Oleh: Syamsul Kurniawan
Di
tengah hiruk pikuk era Society 5.0, perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI)
berdiri di persimpangan jalan. Globalisasi yang tak terbendung dan laju
teknologi yang menggila telah menantang fondasi pendidikan, merambah bukan
hanya metode pengajaran tetapi juga cara kita berpikir dan merasakan. Teknologi
seperti Artificial Intelligence (AI), Big Data, dan Internet of Things (IoT)
bukan lagi sekadar alat, melainkan bagian tak terpisahkan dari napas kehidupan.
Namun, di tengah arus deras perubahan ini, kita perlu bertanya: bagaimana kita
menavigasi lanskap baru ini, terutama dalam konteks moderasi beragama?
Dampak
Teknologi: Antara Harapan dan Tantangan
Dampak
dari perkembangan teknologi ini begitu luas. Dalam dunia pendidikan tinggi,
perubahan terjadi tidak hanya pada metode penyampaian materi, tetapi juga pada
bagaimana mahasiswa memahami dan merespons informasi. Hal ini menimbulkan
tantangan tersendiri dalam mengajarkan moderasi beragama. Kita tak bisa lagi
hanya mengandalkan pendekatan tradisional yang berfokus pada pencapaian
akademik. Kita harus membangun karakter, menumbuhkan kebiasaan yang moderat,
dan mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi perubahan zaman yang serba
cepat.
Tantangan
yang lebih mendasar muncul dari fenomena "hyperreality" yang digagas
oleh Jean Baudrillard (1994). Dalam "hyperreality", batas antara
dunia nyata dan simulasi menjadi kabur. Realitas yang disimulasikan melalui
media, teknologi, dan representasi visual menciptakan realitasnya sendiri.
Dalam konteks pendidikan tinggi, hal ini berarti mahasiswa mungkin lebih
terikat pada realitas beragama yang dibentuk oleh teknologi daripada pada
pengalaman nyata. Proses pembelajaran tradisional, yang menekankan interaksi
langsung dan pemahaman mendalam, harus bersaing dengan simulasi dan distraksi
yang ditawarkan oleh dunia digital.
Di
tengah era "hyperreality" ini, konsep pembentukan kebiasaan menjadi
semakin penting. Teknologi memang menawarkan banyak keuntungan, tetapi tanpa
fondasi karakter dan kebiasaan belajar beragama yang moderat, mahasiswa bisa
dengan mudah tersesat dalam lautan informasi dan distraksi digital.
Kebiasaan-kebiasaan
beragama yang sederhana di PTKI, yang terstruktur dan berkelanjutan, mampu
memberikan stabilitas dan arahan dalam proses belajar yang berlangsung dalam
lingkungan yang semakin tidak menentu. James Clear, dalam bukunya Atomic
Habits (2018), mengingatkan kita bahwa kebiasaan-kebiasaan kecil yang
dilakukan secara konsisten dapat membawa perubahan yang besar dan mendalam
dalam kehidupan seseorang.
Dalam
konteks pendidikan tinggi, prinsip ini sangat relevan. Kebiasaan belajar yang
sederhana, seperti membaca buku-buku agama dari penulis moderat setiap hari,
melakukan refleksi rutin terhadap isu-isu ekstremitas dari sudut pandang
moderat, dan mengatur waktu belajar agama dengan baik, dapat memiliki dampak
besar pada perkembangan intelektual dan personal mahasiswa sehingga mereka
menjadi moderat. Moderasi, pada hakikatnya, bukan hanya tentang pengetahuan,
tetapi juga tentang perilaku dan sikap.
Pemikiran
Ibnu Khaldun, seorang cendekiawan besar Islam dari abad ke-14, memberikan kita
perspektif yang berharga. Dalam karyanya Muqaddimah (1986), Ibnu Khaldun
menekankan pentingnya pendidikan bukan hanya sebagai sarana transfer
pengetahuan ('ilm), tetapi juga sebagai proses pembentukan karakter
melalui kebiasaan baik. Pendidikan, menurutnya, adalah proses bertahap yang
melibatkan kebiasaan-kebiasaan kecil dalam membentuk akhlak dan karakter
individu. Karakter yang kuat dibangun bukan dari keputusan besar sesekali,
tetapi dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten.
Di
era Society 5.0, relevansi membangun karakter moderat semakin terasa. Mahasiswa
kini belajar tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga di dunia maya yang penuh
dengan simulasi. Tanpa kebiasaan belajar yang baik, mereka rentan terhadap
representasi digital yang tidak selalu mencerminkan realitas.
Kita
menyaksikan bagaimana media sosial dan platform daring menampilkan gambaran
ideal tentang keberagamaan. Banyak orang dengan mudah menjadi tokoh agama
dadakan, yang sering kali mengaburkan proses belajar yang sesungguhnya:
kesabaran, ketekunan, dan upaya yang terus-menerus.
Oleh
karena itu, konsep "habit building" menjadi sangat krusial.
Teknologi dapat menjadi alat yang ampuh, namun ia tak boleh menggantikan
pentingnya kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan baik dalam beragama, seperti disiplin
belajar, ketekunan, dan komitmen terhadap pengembangan diri, dapat membantu
mahasiswa meraih keberhasilan akademis dan membangun fondasi moral dan
intelektual yang kokoh.
Lebih
lanjut, di era digital ini, kemampuan berpikir kritis dan reflektif menjadi
kunci. Jika hanya mengandalkan informasi instan, mahasiswa akan kehilangan
kemampuan untuk menganalisis dan memahami konteks keberagamaan yang lebih luas.
Kebiasaan membaca buku, menulis catatan reflektif, dan merenungkan isu-isu
keagamaan adalah fondasi penting.
Dosen
memiliki peran sentral dalam membentuk kebiasaan baik di kalangan mahasiswa.
Mereka bukan hanya penyampai materi, tetapi juga pembimbing yang menanamkan
kebiasaan belajar sepanjang hayat. Dosen mata kuliah umum juga memiliki peran
penting dalam menciptakan budaya kampus yang religius dan moderat, mendorong
mahasiswa untuk membangun kebiasaan beragama yang positif dan moderat.
Di
era "hyperreality" Society 5.0, kemampuan untuk mengolah informasi
keagamaan dengan baik dan moderat adalah keterampilan utama. Namun,
keterampilan ini hanya bisa dibangun jika mahasiswa memiliki kebiasaan berpikir
kritis dan reflektif. Tanpa kebiasaan ini, mereka akan menjadi konsumen pasif
dari simulasi digital.
Sebagai
penutup, pendidikan di PTKI pada era Society 5.0 adalah sebuah perjalanan yang tak henti. Kita
harus merangkul teknologi, tetapi juga tidak melupakan kekuatan kebiasaan,
karakter, dan refleksi mendalam. Hanya dengan menggabungkan keduanya, kita
dapat membina generasi muda yang moderat, bijaksana, dan mampu menghadapi
tantangan zaman dengan penuh kearifan.***