Oleh: Syamsul Kurniawan
DALAM beberapa tahun terakhir, Kementerian
Agama Republik Indonesia telah menunjukkan komitmen yang sangat serius dalam
mendidik dan menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama. Di tengah tantangan
global yang berlapis, di mana konflik dan ketegangan antaragama kian menjadi
bagian dari realitas, upaya ini bisa dipandang sebagai sebuah anugerah dan
harapan baru bagi bangsa yang kaya akan keragaman ini. Melalui berbagai program
pendidikan, Kementerian Agama ingin memposisikan Indonesia sebagai mercusuar
moderasi di tengah badai ekstremisme yang sering mewarnai narasi dunia.
Sikap moderat, sebagaimana yang
diformulasikan dalam kebijakan pendidikan, menjadi landasan dalam menciptakan
budaya saling menghormati, memahami, dan hidup berdampingan dengan damai.
Penekanan pada moderasi beragama ini tidak sekadar menjadi slogan, tetapi
bahu-membahu dalam proses penyusunan kurikulum, sosialisasi program, dan
pelatihan guru di seluruh Indonesia—sebuah realisasi dari rencana jangka
panjang untuk menciptakan generasi yang dapat menjunjung tinggi nilai-nilai
toleransi. Lantas, bagaimana agar ini optimal?
Mengapa Penting?
Indonesia, sebagai negara dengan keragaman
luas, memerlukan generasi yang bertahan dalam menghadapi tantangan sosial.
Melalui pendidikan moderasi beragama yang komprehensif, anak-anak tidak hanya
dilatih untuk toleran, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang berdampak
positif di masyarakat. Inilah landasan bagi terciptanya masyarakat yang berdiri
di atas fondasi keadilan dan kesetaraan.
Memasuki babak selanjutnya, Indonesia sebagai
negara plural harus memastikan bahwa pendidikan moderasi beragama merupakan
salah satu pilar utama dalam menjaga keharmonisan sosial. Dalam konteks
keragaman yang mendalam, Kementerian Agama dan lembaga pendidikan harus
bersama-sama berkolaborasi untuk membangun komunikasi yang baik antar
masyarakat yang berbeda keyakinan. Berbagai program yang dirancang untuk
menjembatani perbedaan harus secara aktif diimplementasikan, agar pendidikan
moderasi beragama tidak berhenti pada konsep, tetapi benar-benar terwujud dalam
praktik kehidupan.
Risiko konflik di masyarakat tentu akan terus
ada jika sikap moderat tidak menjadi bagian dari pemahaman kolektif kita.
Pendidikan moderasi beragama, oleh karena itu, menjadi jantung dari upaya
pencegahan ini. Dengan membekali generasi muda dengan nilai-nilai moderat, kita
sedang menyiapkan mereka untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan tantangan
dan perbedaan namun tetap berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi.
Menginternalisasi pemahaman bahwa perbedaan
adalah hal yang alami dan positif untuk masyarakat sangat esensial dalam
pendidikan. Di dalam kelas, pendidik memiliki tanggung jawab untuk mendidik
siswa tentang pentingnya menghargai keragaman sebagai bagian dari keindahan
hidup. Dalam hal ini, siswa belajar untuk tidak merasa terancam oleh perbedaan,
tetapi justru menjadikannya sebagai modal untuk bertumbuh dan berkembang.
Melangkah lebih jauh, pendidikan moderasi
beragama bukan sekadar sebuah kebutuhan individu, tetapi merupakan investasi
sosial yang akan datang. Ketika generasi muda tumbuh dengan nilai-nilai
moderat, mereka akan membawa sikap tersebut ke dalam lingkungan sosial mereka.
Ini menciptakan lingkaran positif di mana moderasi beragama menjadi bagian dari
kultur yang dianut masyarakat. Dengan menghargai perbedaan, kita menciptakan
masyarakat yang lebih damai dan harmonis.
Indonesia, dengan semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika”, menekankan pentingnya persatuan dalam perbedaan. Namun, persatuan ini
hanya bisa terwujud jika masyarakat memiliki sikap moderat. Dengan menempatkan
moderasi dalam konteks pendidikan, kita sedang membentuk generasi yang bukan
hanya setia pada agama mereka, tetapi juga pada negara dan masyarakat tempat
mereka hidup. Ini adalah langkah monumental menuju persatuan di tengah
keberagaman.
Bagaimana Agar Hasilnya Optimal?
Talcott Parsons mengusulkan skema A-G-I-L,
yakni Adaptation (adaptasi), Goal Attainment (pencapaian tujuan), Integration
(integrasi), dan Latency (pemeliharaan pola) sebagai prasyarat fungsional dari
optimalnya suatu sistem. Langkah pertama yang berarti adalah adaptasi, di mana
pendidik diharapkan dapat menjadikan metode pengajaran mereka lebih relevan dan
sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini menuntut semua pihak—terutama guru
agama—untuk tidak melihat siswa sebagai bidang kosong, tetapi sebagai individu
dengan beragam latar belakang, pengetahuan, dan pengalaman yang berharga.
Namun, dalam realitasnya, banyak guru yang
masih terjebak dalam pendekatan klasik yang more teacher-centered. Paradigma
ini cenderung menganggap siswa sebagai obyek pasif yang hanya menerima
informasi tanpa dilibatkan dalam proses pendidikan yang aktif. Di sinilah
tantangan bagi pendidikan moderasi beragama menjadi nyata. Dalam upaya
menciptakan suasana belajar yang inklusif, guru perlu membuka ruang untuk
diskusi, di mana siswa dapat menggali pemahaman mereka sendiri mengenai
moderasi dalam beragama.
Salah satu terobosan signifikan yang
dilakukan Kementerian Agama adalah menyusun program-program yang menekankan
kerjasama lintas agama dan interaksi positif antarmasyarakat. Misalnya, dalam
berbagai workshop dan diskusi, peserta diajak untuk berbagi pandangan dan
pengalaman mereka. Dalam konteks ini, mahasiswa, guru, dan orang tua diajak
untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip moderasi ke dalam kehidupan sehari-hari.
Ini tidak hanya menjaga keutuhan masyarakat, tetapi juga menumbuhkan rasa
empati kepada sesama.
Pada langkah berikutnya, Goal Attainment,
Kementerian Agama berfokus pada pencapaian tujuan pendidikan moderasi beragama
dengan menekankan pada internalisasi nilai-nilai. Dalam kerangka ini,
pendidikan moderasi beragama haruslah melibatkan penanaman pemahaman tentang
nilai-nilai yang substansial. Salah satu caranya adalah dengan
mentransformasikan nilai-nilai baik dan buruk kepada siswa. Hal ini dapat
dimulai dari hal sederhana, seperti menjelaskan bahwa berbohong adalah tindakan
yang salah, sedangkan menghargai perbedaan adalah langkah yang baik dan bijak.
Namun, proses pendidikan tidak berhenti pada
tahap penyampaian nilai-nilai. Di tahapan yang lebih dalam, transaksi nilai
menjadi momen krusial di mana hubungan interaktif antara guru dan siswa
terbangun. Dalam diskusi kelas yang hidup, siswa tidak hanya diajak untuk
mendengar, tetapi juga untuk berkomunikasi secara dua arah. Pada titik ini,
siswa terlibat aktif dalam membangun pemahaman mereka—sebuah tindakan yang
mendorong mereka untuk berdialog dan memberikan umpan balik terhadap pemahaman
yang dihasilkan.
Selanjutnya tahap transinternalisasi nilai, yang
merupakan perwujudan dari proses yang lebih mendalam dari upaya mendidikkan
moderasi beragama. Kaitannya dengan tahapan ini, siswa mulai mengenali
nilai-nilai moderat bukan hanya sebagai konsep, tetapi sebagai bagian tak
terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Inilah saatnya di mana karakter
moderat dibentuk, yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka, baik di
sekolah maupun di luar sekolah—a journey we must journey together.
Tahapan ketiga, yaitu integrasi. Melanjutkan
perjalanan pendidikan ini, term "kebiasaan" memainkan peran yang
sangat penting. Pemikiran James Clear dalam “Atomic Habits” mengingatkan kita
bahwa kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten dapat mengarah pada
perubahan yang monumental. Dalam konteks pendidikan moderasi beragama, penting
bagi setiap upaya yang dilakukan—baik di dalam maupun di luar kelas—untuk
terfokus pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang dapat membentuk sikap moderat di
kalangan siswa.
Sederhananya, kebiasaan-kebiasaan tersebut
dapat berupa penghormatan terhadap perbedaan dalam diskusi kelas, keterlibatan
dalam program-program yang mendorong dialog antar siswa dari latar belakang
yang berbeda, atau bahkan melakukan aksi kebersamaan dalam kegiatan lintas
agama. Guru sebagai pembimbing harus cermat dalam menciptakan lingkungan
pendidikan yang mendukung, di mana siswa merasa aman untuk berbicara, bertanya,
dan berbagi pandangan.
Dalam kerangka ini, "environment
design" atau desain lingkungan pendidikan menjadi aspek yang tidak bisa
diabaikan. Kementerian Agama perlu memastikan bahwa sekolah-sekolah memiliki
fasilitas yang mendukung pembelajaran moderasi beragama. Ini bisa berupa ruang
untuk diskusi, perpustakaan yang kaya akan literatur tentang keberagaman, serta
program-program yang menyatukan siswa dari berbagai latar belakang untuk
berkolaborasi dan bertukar pengalaman.
Tidak hanya teori, tetapi praktik juga
berperan penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai moderasi beragama dalam
kehidupan sehari-hari siswa. Pada tahap integrasi ini, kegiatan-kegiatan
seperti kunjungan rumah ibadah, debat antarpelajar, dan proyek sosial lintas
agama bisa menjadi metode yang sangat efektif. Dengan kebiasaan-kebiasaan baik
ini, siswa akan merasa lebih nyaman dalam menghadapi serta menghormati
perbedaan, sebuah pendidikan yang sangat relevan di Indonesia yang
multikultural.
Sikap moderat ini bukan hanya dapat diajarkan
di ruang kelas, tetapi harus terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan di
sekolah dan di luar sekolah. Dalam sebuah masyarakat yang heterogen, diskusi
lintas agama, kegiatan sosial bersama, serta kunjungan ke berbagai tempat
ibadah adalah kesempatan berharga untuk menyampaikan pesan bahwa perbedaan
adalah hal yang alamiah, dan justru menjadi kekuatan yang dapat menyatukan.
Robert K. Merton dalam teorinya tentang
disfungsi sosial mengingatkan bahwa jika nilai-nilai moderasi beragama ini
tidak diinternalisasi dengan baik, muncul risiko terjadinya konflik sosial dari
waktu ke waktu. Bukan tidak mungkin, jika tidak memiliki pemahaman yang kuat,
kita akan melihat gejala-gejala konflik yang diawali oleh ketidaktoleranan di
tengah masyarakat yang beragam ini.
Tahap ke empat, pemeliharaan pola (latency).
Tahapan pemeliharaan pola (latency) dalam pendidikan moderasi beragama tentu
saja sangat penting, agar nilai-nilai moderat bisa diterapkan secara konsisten
dalam kehidupan sehari-hari siswa. Peran guru sangatlah penting dalam merawat
keberlanjutan pola ini. Sikap moderat harus ditunjukkan oleh guru sebagai
bagian dari contoh yang baik, di mana mereka tidak hanya mengajarkan ajaran
agama, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mengaplikasikan
nilai-nilai tersebut.
Kita perlu menegaskan bahwa moderasi beragama
adalah "jalan tengah" yang tidak berlebihan namun tetap mematuhi
prinsip-prinsip agama dengan adil dan seimbang. Melalui proses ini, anak-anak
diajari untuk berpikir kritis, mengenali perbedaan keyakinan, dan memahami
bahwa keberagaman adalah anugerah yang perlu dirayakan. Dengan pola pendidikan
seperti ini, generasi yang kita didik akan tumbuh menjadi individu yang mampu
mengemban tanggung jawab moral dan sosial.
Pendidikan Moderasi Beragama dan Masa Depan
Indonesia
Menghadapi tantangan zaman yang semakin
beragam, generasi muda Indonesia harus memiliki fondasi yang kuat untuk
bertahan—sesuai dengan tantangan yang berlapis. Di era globalisasi ini, di mana
berbagai ideologi, informasi, dan pandangan hidup bersaing untuk tempatnya,
pendidikan moderasi beragama menjadi aspek krusial. Siswa harus dilatih untuk
tidak hanya memahami ajaran agama mereka, tetapi juga memiliki sikap kritis
terhadap perkembangan dunia yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai
kesatuan.
Dalam konteks pendidikan, moderasi beragama
berarti menciptakan generasi yang tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga
kecakapan untuk beradaptasi dengan realitas yang terus berubah. Komunitas
internasional mendorong dialog antarbangsa dan antaragama. Di sinilah moderasi
beragama akan menjadi sapaan damai bagi anak-anak kita, di mana mereka bisa
mengekspresikan keyakinan tanpa kehilangan identitas, dan terlibat dalam
diskusi global dengan rasa saling menghormati.
Di akhir segala usaha ini, kita harus
menyadari bahwa pendidikan moderasi beragama tidak serta merta bisa terlaksana
dalam waktu singkat. Ini adalah proses jangka panjang yang memerlukan
konsistensi, kesabaran, dan kerja sama lintas sektor—sekolah, keluarga, dan
masyarakat. Dengan membudayakan nilai-nilai moderat, kita tidak hanya
menyelamatkan satu generasi, tetapi juga meletakkan fondasi bagi masa depan
yang lebih toleran dan berperadaban.
Akhirnya, seperti yang diungkapkan oleh James
Clear dalam Atomic Habits (2018), perubahan besar dimulai dari langkah-langkah
kecil yang dilakukan dengan konsisten. Proses pendidikan moderasi beragama
harus dimulai dengan kesinambungan langkah demi langkah, seiring dengan
kemajuan teknologi dan pengetahuan. Sistem Merdeka Belajar, sebagai wadah yang
memberikan peluang bagi inovasi dalam pendidikan, memungkinkan kita untuk
melaksanakan pendidikan moderasi secara lebih fleksibel dan inklusif.
Guru, dalam konteks ini, harus menjadi motor
penggerak—menanamkan nilai-nilai moderat bukan hanya melalui pengajaran formal,
tetapi lebih melalui contoh nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kolaborasi dengan orang tua dan masyarakat pun sangat penting dalam memastikan
bahwa nilai-nilai ini terjaga, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di ranah
rumah dan komunitas.
Dengan langkah-langkah ini, kita sedang
membangun pondasi yang kuat dalam pendidikan moderasi beragama. Sebuah proses
yang tidak hanya membentuk individu-individu yang toleran, tetapi juga bingkai
bagi masyarakat yang harmonis. Moderasi beragama adalah investasi jangka
panjang yang memperkuat ketahanan sosial, serta menjadikan Indonesia sebagai
teladan di tengah keragaman dunia. Melalui pembiasaan kebiasaan-kebiasaan kecil
ini, kita memupuk diri menjadi pelopor perdamaian yang menghargai perbedaan dan
memastikan bahwa agama, yang seharusnya menjadi sumber kelembutan dan kasih
sayang, tidak berfungsi sebagai alat pemecah belah. Pada ujungnya, mari kita
jadikan pendidikan moderasi beragama sebagai jiwa yang menyinari perjalanan
bangsa ini ke arah yang lebih baik, penuh harapan, dan damai.***