Iklan

Mendefinisikan Moderasi Beragama: Sebuah Upaya Mengatasi Radikalisasi

syamsul kurniawan
Wednesday, February 12, 2025
Last Updated 2025-02-21T14:08:07Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


  

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Dalam konteks Indonesia yang memiliki keberagaman agama dan budaya yang luar biasa, moderasi beragama menjadi sebuah gagasan yang sangat relevan. Konsep moderasi beragama tidak hanya berfokus pada pemahaman perbedaan agama secara pasif, tetapi juga mengajarkan kita untuk mengatasi perbedaan dengan cara yang lebih bijaksana. Salah satu prinsip utama dari moderasi beragama adalah pemahaman yang mendalam tentang agama dan budaya orang lain, yang kemudian diterjemahkan dalam sikap saling menghormati dan menghindari ekstremisme. Moderasi beragama bertujuan untuk menciptakan harmoni sosial di tengah-tengah perbedaan yang ada, baik itu yang berkaitan dengan agama, budaya, maupun nilai-nilai sosial.

 

Pentingnya moderasi beragama semakin jelas ketika kita menyaksikan radikalisasi agama yang melanda banyak negara, termasuk Indonesia. Radikalisasi yang berbasis pada agama, sering kali mengarah pada kekerasan dan intoleransi, yang merusak kedamaian sosial. Dalam konteks ini, moderasi beragama hadir sebagai alternatif untuk mengelola perbedaan agama dengan cara yang damai dan inklusif. Prinsip dasar moderasi beragama adalah menanggalkan sikap ekstrem yang menganggap kebenaran agama satu-satunya dan menutup ruang dialog antaragama.

 

Namun, moderasi beragama tidak bisa dipahami hanya sebagai pengelakan dari ekstremisme. Lebih dari itu, moderasi beragama menuntut adanya pemahaman yang lebih mendalam tentang agama-agama yang ada di sekitar kita. Hal ini mengharuskan umat beragama untuk tidak hanya menganggap perbedaan agama sebagai sesuatu yang harus dihindari, melainkan untuk melihatnya sebagai bagian dari kekayaan budaya yang harus dipahami dan dihargai. Di Indonesia, keberagaman agama dan budaya adalah kenyataan yang harus diterima dengan penuh kesadaran bahwa kita hidup dalam masyarakat yang plural.

 

Sikap moderat dalam beragama juga mengajak kita untuk menghindari sikap merasa lebih benar daripada yang lain, yang kerap kali menjadi akar konflik antar agama. Sebaliknya, moderasi beragama mengajarkan kita untuk saling berbagi ruang, mendengarkan pendapat orang lain, dan membangun pemahaman bersama. Ini adalah prinsip dasar yang mendasari hubungan antar agama yang harmonis dan tidak saling meniadakan satu sama lain.

 

Untuk memahami moderasi beragama lebih dalam, kita bisa melihatnya dari perspektif Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens: A Brief History of Humankind (2018). Harari berpendapat bahwa agama, sebagai salah satu bentuk mitos kolektif, berkembang seiring dengan kebutuhan manusia untuk menjelaskan dan mengatur dunia di sekitar mereka. Menurut Harari, agama muncul sebagai bagian dari kebutuhan manusia untuk menciptakan sistem yang menyatukan kelompok besar dalam masyarakat, yang pada akhirnya membentuk struktur sosial yang lebih kompleks. Namun, seiring berjalannya waktu, agama juga menjadi sumber dari berbagai macam konflik yang sering kali timbul akibat perbedaan cara pandang.

 

Harari menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang, sejak zaman purba, telah membentuk berbagai macam keyakinan untuk memperkuat kohesi kelompok. Agama, dalam banyak hal, berfungsi untuk mempererat ikatan sosial dalam suatu komunitas. Namun, ketika agama digunakan untuk membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya, potensi untuk memicu konflik menjadi sangat besar. Dalam konteks ini, moderasi beragama dapat dipahami sebagai upaya untuk mengurangi potensi konflik dengan menjadikan agama sebagai jembatan komunikasi antar kelompok, bukan sebagai dinding pemisah yang menghalangi.

 

Dalam Sapiens, Harari juga berbicara tentang konsep "revolusi kognitif" yang memungkinkan manusia untuk membangun cerita dan narasi bersama, yang kemudian mengarah pada pembentukan agama dan sistem kepercayaan. Agama, menurut Harari, pada awalnya muncul untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tentang eksistensi dan moralitas, serta untuk memberikan rasa aman dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian. Namun, ketika agama digunakan secara eksklusif untuk mengidentifikasi siapa yang "benar" dan siapa yang "salah", ia menjadi instrumen untuk pemisahan, bukan penyatuan.

 

Melihat moderasi beragama melalui lensa Harari, kita bisa mengidentifikasi bahwa perbedaan agama bukanlah hal yang baru dalam sejarah manusia. Namun, cara kita mengelola perbedaan tersebut telah berkembang seiring dengan perubahan dalam struktur sosial dan budaya manusia. Harari menyarankan bahwa kemampuan manusia untuk saling berbagi cerita dan memahami mitos bersama bisa menjadi cara untuk menjembatani perbedaan yang ada. Ini sangat sejalan dengan prinsip moderasi beragama, yang mengajak umat beragama untuk berbagi ruang, mendengarkan, dan menghormati perbedaan, tanpa menilai atau merendahkan orang lain.

 

Moderasi Beragama sebagai Respon terhadap Globalisasi dan Radikalisasi

 

Seiring dengan pesatnya globalisasi dan kemajuan teknologi, kita juga menyaksikan peningkatan radikalisasi agama di berbagai belahan dunia. Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara-negara dengan konflik terbuka, tetapi juga di negara-negara yang memiliki populasi agama yang plural seperti Indonesia. Globalisasi membawa dampak positif, tetapi juga memperburuk kesenjangan sosial dan mempertegas perbedaan antar kelompok. Di satu sisi, globalisasi memungkinkan orang untuk saling bertukar informasi dan memperkaya wawasan. Namun, di sisi lain, ia juga memperbesar ruang untuk penyebaran ideologi ekstrem yang bisa membahayakan stabilitas sosial.

 

Dalam menghadapi tantangan ini, moderasi beragama menjadi alat penting dalam meredakan ketegangan antar agama. Moderasi beragama, seperti yang disebutkan sebelumnya, mengajarkan prinsip toleransi aktif, yang tidak hanya sebatas pada penerimaan terhadap agama lain, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang keyakinan dan praktik agama yang berbeda. Di dunia yang semakin terhubung ini, penting bagi setiap individu untuk memiliki kesadaran akan keberagaman, dan moderasi beragama memberikan landasan yang kokoh untuk membangun komunikasi lintas budaya yang efektif.

 

Menggunakan perspektif Harari, kita bisa memahami bahwa radikalisasi agama muncul ketika narasi agama digunakan untuk memperkuat identitas kelompok yang eksklusif dan menolak perbedaan. Di dalam Sapiens, Harari menyatakan bahwa agama dan ideologi besar sering kali menjadi alat untuk menggerakkan massa, tetapi juga bisa menjadi sumber konflik jika digunakan untuk memobilisasi perasaan superioritas kelompok. Oleh karena itu, moderasi beragama menawarkan cara yang lebih inklusif dan damai untuk mengelola keberagaman. Dengan menghargai perbedaan agama dan budaya, moderasi beragama memungkinkan kita untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis, tanpa terjebak pada dikotomi "kami" vs "mereka."

 

Sebagai penutup, moderasi beragama bukan hanya suatu strategi untuk meredakan ketegangan sosial, tetapi juga merupakan langkah penting untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan damai. Dalam konteks Indonesia, yang merupakan negara dengan keberagaman yang sangat tinggi, moderasi beragama adalah kunci untuk memastikan bahwa perbedaan bukan menjadi penyebab perpecahan, melainkan sebagai peluang untuk membangun masyarakat yang lebih toleran dan inklusif. Dengan mengedepankan nilai-nilai moderasi beragama, kita tidak hanya menciptakan harmoni sosial, tetapi juga menghargai kekayaan budaya dan agama yang ada sebagai sumber kekuatan, bukan sumber perpecahan.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now