Iklan

Ruang Dialog Pendidikan Agama Islam: Menyatukan Iman dan Identitas Lokal

syamsul kurniawan
Thursday, January 2, 2025
Last Updated 2025-01-03T06:22:44Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Oleh: Syamsul Kurniawan


Di era modern ini, pendidikan agama Islam (PAI) bukan sekadar muatan kurikulum, melainkan sebuah pondasi untuk membangun manusia yang berkarakter. Dalam ruang publik sebagaimana dibayangkan oleh Jurgen Habermas, PAI berpotensi menjadi medium diskursif yang melibatkan peserta didik, pendidik, dan masyarakat dalam membangun kesadaran bersama. Kesadaran ini tidak hanya berakar pada iman kepada Allah, tetapi juga pada nilai-nilai universal yang mampu menjawab tantangan zaman.


Islam, sebagai pedoman hidup, menawarkan tiga pilar kokoh: Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiganya saling terintegrasi, membentuk kerangka etis yang tidak hanya memandu individu dalam hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga horizontal dengan sesama manusia dan lingkungannya. Ilmu Akidah, misalnya, menjadi dasar untuk menanamkan keimanan yang benar; sementara Fiqh mengatur tata cara ibadah dan muamalah; dan ilmu Akhlak mengajarkan perilaku luhur. Ketiga bidang ini, bila diajarkan secara mendalam dan kontekstual, mampu mencetak generasi yang berbudi luhur, bermartabat, dan berakhlak al-karimah.


Namun, PAI harus melampaui pendekatan tradisional yang semata-mata menekankan hafalan dan doktrin. Sebuah transformasi diperlukan untuk menjadikan PAI lebih relevan dengan abad ke-21, yang ditandai dengan kemajuan teknologi, perubahan sosial, dan keberagaman budaya. Pendidikan yang inovatif tidak hanya mengubah metode pengajaran, tetapi juga menciptakan ruang-ruang diskusi yang demokratis. Di sinilah relevansi konsep ruang publik Habermas menjadi nyata: pendidikan PAI dapat menjadi arena diskursus rasional yang inklusif, tempat berbagai pandangan bertemu untuk mencari kesepahaman.


Tantangan pendidikan di Indonesia saat ini, mulai dari dampak krisis global hingga penetrasi budaya hedonistik, menuntut pendekatan yang lebih holistik. Generasi muda kerap terjebak dalam gaya hidup instan dan egoisme yang merusak harmoni sosial. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter religius-humanis, yang tidak hanya menanamkan nilai-nilai spiritual tetapi juga menumbuhkan kesadaran etis. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam konteks lokal, PAI dapat menjembatani identitas keislaman dengan kekayaan budaya Indonesia.


Sebagai contoh, kearifan lokal seperti gotong royong, sikap toleransi, dan kepedulian terhadap lingkungan dapat menjadi materi pembelajaran yang diperkaya dengan nilai-nilai Islam. Dalam perspektif Habermas, ini adalah bentuk deliberasi antara tradisi lokal dan prinsip universal, yang memperkuat keutuhan masyarakat tanpa mengorbankan identitas lokal.


Namun, pendidikan berbasis kearifan lokal tidak boleh berhenti pada pengajaran simbolik. PAI harus mampu menawarkan solusi konkret terhadap problematika sosial, seperti kemiskinan moral, radikalisme, dan ketimpangan sosial. Dengan pendekatan holistik, asesmen dalam pembelajaran PAI tidak hanya mengevaluasi aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Proses ini mencakup penilaian terhadap kesadaran spiritual, etika, dan kemampuan berpikir kritis peserta didik.


Pendidikan yang demikian memberikan ruang bagi kreativitas dan komunikasi, serta memperkuat daya kritis generasi muda. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan Islam: membentuk manusia yang mampu beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan nilai-nilai dasar. Dengan cara ini, PAI tidak hanya mencetak individu yang saleh secara personal, tetapi juga warga negara yang bertanggung jawab secara sosial.


Dalam konteks ruang publik, pembelajaran PAI yang berbasis diskursus memungkinkan dialog antarbudaya dan antaragama. Ini adalah upaya untuk menciptakan harmoni di tengah keberagaman, sekaligus memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi. Habermas menekankan pentingnya rasionalitas komunikatif, di mana setiap argumen diuji dalam ruang dialog yang terbuka dan setara. Prinsip ini dapat diadaptasi dalam pembelajaran PAI, sehingga peserta didik tidak hanya menerima doktrin, tetapi juga memahami makna di balik ajaran agama.


Seiring dengan tantangan otonomi daerah, PAI juga harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan lokal. Kurikulum yang disusun secara nasional perlu memberikan fleksibilitas kepada daerah untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam pembelajaran. Pendekatan ini tidak hanya menjawab kebutuhan masyarakat, tetapi juga meningkatkan partisipasi publik dalam pendidikan.


Transformasi pendidikan PAI membutuhkan kolaborasi berbagai pihak: pemerintah, pendidik, masyarakat, dan siswa itu sendiri. Sebuah ekosistem pembelajaran yang inklusif hanya dapat terwujud jika semua pihak terlibat secara aktif dalam proses pendidikan. Dengan demikian, PAI tidak hanya menjadi mata pelajaran, tetapi juga gerakan sosial untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.


Dalam perspektif Habermas, ruang publik yang ideal adalah tempat di mana setiap individu dapat berkontribusi secara setara. PAI, dengan pendekatan holistik dan kearifan lokal, dapat menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Pendidikan agama bukan lagi sekadar ruang monolog, tetapi ruang dialog yang memberdayakan semua pihak untuk bersama-sama membangun peradaban.


Sebagai penutup, transformasi PAI yang relevan dengan zaman dan berakar pada nilai-nilai lokal adalah kunci untuk mencetak generasi unggul. Generasi ini tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga kebijaksanaan yang mendalam, iman yang kokoh, dan akhlak yang mulia. Dalam ruang publik yang terbuka dan inklusif, PAI dapat menjadi kekuatan transformasional untuk menghadirkan dunia yang lebih baik, di mana iman dan ilmu saling bersinergi untuk kemaslahatan bersama.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now