Iklan

Peran Agama dalam Membangun Kohesi Sosial

syamsul kurniawan
Saturday, January 4, 2025
Last Updated 2025-01-05T07:45:27Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

INDONESIA adalah negara yang dikenal dengan keberagamannya—ribuan pulau yang tersebar di Nusantara dengan ratusan suku, agama, dan golongan membentuk masyarakat yang plural. Tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana menjaga persatuan di tengah keberagaman ini. Kohesi sosial, atau kemampuan masyarakat untuk hidup berdampingan dalam harmoni, menjadi kunci penting dalam mempertahankan integrasi nasional. Dalam konteks ini, agama memegang peran penting sebagai fondasi moral dan sosial yang mampu membangun dan memperkuat kohesi sosial.

 

Nurchalish Madjid, seorang pemikir Muslim Indonesia yang berpengaruh, menekankan pentingnya agama sebagai kekuatan pemersatu yang melampaui batas-batas sosial, politik, dan budaya. Dalam bukunya Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992), Madjid menjelaskan bahwa konsep “ukhuwah” atau persaudaraan dalam Islam mencakup tidak hanya sesama Muslim, tetapi juga seluruh umat manusia. Dengan demikian, agama memiliki peran signifikan dalam memperkuat kohesi sosial dengan menanamkan nilai-nilai persaudaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap perbedaan.

 

Namun, peran agama dalam membangun kohesi sosial tidak bisa dilepaskan dari konteks global yang lebih luas, di mana ilmu pengetahuan dan kekuasaan memainkan peran sentral. Michel Foucault, dalam pemikirannya tentang hubungan antara diskursus, ilmu pengetahuan, dan kekuasaan, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan selalu digunakan dalam kerangka kekuasaan tertentu untuk menentukan apa yang dianggap benar atau salah. Dalam diskursus ini, agama juga menjadi bagian dari perebutan kekuasaan yang dapat mempengaruhi kohesi sosial, baik dalam bentuk positif maupun negatif.

 

Persatuan dan Bukan Penyatuan

 

Upaya membangun kohesi sosial di Indonesia tidak bisa dilakukan dengan memaksakan penyatuan. Sejarah bangsa ini, terutama pada masa Orde Baru, menunjukkan bahwa penyatuan melalui kekuatan politik dan militeristik hanya menghasilkan “perdamaian negatif”, seperti yang dikemukakan oleh Johan Galtung. “Perdamaian negatif” adalah ketiadaan konflik terbuka, tetapi ketidakadilan dan ketegangan tetap ada di bawah permukaan. Dalam konteks Orde Baru, perbedaan budaya dan agama ditekan demi mencapai keseragaman, yang pada akhirnya justru melemahkan kohesi sosial.

 

Sebaliknya, kita membutuhkan “perdamaian positif”—sebuah kondisi di mana masyarakat tidak hanya bebas dari konflik, tetapi juga hidup dalam harmoni dengan adanya keadilan sosial. Di sinilah peran agama menjadi krusial. Menurut Nurchalish Madjid, agama harus menjadi sumber moral yang mendorong masyarakat untuk saling menghormati perbedaan dan membangun persaudaraan sejati. Dalam konsep “ukhuwah” yang diajarkan oleh Islam, misalnya, ada ajakan untuk membangun persaudaraan yang tidak dibatasi oleh identitas agama, etnis, atau golongan, tetapi berdasar pada kemanusiaan yang universal.

 

Dalam Discipline and Punish (1977), Foucault menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan digunakan oleh kekuasaan untuk mengontrol dan mendisiplinkan masyarakat. Dengan cara yang sama, diskursus agama juga bisa digunakan sebagai alat kontrol jika tidak dipahami secara mendalam. Agama, dalam konteks ini, bisa memperkuat atau merusak kohesi sosial tergantung pada bagaimana ia digunakan—apakah sebagai alat pembebasan atau sebagai alat untuk menekan perbedaan.

 

Kecuali itu, Foucault menekankan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah netral; ia selalu bekerja dalam kerangka kekuasaan. Dalam konteks ini, diskursus tentang agama dan perannya dalam masyarakat juga tidak terlepas dari hubungan kekuasaan. Ketika agama digunakan sebagai alat politik untuk memperkuat dominasi satu kelompok atas kelompok lain, ia kehilangan potensinya sebagai kekuatan moral yang dapat memperkuat kohesi sosial.

 

Contoh ini terlihat dalam sejarah Indonesia. Di masa Orde Baru, agama digunakan oleh negara untuk memperkuat narasi nasionalisme dan menekan identitas lokal yang berbeda. Hal ini menciptakan situasi di mana kohesi sosial tampak terjaga di permukaan, tetapi sebenarnya rapuh karena tidak ada keadilan yang mendasarinya. Ini adalah bentuk dari “perdamaian negatif”, di mana stabilitas dicapai melalui represi, bukan dialog.

 

Sebaliknya, peran agama yang benar dalam membangun kohesi sosial adalah dengan mempromosikan dialog antar kelompok dan mendorong keadilan sosial. Ilmu pengetahuan, dalam hal ini, dapat digunakan untuk memperdalam pemahaman tentang peran agama dalam masyarakat dan mendorong interaksi yang sehat antar kelompok yang berbeda. Dengan cara ini, ilmu pengetahuan dapat membantu memperkuat kohesi sosial, asalkan ia tidak digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menekan perbedaan.

 

Agama sebagai Sumber Kohesi Sosial

 

Nurchalish Madjid memandang agama sebagai kekuatan yang dapat memperkuat kohesi sosial dengan mendorong nilai-nilai persaudaraan dan keadilan. Dalam bukunya Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992), Madjid menekankan bahwa persaudaraan dalam Islam, atau “ukhuwah”, harus melampaui batas-batas agama. Agama tidak boleh menjadi alat untuk membedakan dan memecah belah, tetapi harus menjadi jembatan yang memperkuat hubungan antar kelompok yang berbeda.

 

Konsep rahmatan lil alamin yang diajarkan oleh Islam menggarisbawahi bahwa agama harus menjadi rahmat bagi seluruh alam, termasuk bagi mereka yang berbeda agama, suku, atau bangsa. Dalam konteks Indonesia yang plural, pandangan ini sangat relevan untuk membangun kohesi sosial yang kuat. Agama, jika dipahami dan dijalankan dengan benar, bisa menjadi sumber inspirasi bagi terciptanya harmoni di tengah keberagaman.

 

Namun, seperti yang diingatkan oleh Foucault, agama juga bisa menjadi alat kontrol yang digunakan oleh kekuasaan untuk menekan kelompok lain. Oleh karena itu, penting untuk menjaga agar agama tetap berfungsi sebagai kekuatan moral yang mendorong kohesi sosial, bukan sebagai alat politik yang memecah belah.

 

Ilmu Pengetahuan sebagai Alat untuk Memperkuat Kohesi Sosial

 

Ilmu pengetahuan modern telah membuka peluang besar bagi dialog antar kelompok dan agama. Dalam era globalisasi, ilmu pengetahuan telah membantu mempertemukan berbagai budaya dan keyakinan yang berbeda, sehingga memperkuat kohesi sosial di tingkat global. Namun, ilmu pengetahuan juga bisa menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan jika digunakan untuk menekan kelompok tertentu.

 

Misalnya, dalam buku The Righteous Mind (2012), Jonathan Haidt menjelaskan bahwa moralitas manusia sering kali dibentuk oleh kelompok sosialnya. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan bisa digunakan untuk memperkuat narasi-narasi tertentu yang mendukung kekuasaan kelompok mayoritas, sementara kelompok minoritas justru semakin terpinggirkan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa ilmu pengetahuan digunakan untuk mendorong dialog dan saling pengertian, bukan untuk menekan perbedaan.

 

Dalam bukunya Islam and the Secular State (2008), Abdullahi Ahmed An-Na'im berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat membantu memperkuat peran agama dalam masyarakat modern tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip sekularisme. Ini sejalan dengan pandangan Madjid, yang percaya bahwa agama dapat berfungsi sebagai kekuatan moral yang memperkuat kohesi sosial di tengah masyarakat yang plural.

 

Peran agama dalam membangun kohesi sosial adalah hal yang sangat penting, terutama dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia. Agama memiliki potensi besar untuk memperkuat persaudaraan dan keadilan, asalkan digunakan dengan benar. Namun, kita harus selalu waspada terhadap penggunaan agama sebagai alat politik untuk menekan kelompok lain, seperti yang sering terjadi dalam sejarah.

 

Nurchalish Madjid menekankan bahwa agama harus menjadi sumber moral yang memperkuat kohesi sosial, bukan alat untuk memecah belah. Agama, jika dipahami dan dijalankan dengan benar, dapat menjadi jembatan yang memperkuat hubungan antar kelompok yang berbeda dan menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis. Di sisi lain, ilmu pengetahuan, seperti yang dijelaskan oleh Foucault, juga memiliki peran penting dalam membentuk diskursus tentang agama dan kekuasaan. Jika digunakan dengan bijak, ilmu pengetahuan bisa menjadi alat untuk memperkuat kohesi sosial dengan mendorong dialog dan saling pengertian di antara kelompok yang berbeda.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now