Iklan

Menyelaraskan Ajaran Agama dengan Perubahan Zaman

syamsul kurniawan
Monday, January 13, 2025
Last Updated 2025-01-15T04:39:33Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates




Oleh: Syamsul Kurniawan


Perubahan zaman sering kali dianggap sebagai tantangan besar bagi agama, terutama dalam menghadapi modernitas yang terus berkembang. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, agama harus mampu beradaptasi dengan dinamika zaman tanpa kehilangan esensinya. Menurut Madjid, Islam adalah agama yang sangat fleksibel dan dapat berinteraksi dengan berbagai konteks sosial, politik, dan budaya. Agama Islam, yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis, berisi nilai-nilai moral dan etika yang universal dan relevan sepanjang waktu. Namun, tantangan muncul ketika interpretasi teks-teks suci ini menghadapi realitas sosial yang terus berubah. Hal ini memerlukan pendekatan yang lebih kritis terhadap teks, yang dapat diselaraskan dengan kebutuhan zaman, tanpa mereduksi substansi ajaran itu sendiri.


Salah satu landasan untuk memahami relevansi ajaran agama dalam menghadapi perubahan zaman adalah dengan mengadopsi pendekatan seperti yang diajukan oleh Fazlur Rahman melalui teori double movement. Rahman mengemukakan bahwa dalam memaknai ajaran agama, ada dua gerakan yang saling melengkapi: pertama, pemahaman terhadap teks agama itu sendiri, dan kedua, pemahaman terhadap kondisi sosial, historis, dan kultural yang berkembang. Gerakan pertama mengharuskan umat untuk merujuk pada teks-teks agama sebagai sumber ajaran yang abadi, sementara gerakan kedua mengajak umat untuk memahami teks tersebut dalam konteks zamannya. Teks-teks agama harus dibaca dan diterjemahkan ulang dengan mempertimbangkan realitas zaman sekarang agar tetap relevan dan aplikatif.


Konsep kosmologi dalam Al-Quran adalah contoh konkret bagaimana ajaran agama dapat berinteraksi dengan ilmu pengetahuan modern. Ayat-ayat yang menggambarkan alam semesta, seperti penciptaan langit dan bumi, bukan hanya untuk memperkenalkan manusia kepada Tuhan, tetapi juga mengajak umat untuk merenungkan alam semesta sebagai ciptaan yang dinamis. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan dan agama seharusnya tidak dipertentangkan, tetapi sebaliknya, harus saling melengkapi. Dalam pandangan Madjid, alam semesta adalah wahana pembelajaran yang terbuka dan terus berkembang. Oleh karena itu, umat Islam seharusnya tidak hanya menerima pengetahuan ilmiah, tetapi juga menggunakannya untuk memperkuat pemahaman spiritual dan moral. Dalam konteks ini, Islam tidak mengajarkan stagnasi, melainkan pemahaman yang terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Dimensi antropologis dalam Al-Quran juga memberikan petunjuk penting mengenai bagaimana manusia harus berinteraksi dengan dunia di sekitarnya. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat tinggi, diciptakan dengan fitrah yang suci dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan di bumi. Islam mengajarkan nilai-nilai moral yang sangat relevan dalam kehidupan sosial, seperti kasih sayang, keadilan, dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Namun, di tengah globalisasi dan perubahan sosial yang begitu cepat, tantangan terbesar adalah bagaimana manusia dapat menjaga martabatnya tanpa kehilangan jati dirinya. Dalam pandangan Madjid, Islam harus memberikan panduan moral untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang semakin kompleks, seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan ketimpangan kekuasaan.


Islam juga mengajarkan konsep hukum yang tidak hanya berkaitan dengan aturan yang harus diikuti, tetapi lebih kepada prinsip keadilan dan kemaslahatan umat. Dalam konteks ini, hukum Islam harus dilihat sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan sosial. Madjid berpendapat bahwa hukum harus dipahami secara dinamis, sesuai dengan kondisi masyarakat yang berkembang. Sebagai contoh, prinsip-prinsip seperti maslahah (kemaslahatan) dan istihsan (penjurusan hukum ke arah yang lebih adil) harus dijadikan pedoman dalam menginterpretasi hukum-hukum agama. Hal ini relevan dalam konteks double movement, di mana hukum harus dibaca tidak hanya dari teks agama yang statis, tetapi juga dalam kerangka kebutuhan dan tantangan zaman yang terus berubah. Hukum yang terlalu kaku dan tidak responsif terhadap dinamika sosial akan kehilangan relevansinya dan bahkan dapat menimbulkan ketidakadilan.


Salah satu aspek penting dalam ajaran agama adalah bagaimana dimensi kemanusiaan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Islam tidak hanya berfokus pada kehidupan spiritual, tetapi juga pada bagaimana umat berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungan. Dalam hal ini, agama Islam memberikan petunjuk yang jelas tentang pentingnya menghargai sesama, berbuat adil, dan menjaga keharmonisan sosial. Madjid mengajarkan bahwa agama harus menghubungkan antara dimensi spiritual dan material. Dengan kata lain, ajaran agama harus mampu membimbing umat dalam menjalani kehidupan yang produktif, adil, dan penuh kasih sayang. Dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks, ajaran agama harus mampu memberikan panduan moral yang bersifat humanis dan progresif.


Masyarakat Salaf, yang dikaji oleh Madjid dan Rahman, adalah contoh bagaimana etika dan moralitas menjadi dasar bagi interaksi sosial. Masyarakat ini menekankan nilai-nilai seperti keadilan, kasih sayang, dan saling menghormati. Dalam menghadapi dinamika zaman yang semakin cepat, nilai-nilai etika ini harus tetap menjadi fondasi dalam kehidupan masyarakat Islam. Namun, pemahaman terhadap ajaran agama harus dilakukan dengan cara yang memungkinkan ajaran-ajaran tersebut dapat diterapkan dalam konteks sosial yang baru. Menangkap kembali dinamika Islam klasik bukan berarti kembali ke masa lalu, tetapi bagaimana nilai-nilai etika tersebut dapat diterjemahkan dengan cara yang lebih relevan untuk menghadapi persoalan-persoalan sosial yang muncul di zaman sekarang.


Kemaslahatan umat adalah prinsip penting dalam ajaran Islam. Ketentuan-ketentuan agama seharusnya tidak dilihat sebagai aturan yang kaku dan mengikat, tetapi sebagai panduan yang fleksibel yang dapat disesuaikan dengan kondisi zaman. Madjid menekankan bahwa pemahaman terhadap ketentuan agama harus berfokus pada upaya untuk mencapai kesejahteraan umat. Dalam hal ini, hukum Islam harus dilihat sebagai alat untuk memajukan kesejahteraan sosial dan bukan sebagai pembatas kebebasan individu. Dalam kerangka double movement, Rahman mengajak umat Islam untuk memahami teks-teks agama dengan mempertimbangkan konteks sosial yang ada. Hukum agama, ketika diterjemahkan dengan cara yang tepat, dapat menciptakan kemaslahatan bagi umat.


Salah satu tantangan terbesar dalam menghadapi modernitas adalah bagaimana menjaga etos kerja yang sesuai dengan ajaran agama. Etos kerja dalam Islam mengajarkan pentingnya kerja keras, kejujuran, dan tanggung jawab. Islam memandang kerja sebagai ibadah yang harus dilakukan dengan penuh integritas. Madjid menekankan bahwa etos kerja harus dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab sosial untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, Rahman mengingatkan bahwa etos kerja tidak hanya berbicara tentang upaya individual, tetapi juga tentang bagaimana kerja tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Islam mengajarkan agar setiap individu bekerja untuk kemaslahatan umat, dan bukan sekadar untuk keuntungan pribadi.


Radikalisasi dalam Islam adalah persoalan serius yang muncul akibat pemahaman agama yang sempit dan tidak kontekstual. Madjid berpendapat bahwa ajaran Islam yang benar adalah ajaran yang mengedepankan kedamaian, toleransi, dan kasih sayang. Radikalisasi terjadi ketika pemahaman agama dipersempit hanya pada aspek teks dan tidak melibatkan refleksi sosial yang lebih luas. Rahman, dengan pendekatan double movement, menekankan pentingnya kembali kepada ajaran-ajaran dasar yang mengedepankan kedamaian dan saling menghormati. Agama harus diartikan sebagai sumber kedamaian, bukan kekerasan.


Dalam konteks politik, Islam mengajarkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk keadilan dan kemaslahatan umat. Madjid menegaskan bahwa pemimpin dalam Islam haruslah seseorang yang mengedepankan moralitas dalam setiap keputusan yang diambil. Dalam kerangka double movement, Rahman mengajak umat untuk memandang politik Islam sebagai upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip moral yang universal dalam dunia yang semakin plural. Politik Islam tidak hanya berbicara tentang pemerintahan, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan harus digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.


Ajaran Islam mengenai pelestarian alam menunjukkan bahwa Islam memandang hubungan antara manusia dan alam sebagai hubungan yang sangat penting. Alam adalah ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara. Madjid mengajarkan bahwa manusia sebagai khalifah di bumi memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam. Dalam konteks perubahan zaman, teknologi dan kemajuan ilmiah dapat digunakan untuk melestarikan alam, asalkan digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab. Rahman menekankan bahwa agama harus dilihat sebagai panduan untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, dan bukan sebagai pembatas bagi kemajuan teknologi.


Islam di tengah globalisasi menuntut umat untuk menjaga identitas keagamaan mereka sambil tetap terbuka terhadap perubahan. Madjid berpendapat bahwa globalisasi bukanlah ancaman bagi Islam, tetapi kesempatan untuk memperkenalkan nilai-nilai Islam yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam perspektif double movement, Rahman menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara mempertahankan prinsip-prinsip agama dan beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi. Globalisasi membawa perubahan sosial dan budaya yang sangat cepat, namun ajaran agama Islam yang bersifat universal tetap dapat menjadi panduan hidup yang relevan dalam dunia yang semakin terhubung ini. Islam, dalam pandangan Rahman, harus menjadi sumber inspirasi bagi umat manusia dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks, seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan ketegangan antarbudaya.


Adanya kesenjangan sosial yang semakin lebar di tengah kemajuan teknologi dan ekonomi global juga memerlukan perhatian lebih dari umat Islam. Ajaran Islam mengajarkan prinsip keadilan sosial yang menekankan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya. Madjid berpendapat bahwa masalah-masalah seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial harus ditangani dengan pendekatan yang berbasis pada ajaran agama. Dalam hal ini, zakat dan sedekah bukan hanya dimaknai sebagai kewajiban individual, tetapi juga sebagai instrumen untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Dalam kerangka double movement, Rahman mengajak umat Islam untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam kebijakan publik dan ekonomi, sehingga dapat tercipta masyarakat yang inklusif dan berpihak pada yang lemah.


Pemahaman terhadap ajaran agama yang fleksibel dan kontekstual ini juga dapat diterapkan dalam menghadapi kemajuan teknologi. Islam tidak anti terhadap kemajuan teknologi, selama teknologi tersebut digunakan untuk kebaikan umat manusia. Madjid menekankan bahwa teknologi harus dimanfaatkan untuk mendukung tercapainya kemaslahatan bersama, bukan hanya untuk kepentingan individu atau segelintir kelompok. Dalam hal ini, Rahman mengingatkan bahwa teknologi harus dilihat sebagai alat untuk memperbaiki kualitas hidup, memberantas kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks zaman yang serba digital dan terhubung ini, Islam harus mampu menunjukkan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mewujudkan tujuan-tujuan moral dan sosial yang lebih besar.


Keseluruhan ajaran agama Islam, menurut Madjid, tidak hanya bertujuan untuk mendekatkan umat kepada Tuhan, tetapi juga untuk menciptakan tatanan sosial yang adil, damai, dan sejahtera. Dalam menghadapi zaman yang terus berubah, umat Islam harus terus berupaya untuk menjaga keseimbangan antara memegang teguh prinsip agama dan menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul. Agama harus tetap menjadi sumber moralitas, tetapi juga harus mampu menanggapi dinamika sosial dan kultural yang terus berkembang. Dengan memahami ajaran agama secara kontekstual, umat Islam dapat menjalani kehidupan yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat luas, untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua umat manusia.


Pada akhirnya, agama bukanlah sesuatu yang statis dan terisolasi dari perubahan zaman, melainkan sesuatu yang hidup dan terus berkembang seiring dengan perjalanan umat manusia itu sendiri. Ajaran agama harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman, tetapi tetap memegang teguh nilai-nilai moral dan etika yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, ajaran agama tidak hanya relevan, tetapi juga menjadi kekuatan yang mengarahkan umat manusia menuju kebaikan bersama, selaras dengan perubahan zaman yang terus berkembang.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now