Iklan

Pendidikan Moderasi Beragama

syamsul kurniawan
Monday, January 27, 2025
Last Updated 2025-01-27T14:25:28Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

DALAM beberapa tahun terakhir, Kementerian Agama Republik Indonesia telah menunjukkan komitmen yang sangat serius dalam mendidik dan menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama. Di tengah tantangan global yang berlapis, di mana konflik dan ketegangan antaragama kian menjadi bagian dari realitas, upaya ini bisa dipandang sebagai sebuah anugerah dan harapan baru bagi bangsa yang kaya akan keragaman ini. Melalui berbagai program pendidikan, Kementerian Agama ingin memposisikan Indonesia sebagai mercusuar moderasi di tengah badai ekstremisme yang sering mewarnai narasi dunia.

 

Sikap moderat, sebagaimana yang diformulasikan dalam kebijakan pendidikan, menjadi landasan dalam menciptakan budaya saling menghormati, memahami, dan hidup berdampingan dengan damai. Penekanan pada moderasi beragama ini tidak sekadar menjadi slogan, tetapi bahu-membahu dalam proses penyusunan kurikulum, sosialisasi program, dan pelatihan guru di seluruh Indonesia—sebuah realisasi dari rencana jangka panjang untuk menciptakan generasi yang dapat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Lantas, bagaimana agar ini optimal?

 

Mengapa Penting?

 

Indonesia, sebagai negara dengan keragaman luas, memerlukan generasi yang bertahan dalam menghadapi tantangan sosial. Melalui pendidikan moderasi beragama yang komprehensif, anak-anak tidak hanya dilatih untuk toleran, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang berdampak positif di masyarakat. Inilah landasan bagi terciptanya masyarakat yang berdiri di atas fondasi keadilan dan kesetaraan.

 

 

Memasuki babak selanjutnya, Indonesia sebagai negara plural harus memastikan bahwa pendidikan moderasi beragama merupakan salah satu pilar utama dalam menjaga keharmonisan sosial. Dalam konteks keragaman yang mendalam, Kementerian Agama dan lembaga pendidikan harus bersama-sama berkolaborasi untuk membangun komunikasi yang baik antar masyarakat yang berbeda keyakinan. Berbagai program yang dirancang untuk menjembatani perbedaan harus secara aktif diimplementasikan, agar pendidikan moderasi beragama tidak berhenti pada konsep, tetapi benar-benar terwujud dalam praktik kehidupan.

 

Risiko konflik di masyarakat tentu akan terus ada jika sikap moderat tidak menjadi bagian dari pemahaman kolektif kita. Pendidikan moderasi beragama, oleh karena itu, menjadi jantung dari upaya pencegahan ini. Dengan membekali generasi muda dengan nilai-nilai moderat, kita sedang menyiapkan mereka untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan tantangan dan perbedaan namun tetap berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi.

 

Menginternalisasi pemahaman bahwa perbedaan adalah hal yang alami dan positif untuk masyarakat sangat esensial dalam pendidikan. Di dalam kelas, pendidik memiliki tanggung jawab untuk mendidik siswa tentang pentingnya menghargai keragaman sebagai bagian dari keindahan hidup. Dalam hal ini, siswa belajar untuk tidak merasa terancam oleh perbedaan, tetapi justru menjadikannya sebagai modal untuk bertumbuh dan berkembang.

 

Melangkah lebih jauh, pendidikan moderasi beragama bukan sekadar sebuah kebutuhan individu, tetapi merupakan investasi sosial yang akan datang. Ketika generasi muda tumbuh dengan nilai-nilai moderat, mereka akan membawa sikap tersebut ke dalam lingkungan sosial mereka. Ini menciptakan lingkaran positif di mana moderasi beragama menjadi bagian dari kultur yang dianut masyarakat. Dengan menghargai perbedaan, kita menciptakan masyarakat yang lebih damai dan harmonis.

 

Indonesia, dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, menekankan pentingnya persatuan dalam perbedaan. Namun, persatuan ini hanya bisa terwujud jika masyarakat memiliki sikap moderat. Dengan menempatkan moderasi dalam konteks pendidikan, kita sedang membentuk generasi yang bukan hanya setia pada agama mereka, tetapi juga pada negara dan masyarakat tempat mereka hidup. Ini adalah langkah monumental menuju persatuan di tengah keberagaman.

 

Bagaimana Agar Hasilnya Optimal?

Talcott Parsons mengusulkan skema A-G-I-L, yakni Adaptation (adaptasi), Goal Attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latency (pemeliharaan pola) sebagai prasyarat fungsional dari optimalnya suatu sistem. Langkah pertama yang berarti adalah adaptasi, di mana pendidik diharapkan dapat menjadikan metode pengajaran mereka lebih relevan dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini menuntut semua pihak—terutama guru agama—untuk tidak melihat siswa sebagai bidang kosong, tetapi sebagai individu dengan beragam latar belakang, pengetahuan, dan pengalaman yang berharga.

 

Namun, dalam realitasnya, banyak guru yang masih terjebak dalam pendekatan klasik yang more teacher-centered. Paradigma ini cenderung menganggap siswa sebagai obyek pasif yang hanya menerima informasi tanpa dilibatkan dalam proses pendidikan yang aktif. Di sinilah tantangan bagi pendidikan moderasi beragama menjadi nyata. Dalam upaya menciptakan suasana belajar yang inklusif, guru perlu membuka ruang untuk diskusi, di mana siswa dapat menggali pemahaman mereka sendiri mengenai moderasi dalam beragama.

 

Salah satu terobosan signifikan yang dilakukan Kementerian Agama adalah menyusun program-program yang menekankan kerjasama lintas agama dan interaksi positif antarmasyarakat. Misalnya, dalam berbagai workshop dan diskusi, peserta diajak untuk berbagi pandangan dan pengalaman mereka. Dalam konteks ini, mahasiswa, guru, dan orang tua diajak untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip moderasi ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini tidak hanya menjaga keutuhan masyarakat, tetapi juga menumbuhkan rasa empati kepada sesama.

 

Pada langkah berikutnya, Goal Attainment, Kementerian Agama berfokus pada pencapaian tujuan pendidikan moderasi beragama dengan menekankan pada internalisasi nilai-nilai. Dalam kerangka ini, pendidikan moderasi beragama haruslah melibatkan penanaman pemahaman tentang nilai-nilai yang substansial. Salah satu caranya adalah dengan mentransformasikan nilai-nilai baik dan buruk kepada siswa. Hal ini dapat dimulai dari hal sederhana, seperti menjelaskan bahwa berbohong adalah tindakan yang salah, sedangkan menghargai perbedaan adalah langkah yang baik dan bijak.

 

Namun, proses pendidikan tidak berhenti pada tahap penyampaian nilai-nilai. Di tahapan yang lebih dalam, transaksi nilai menjadi momen krusial di mana hubungan interaktif antara guru dan siswa terbangun. Dalam diskusi kelas yang hidup, siswa tidak hanya diajak untuk mendengar, tetapi juga untuk berkomunikasi secara dua arah. Pada titik ini, siswa terlibat aktif dalam membangun pemahaman mereka—sebuah tindakan yang mendorong mereka untuk berdialog dan memberikan umpan balik terhadap pemahaman yang dihasilkan.

 

Selanjutnya tahap transinternalisasi nilai, yang merupakan perwujudan dari proses yang lebih mendalam dari upaya mendidikkan moderasi beragama. Kaitannya dengan tahapan ini, siswa mulai mengenali nilai-nilai moderat bukan hanya sebagai konsep, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Inilah saatnya di mana karakter moderat dibentuk, yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka, baik di sekolah maupun di luar sekolah—a journey we must journey together.

 

Tahapan ketiga, yaitu integrasi. Melanjutkan perjalanan pendidikan ini, term "kebiasaan" memainkan peran yang sangat penting. Pemikiran James Clear dalam “Atomic Habits” mengingatkan kita bahwa kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten dapat mengarah pada perubahan yang monumental. Dalam konteks pendidikan moderasi beragama, penting bagi setiap upaya yang dilakukan—baik di dalam maupun di luar kelas—untuk terfokus pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang dapat membentuk sikap moderat di kalangan siswa.

 

Sederhananya, kebiasaan-kebiasaan tersebut dapat berupa penghormatan terhadap perbedaan dalam diskusi kelas, keterlibatan dalam program-program yang mendorong dialog antar siswa dari latar belakang yang berbeda, atau bahkan melakukan aksi kebersamaan dalam kegiatan lintas agama. Guru sebagai pembimbing harus cermat dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung, di mana siswa merasa aman untuk berbicara, bertanya, dan berbagi pandangan.

 

Dalam kerangka ini, "environment design" atau desain lingkungan pendidikan menjadi aspek yang tidak bisa diabaikan. Kementerian Agama perlu memastikan bahwa sekolah-sekolah memiliki fasilitas yang mendukung pembelajaran moderasi beragama. Ini bisa berupa ruang untuk diskusi, perpustakaan yang kaya akan literatur tentang keberagaman, serta program-program yang menyatukan siswa dari berbagai latar belakang untuk berkolaborasi dan bertukar pengalaman.

 

Tidak hanya teori, tetapi praktik juga berperan penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari siswa. Pada tahap integrasi ini, kegiatan-kegiatan seperti kunjungan rumah ibadah, debat antarpelajar, dan proyek sosial lintas agama bisa menjadi metode yang sangat efektif. Dengan kebiasaan-kebiasaan baik ini, siswa akan merasa lebih nyaman dalam menghadapi serta menghormati perbedaan, sebuah pendidikan yang sangat relevan di Indonesia yang multikultural.

 

Sikap moderat ini bukan hanya dapat diajarkan di ruang kelas, tetapi harus terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan di sekolah dan di luar sekolah. Dalam sebuah masyarakat yang heterogen, diskusi lintas agama, kegiatan sosial bersama, serta kunjungan ke berbagai tempat ibadah adalah kesempatan berharga untuk menyampaikan pesan bahwa perbedaan adalah hal yang alamiah, dan justru menjadi kekuatan yang dapat menyatukan.

 

Robert K. Merton dalam teorinya tentang disfungsi sosial mengingatkan bahwa jika nilai-nilai moderasi beragama ini tidak diinternalisasi dengan baik, muncul risiko terjadinya konflik sosial dari waktu ke waktu. Bukan tidak mungkin, jika tidak memiliki pemahaman yang kuat, kita akan melihat gejala-gejala konflik yang diawali oleh ketidaktoleranan di tengah masyarakat yang beragam ini.

 

Tahap ke empat, pemeliharaan pola (latency). Tahapan pemeliharaan pola (latency) dalam pendidikan moderasi beragama tentu saja sangat penting, agar nilai-nilai moderat bisa diterapkan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari siswa. Peran guru sangatlah penting dalam merawat keberlanjutan pola ini. Sikap moderat harus ditunjukkan oleh guru sebagai bagian dari contoh yang baik, di mana mereka tidak hanya mengajarkan ajaran agama, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut.

 

Kita perlu menegaskan bahwa moderasi beragama adalah "jalan tengah" yang tidak berlebihan namun tetap mematuhi prinsip-prinsip agama dengan adil dan seimbang. Melalui proses ini, anak-anak diajari untuk berpikir kritis, mengenali perbedaan keyakinan, dan memahami bahwa keberagaman adalah anugerah yang perlu dirayakan. Dengan pola pendidikan seperti ini, generasi yang kita didik akan tumbuh menjadi individu yang mampu mengemban tanggung jawab moral dan sosial.

 

 

Pendidikan Moderasi Beragama dan Masa Depan Indonesia

 

Menghadapi tantangan zaman yang semakin beragam, generasi muda Indonesia harus memiliki fondasi yang kuat untuk bertahan—sesuai dengan tantangan yang berlapis. Di era globalisasi ini, di mana berbagai ideologi, informasi, dan pandangan hidup bersaing untuk tempatnya, pendidikan moderasi beragama menjadi aspek krusial. Siswa harus dilatih untuk tidak hanya memahami ajaran agama mereka, tetapi juga memiliki sikap kritis terhadap perkembangan dunia yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai kesatuan.

 

Dalam konteks pendidikan, moderasi beragama berarti menciptakan generasi yang tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga kecakapan untuk beradaptasi dengan realitas yang terus berubah. Komunitas internasional mendorong dialog antarbangsa dan antaragama. Di sinilah moderasi beragama akan menjadi sapaan damai bagi anak-anak kita, di mana mereka bisa mengekspresikan keyakinan tanpa kehilangan identitas, dan terlibat dalam diskusi global dengan rasa saling menghormati.

 

Di akhir segala usaha ini, kita harus menyadari bahwa pendidikan moderasi beragama tidak serta merta bisa terlaksana dalam waktu singkat. Ini adalah proses jangka panjang yang memerlukan konsistensi, kesabaran, dan kerja sama lintas sektor—sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dengan membudayakan nilai-nilai moderat, kita tidak hanya menyelamatkan satu generasi, tetapi juga meletakkan fondasi bagi masa depan yang lebih toleran dan berperadaban.

 

Akhirnya, seperti yang diungkapkan oleh James Clear dalam Atomic Habits (2018), perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan konsisten. Proses pendidikan moderasi beragama harus dimulai dengan kesinambungan langkah demi langkah, seiring dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan. Sistem Merdeka Belajar, sebagai wadah yang memberikan peluang bagi inovasi dalam pendidikan, memungkinkan kita untuk melaksanakan pendidikan moderasi secara lebih fleksibel dan inklusif.

 

Guru, dalam konteks ini, harus menjadi motor penggerak—menanamkan nilai-nilai moderat bukan hanya melalui pengajaran formal, tetapi lebih melalui contoh nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kolaborasi dengan orang tua dan masyarakat pun sangat penting dalam memastikan bahwa nilai-nilai ini terjaga, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di ranah rumah dan komunitas.

 

Dengan langkah-langkah ini, kita sedang membangun pondasi yang kuat dalam pendidikan moderasi beragama. Sebuah proses yang tidak hanya membentuk individu-individu yang toleran, tetapi juga bingkai bagi masyarakat yang harmonis. Moderasi beragama adalah investasi jangka panjang yang memperkuat ketahanan sosial, serta menjadikan Indonesia sebagai teladan di tengah keragaman dunia. Melalui pembiasaan kebiasaan-kebiasaan kecil ini, kita memupuk diri menjadi pelopor perdamaian yang menghargai perbedaan dan memastikan bahwa agama, yang seharusnya menjadi sumber kelembutan dan kasih sayang, tidak berfungsi sebagai alat pemecah belah. Pada ujungnya, mari kita jadikan pendidikan moderasi beragama sebagai jiwa yang menyinari perjalanan bangsa ini ke arah yang lebih baik, penuh harapan, dan damai.***

 


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now