi kecerdasan yang
dimiliki setiap individu.
Keunikan manusia terletak pada kecerdasannya yang
beragam. Konsep multiple intelligences yang diperkenalkan oleh Howard
Gardner menjadi penting untuk dipahami dalam penerapan pendidikan yang
memerdekakan. Kecerdasan manusia tidak bersifat tunggal, tetapi terbagi dalam
berbagai dimensi: linguistik, logis, intrapersonal, interpersonal, musik,
visual, kinestetik, natural, eksistensial, dan lain-lain. Setiap individu
memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, dan pendidikan yang memerdekakan harus
mampu memberikan ruang bagi setiap peserta didik untuk mengembangkan
kecerdasannya sesuai dengan fitrahnya.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan yang
memerdekakan bukan hanya memberikan kebebasan berpikir, tetapi juga memberikan
kebebasan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki oleh
masing-masing peserta didik. Hal ini sejalan dengan perkembangan pendidikan
modern yang mengutamakan pendekatan yang lebih personal, di mana siswa
diharapkan bisa menemukan cara belajar yang paling sesuai dengan gaya dan
potensi kecerdasannya. Oleh karena itu, pendidikan yang memerdekakan adalah
pendidikan yang memperhatikan keunikan setiap individu, memberi mereka ruang
untuk bereksplorasi dan mengembangkan potensi tanpa terbebani oleh sistem
pendidikan yang kaku.
Dalam dunia yang semakin berkembang pesat ini,
pendidikan harus dapat menumbuhkan kesadaran bahwa setiap individu adalah unik
dan memiliki potensi luar biasa untuk berkontribusi pada masyarakat. Pendidikan
yang mengutamakan pengembangan kecerdasan ganda ini memberi kesempatan bagi
peserta didik untuk mengeksplorasi berbagai bidang ilmu dan keterampilan. Ini
menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, di mana setiap orang dapat berperan
sesuai dengan kekuatan dan potensi mereka masing-masing.
Menyambut Tantangan
Dunia yang Terus Berubah
Sebagai suatu aliran pemikiran dalam pendidikan,
progresivisme menekankan bahwa manusia dan lingkungannya senantiasa berubah.
Progresivisme memandang bahwa pendidikan harus menyesuaikan dengan perubahan
zaman, di mana siswa tidak hanya diberikan pengetahuan, tetapi juga
keterampilan yang relevan untuk menghadapi tantangan masa depan. Progresivisme
mengutamakan eksperimen dan pembelajaran berbasis masalah, di mana siswa
didorong untuk menemukan solusi sendiri melalui berbagai kompetensi yang mereka
miliki.
Pendekatan progresivisme sangat relevan dengan
ajaran Ki Hadjar Dewantara yang mengutamakan kebebasan berpikir dan mandiri
dalam menghadapi masalah. Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan
haruslah berorientasi pada perkembangan individu, bukan hanya pada transfer
ilmu pengetahuan. Dengan memberikan kebebasan bagi siswa untuk bereksperimen
dan mengembangkan solusi terhadap masalah yang ada, pendidikan dapat
mengakomodasi perkembangan kreativitas dan potensi diri yang unik pada setiap
siswa.
Namun, kebebasan yang dimaksud oleh Ki Hadjar
Dewantara tidak berarti kebebasan tanpa arah. Ki Hadjar Dewantara menekankan
pentingnya arah yang jelas dalam pendidikan, yaitu mengembangkan karakter dan
moral yang luhur sesuai dengan jati diri bangsa. Dalam hal ini, progresivisme
yang mengutamakan kebebasan untuk bereksperimen harus tetap berlandaskan pada
nilai-nilai yang terkandung dalam budaya bangsa dan sejarah pendidikan
nasional. Pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang memberi kebebasan
untuk berkembang, namun tetap berada dalam koridor nilai-nilai luhur yang dapat
membentuk karakter yang baik bagi peserta didik.
Era digital telah membawa dampak signifikan
terhadap dunia pendidikan, termasuk dalam cara pembelajaran diselenggarakan.
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah tatanan pendidikan
secara drastis. Pembelajaran yang dulunya berbasis tatap muka kini beralih
menjadi pembelajaran berbasis digital, yang semakin memudahkan akses informasi
dan sumber belajar. Pandemi COVID-19 semakin mempercepat transformasi ini, di
mana pembelajaran jarak jauh (e-learning) menjadi solusi utama dalam menghadapi
tantangan belajar di tengah pandemi.
Namun, meskipun teknologi memberi banyak
kemudahan, hal ini juga memunculkan tantangan baru dalam dunia pendidikan.
Salah satunya adalah kesenjangan digital yang dapat menghambat akses peserta
didik untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Tidak semua siswa memiliki
fasilitas yang memadai untuk mengikuti pembelajaran digital, sehingga perlu ada
upaya lebih dalam pemerataan teknologi dan akses pendidikan di seluruh lapisan
masyarakat.
Di sisi lain, penggunaan teknologi dalam
pendidikan juga menuntut pendidik untuk menguasai keterampilan digital.
Pendidik bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang
mengarahkan siswa dalam menggunakan teknologi sebagai alat untuk belajar. Oleh
karena itu, penguasaan teknologi menjadi salah satu soft skill yang wajib
dimiliki oleh pendidik di abad ke-21. Teknologi harus digunakan untuk mendukung
proses belajar, bukan menggantikan peran pendidik dalam membimbing peserta
didik.
Namun, dalam menghadapi perubahan ini, pendidikan
yang memerdekakan tidak boleh kehilangan esensinya. Meskipun teknologi dapat
mempermudah akses informasi, pendidikan harus tetap berfokus pada pengembangan
karakter dan potensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan yang berbasis
teknologi harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Ki
Hadjar Dewantara, yaitu memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi tanpa
melupakan arah yang jelas dalam pengembangan karakter.
Kecuali itu, di tengah revolusi industri 4.0,
globalisasi membawa dampak besar tidak hanya di bidang teknologi, tetapi juga
di bidang sosial, ekonomi, dan hukum. Disrupsi yang ditimbulkan oleh teknologi
dan perubahan sosial ini mengubah tatanan dunia secara drastis, mengarah pada
terbentuknya masyarakat yang serba cepat, efisien, dan otomatis. Dalam konteks
ini, lahir konsep Society 5.0, sebuah tatanan masyarakat yang berfokus pada
manusia (human-centered) dan memanfaatkan teknologi untuk memenuhi kebutuhan
kehidupan sehari-hari.
Society 5.0 hadir sebagai respons terhadap
degradasi peran manusia akibat kemajuan teknologi, di mana robot dan kecerdasan
buatan mulai menggantikan banyak pekerjaan manusia. Namun, meskipun teknologi
menjadi pusat perkembangan, Society 5.0 tetap mengedepankan kepentingan dan
kesejahteraan manusia. Ini sejalan dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang
memandang pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan dan memanusiakan peserta
didik, bukan hanya menjadikan mereka mesin yang hanya tahu cara bekerja, tetapi
juga manusia yang tahu cara hidup dengan bijak.
Pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hadjar
Dewantara selayaknya mampu menjawab tantangan globalisasi dan perubahan zaman
ini. Dengan mengajarkan nilai-nilai moral, karakter, dan kebijaksanaan dalam
menghadapi kehidupan, pendidikan dapat melahirkan manusia yang tidak hanya
unggul dalam aspek teknis, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mempertahankan
nilai-nilai kemanusiaan di tengah arus perubahan yang begitu cepat. Inilah yang
menjadi tantangan terbesar bagi dunia pendidikan saat ini: bagaimana mendidik
manusia yang siap menghadapi perubahan tanpa kehilangan arah dan tujuan hidup
yang bermakna.
Pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan
yang tidak hanya mengembangkan aspek kognitif peserta didik, tetapi juga
mengembangkan aspek afektif dan psikomotoriknya. Pendidikan yang memerdekakan
adalah pendidikan yang menyentuh jiwa, yang mampu menginspirasi peserta didik
untuk berani mengejar cita-cita mereka, mengembangkan potensi unik yang
dimiliki, dan menjadi pribadi yang berkarakter. Dengan demikian, pendidikan
yang memerdekakan bukan hanya soal memberikan pengetahuan, tetapi juga tentang
memberikan bekal untuk hidup dengan penuh makna dan memberi kontribusi positif
bagi masyarakat dan bangsa.
Pendidikan yang memerdekakan seperti yang
diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara harus menjadi pondasi untuk menghadapi dunia
yang semakin kompleks. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai luhur bangsa,
mengembangkan potensi kecerdasan yang beragam, serta memberi kebebasan untuk
bereksperimen, pendidikan kita dapat menyiapkan generasi yang mampu menghadapi
tantangan global dengan bijak, kreatif, dan berbudi pekerti luhur. Sehingga,
pendidikan tidak hanya menjadi alat untuk mencetak individu yang cerdas secara
intelektual, tetapi juga manusia yang cerdas dalam aspek moral, sosial, dan
emosional yang dapat berkontribusi pada kemajuan bangsa.
Dengan memadukan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang
memandang pendidikan sebagai sarana untuk membentuk karakter dan moral, serta
tantangan zaman yang semakin berkembang pesat, kita dapat menyadari bahwa
pendidikan harus memiliki tujuan yang lebih besar. Tujuan itu adalah
menciptakan manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana, penuh
empati, dan sadar akan peranannya dalam masyarakat. Dalam menghadapi arus
globalisasi, pendidikan yang memerdekakan memiliki peran yang tak tergantikan
untuk menghasilkan generasi yang tidak hanya siap dengan kecerdasan teknis,
tetapi juga memiliki pemahaman yang dalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan
kebangsaan.
Menjaga Esensi
Pendidikan di Tengah Perubahan Zaman
Pendidikan yang memerdekakan, sebagaimana yang
diajarkan Ki Hadjar Dewantara, bukanlah sebuah konsep yang terpisah dari
perkembangan zaman. Justru, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang dapat
beradaptasi dengan perubahan zaman, tanpa kehilangan esensinya. Pendidikan yang
memerdekakan adalah pendidikan yang mengutamakan kebebasan berpikir, berkreasi,
dan berkembang, namun tetap memiliki arah yang jelas untuk membentuk pribadi
yang berkarakter, jujur, dan peduli terhadap sesama.
Dalam konteks ini, teknologi yang hadir di era
digital tidak harus dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai alat yang dapat
digunakan untuk memperkaya dan mempercepat proses pembelajaran. Pembelajaran
berbasis teknologi, jika diterapkan dengan bijak, dapat menjadi sarana untuk
mencapai tujuan pendidikan yang lebih inklusif, kreatif, dan efektif. Namun,
dalam menerapkan teknologi dalam pendidikan, kita tetap harus menjaga agar
nilai-nilai moral dan etika tetap menjadi fokus utama dalam setiap proses pembelajaran.
Dengan demikian, pendidikan yang memerdekakan
tetap relevan, meskipun dunia terus berubah. Ki Hadjar Dewantara mengajarkan
bahwa pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang dapat membimbing setiap
individu untuk memahami dirinya sendiri, mengetahui tujuannya dalam hidup, dan
berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Pendidikan yang memerdekakan
adalah pendidikan yang memungkinkan setiap peserta didik untuk menjadi manusia
seutuhnya, dengan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Sebagai penutup, pendidikan yang memerdekakan,
seperti yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara, adalah pendidikan yang tidak
hanya berfokus pada penguasaan ilmu pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan
karakter yang baik, pengembangan potensi diri, dan pemahaman akan peran kita
dalam masyarakat. Dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks,
pendidikan harus dapat mengadaptasi diri dengan perubahan, terutama dengan
kemajuan teknologi. Namun, esensi dari pendidikan yang memerdekakan tidak boleh
dilupakan, yaitu memberikan kebebasan untuk berpikir, berkreasi, dan
berkembang, namun tetap berada dalam koridor nilai-nilai luhur yang menjunjung
tinggi kemanusiaan dan kebangsaan. Dengan demikian, pendidikan akan selalu
menjadi sarana untuk memerdekakan manusia dari segala keterbatasan dan membawa
mereka menuju kehidupan yang lebih baik, penuh makna, dan berbudi pekerti
luhur.***