SAYA teringat pada sore yang
sunyi di ruang kerja saya, ketika akhirnya sampai di beberapa halaman terakhir
buku karya Haryatmoko berjudul Jalan Baru Kepemimpinan dan Pendidikan:
Jawaban Atas Tantangan Disruptif-Inovatif
(2020). Beberapa minggu saya bergulat dengan ide-ide dalam buku
ini, dan sore itu, matahari yang condong ke barat melukiskan bayang-bayang
panjang di dinding, seolah mengingatkan bahwa waktu terus berlari, seperti
halnya teknologi yang tak pernah berhenti berlari meninggalkan jejak dalam setiap
aspek kehidupan kita.
Haryatmoko berbicara tentang
perlunya "kearifan manusiawi" di tengah arus disrupsi teknologi. Ia
menyentuh sebuah benang merah yang mengaitkan inovasi dengan etika, seperti dua
sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Saat saya menutup buku itu, pikiran saya
melayang ke Society 5.0, sebuah era yang kerap kita dengar sebagai peradaban
baru di mana teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things
(IoT), dan big data berperan besar. Namun, alih-alih menggantikan manusia,
teknologi dalam Society 5.0 berambisi untuk memulihkan esensi manusia sebagai
pusat peradaban.
Dalam konteks pendidikan,
Society 5.0 bukan hanya tentang menghadirkan perangkat dan aplikasi digital ke
ruang kelas. Ia adalah tentang menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana
pendidikan, terutama di madrasah, dapat membentuk manusia yang tidak hanya mampu
memanfaatkan teknologi, tetapi juga bijak dalam menggunakannya untuk
menciptakan harmoni di dunia yang semakin majemuk. Teknologi telah menghapus
batas-batas fisik. Dunia digital memungkinkan seorang siswa di pelosok
Indonesia untuk terhubung dengan pelajar lain di belahan dunia yang berbeda.
Namun, tanpa pemahaman yang mendalam tentang keberagaman dan nilai-nilai
multikulturalisme, koneksi ini dapat berubah menjadi potensi konflik.
Indonesia, dengan keragamannya
yang luar biasa, memiliki tantangan tersendiri. Sebagai negara dengan mayoritas
penduduk Muslim, pendidikan madrasah memegang peran sentral dalam membentuk
generasi yang tidak hanya religius, tetapi juga memiliki sensitivitas sosial
yang tinggi. Pendidikan berbasis multikulturalisme di madrasah tidak sekadar
menjadi wacana teoretis; ia adalah kebutuhan mendesak. Dalam dunia yang makin
terkoneksi, penghayatan terhadap nilai-nilai keberagaman tidak bisa ditawar.
Di sinilah tantangan itu
terletak. Bagaimana mendidik generasi yang mahir secara teknis dan berjiwa
toleran? Madrasah perlu menjelma menjadi laboratorium hidup, tempat nilai-nilai
universal seperti keadilan, kasih sayang, dan kesetaraan diajarkan secara kontekstual.
Misalnya, seorang guru tidak hanya mengajarkan ayat-ayat yang berbicara tentang
perdamaian, tetapi juga menunjukkan bagaimana ayat-ayat itu relevan dalam
kehidupan sehari-hari, di tengah interaksi sosial yang kompleks.
Era Society 5.0 membuka peluang
besar bagi pendidikan madrasah. Teknologi seperti e-learning, platform berbasis
AI, atau media sosial dapat digunakan untuk memperluas wawasan siswa tentang
keberagaman. Bayangkan sebuah aplikasi pembelajaran yang menghubungkan siswa
dari berbagai daerah di Indonesia untuk berbagi cerita tentang tradisi lokal
mereka. Dari sana, mereka tidak hanya belajar menghargai perbedaan, tetapi juga
menemukan persamaan yang menyatukan mereka sebagai anak bangsa.
Namun, peluang ini juga datang
dengan risiko. Teknologi, tanpa panduan moral yang jelas, bisa menjadi alat
untuk menyebarkan intoleransi. Kita telah melihat bagaimana media sosial sering
kali menjadi panggung bagi polarisasi. Maka, tugas pendidikan madrasah adalah
memastikan bahwa siswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi yang baik, tetapi
juga penjaga moral di dunia digital. Nilai-nilai multikulturalisme harus
tertanam kuat, sehingga ketika mereka berhadapan dengan perbedaan, respons yang
muncul adalah empati, bukan permusuhan.
Mengintegrasikan
Multikulturalisme dan Teknologi di Madrasah
James Clear, dalam bukunya Atomic
Habits (2018), berbicara
tentang kekuatan perubahan kecil yang konsisten. Ia menegaskan bahwa
transformasi besar sering kali berakar pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang
terus diperkuat. Perspektif ini relevan ketika kita membahas bagaimana madrasah
dapat mengintegrasikan multikulturalisme dan teknologi di era Society 5.0.
Transformasi tidak harus dimulai dengan langkah besar. Hal-hal kecil, seperti
mengajarkan siswa untuk menggunakan teknologi dengan bijak melalui contoh nyata,
dapat memiliki dampak yang luar biasa.
Sebagai contoh, seorang guru
dapat memulai dengan mengajak siswa membuat konten digital sederhana yang
memperkenalkan tradisi lokal mereka. Dalam proses ini, siswa tidak hanya
belajar keterampilan teknis, tetapi juga memahami pentingnya menghargai budaya
mereka sendiri dan budaya orang lain. Kebiasaan kecil seperti ini, jika
dilakukan secara konsisten, dapat membentuk pola pikir yang menghargai
keberagaman.
Namun, kebiasaan ini harus
didukung oleh sistem yang mendorong dan memfasilitasi pembelajaran
multikultural. Kurikulum madrasah harus dirancang untuk menciptakan ruang bagi
siswa untuk berdialog, berbagi pengalaman, dan belajar dari perbedaan. Guru
juga harus diberi pelatihan yang memadai untuk menggunakan teknologi sebagai
alat pembelajaran yang mendukung nilai-nilai multikulturalisme.
Tantangan dan Solusi
Menuju Society 5.0 yang Manusiawi
Tantangan terbesar dalam
pendidikan madrasah berbasis multikulturalisme di era ini adalah bagaimana
menyeimbangkan antara penguasaan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Era
Society 5.0 menuntut kemampuan teknis yang tinggi dari generasi muda, namun di
sisi lain, penguasaan teknologi tanpa kepekaan sosial dapat memperburuk masalah
sosial, seperti polarisasi dan intoleransi.
Solusi untuk tantangan ini
terletak pada menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Teknologi dapat
digunakan untuk menghubungkan siswa dari berbagai latar belakang budaya, tetapi
interaksi ini harus diarahkan untuk membangun pemahaman, bukan perselisihan.
Program pembelajaran berbasis proyek, di mana siswa bekerja sama untuk
menyelesaikan masalah yang relevan dengan masyarakat mereka, dapat menjadi
salah satu cara untuk mencapai ini.
James Clear (2018) juga
menekankan pentingnya menciptakan sistem yang mendukung kebiasaan baik. Dalam
konteks ini, madrasah perlu menciptakan budaya yang mendorong siswa untuk
selalu mencari pemahaman lebih dalam tentang keberagaman. Ini bisa dilakukan melalui
kegiatan rutin seperti diskusi kelompok, pertunjukan seni budaya, atau program
pertukaran siswa.
Pada akhirnya, pendidikan
madrasah berbasis multikulturalisme bukan hanya tentang mencetak generasi yang
cakap menghadapi tantangan global. Ia adalah tentang menjaga nilai-nilai
kemanusiaan tetap hidup di tengah arus perubahan yang begitu cepat. Sore itu,
saya menatap buku Haryatmoko di meja kerja saya, dan saya sadar bahwa jalan
menuju Society 5.0 yang manusiawi adalah jalan panjang yang harus kita lalui
bersama, dengan tekad, kesadaran, dan cinta terhadap sesama.***