Oleh: Syamsul Kurniawan
Dalam konteks Indonesia yang memiliki
keberagaman agama dan budaya yang luar biasa, moderasi beragama menjadi sebuah
gagasan yang sangat relevan. Konsep moderasi beragama tidak hanya berfokus pada
pemahaman perbedaan agama secara pasif, tetapi juga mengajarkan kita untuk
mengatasi perbedaan dengan cara yang lebih bijaksana. Salah satu prinsip utama
dari moderasi beragama adalah pemahaman yang mendalam tentang agama dan budaya
orang lain, yang kemudian diterjemahkan dalam sikap saling menghormati dan menghindari
ekstremisme. Moderasi beragama bertujuan untuk menciptakan harmoni sosial di
tengah-tengah perbedaan yang ada, baik itu yang berkaitan dengan agama, budaya,
maupun nilai-nilai sosial.
Pentingnya moderasi beragama semakin jelas
ketika kita menyaksikan radikalisasi agama yang melanda banyak negara, termasuk
Indonesia. Radikalisasi yang berbasis pada agama, sering kali mengarah pada
kekerasan dan intoleransi, yang merusak kedamaian sosial. Dalam konteks ini,
moderasi beragama hadir sebagai alternatif untuk mengelola perbedaan agama
dengan cara yang damai dan inklusif. Prinsip dasar moderasi beragama adalah
menanggalkan sikap ekstrem yang menganggap kebenaran agama satu-satunya dan
menutup ruang dialog antaragama.
Namun, moderasi beragama tidak bisa dipahami
hanya sebagai pengelakan dari ekstremisme. Lebih dari itu, moderasi beragama
menuntut adanya pemahaman yang lebih mendalam tentang agama-agama yang ada di
sekitar kita. Hal ini mengharuskan umat beragama untuk tidak hanya menganggap
perbedaan agama sebagai sesuatu yang harus dihindari, melainkan untuk
melihatnya sebagai bagian dari kekayaan budaya yang harus dipahami dan
dihargai. Di Indonesia, keberagaman agama dan budaya adalah kenyataan yang
harus diterima dengan penuh kesadaran bahwa kita hidup dalam masyarakat yang
plural.
Sikap moderat dalam beragama juga mengajak
kita untuk menghindari sikap merasa lebih benar daripada yang lain, yang kerap
kali menjadi akar konflik antar agama. Sebaliknya, moderasi beragama
mengajarkan kita untuk saling berbagi ruang, mendengarkan pendapat orang lain,
dan membangun pemahaman bersama. Ini adalah prinsip dasar yang mendasari
hubungan antar agama yang harmonis dan tidak saling meniadakan satu sama lain.
Untuk memahami moderasi beragama lebih dalam,
kita bisa melihatnya dari perspektif Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens:
A Brief History of Humankind (2018). Harari berpendapat bahwa agama,
sebagai salah satu bentuk mitos kolektif, berkembang seiring dengan kebutuhan
manusia untuk menjelaskan dan mengatur dunia di sekitar mereka. Menurut Harari,
agama muncul sebagai bagian dari kebutuhan manusia untuk menciptakan sistem
yang menyatukan kelompok besar dalam masyarakat, yang pada akhirnya membentuk
struktur sosial yang lebih kompleks. Namun, seiring berjalannya waktu, agama
juga menjadi sumber dari berbagai macam konflik yang sering kali timbul akibat
perbedaan cara pandang.
Harari menekankan bahwa manusia adalah makhluk
sosial yang, sejak zaman purba, telah membentuk berbagai macam keyakinan untuk
memperkuat kohesi kelompok. Agama, dalam banyak hal, berfungsi untuk mempererat
ikatan sosial dalam suatu komunitas. Namun, ketika agama digunakan untuk
membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya, potensi untuk memicu konflik
menjadi sangat besar. Dalam konteks ini, moderasi beragama dapat dipahami
sebagai upaya untuk mengurangi potensi konflik dengan menjadikan agama sebagai
jembatan komunikasi antar kelompok, bukan sebagai dinding pemisah yang
menghalangi.
Dalam Sapiens, Harari juga berbicara
tentang konsep "revolusi kognitif" yang memungkinkan manusia untuk
membangun cerita dan narasi bersama, yang kemudian mengarah pada pembentukan
agama dan sistem kepercayaan. Agama, menurut Harari, pada awalnya muncul untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tentang eksistensi dan moralitas, serta
untuk memberikan rasa aman dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian. Namun,
ketika agama digunakan secara eksklusif untuk mengidentifikasi siapa yang
"benar" dan siapa yang "salah", ia menjadi instrumen untuk
pemisahan, bukan penyatuan.
Melihat moderasi beragama melalui lensa
Harari, kita bisa mengidentifikasi bahwa perbedaan agama bukanlah hal yang baru
dalam sejarah manusia. Namun, cara kita mengelola perbedaan tersebut telah
berkembang seiring dengan perubahan dalam struktur sosial dan budaya manusia.
Harari menyarankan bahwa kemampuan manusia untuk saling berbagi cerita dan
memahami mitos bersama bisa menjadi cara untuk menjembatani perbedaan yang ada.
Ini sangat sejalan dengan prinsip moderasi beragama, yang mengajak umat
beragama untuk berbagi ruang, mendengarkan, dan menghormati perbedaan, tanpa
menilai atau merendahkan orang lain.
Moderasi Beragama sebagai Respon terhadap Globalisasi dan Radikalisasi
Seiring dengan pesatnya globalisasi dan
kemajuan teknologi, kita juga menyaksikan peningkatan radikalisasi agama di
berbagai belahan dunia. Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara-negara
dengan konflik terbuka, tetapi juga di negara-negara yang memiliki populasi
agama yang plural seperti Indonesia. Globalisasi membawa dampak positif, tetapi
juga memperburuk kesenjangan sosial dan mempertegas perbedaan antar kelompok.
Di satu sisi, globalisasi memungkinkan orang untuk saling bertukar informasi
dan memperkaya wawasan. Namun, di sisi lain, ia juga memperbesar ruang untuk
penyebaran ideologi ekstrem yang bisa membahayakan stabilitas sosial.
Dalam menghadapi tantangan ini, moderasi
beragama menjadi alat penting dalam meredakan ketegangan antar agama. Moderasi
beragama, seperti yang disebutkan sebelumnya, mengajarkan prinsip toleransi
aktif, yang tidak hanya sebatas pada penerimaan terhadap agama lain, tetapi
juga pada pemahaman mendalam tentang keyakinan dan praktik agama yang berbeda.
Di dunia yang semakin terhubung ini, penting bagi setiap individu untuk
memiliki kesadaran akan keberagaman, dan moderasi beragama memberikan landasan
yang kokoh untuk membangun komunikasi lintas budaya yang efektif.
Menggunakan perspektif Harari, kita bisa
memahami bahwa radikalisasi agama muncul ketika narasi agama digunakan untuk
memperkuat identitas kelompok yang eksklusif dan menolak perbedaan. Di dalam Sapiens,
Harari menyatakan bahwa agama dan ideologi besar sering kali menjadi alat untuk
menggerakkan massa, tetapi juga bisa menjadi sumber konflik jika digunakan
untuk memobilisasi perasaan superioritas kelompok. Oleh karena itu, moderasi
beragama menawarkan cara yang lebih inklusif dan damai untuk mengelola
keberagaman. Dengan menghargai perbedaan agama dan budaya, moderasi beragama
memungkinkan kita untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis, tanpa
terjebak pada dikotomi "kami" vs "mereka."
Sebagai penutup, moderasi beragama bukan hanya
suatu strategi untuk meredakan ketegangan sosial, tetapi juga merupakan langkah
penting untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan damai. Dalam konteks
Indonesia, yang merupakan negara dengan keberagaman yang sangat tinggi,
moderasi beragama adalah kunci untuk memastikan bahwa perbedaan bukan menjadi
penyebab perpecahan, melainkan sebagai peluang untuk membangun masyarakat yang
lebih toleran dan inklusif. Dengan mengedepankan nilai-nilai moderasi beragama,
kita tidak hanya menciptakan harmoni sosial, tetapi juga menghargai kekayaan
budaya dan agama yang ada sebagai sumber kekuatan, bukan sumber perpecahan.***