Oleh: Syamsul Kurniawan
Seiring waktu, kita sering terjebak
dalam pusaran hiruk-pikuk kehidupan yang membuat kita lupa akan makna dari
sebuah tindakan sederhana. Seperti dedaunan yang tak terhitung jumlahnya di
hutan, kebiasaan kecil yang kita lakukan setiap hari mungkin tampak sepele.
Namun, jika diteliti lebih dalam, kita akan menemukan bahwa kebiasaan-kebiasaan
itu ibarat benih yang ditanam di tanah kesadaran kita, yang kelak akan tumbuh
menjadi pohon-pohon besar dengan akar kuat di dalam jiwa.
Dalam rangka menghargai keragaman yang
kita miliki di negeri ini, buku "Moderasi Beragama: Tanggapan Atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya" karya Lukman
Hakim Saifuddin menghadirkan pintu gerbang untuk memahami pentingnya pendidikan
moderasi beragama sebagai sebuah kebiasaan yang terintegrasi dalam keseharian.
Gambaran jelas yang disampaikan Saifuddin mengajak kita untuk merefleksikan
bagaimana kebiasaan kecil yang kita tanam dalam interaksi sehari-hari dapat
membuahkan hasil yang sarat dengan nilai toleransi dan saling menghormati.
Apa yang bisa dilakukan dunia pendidikan?
Lanskap pendidikan moderasi beragama di
Indonesia, tentu bukan sekadar ruang kelas formal. Melainkan, ia adalah lahan
yang membutuhkan pengelolaan yang baik, di mana pelajaran tentang toleransi dan
moderasi harus ditanamkan dengan penuh kasih sayang. Di sinilah peran guru agama
menjadi sangat vital; mereka bukan hanya sekadar pengajar, melainkan juga
penanam nilai yang tangguh. Kebiasaan untuk menghormati perbedaan semestinya
dimulai dari ruang kelas, tempat di mana anak-anak dari berbagai latar belakang
berkumpul.
James Clear dalam bukunya "Atomic
Habits" menawarkan cara pandang baru yang dapat dipinjam untuk meninjau
gagasan Saifuddin. Clear menerangkan bahwa kebiasaan kecil, yang dilakukan
secara konsisten, dapat membawa dampak yang begitu besar.
Dalam hal ini, kebiasaan moderasi agama
jelas bukanlah sebuah pencapaian instan, melainkan suatu perjalanan panjang
yang dimulai dari langkah-langkah kecil yang terencana. Sama seperti penanaman
benih, guru agama dapat mengajarkan kepada siswa untuk menghargai perbedaan
dengan mengajak mereka berdiskusi, berbagi pandangan, dan memaparkan pendapat
satu sama lain dengan rasa saling menghormati. Ketika siswa dilatih untuk
terbuka dan berani mengemukakan pendapat, mereka dengan sendirinya akan
menyadari bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan sebuah warna yang
memperindah dan memperkaya kehidupan.
"Design environment" atau
desain lingkungan juga menjadi pokok penting dalam pembangunan kebiasaan ini. Sekolah
dengan demikian perlu menciptakan suasana yang kondusif bagi pengembangan sikap
moderat, sikap yang disarankan oleh Saifuddin pada bukunya. Kegiatan lintas
agama yang dihelat di lingkungan sekolah menjadi langkah konkret untuk
menyatukan berbagai latar belakang siswa, memberikan mereka pengalaman langsung
tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai.
Kegiatan seperti diskusi lintas agama,
kunjungan ke rumah ibadah, atau kegiatan sosial bersama tidak hanya memperkaya
pengetahuan siswa, tetapi juga mengajarkan mereka untuk memahami dan menghargai
perbedaan. Dalam konteks pendidikan moderasi beragama, kegiatan-kegiatan ini
adalah cara yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan sikap
terbuka.
Robert K. Merton menjelaskan bahwa jika
nilai-nilai moderasi tidak diinternalisasi, potensi konflik dapat muncul di
kemudian hari. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural, kebutuhan untuk
menanamkan moderasi beragama menjadi semakin mendesak. Dengan mengintegrasikan
pendidikan moderasi beragama ke dalam kehidupan sehari-hari, kita membekali
generasi penerus dengan kemampuan untuk mengelola perbedaan secara lebih baik.
Ini selaras dengan konsep “ketahanan
sosial”, di mana anak-anak perlu dipersiapkan untuk menjadi individu yang mampu
beradaptasi dengan keragaman. Tanpa pengetahuan dan sikap moderat, mereka
mungkin akan terjebak dalam konflik antarkelompok yang dapat berdampak buruk
pada stabilitas sosial.
Dalam konteks Merdeka Belajar, di mana
siswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi potensi mereka, pendidikan
moderasi beragama seharusnya menjadi bagian integral dari pengalaman belajar.
Guru agama tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga
sebagai fasilitator yang mendorong siswa untuk aktif berpartisipasi dalam
diskusi dan kegiatan lintas agama.
Keberhasilan dalam membangun sikap
moderat tidak hanya bergantung pada kurikulum yang diajarkan, tetapi juga pada
keteladanan yang ditunjukkan oleh para pendidik. Dalam hal ini, guru agama yang
mencerminkan sikap moderat dalam keseharian mereka akan membentuk karakter
siswa yang mampu bertindak adil dan bijaksana.
Investasi yang tidak bisa diabaikan
Moderasi beragama, seperti yang
dikhawatirkan Saifuddin pada bukunya, adalah sebuah investasi yang tidak bisa
diabaikan. Dalam ranah dunia pendidikan, anak-anak yang dididik dengan
nilai-nilai moderasi sejak dini akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya
mengenal dan menjalankan agama mereka dengan baik, tetapi juga menghargai
keyakinan orang lain. Ini adalah langkah preventif untuk menciptakan masyarakat
yang harmonis dan damaï.
Keberagaman Indonesia yang menakjubkan
adalah bagaikan taman yang beraneka warna. Tanpa pengetahuan dan sikap moderat,
taman itu berpotensi menjadi ladang konflik. Sebaliknya, dengan pendidikan
moderasi beragama, kita dapat membangun fondasi kebersamaan yang kokoh, di mana
setiap individu berperan sebagai penjaga keindahan dan keharmonisan.
Saifuddin mengingatkan kita dalam
bukunya bahwa moderasi beragama bukanlah sekadar teori, melainkan sebuah
praktik yang harus terus-menerus dilakukan dan dipelihara. Dengan menjaga
keberlanjutan pola ini, kita dapat memastikan bahwa sikap moderat akan terus
hidup dan berkembang, tidak hanya di dalam diri individu, tetapi juga dalam
masyarakat yang lebih luas.
Buku "Moderasi Beragama" karya
Lukman Hakim Saifuddin mengajak kita untuk merenungkan kembali pentingnya
membangun karakter moderat dalam beragama di tengah keragaman yang kita miliki.
Seperti aliran sungai yang mengalir tenang dan mengajak segala hal di
sekitarnya untuk hidup berdampingan, moderasi beragama akan menciptakan
generasi yang memiliki ketahanan moral dan spiritual yang kuat, siap menghadapi
tantangan zaman dengan hati yang lapang.
Mari kita renungkan betapa pentingnya
menanamkan kebiasaan moderat dalam sikap dan perilaku beragama kita, sehingga
anak-anak kita dapat tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya memahami agama,
tetapi juga mengamalkan nilai-nilai kebersamaan dan perdamaian. Kita semua
memiliki peran dalam mewujudkan dunia yang lebih harmonis melalui kebiasaan
sederhana yang kita ciptakan bersama.***