Iklan

Menalar Peran PTKI dalam Membangun Karakter Beragama yang Moderat

syamsul kurniawan
Monday, February 17, 2025
Last Updated 2025-02-18T14:00:56Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di tengah hiruk pikuk era Society 5.0, perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) berdiri di persimpangan jalan. Globalisasi yang tak terbendung dan laju teknologi yang menggila telah menantang fondasi pendidikan, merambah bukan hanya metode pengajaran tetapi juga cara kita berpikir dan merasakan. Teknologi seperti Artificial Intelligence (AI), Big Data, dan Internet of Things (IoT) bukan lagi sekadar alat, melainkan bagian tak terpisahkan dari napas kehidupan. Namun, di tengah arus deras perubahan ini, kita perlu bertanya: bagaimana kita menavigasi lanskap baru ini, terutama dalam konteks moderasi beragama?

 

Dampak Teknologi: Antara Harapan dan Tantangan

 

Dampak dari perkembangan teknologi ini begitu luas. Dalam dunia pendidikan tinggi, perubahan terjadi tidak hanya pada metode penyampaian materi, tetapi juga pada bagaimana mahasiswa memahami dan merespons informasi. Hal ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam mengajarkan moderasi beragama. Kita tak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan tradisional yang berfokus pada pencapaian akademik. Kita harus membangun karakter, menumbuhkan kebiasaan yang moderat, dan mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi perubahan zaman yang serba cepat.

 

Tantangan yang lebih mendasar muncul dari fenomena "hyperreality" yang digagas oleh Jean Baudrillard (1994). Dalam "hyperreality", batas antara dunia nyata dan simulasi menjadi kabur. Realitas yang disimulasikan melalui media, teknologi, dan representasi visual menciptakan realitasnya sendiri. Dalam konteks pendidikan tinggi, hal ini berarti mahasiswa mungkin lebih terikat pada realitas beragama yang dibentuk oleh teknologi daripada pada pengalaman nyata. Proses pembelajaran tradisional, yang menekankan interaksi langsung dan pemahaman mendalam, harus bersaing dengan simulasi dan distraksi yang ditawarkan oleh dunia digital.

 

Di tengah era "hyperreality" ini, konsep pembentukan kebiasaan menjadi semakin penting. Teknologi memang menawarkan banyak keuntungan, tetapi tanpa fondasi karakter dan kebiasaan belajar beragama yang moderat, mahasiswa bisa dengan mudah tersesat dalam lautan informasi dan distraksi digital.

 

Kebiasaan-kebiasaan beragama yang sederhana di PTKI, yang terstruktur dan berkelanjutan, mampu memberikan stabilitas dan arahan dalam proses belajar yang berlangsung dalam lingkungan yang semakin tidak menentu. James Clear, dalam bukunya Atomic Habits (2018), mengingatkan kita bahwa kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten dapat membawa perubahan yang besar dan mendalam dalam kehidupan seseorang.

 

Dalam konteks pendidikan tinggi, prinsip ini sangat relevan. Kebiasaan belajar yang sederhana, seperti membaca buku-buku agama dari penulis moderat setiap hari, melakukan refleksi rutin terhadap isu-isu ekstremitas dari sudut pandang moderat, dan mengatur waktu belajar agama dengan baik, dapat memiliki dampak besar pada perkembangan intelektual dan personal mahasiswa sehingga mereka menjadi moderat. Moderasi, pada hakikatnya, bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang perilaku dan sikap.

 

Pemikiran Ibnu Khaldun, seorang cendekiawan besar Islam dari abad ke-14, memberikan kita perspektif yang berharga. Dalam karyanya Muqaddimah (1986), Ibnu Khaldun menekankan pentingnya pendidikan bukan hanya sebagai sarana transfer pengetahuan ('ilm), tetapi juga sebagai proses pembentukan karakter melalui kebiasaan baik. Pendidikan, menurutnya, adalah proses bertahap yang melibatkan kebiasaan-kebiasaan kecil dalam membentuk akhlak dan karakter individu. Karakter yang kuat dibangun bukan dari keputusan besar sesekali, tetapi dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten.

 

Di era Society 5.0, relevansi membangun karakter moderat semakin terasa. Mahasiswa kini belajar tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga di dunia maya yang penuh dengan simulasi. Tanpa kebiasaan belajar yang baik, mereka rentan terhadap representasi digital yang tidak selalu mencerminkan realitas.

 

Kita menyaksikan bagaimana media sosial dan platform daring menampilkan gambaran ideal tentang keberagamaan. Banyak orang dengan mudah menjadi tokoh agama dadakan, yang sering kali mengaburkan proses belajar yang sesungguhnya: kesabaran, ketekunan, dan upaya yang terus-menerus.

 

Oleh karena itu, konsep "habit building" menjadi sangat krusial. Teknologi dapat menjadi alat yang ampuh, namun ia tak boleh menggantikan pentingnya kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan baik dalam beragama, seperti disiplin belajar, ketekunan, dan komitmen terhadap pengembangan diri, dapat membantu mahasiswa meraih keberhasilan akademis dan membangun fondasi moral dan intelektual yang kokoh.

 

Lebih lanjut, di era digital ini, kemampuan berpikir kritis dan reflektif menjadi kunci. Jika hanya mengandalkan informasi instan, mahasiswa akan kehilangan kemampuan untuk menganalisis dan memahami konteks keberagamaan yang lebih luas. Kebiasaan membaca buku, menulis catatan reflektif, dan merenungkan isu-isu keagamaan adalah fondasi penting.

 

Dosen memiliki peran sentral dalam membentuk kebiasaan baik di kalangan mahasiswa. Mereka bukan hanya penyampai materi, tetapi juga pembimbing yang menanamkan kebiasaan belajar sepanjang hayat. Dosen mata kuliah umum juga memiliki peran penting dalam menciptakan budaya kampus yang religius dan moderat, mendorong mahasiswa untuk membangun kebiasaan beragama yang positif dan moderat.

 

Di era "hyperreality" Society 5.0, kemampuan untuk mengolah informasi keagamaan dengan baik dan moderat adalah keterampilan utama. Namun, keterampilan ini hanya bisa dibangun jika mahasiswa memiliki kebiasaan berpikir kritis dan reflektif. Tanpa kebiasaan ini, mereka akan menjadi konsumen pasif dari simulasi digital.

 

Sebagai penutup, pendidikan di PTKI pada era Society 5.0 adalah sebuah perjalanan yang tak henti. Kita harus merangkul teknologi, tetapi juga tidak melupakan kekuatan kebiasaan, karakter, dan refleksi mendalam. Hanya dengan menggabungkan keduanya, kita dapat membina generasi muda yang moderat, bijaksana, dan mampu menghadapi tantangan zaman dengan penuh kearifan.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now