Krisis ekologis
yang kian merajalela, seperti yang dilaporkan oleh Mongabay pada Hari
Lingkungan Hidup 2024, bukan lagi ancaman yang hanya akan terjadi di masa
depan. Ia telah hadir di depan mata, menampakkan diri dalam bentuk degradasi
lahan yang semakin meluas, menghancurkan ekosistem, dan mengancam keberlanjutan
kehidupan jutaan orang di seluruh dunia. Hilangnya kualitas lahan tidak hanya
merusak ekosistem, tetapi juga memicu krisis pangan, meningkatkan kemiskinan,
dan menempatkan kehidupan masyarakat global dalam bahaya besar. Laporan
tersebut menyingkap kenyataan pahit: degradasi lingkungan telah merenggut mata
pencaharian banyak orang, terutama di negara-negara berkembang. Ini adalah
sebuah krisis yang tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga spiritual, dan
pada titik inilah Eco-Sufisme menawarkan solusi yang penuh hikmah.
Seyyed Hossein
Nasr, dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man
(2007), menegaskan bahwa krisis ekologis ini berakar pada krisis spiritual
manusia. Modernitas telah memisahkan alam dari aspek spiritualnya,
menjadikannya objek yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Kehilangan hubungan
spiritual ini membuat manusia tidak lagi melihat alam sebagai ayat-ayat Tuhan,
tanda-tanda yang merefleksikan keagungan Sang Pencipta. Dalam pandangan
sufistik, alam adalah cerminan dari Tuhan, dan merusak alam berarti juga
merusak hubungan kita dengan-Nya.
Kecuali itu, era
Society 5.0 hadir dengan segala peluang dan tantangan teknologinya. Perubahan
yang dibawa oleh digitalisasi menuntut dunia pendidikan, termasuk pendidikan
agama Islam, untuk beradaptasi dengan cepat. Namun, adaptasi ini harus
dilakukan dengan bijak agar nilai-nilai spiritual tidak hilang dalam pusaran
kemajuan teknologi. Peserta didik, selayaknya bisa didewasakan dan dicerdaskan
dalam hal ini. Sehingga untuk kebutuhan ini, kurikulum pendidikan agama Islam
perlu diperbarui, tidak hanya untuk menjawab tantangan era digital, tetapi juga
untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab ekologis kepada
peserta didik.
Pendidikan
agama Islam, yang selama ini berfokus pada pengajaran nilai-nilai moral dan
spiritual, harus mampu berperan dalam membentuk kesadaran ekologis. Di era
Society 5.0, di mana teknologi memungkinkan akses informasi dan pendidikan yang
lebih luas, kurikulum agama Islam perlu menyentuh dimensi spiritual, ekologis,
dan teknologis secara bersamaan. Teknologi dapat digunakan untuk memperdalam
pemahaman peserta didik tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam, sambil
tetap memelihara hubungan mereka dengan Tuhan.
Relasi yang
berkembang di era Society 5.0 tidak lagi hanya melibatkan Tuhan, manusia, dan
alam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sachiko Murata dalam The Tao of
Islam (1992), tetapi juga teknologi sebagai komponen penting. Teknologi di
era ini bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi telah menjadi elemen yang
mempengaruhi cara manusia berinteraksi dengan alam dan Tuhan. Relasi yang
awalnya terdiri dari tiga elemen utama, kini telah berkembang menjadi relasi
yang lebih kompleks antara manusia, Tuhan, alam, dan teknologi. Teknologi tidak
lagi dapat diabaikan dalam hubungan ini, karena ia memainkan peran penting
dalam memediasi interaksi manusia dengan alam dan spiritualitasnya.
Degradasi
Lingkungan dan Tantangan Moral di Era Society 5.0
Degradasi
lingkungan adalah cerminan dari hilangnya hikmah dalam cara manusia
memperlakukan alam. Hikmah, dalam konteks sufisme, bukan hanya pengetahuan
intelektual, tetapi juga kebijaksanaan yang memandu manusia untuk bertindak
dengan tepat dan benar. Sachiko Murata, dalam The Tao of Islam (1992),
menjelaskan pentingnya harmoni antara Tuhan, alam, dan manusia. Namun, dalam
era Society 5.0, harmoni ini diperluas dengan kehadiran teknologi sebagai
komponen yang tidak terpisahkan.
Krisis ekologis
yang kita hadapi bukan hanya akibat dari hilangnya harmoni antara manusia dan
alam, tetapi juga akibat dari penggunaan teknologi yang tidak bijaksana. Di
satu sisi, teknologi menawarkan solusi untuk memperbaiki kondisi lingkungan
melalui inovasi-inovasi yang berkelanjutan. Namun, di sisi lain, penggunaan
teknologi yang tidak terkendali justru mempercepat degradasi lingkungan. Contoh
nyata adalah praktik-praktik industri yang merusak ekosistem, penggunaan energi
fosil yang berlebihan, dan produksi limbah yang tak terkendali. Relasi antara
manusia, Tuhan, alam, dan teknologi harus diselaraskan agar teknologi tidak
lagi menjadi ancaman bagi keberlanjutan lingkungan.
Dalam
perspektif sufistik, degradasi lingkungan bukan hanya masalah ekologis, tetapi
juga krisis spiritual. Ketika manusia merusak alam, ia tidak hanya merusak
lingkungan fisik, tetapi juga merusak hubungan spiritualnya dengan Sang
Pencipta. Alam adalah cerminan dari Tuhan, dan merusaknya berarti mengabaikan
tanggung jawab kita sebagai khalifah di bumi. Namun, di era Society 5.0,
manusia juga harus mempertimbangkan peran teknologi sebagai elemen penting
dalam menjaga keseimbangan ini.
Eco-Sufisme
menawarkan solusi yang holistik terhadap krisis lingkungan ini. Pendekatan ini
menggabungkan dimensi spiritual dan ekologis, memandang alam sebagai
manifestasi dari Rahmat Ilahi yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.
Melalui takhalli (pengosongan diri dari sifat buruk), tahalli (pengisian diri
dengan sifat baik), dan tajalli (penyinaran spiritual), eco-sufisme menuntun
manusia untuk membersihkan diri dari sikap yang merusak alam dan mengembangkan
perilaku yang mendukung kelestariannya.
Degradasi lahan
yang meluas, seperti yang dipaparkan dalam laporan Mongabay, adalah akibat dari
hilangnya hikmah dalam tindakan manusia, termasuk dalam penggunaan teknologi.
Hikmah mengajarkan kita untuk melihat alam bukan hanya sebagai objek yang bisa
dieksploitasi, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga. Dalam eco-sufisme,
tindakan menjaga alam bukan hanya tindakan ekologis, tetapi juga ibadah kepada
Tuhan, dan di era Society 5.0, teknologi harus digunakan sebagai alat untuk
mendukung tanggung jawab ini, bukan malah merusaknya.
Mengintegrasikan
Nilai Islam, Teknologi, dan Alam dalam Kurikulum
Pendidikan agama Islam harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai
sufistik, teknologi, dan keberlanjutan alam dalam kurikulumnya. Di era Society
5.0, teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan kesadaran
ekologis. Namun, teknologi harus digunakan dengan hikmah, yaitu kebijaksanaan
yang memandu penggunaannya agar tidak merusak alam atau memutus hubungan
spiritual dengan Tuhan.
Pengembangan kurikulum pendidikan
agama Islam harus mencakup empat komponen manajemen: perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Dalam perencanaan kurikulum,
perlu ada fokus pada pembentukan generasi yang sadar akan tanggung jawab mereka
terhadap alam dan penggunaan teknologi yang bijaksana. Pengorganisasian
kurikulum harus memastikan bahwa pendidikan tentang lingkungan dan teknologi
terintegrasi dalam semua aspek pembelajaran agama. Pengarahan
dalam konteks ini harus berorientasi pada pembinaan mental, spiritual, dan
intelektual peserta didik. Pengajar dan pendidik harus mampu memotivasi siswa
untuk tidak hanya memahami ajaran agama secara teoretis, tetapi juga
menginternalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama terkait kesadaran
ekologis dan penggunaan teknologi secara bijak. Pengarahan yang efektif dapat
dilakukan melalui kegiatan pembelajaran yang interaktif dan kontekstual,
seperti diskusi kasus-kasus nyata tentang krisis lingkungan dan bagaimana
teknologi dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Selain itu, pengarahan juga
harus memberikan teladan dari para pendidik tentang bagaimana hidup seimbang
dengan alam dan teknologi, serta bagaimana menjalankan nilai-nilai agama dalam
era digital. Pengawasan harus dilakukan secara berkelanjutan
untuk memastikan bahwa kurikulum berjalan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Pengawasan ini mencakup evaluasi terhadap metode pengajaran,
keterlibatan siswa dalam memahami dan mempraktikkan nilai-nilai agama terkait
lingkungan dan teknologi, serta pengukuran dampak dari penerapan kurikulum
terhadap kesadaran ekologis dan spiritual peserta didik. Selain itu, pengawasan
juga harus memeriksa sejauh mana kurikulum berhasil menciptakan generasi yang
tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga memiliki kesadaran penuh akan
tanggung jawab mereka sebagai khalifah di bumi, yang bertugas menjaga alam dan
menggunakan teknologi dengan bijak. Evaluasi kurikulum dapat dilakukan melalui
survei, tes formatif, dan pengamatan langsung terhadap praktik siswa di
lapangan.
Sachiko Murata
dalam The Tao of Islam menekankan pentingnya harmoni antara Tuhan, alam,
dan manusia sebagai inti dari kehidupan yang seimbang. Namun, dalam era Society
5.0, harmoni ini diperluas untuk memasukkan teknologi sebagai elemen penting
dalam relasi ini. Krisis ekologis yang kita saksikan hari ini adalah akibat
dari hilangnya harmoni ini, baik antara manusia dan alam, maupun antara manusia
dan teknologi. Eco-Sufisme mengajarkan bahwa menjaga alam dan menggunakan
teknologi dengan bijaksana adalah bagian dari menjaga hubungan kita dengan
Tuhan.
Terakhir di
bagian ini, menurut saya, Era Society 5.0 menawarkan peluang besar untuk
memperkuat pendidikan agama Islam dalam menjawab krisis ekologis dan tantangan
teknologi. Namun, ini harus dilakukan dengan bijaksana, memadukan teknologi,
spiritualitas, dan keberlanjutan alam dalam kurikulum yang relevan dan
holistik. Seyyed Hossein Nasr dan Sachiko Murata mengajarkan bahwa solusi
terhadap krisis lingkungan harus dimulai dari penyembuhan spiritual manusia.
Dengan mengintegrasikan hikmah dan kesadaran ekologis dalam pendidikan agama,
serta mempertimbangkan peran teknologi, kita dapat menciptakan generasi yang
tidak hanya unggul dalam teknologi, tetapi juga bijaksana dalam menjaga alam
dan relasi spiritualnya dengan Tuhan. Eco-Sufisme adalah jalan yang membawa
kita kembali ke harmoni antara manusia, Tuhan, alam, dan teknologi, sehingga
ini perlu ditanamkan melalui pendidikan agama Islam.***