Iklan

Pendidikan Agama Islam yang Membangun Kesadaran Seputar Relasi Manusia dengan Tuhan, Alam, dan Teknologi

syamsul kurniawan
Wednesday, January 1, 2025
Last Updated 2025-01-05T07:32:59Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Krisis ekologis yang kian merajalela, seperti yang dilaporkan oleh Mongabay pada Hari Lingkungan Hidup 2024, bukan lagi ancaman yang hanya akan terjadi di masa depan. Ia telah hadir di depan mata, menampakkan diri dalam bentuk degradasi lahan yang semakin meluas, menghancurkan ekosistem, dan mengancam keberlanjutan kehidupan jutaan orang di seluruh dunia. Hilangnya kualitas lahan tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga memicu krisis pangan, meningkatkan kemiskinan, dan menempatkan kehidupan masyarakat global dalam bahaya besar. Laporan tersebut menyingkap kenyataan pahit: degradasi lingkungan telah merenggut mata pencaharian banyak orang, terutama di negara-negara berkembang. Ini adalah sebuah krisis yang tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga spiritual, dan pada titik inilah Eco-Sufisme menawarkan solusi yang penuh hikmah.

 

Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (2007), menegaskan bahwa krisis ekologis ini berakar pada krisis spiritual manusia. Modernitas telah memisahkan alam dari aspek spiritualnya, menjadikannya objek yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Kehilangan hubungan spiritual ini membuat manusia tidak lagi melihat alam sebagai ayat-ayat Tuhan, tanda-tanda yang merefleksikan keagungan Sang Pencipta. Dalam pandangan sufistik, alam adalah cerminan dari Tuhan, dan merusak alam berarti juga merusak hubungan kita dengan-Nya.

 

Kecuali itu, era Society 5.0 hadir dengan segala peluang dan tantangan teknologinya. Perubahan yang dibawa oleh digitalisasi menuntut dunia pendidikan, termasuk pendidikan agama Islam, untuk beradaptasi dengan cepat. Namun, adaptasi ini harus dilakukan dengan bijak agar nilai-nilai spiritual tidak hilang dalam pusaran kemajuan teknologi. Peserta didik, selayaknya bisa didewasakan dan dicerdaskan dalam hal ini. Sehingga untuk kebutuhan ini, kurikulum pendidikan agama Islam perlu diperbarui, tidak hanya untuk menjawab tantangan era digital, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab ekologis kepada peserta didik.

 

Pendidikan agama Islam, yang selama ini berfokus pada pengajaran nilai-nilai moral dan spiritual, harus mampu berperan dalam membentuk kesadaran ekologis. Di era Society 5.0, di mana teknologi memungkinkan akses informasi dan pendidikan yang lebih luas, kurikulum agama Islam perlu menyentuh dimensi spiritual, ekologis, dan teknologis secara bersamaan. Teknologi dapat digunakan untuk memperdalam pemahaman peserta didik tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam, sambil tetap memelihara hubungan mereka dengan Tuhan.

 

Relasi yang berkembang di era Society 5.0 tidak lagi hanya melibatkan Tuhan, manusia, dan alam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sachiko Murata dalam The Tao of Islam (1992), tetapi juga teknologi sebagai komponen penting. Teknologi di era ini bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi telah menjadi elemen yang mempengaruhi cara manusia berinteraksi dengan alam dan Tuhan. Relasi yang awalnya terdiri dari tiga elemen utama, kini telah berkembang menjadi relasi yang lebih kompleks antara manusia, Tuhan, alam, dan teknologi. Teknologi tidak lagi dapat diabaikan dalam hubungan ini, karena ia memainkan peran penting dalam memediasi interaksi manusia dengan alam dan spiritualitasnya.

 

Degradasi Lingkungan dan Tantangan Moral di Era Society 5.0

 

Degradasi lingkungan adalah cerminan dari hilangnya hikmah dalam cara manusia memperlakukan alam. Hikmah, dalam konteks sufisme, bukan hanya pengetahuan intelektual, tetapi juga kebijaksanaan yang memandu manusia untuk bertindak dengan tepat dan benar. Sachiko Murata, dalam The Tao of Islam (1992), menjelaskan pentingnya harmoni antara Tuhan, alam, dan manusia. Namun, dalam era Society 5.0, harmoni ini diperluas dengan kehadiran teknologi sebagai komponen yang tidak terpisahkan.

 

Krisis ekologis yang kita hadapi bukan hanya akibat dari hilangnya harmoni antara manusia dan alam, tetapi juga akibat dari penggunaan teknologi yang tidak bijaksana. Di satu sisi, teknologi menawarkan solusi untuk memperbaiki kondisi lingkungan melalui inovasi-inovasi yang berkelanjutan. Namun, di sisi lain, penggunaan teknologi yang tidak terkendali justru mempercepat degradasi lingkungan. Contoh nyata adalah praktik-praktik industri yang merusak ekosistem, penggunaan energi fosil yang berlebihan, dan produksi limbah yang tak terkendali. Relasi antara manusia, Tuhan, alam, dan teknologi harus diselaraskan agar teknologi tidak lagi menjadi ancaman bagi keberlanjutan lingkungan.

 

Dalam perspektif sufistik, degradasi lingkungan bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga krisis spiritual. Ketika manusia merusak alam, ia tidak hanya merusak lingkungan fisik, tetapi juga merusak hubungan spiritualnya dengan Sang Pencipta. Alam adalah cerminan dari Tuhan, dan merusaknya berarti mengabaikan tanggung jawab kita sebagai khalifah di bumi. Namun, di era Society 5.0, manusia juga harus mempertimbangkan peran teknologi sebagai elemen penting dalam menjaga keseimbangan ini.

 

Eco-Sufisme menawarkan solusi yang holistik terhadap krisis lingkungan ini. Pendekatan ini menggabungkan dimensi spiritual dan ekologis, memandang alam sebagai manifestasi dari Rahmat Ilahi yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Melalui takhalli (pengosongan diri dari sifat buruk), tahalli (pengisian diri dengan sifat baik), dan tajalli (penyinaran spiritual), eco-sufisme menuntun manusia untuk membersihkan diri dari sikap yang merusak alam dan mengembangkan perilaku yang mendukung kelestariannya.

 

Degradasi lahan yang meluas, seperti yang dipaparkan dalam laporan Mongabay, adalah akibat dari hilangnya hikmah dalam tindakan manusia, termasuk dalam penggunaan teknologi. Hikmah mengajarkan kita untuk melihat alam bukan hanya sebagai objek yang bisa dieksploitasi, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga. Dalam eco-sufisme, tindakan menjaga alam bukan hanya tindakan ekologis, tetapi juga ibadah kepada Tuhan, dan di era Society 5.0, teknologi harus digunakan sebagai alat untuk mendukung tanggung jawab ini, bukan malah merusaknya.

 

Mengintegrasikan Nilai Islam, Teknologi, dan Alam dalam Kurikulum

 

Pendidikan agama Islam harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai sufistik, teknologi, dan keberlanjutan alam dalam kurikulumnya. Di era Society 5.0, teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan kesadaran ekologis. Namun, teknologi harus digunakan dengan hikmah, yaitu kebijaksanaan yang memandu penggunaannya agar tidak merusak alam atau memutus hubungan spiritual dengan Tuhan.

 

Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam harus mencakup empat komponen manajemen: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Dalam perencanaan kurikulum, perlu ada fokus pada pembentukan generasi yang sadar akan tanggung jawab mereka terhadap alam dan penggunaan teknologi yang bijaksana. Pengorganisasian kurikulum harus memastikan bahwa pendidikan tentang lingkungan dan teknologi terintegrasi dalam semua aspek pembelajaran agama. Pengarahan dalam konteks ini harus berorientasi pada pembinaan mental, spiritual, dan intelektual peserta didik. Pengajar dan pendidik harus mampu memotivasi siswa untuk tidak hanya memahami ajaran agama secara teoretis, tetapi juga menginternalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama terkait kesadaran ekologis dan penggunaan teknologi secara bijak. Pengarahan yang efektif dapat dilakukan melalui kegiatan pembelajaran yang interaktif dan kontekstual, seperti diskusi kasus-kasus nyata tentang krisis lingkungan dan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Selain itu, pengarahan juga harus memberikan teladan dari para pendidik tentang bagaimana hidup seimbang dengan alam dan teknologi, serta bagaimana menjalankan nilai-nilai agama dalam era digital. Pengawasan harus dilakukan secara berkelanjutan untuk memastikan bahwa kurikulum berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan ini mencakup evaluasi terhadap metode pengajaran, keterlibatan siswa dalam memahami dan mempraktikkan nilai-nilai agama terkait lingkungan dan teknologi, serta pengukuran dampak dari penerapan kurikulum terhadap kesadaran ekologis dan spiritual peserta didik. Selain itu, pengawasan juga harus memeriksa sejauh mana kurikulum berhasil menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab mereka sebagai khalifah di bumi, yang bertugas menjaga alam dan menggunakan teknologi dengan bijak. Evaluasi kurikulum dapat dilakukan melalui survei, tes formatif, dan pengamatan langsung terhadap praktik siswa di lapangan.

 

Sachiko Murata dalam The Tao of Islam menekankan pentingnya harmoni antara Tuhan, alam, dan manusia sebagai inti dari kehidupan yang seimbang. Namun, dalam era Society 5.0, harmoni ini diperluas untuk memasukkan teknologi sebagai elemen penting dalam relasi ini. Krisis ekologis yang kita saksikan hari ini adalah akibat dari hilangnya harmoni ini, baik antara manusia dan alam, maupun antara manusia dan teknologi. Eco-Sufisme mengajarkan bahwa menjaga alam dan menggunakan teknologi dengan bijaksana adalah bagian dari menjaga hubungan kita dengan Tuhan.

 

Terakhir di bagian ini, menurut saya, Era Society 5.0 menawarkan peluang besar untuk memperkuat pendidikan agama Islam dalam menjawab krisis ekologis dan tantangan teknologi. Namun, ini harus dilakukan dengan bijaksana, memadukan teknologi, spiritualitas, dan keberlanjutan alam dalam kurikulum yang relevan dan holistik. Seyyed Hossein Nasr dan Sachiko Murata mengajarkan bahwa solusi terhadap krisis lingkungan harus dimulai dari penyembuhan spiritual manusia. Dengan mengintegrasikan hikmah dan kesadaran ekologis dalam pendidikan agama, serta mempertimbangkan peran teknologi, kita dapat menciptakan generasi yang tidak hanya unggul dalam teknologi, tetapi juga bijaksana dalam menjaga alam dan relasi spiritualnya dengan Tuhan. Eco-Sufisme adalah jalan yang membawa kita kembali ke harmoni antara manusia, Tuhan, alam, dan teknologi, sehingga ini perlu ditanamkan melalui pendidikan agama Islam.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now