Iklan

Pecahan Figura

syamsul kurniawan
Friday, January 10, 2025
Last Updated 2025-01-19T09:48:06Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates



Cerpen: Syamsul Kurniawan


Hujan mengguyur deras, menciptakan gemuruh lembut di atas atap seng yang mulai berkarat. Di ruang sempit dengan penerangan lampu kuning buram, Randi duduk memandangi figura foto yang kaca retaknya memantulkan bayangan wajahnya yang suram. Dalam foto itu, ia dan Lila tersenyum, sebuah kebahagiaan yang terasa seperti mimpi yang hampir dilupakan.


“Kamu masih memikirkan itu?” Suara lembut terdengar dari belakangnya. Randi menoleh perlahan. Lila berdiri di sana, dengan gaun putih sederhana yang tampak familiar. Mata Randi membelalak.


“Lila...” gumamnya pelan. “Kamu… kamu di sini?”


Lila tersenyum, melangkah mendekatinya, lalu duduk di kursi kayu di seberang meja. “Aku selalu di sini, Randi. Aku tidak pernah pergi,” jawabnya lembut, seolah itu adalah fakta sederhana yang tak perlu diragukan.


Randi memandang Lila dengan campuran kerinduan dan keterkejutan. “Tapi… aku ingat, aku…” Ia menghentikan kata-katanya, menelan kepedihan yang menyesakkan dada.


Lila mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Randi diam. “Tidak perlu menjelaskan apa-apa,” katanya. “Aku tahu apa yang kamu rasakan.”


Randi menggeleng, mencoba mengusir bayangan yang mulai terasa terlalu nyata. “Ini pasti hanya halusinasi. Kamu sudah pergi, Lila. Aku ada di sana. Aku melihat semuanya,” katanya, suaranya pecah di ujung kalimat.


“Dan kamu merasa bersalah sejak saat itu,” Lila menimpali, dengan nada yang tidak menyalahkan. “Aku ada di sini bukan untuk membuatmu bertanya-tanya, Randi. Aku ingin kamu memahami sesuatu.”


“Apa yang harus kupahami?” tanya Randi, dengan putus asa. “Aku kehilanganmu. Aku tidak bisa membawamu kembali. Hidupku berhenti di hari itu, Lila.”


Lila tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan di matanya. “Hidup tidak pernah berhenti, Randi. Hanya kamu yang memutuskan untuk berhenti berjalan.”


Kata-kata itu menggema dalam pikiran Randi. Ia ingin menyangkalnya, tetapi tidak bisa. Ia mengalihkan pandangannya ke figura di atas meja, dan untuk sesaat, ia merasa kenangan itu berputar di depan matanya, seperti film lama yang terproyeksi ke dinding kosong.

***


Hari itu, hujan juga turun. Ia baru saja pulang dari sekolah ketika suara ketukan keras di pintu rumahnya menggelegar, seperti ancaman yang datang tanpa peringatan. Seorang pria berseragam militer berdiri di sana, dengan wajah memerah karena amarah.


“Kamu Randi, guru anak saya?” tanya pria itu dengan nada yang hampir menyerupai gertakan.


Randi mengangguk. “Benar. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”


Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia langsung mencengkeram kerah baju Randi. “Kamu berani-beraninya menampar anak saya di depan teman-temannya? Siapa kamu berpikir kamu ini?”


Randi mencoba menjelaskan. “Anak Anda memukul temannya di kelas. Saya hanya ingin mengajarkan disiplin...”


“Disiplin?!” Pria itu membentak. “Kamu pikir kamu punya hak untuk menyentuh anak saya? Saya akan pastikan kamu membayar untuk ini!”


Saat itu, Lila muncul dari dalam rumah. “Tolong, tenang,” katanya, mencoba menenangkan pria itu. Tetapi amarah pria itu sudah di luar kendali. Ia mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan mengarahkannya ke Randi.


“Jangan lakukan ini,” pinta Lila, dengan nada memohon.


Pria itu tidak menjawab. Tangannya bergetar, tetapi jari-jarinya semakin menekan pelatuk. Lila, tanpa berpikir panjang, melangkah maju, berdiri di antara mereka.


Tembakan itu menggema di udara, menembus dada Lila. Randi berteriak, menangkap tubuh Lila yang terjatuh. Darah membasahi bajunya, dan Lila menatapnya dengan mata yang mulai kehilangan cahaya. “Aku mencintaimu, Randi,” bisiknya sebelum napas terakhirnya terhenti.

***


Kembali ke saat ini, air mata mengalir di pipi Randi. “Aku tidak bisa melupakan itu, Lila. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.”


Lila memandangnya dengan tatapan penuh kasih. “Kamu tidak perlu melupakan, Randi. Kamu hanya perlu menerima. Apa yang terjadi hari itu bukan salahmu. Kamu harus berhenti menghukum dirimu sendiri.”


Randi terdiam. Kata-kata Lila masuk ke dalam dirinya, seperti pelita kecil yang menerangi kegelapan panjang. Ia menatap Lila, tetapi sosok itu mulai memudar. “Lila, jangan pergi,” pintanya, dengan nada putus asa.


Lila tersenyum untuk terakhir kalinya. “Aku tidak pernah benar-benar pergi, Randi. Aku akan selalu ada di sini,” katanya, sambil menyentuh dada Randi. “Di hatimu.”


Ketika Randi membuka matanya, ia duduk sendirian di ruang tamu. Figura foto itu masih ada di meja, dengan kaca yang retak memantulkan bayangannya sendiri. Tetapi kali ini, ia merasa berbeda. Ada rasa tenang yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun.


Hujan di luar mulai reda, dan matahari pagi perlahan muncul di cakrawala. Randi tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi ia bisa mencoba melangkah ke depan. Untuk dirinya sendiri, dan untuk Lila.


Dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum.***


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now