Oleh: Syamsul Kurniawan
Di era modern ini, pendidikan
agama Islam (PAI) bukan sekadar muatan kurikulum, melainkan sebuah pondasi
untuk membangun manusia yang berkarakter. Dalam ruang publik sebagaimana
dibayangkan oleh Jurgen Habermas, PAI berpotensi menjadi medium diskursif yang
melibatkan peserta didik, pendidik, dan masyarakat dalam membangun kesadaran
bersama. Kesadaran ini tidak hanya berakar pada iman kepada Allah, tetapi juga
pada nilai-nilai universal yang mampu menjawab tantangan zaman.
Islam, sebagai pedoman hidup,
menawarkan tiga pilar kokoh: Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiganya saling
terintegrasi, membentuk kerangka etis yang tidak hanya memandu individu dalam
hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga horizontal dengan sesama manusia
dan lingkungannya. Ilmu Akidah, misalnya, menjadi dasar untuk menanamkan
keimanan yang benar; sementara Fiqh mengatur tata cara ibadah dan muamalah; dan
ilmu Akhlak mengajarkan perilaku luhur. Ketiga bidang ini, bila diajarkan
secara mendalam dan kontekstual, mampu mencetak generasi yang berbudi luhur,
bermartabat, dan berakhlak al-karimah.
Namun, PAI harus melampaui
pendekatan tradisional yang semata-mata menekankan hafalan dan doktrin. Sebuah
transformasi diperlukan untuk menjadikan PAI lebih relevan dengan abad ke-21,
yang ditandai dengan kemajuan teknologi, perubahan sosial, dan keberagaman
budaya. Pendidikan yang inovatif tidak hanya mengubah metode pengajaran, tetapi
juga menciptakan ruang-ruang diskusi yang demokratis. Di sinilah relevansi
konsep ruang publik Habermas menjadi nyata: pendidikan PAI dapat menjadi arena
diskursus rasional yang inklusif, tempat berbagai pandangan bertemu untuk
mencari kesepahaman.
Tantangan pendidikan di
Indonesia saat ini, mulai dari dampak krisis global hingga penetrasi budaya
hedonistik, menuntut pendekatan yang lebih holistik. Generasi muda kerap
terjebak dalam gaya hidup instan dan egoisme yang merusak harmoni sosial. Di
sinilah pentingnya pendidikan karakter religius-humanis, yang tidak hanya
menanamkan nilai-nilai spiritual tetapi juga menumbuhkan kesadaran etis. Dengan
mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam konteks lokal, PAI dapat
menjembatani identitas keislaman dengan kekayaan budaya Indonesia.
Sebagai contoh, kearifan lokal
seperti gotong royong, sikap toleransi, dan kepedulian terhadap lingkungan
dapat menjadi materi pembelajaran yang diperkaya dengan nilai-nilai Islam.
Dalam perspektif Habermas, ini adalah bentuk deliberasi antara tradisi lokal
dan prinsip universal, yang memperkuat keutuhan masyarakat tanpa mengorbankan
identitas lokal.
Namun, pendidikan berbasis
kearifan lokal tidak boleh berhenti pada pengajaran simbolik. PAI harus mampu
menawarkan solusi konkret terhadap problematika sosial, seperti kemiskinan
moral, radikalisme, dan ketimpangan sosial. Dengan pendekatan holistik, asesmen
dalam pembelajaran PAI tidak hanya mengevaluasi aspek kognitif, tetapi juga
afektif dan psikomotorik. Proses ini mencakup penilaian terhadap kesadaran
spiritual, etika, dan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Pendidikan yang demikian
memberikan ruang bagi kreativitas dan komunikasi, serta memperkuat daya kritis
generasi muda. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan Islam: membentuk
manusia yang mampu beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan nilai-nilai dasar.
Dengan cara ini, PAI tidak hanya mencetak individu yang saleh secara personal,
tetapi juga warga negara yang bertanggung jawab secara sosial.
Dalam konteks ruang publik,
pembelajaran PAI yang berbasis diskursus memungkinkan dialog antarbudaya dan
antaragama. Ini adalah upaya untuk menciptakan harmoni di tengah keberagaman,
sekaligus memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi. Habermas menekankan
pentingnya rasionalitas komunikatif, di mana setiap argumen diuji dalam ruang
dialog yang terbuka dan setara. Prinsip ini dapat diadaptasi dalam pembelajaran
PAI, sehingga peserta didik tidak hanya menerima doktrin, tetapi juga memahami
makna di balik ajaran agama.
Seiring dengan tantangan otonomi
daerah, PAI juga harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan lokal. Kurikulum yang
disusun secara nasional perlu memberikan fleksibilitas kepada daerah untuk
mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam pembelajaran. Pendekatan ini tidak
hanya menjawab kebutuhan masyarakat, tetapi juga meningkatkan partisipasi
publik dalam pendidikan.
Transformasi pendidikan PAI
membutuhkan kolaborasi berbagai pihak: pemerintah, pendidik, masyarakat, dan
siswa itu sendiri. Sebuah ekosistem pembelajaran yang inklusif hanya dapat
terwujud jika semua pihak terlibat secara aktif dalam proses pendidikan. Dengan
demikian, PAI tidak hanya menjadi mata pelajaran, tetapi juga gerakan sosial
untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.
Dalam perspektif Habermas, ruang
publik yang ideal adalah tempat di mana setiap individu dapat berkontribusi
secara setara. PAI, dengan pendekatan holistik dan kearifan lokal, dapat
menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Pendidikan agama
bukan lagi sekadar ruang monolog, tetapi ruang dialog yang memberdayakan semua
pihak untuk bersama-sama membangun peradaban.
Sebagai penutup, transformasi
PAI yang relevan dengan zaman dan berakar pada nilai-nilai lokal adalah kunci
untuk mencetak generasi unggul. Generasi ini tidak hanya memiliki pengetahuan
yang luas, tetapi juga kebijaksanaan yang mendalam, iman yang kokoh, dan akhlak
yang mulia. Dalam ruang publik yang terbuka dan inklusif, PAI dapat menjadi
kekuatan transformasional untuk menghadirkan dunia yang lebih baik, di mana
iman dan ilmu saling bersinergi untuk kemaslahatan bersama.***