Cerpen: Syamsul Kurniawan
Hujan mengguyur deras, menciptakan gemuruh
lembut di atas atap seng yang mulai berkarat. Di ruang sempit dengan penerangan
lampu kuning buram, Randi duduk memandangi figura foto yang kaca retaknya
memantulkan bayangan wajahnya yang suram. Dalam foto itu, ia dan Lila
tersenyum, sebuah kebahagiaan yang terasa seperti mimpi yang hampir dilupakan.
“Kamu masih memikirkan itu?” Suara lembut
terdengar dari belakangnya. Randi menoleh perlahan. Lila berdiri di sana,
dengan gaun putih sederhana yang tampak familiar. Mata Randi membelalak.
“Lila...” gumamnya pelan. “Kamu… kamu di
sini?”
Lila tersenyum, melangkah mendekatinya, lalu
duduk di kursi kayu di seberang meja. “Aku selalu di sini, Randi. Aku tidak
pernah pergi,” jawabnya lembut, seolah itu adalah fakta sederhana yang tak
perlu diragukan.
Randi memandang Lila dengan campuran kerinduan
dan keterkejutan. “Tapi… aku ingat, aku…” Ia menghentikan kata-katanya, menelan
kepedihan yang menyesakkan dada.
Lila mengangkat tangannya, memberi isyarat
agar Randi diam. “Tidak perlu menjelaskan apa-apa,” katanya. “Aku tahu apa yang
kamu rasakan.”
Randi menggeleng, mencoba mengusir bayangan
yang mulai terasa terlalu nyata. “Ini pasti hanya halusinasi. Kamu sudah pergi,
Lila. Aku ada di sana. Aku melihat semuanya,” katanya, suaranya pecah di ujung
kalimat.
“Dan kamu merasa bersalah sejak saat itu,”
Lila menimpali, dengan nada yang tidak menyalahkan. “Aku ada di sini bukan
untuk membuatmu bertanya-tanya, Randi. Aku ingin kamu memahami sesuatu.”
“Apa yang harus kupahami?” tanya Randi, dengan
putus asa. “Aku kehilanganmu. Aku tidak bisa membawamu kembali. Hidupku
berhenti di hari itu, Lila.”
Lila tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan di
matanya. “Hidup tidak pernah berhenti, Randi. Hanya kamu yang memutuskan untuk
berhenti berjalan.”
Kata-kata itu menggema dalam pikiran Randi. Ia
ingin menyangkalnya, tetapi tidak bisa. Ia mengalihkan pandangannya ke figura
di atas meja, dan untuk sesaat, ia merasa kenangan itu berputar di depan
matanya, seperti film lama yang terproyeksi ke dinding kosong.
***
Hari itu, hujan juga turun. Ia baru saja
pulang dari sekolah ketika suara ketukan keras di pintu rumahnya menggelegar,
seperti ancaman yang datang tanpa peringatan. Seorang pria berseragam militer
berdiri di sana, dengan wajah memerah karena amarah.
“Kamu Randi, guru anak saya?” tanya pria itu
dengan nada yang hampir menyerupai gertakan.
Randi mengangguk. “Benar. Ada yang bisa saya
bantu, Pak?”
Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia
langsung mencengkeram kerah baju Randi. “Kamu berani-beraninya menampar anak
saya di depan teman-temannya? Siapa kamu berpikir kamu ini?”
Randi mencoba menjelaskan. “Anak Anda memukul
temannya di kelas. Saya hanya ingin mengajarkan disiplin...”
“Disiplin?!” Pria itu membentak. “Kamu pikir
kamu punya hak untuk menyentuh anak saya? Saya akan pastikan kamu membayar
untuk ini!”
Saat itu, Lila muncul dari dalam rumah.
“Tolong, tenang,” katanya, mencoba menenangkan pria itu. Tetapi amarah pria itu
sudah di luar kendali. Ia mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan
mengarahkannya ke Randi.
“Jangan lakukan ini,” pinta Lila, dengan nada
memohon.
Pria itu tidak menjawab. Tangannya bergetar,
tetapi jari-jarinya semakin menekan pelatuk. Lila, tanpa berpikir panjang,
melangkah maju, berdiri di antara mereka.
Tembakan itu menggema di udara, menembus dada
Lila. Randi berteriak, menangkap tubuh Lila yang terjatuh. Darah membasahi
bajunya, dan Lila menatapnya dengan mata yang mulai kehilangan cahaya. “Aku
mencintaimu, Randi,” bisiknya sebelum napas terakhirnya terhenti.
***
Kembali ke saat ini, air mata mengalir di pipi
Randi. “Aku tidak bisa melupakan itu, Lila. Aku tidak bisa memaafkan diriku
sendiri.”
Lila memandangnya dengan tatapan penuh kasih.
“Kamu tidak perlu melupakan, Randi. Kamu hanya perlu menerima. Apa yang terjadi
hari itu bukan salahmu. Kamu harus berhenti menghukum dirimu sendiri.”
Randi terdiam. Kata-kata Lila masuk ke dalam
dirinya, seperti pelita kecil yang menerangi kegelapan panjang. Ia menatap
Lila, tetapi sosok itu mulai memudar. “Lila, jangan pergi,” pintanya, dengan
nada putus asa.
Lila tersenyum untuk terakhir kalinya. “Aku
tidak pernah benar-benar pergi, Randi. Aku akan selalu ada di sini,” katanya,
sambil menyentuh dada Randi. “Di hatimu.”
Ketika Randi membuka matanya, ia duduk
sendirian di ruang tamu. Figura foto itu masih ada di meja, dengan kaca yang
retak memantulkan bayangannya sendiri. Tetapi kali ini, ia merasa berbeda. Ada
rasa tenang yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun.
Hujan di luar mulai reda, dan matahari pagi
perlahan muncul di cakrawala. Randi tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa
lalu, tetapi ia bisa mencoba melangkah ke depan. Untuk dirinya sendiri, dan
untuk Lila.
Dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum.***