Iklan

Society 5.0: Harmoni Teknologi dan Keberagaman

syamsul kurniawan
Saturday, January 11, 2025
Last Updated 2025-01-11T11:13:48Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan


SAYA teringat pada sore yang sunyi di ruang kerja saya, ketika akhirnya sampai di beberapa halaman terakhir buku karya Haryatmoko berjudul Jalan Baru Kepemimpinan dan Pendidikan: Jawaban Atas Tantangan Disruptif-Inovatif (2020). Beberapa minggu saya bergulat dengan ide-ide dalam buku ini, dan sore itu, matahari yang condong ke barat melukiskan bayang-bayang panjang di dinding, seolah mengingatkan bahwa waktu terus berlari, seperti halnya teknologi yang tak pernah berhenti berlari meninggalkan jejak dalam setiap aspek kehidupan kita.


Haryatmoko berbicara tentang perlunya "kearifan manusiawi" di tengah arus disrupsi teknologi. Ia menyentuh sebuah benang merah yang mengaitkan inovasi dengan etika, seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Saat saya menutup buku itu, pikiran saya melayang ke Society 5.0, sebuah era yang kerap kita dengar sebagai peradaban baru di mana teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan big data berperan besar. Namun, alih-alih menggantikan manusia, teknologi dalam Society 5.0 berambisi untuk memulihkan esensi manusia sebagai pusat peradaban.


Dalam konteks pendidikan, Society 5.0 bukan hanya tentang menghadirkan perangkat dan aplikasi digital ke ruang kelas. Ia adalah tentang menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana pendidikan, terutama di madrasah, dapat membentuk manusia yang tidak hanya mampu memanfaatkan teknologi, tetapi juga bijak dalam menggunakannya untuk menciptakan harmoni di dunia yang semakin majemuk. Teknologi telah menghapus batas-batas fisik. Dunia digital memungkinkan seorang siswa di pelosok Indonesia untuk terhubung dengan pelajar lain di belahan dunia yang berbeda. Namun, tanpa pemahaman yang mendalam tentang keberagaman dan nilai-nilai multikulturalisme, koneksi ini dapat berubah menjadi potensi konflik.


Indonesia, dengan keragamannya yang luar biasa, memiliki tantangan tersendiri. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, pendidikan madrasah memegang peran sentral dalam membentuk generasi yang tidak hanya religius, tetapi juga memiliki sensitivitas sosial yang tinggi. Pendidikan berbasis multikulturalisme di madrasah tidak sekadar menjadi wacana teoretis; ia adalah kebutuhan mendesak. Dalam dunia yang makin terkoneksi, penghayatan terhadap nilai-nilai keberagaman tidak bisa ditawar.


Di sinilah tantangan itu terletak. Bagaimana mendidik generasi yang mahir secara teknis dan berjiwa toleran? Madrasah perlu menjelma menjadi laboratorium hidup, tempat nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan kesetaraan diajarkan secara kontekstual. Misalnya, seorang guru tidak hanya mengajarkan ayat-ayat yang berbicara tentang perdamaian, tetapi juga menunjukkan bagaimana ayat-ayat itu relevan dalam kehidupan sehari-hari, di tengah interaksi sosial yang kompleks.


Era Society 5.0 membuka peluang besar bagi pendidikan madrasah. Teknologi seperti e-learning, platform berbasis AI, atau media sosial dapat digunakan untuk memperluas wawasan siswa tentang keberagaman. Bayangkan sebuah aplikasi pembelajaran yang menghubungkan siswa dari berbagai daerah di Indonesia untuk berbagi cerita tentang tradisi lokal mereka. Dari sana, mereka tidak hanya belajar menghargai perbedaan, tetapi juga menemukan persamaan yang menyatukan mereka sebagai anak bangsa.


Namun, peluang ini juga datang dengan risiko. Teknologi, tanpa panduan moral yang jelas, bisa menjadi alat untuk menyebarkan intoleransi. Kita telah melihat bagaimana media sosial sering kali menjadi panggung bagi polarisasi. Maka, tugas pendidikan madrasah adalah memastikan bahwa siswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi yang baik, tetapi juga penjaga moral di dunia digital. Nilai-nilai multikulturalisme harus tertanam kuat, sehingga ketika mereka berhadapan dengan perbedaan, respons yang muncul adalah empati, bukan permusuhan.


Mengintegrasikan Multikulturalisme dan Teknologi di Madrasah


James Clear, dalam bukunya Atomic Habits (2018), berbicara tentang kekuatan perubahan kecil yang konsisten. Ia menegaskan bahwa transformasi besar sering kali berakar pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang terus diperkuat. Perspektif ini relevan ketika kita membahas bagaimana madrasah dapat mengintegrasikan multikulturalisme dan teknologi di era Society 5.0. Transformasi tidak harus dimulai dengan langkah besar. Hal-hal kecil, seperti mengajarkan siswa untuk menggunakan teknologi dengan bijak melalui contoh nyata, dapat memiliki dampak yang luar biasa.


Sebagai contoh, seorang guru dapat memulai dengan mengajak siswa membuat konten digital sederhana yang memperkenalkan tradisi lokal mereka. Dalam proses ini, siswa tidak hanya belajar keterampilan teknis, tetapi juga memahami pentingnya menghargai budaya mereka sendiri dan budaya orang lain. Kebiasaan kecil seperti ini, jika dilakukan secara konsisten, dapat membentuk pola pikir yang menghargai keberagaman.


Namun, kebiasaan ini harus didukung oleh sistem yang mendorong dan memfasilitasi pembelajaran multikultural. Kurikulum madrasah harus dirancang untuk menciptakan ruang bagi siswa untuk berdialog, berbagi pengalaman, dan belajar dari perbedaan. Guru juga harus diberi pelatihan yang memadai untuk menggunakan teknologi sebagai alat pembelajaran yang mendukung nilai-nilai multikulturalisme.


Tantangan dan Solusi Menuju Society 5.0 yang Manusiawi


Tantangan terbesar dalam pendidikan madrasah berbasis multikulturalisme di era ini adalah bagaimana menyeimbangkan antara penguasaan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Era Society 5.0 menuntut kemampuan teknis yang tinggi dari generasi muda, namun di sisi lain, penguasaan teknologi tanpa kepekaan sosial dapat memperburuk masalah sosial, seperti polarisasi dan intoleransi.


Solusi untuk tantangan ini terletak pada menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Teknologi dapat digunakan untuk menghubungkan siswa dari berbagai latar belakang budaya, tetapi interaksi ini harus diarahkan untuk membangun pemahaman, bukan perselisihan. Program pembelajaran berbasis proyek, di mana siswa bekerja sama untuk menyelesaikan masalah yang relevan dengan masyarakat mereka, dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai ini.


James Clear (2018) juga menekankan pentingnya menciptakan sistem yang mendukung kebiasaan baik. Dalam konteks ini, madrasah perlu menciptakan budaya yang mendorong siswa untuk selalu mencari pemahaman lebih dalam tentang keberagaman. Ini bisa dilakukan melalui kegiatan rutin seperti diskusi kelompok, pertunjukan seni budaya, atau program pertukaran siswa.


Pada akhirnya, pendidikan madrasah berbasis multikulturalisme bukan hanya tentang mencetak generasi yang cakap menghadapi tantangan global. Ia adalah tentang menjaga nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup di tengah arus perubahan yang begitu cepat. Sore itu, saya menatap buku Haryatmoko di meja kerja saya, dan saya sadar bahwa jalan menuju Society 5.0 yang manusiawi adalah jalan panjang yang harus kita lalui bersama, dengan tekad, kesadaran, dan cinta terhadap sesama.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now