Era
Society 5.0 menghadirkan perubahan fundamental dalam cara manusia dan teknologi
berinteraksi. Di sini, teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI),
Internet of Things (IoT), dan big data tidak hanya mempercepat otomatisasi dan
digitalisasi, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang berpusat
pada manusia. Di tengah derasnya arus kemajuan teknologi ini, ada tantangan
besar bagi pendidikan agama Islam: bagaimana membangun generasi yang tidak
hanya kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang
mendalam. Pendidikan agama Islam multikultural menjadi elemen kunci dalam
menjawab tantangan ini.
Pendidikan
agama Islam multikultural menekankan pentingnya penghargaan terhadap
keberagaman. Di Indonesia yang mayoritas muslim, dengan kekayaan budaya, agama,
dan etnis yang begitu beragam, pendidikan agama Islam multikultural memainkan
peran penting dalam menjaga persatuan di tengah pluralitas. Dalam Society 5.0,
di mana interaksi antarbudaya tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi juga
merambah ke ruang digital, keterampilan memahami dan menghargai keberagaman
menjadi semakin krusial.
Society
5.0 membawa kita pada realitas di mana teknologi dan manusia harus saling
melengkapi. Teknologi dapat memfasilitasi pembelajaran, tetapi nilai-nilai
kemanusiaan, termasuk toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, harus tetap
dijaga. Di sinilah peran pendidikan agama Islam multikultural menjadi sangat
penting, terutama untuk menciptakan generasi yang tidak hanya menguasai
teknologi, tetapi juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
HOTS
Sangat Relevan
Dalam
konteks ini, salah satu pendekatan penting yang perlu diterapkan dalam
pendidikan agama Islam adalah penggunaan HOTS (Higher Order Thinking Skills).
HOTS mengajarkan siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, dua keterampilan yang
sangat relevan dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks. Dengan menerapkan
HOTS dalam pendidikan agama Islam multikultural, siswa yang muslim diajak untuk
menganalisis masalah sosial yang terkait dengan keberagaman budaya, agama, dan
etnis secara lebih mendalam. Mereka tidak hanya melihat masalah di permukaan,
tetapi juga diajak untuk memahami akar permasalahan dari berbagai sudut
pandang.
Permasalahan
seperti kebudayaan, kesehatan, lingkungan, dan ilmu pengetahuan menjadi bahan
diskusi yang kaya dalam pendidikan agama Islam multikultural berbasis HOTS.
Siswa dapat diajak untuk menganalisis bagaimana setiap isu ini dipengaruhi oleh
latar belakang budaya yang berbeda. Misalnya, dalam konteks kesehatan global
seperti pandemi, ada berbagai perspektif budaya yang dapat dipelajari dan
dipahami. Ini akan membantu siswa mengembangkan empati dan penghargaan terhadap
cara pandang yang berbeda, yang pada akhirnya memperkuat kohesi sosial.
Pentingnya
pendidikan agama Islam multikultural dalam Society 5.0 juga terlihat dalam cara
kita memperbarui tujuan pembelajaran. Pendidikan modern tidak lagi hanya
bertujuan untuk menguasai materi akademik, tetapi juga membangun keterhubungan
antara pembelajaran dengan perkembangan masyarakat. Dengan kata lain,
pendidikan agama Islam harus menjadi refleksi dari kemajuan masyarakat, di mana
siswa tidak hanya menjadi pekerja yang kompeten, tetapi juga individu yang
memiliki tanggung jawab sosial dan menghargai keberagaman.
Penerapan
model pembelajaran yang tepat juga menjadi kunci dalam penguatan pendidikan
multikultural. Project-based learning, discovery inquiry learning, dan problem-based
learning adalah beberapa model pembelajaran yang relevan di era Society
5.0. Melalui metode ini, siswa diajak untuk bekerja secara kolaboratif,
mengeksplorasi masalah nyata, dan mencari solusi yang inovatif. Ini adalah cara
yang efektif untuk mengintegrasikan pembelajaran multikultural dengan
pengembangan keterampilan abad 21.
Selain
itu, penguatan pendidikan agama Islam multikultural juga membutuhkan
peningkatan kinerja guru dalam tiga ranah: afektif, kognitif, dan psikomotorik.
Guru harus mampu menanamkan nilai-nilai multikulturalisme dalam proses
pengajaran sehari-hari. Dalam ranah afektif, guru agama Islam perlu menumbuhkan
empati dan sikap inklusif di kalangan siswa. Di ranah kognitif, guru agam Islam
harus mampu membimbing siswa untuk berpikir kritis tentang masalah-masalah
multikultural yang kompleks. Sementara itu, di ranah psikomotorik, guru agama
Islam bisa mendorong siswa untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
sosial yang mempromosikan inklusivitas dan keberagaman.
Pendidikan
agama Islam multikultural bukan hanya soal menambah pengetahuan tentang
keberagaman, tetapi juga soal membentuk karakter dan sikap yang inklusif. Dalam
Society 5.0, karakter yang inklusif menjadi salah satu kunci penting untuk
membangun masyarakat yang lebih harmonis. Masyarakat yang inklusif adalah
masyarakat yang mampu menghargai perbedaan dan bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama, tanpa memandang latar belakang budaya, agama, atau etnis.
Tentu
saja, tantangan yang dihadapi dalam penerapan pendidikan agama Islam multikultural
tidaklah ringan. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menghadirkan
materi multikultural yang relevan dengan perkembangan teknologi. Teknologi
dapat menjadi alat yang ampuh untuk memperkuat pendidikan agama Islam
multikultural, namun tanpa pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai
keberagaman, teknologi hanya akan memperbesar jurang perbedaan.
Untuk
itu, penting bagi para pendidik untuk memanfaatkan teknologi sebagai sarana
memperkaya pengalaman belajar multikultural. Teknologi dapat digunakan untuk
menghubungkan siswa dengan berbagai komunitas di seluruh dunia, memperkenalkan
mereka pada cara hidup, budaya, dan nilai-nilai yang berbeda. Dengan cara ini,
pendidikan multikultural tidak lagi terbatas pada kelas, tetapi meluas ke ruang
digital yang lebih inklusif dan dinamis.
Selain
itu, peran kebijakan pendidikan juga sangat penting dalam penguatan pendidikan
multikultural. Pemerintah perlu merancang kurikulum yang mendukung integrasi
nilai-nilai multikultural dalam semua mata pelajaran, bukan hanya di pelajaran
tertentu seperti Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam Pendidikan Agama Islam, juga
selayaknya bisa dipertimbangkan. Ini akan memastikan bahwa semua siswa
mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang pentingnya keberagaman, sekaligus
mempersiapkan mereka untuk hidup dalam masyarakat yang semakin global.
Penguatan
pendidikan agama Islam multikultural juga harus melibatkan partisipasi aktif
dari masyarakat. Sekolah dan lembaga pendidikan tidak bisa berjalan sendiri
dalam menciptakan generasi yang inklusif. Kolaborasi antara keluarga,
komunitas, dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk membangun lingkungan yang
mendukung pengembangan nilai-nilai multikultural.
Dalam
Society 5.0, pendidikan agama Islam harus menjadi instrumen perubahan yang
mampu menjembatani kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pendidikan agama Islam multikultural menjadi salah satu instrumen terpenting
dalam menjaga keseimbangan ini. Dengan mempersiapkan generasi yang tidak hanya agamis
dan mahir secara teknologi, tetapi juga sensitif terhadap keberagaman, kita
menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan harmonis.
Kesimpulannya,
penguatan pendidikan agama Islam multikultural di era Society 5.0 adalah
langkah strategis untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Melalui penerapan HOTS, pembaruan tujuan pendidikan, dan model pembelajaran
yang tepat, kita bisa menciptakan generasi yang kritis, kreatif, dan inklusif.
Di samping itu, peningkatan kinerja guru serta peran aktif dari kebijakan dan
masyarakat akan memperkuat fondasi pendidikan multikultural di Indonesia.
Dengan demikian, kita bisa membentuk masyarakat yang siap menghadapi masa
depan, di mana teknologi dan kemanusiaan berjalan beriringan.***