Oleh: Syamsul Kurniawan
INDONESIA adalah negara yang dikenal
dengan keberagamannya—ribuan pulau yang tersebar di Nusantara dengan ratusan
suku, agama, dan golongan membentuk masyarakat yang plural. Tantangan terbesar
yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana menjaga persatuan di
tengah keberagaman ini. Kohesi sosial, atau kemampuan masyarakat untuk hidup
berdampingan dalam harmoni, menjadi kunci penting dalam mempertahankan
integrasi nasional. Dalam konteks ini, agama memegang peran penting sebagai
fondasi moral dan sosial yang mampu membangun dan memperkuat kohesi sosial.
Nurchalish Madjid, seorang pemikir
Muslim Indonesia yang berpengaruh, menekankan pentingnya agama sebagai kekuatan
pemersatu yang melampaui batas-batas sosial, politik, dan budaya. Dalam bukunya
Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992), Madjid menjelaskan bahwa konsep “ukhuwah”
atau persaudaraan dalam Islam mencakup tidak hanya sesama Muslim, tetapi juga
seluruh umat manusia. Dengan demikian, agama memiliki peran signifikan dalam
memperkuat kohesi sosial dengan menanamkan nilai-nilai persaudaraan, keadilan,
dan penghormatan terhadap perbedaan.
Namun, peran agama dalam membangun
kohesi sosial tidak bisa dilepaskan dari konteks global yang lebih luas, di
mana ilmu pengetahuan dan kekuasaan memainkan peran sentral. Michel Foucault,
dalam pemikirannya tentang hubungan antara diskursus, ilmu pengetahuan, dan
kekuasaan, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan selalu digunakan dalam kerangka
kekuasaan tertentu untuk menentukan apa yang dianggap benar atau salah. Dalam
diskursus ini, agama juga menjadi bagian dari perebutan kekuasaan yang dapat
mempengaruhi kohesi sosial, baik dalam bentuk positif maupun negatif.
Persatuan dan Bukan Penyatuan
Upaya membangun kohesi sosial di
Indonesia tidak bisa dilakukan dengan memaksakan penyatuan. Sejarah bangsa ini,
terutama pada masa Orde Baru, menunjukkan bahwa penyatuan melalui kekuatan
politik dan militeristik hanya menghasilkan “perdamaian negatif”, seperti yang
dikemukakan oleh Johan Galtung. “Perdamaian negatif” adalah ketiadaan konflik
terbuka, tetapi ketidakadilan dan ketegangan tetap ada di bawah permukaan.
Dalam konteks Orde Baru, perbedaan budaya dan agama ditekan demi mencapai
keseragaman, yang pada akhirnya justru melemahkan kohesi sosial.
Sebaliknya, kita membutuhkan “perdamaian
positif”—sebuah kondisi di mana masyarakat tidak hanya bebas dari konflik,
tetapi juga hidup dalam harmoni dengan adanya keadilan sosial. Di sinilah peran
agama menjadi krusial. Menurut Nurchalish Madjid, agama harus menjadi sumber
moral yang mendorong masyarakat untuk saling menghormati perbedaan dan
membangun persaudaraan sejati. Dalam konsep “ukhuwah” yang diajarkan
oleh Islam, misalnya, ada ajakan untuk membangun persaudaraan yang tidak
dibatasi oleh identitas agama, etnis, atau golongan, tetapi berdasar pada
kemanusiaan yang universal.
Dalam Discipline and Punish
(1977), Foucault menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan digunakan oleh kekuasaan
untuk mengontrol dan mendisiplinkan masyarakat. Dengan cara yang sama,
diskursus agama juga bisa digunakan sebagai alat kontrol jika tidak dipahami
secara mendalam. Agama, dalam konteks ini, bisa memperkuat atau merusak kohesi
sosial tergantung pada bagaimana ia digunakan—apakah sebagai alat pembebasan
atau sebagai alat untuk menekan perbedaan.
Kecuali itu, Foucault menekankan bahwa
ilmu pengetahuan tidak pernah netral; ia selalu bekerja dalam kerangka
kekuasaan. Dalam konteks ini, diskursus tentang agama dan perannya dalam
masyarakat juga tidak terlepas dari hubungan kekuasaan. Ketika agama digunakan
sebagai alat politik untuk memperkuat dominasi satu kelompok atas kelompok
lain, ia kehilangan potensinya sebagai kekuatan moral yang dapat memperkuat
kohesi sosial.
Contoh ini terlihat dalam sejarah
Indonesia. Di masa Orde Baru, agama digunakan oleh negara untuk memperkuat
narasi nasionalisme dan menekan identitas lokal yang berbeda. Hal ini
menciptakan situasi di mana kohesi sosial tampak terjaga di permukaan, tetapi
sebenarnya rapuh karena tidak ada keadilan yang mendasarinya. Ini adalah bentuk
dari “perdamaian negatif”, di mana stabilitas dicapai melalui represi, bukan
dialog.
Sebaliknya, peran agama yang benar dalam
membangun kohesi sosial adalah dengan mempromosikan dialog antar kelompok dan
mendorong keadilan sosial. Ilmu pengetahuan, dalam hal ini, dapat digunakan
untuk memperdalam pemahaman tentang peran agama dalam masyarakat dan mendorong
interaksi yang sehat antar kelompok yang berbeda. Dengan cara ini, ilmu
pengetahuan dapat membantu memperkuat kohesi sosial, asalkan ia tidak digunakan
sebagai alat kekuasaan untuk menekan perbedaan.
Agama sebagai Sumber Kohesi Sosial
Nurchalish Madjid memandang agama
sebagai kekuatan yang dapat memperkuat kohesi sosial dengan mendorong
nilai-nilai persaudaraan dan keadilan. Dalam bukunya Islam, Doktrin, dan
Peradaban (1992), Madjid menekankan bahwa persaudaraan dalam Islam, atau “ukhuwah”,
harus melampaui batas-batas agama. Agama tidak boleh menjadi alat untuk
membedakan dan memecah belah, tetapi harus menjadi jembatan yang memperkuat
hubungan antar kelompok yang berbeda.
Konsep rahmatan lil alamin yang
diajarkan oleh Islam menggarisbawahi bahwa agama harus menjadi rahmat bagi
seluruh alam, termasuk bagi mereka yang berbeda agama, suku, atau bangsa. Dalam
konteks Indonesia yang plural, pandangan ini sangat relevan untuk membangun
kohesi sosial yang kuat. Agama, jika dipahami dan dijalankan dengan benar, bisa
menjadi sumber inspirasi bagi terciptanya harmoni di tengah keberagaman.
Namun, seperti yang diingatkan oleh
Foucault, agama juga bisa menjadi alat kontrol yang digunakan oleh kekuasaan
untuk menekan kelompok lain. Oleh karena itu, penting untuk menjaga agar agama
tetap berfungsi sebagai kekuatan moral yang mendorong kohesi sosial, bukan
sebagai alat politik yang memecah belah.
Ilmu Pengetahuan sebagai Alat untuk
Memperkuat Kohesi Sosial
Ilmu pengetahuan modern telah membuka
peluang besar bagi dialog antar kelompok dan agama. Dalam era globalisasi, ilmu
pengetahuan telah membantu mempertemukan berbagai budaya dan keyakinan yang
berbeda, sehingga memperkuat kohesi sosial di tingkat global. Namun, ilmu
pengetahuan juga bisa menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan jika digunakan
untuk menekan kelompok tertentu.
Misalnya, dalam buku The Righteous
Mind (2012), Jonathan Haidt menjelaskan bahwa moralitas manusia sering kali
dibentuk oleh kelompok sosialnya. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan bisa
digunakan untuk memperkuat narasi-narasi tertentu yang mendukung kekuasaan
kelompok mayoritas, sementara kelompok minoritas justru semakin terpinggirkan.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa ilmu pengetahuan digunakan
untuk mendorong dialog dan saling pengertian, bukan untuk menekan perbedaan.
Dalam bukunya Islam and the Secular
State (2008), Abdullahi Ahmed An-Na'im berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
dapat membantu memperkuat peran agama dalam masyarakat modern tanpa harus
mengorbankan prinsip-prinsip sekularisme. Ini sejalan dengan pandangan Madjid,
yang percaya bahwa agama dapat berfungsi sebagai kekuatan moral yang memperkuat
kohesi sosial di tengah masyarakat yang plural.
Peran agama dalam membangun kohesi
sosial adalah hal yang sangat penting, terutama dalam masyarakat yang plural
seperti Indonesia. Agama memiliki potensi besar untuk memperkuat persaudaraan
dan keadilan, asalkan digunakan dengan benar. Namun, kita harus selalu waspada
terhadap penggunaan agama sebagai alat politik untuk menekan kelompok lain,
seperti yang sering terjadi dalam sejarah.
Nurchalish Madjid menekankan bahwa agama
harus menjadi sumber moral yang memperkuat kohesi sosial, bukan alat untuk
memecah belah. Agama, jika dipahami dan dijalankan dengan benar, dapat menjadi jembatan
yang memperkuat hubungan antar kelompok yang berbeda dan menciptakan masyarakat
yang adil dan harmonis. Di sisi lain, ilmu pengetahuan, seperti yang dijelaskan
oleh Foucault, juga memiliki peran penting dalam membentuk diskursus tentang
agama dan kekuasaan. Jika digunakan dengan bijak, ilmu pengetahuan bisa menjadi
alat untuk memperkuat kohesi sosial dengan mendorong dialog dan saling
pengertian di antara kelompok yang berbeda.***