Iklan

Menggali Kebiasaan Moderasi Beragama

syamsul kurniawan
Sunday, January 19, 2025
Last Updated 2025-01-27T04:46:12Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Seiring waktu, kita sering terjebak dalam pusaran hiruk-pikuk kehidupan yang membuat kita lupa akan makna dari sebuah tindakan sederhana. Seperti dedaunan yang tak terhitung jumlahnya di hutan, kebiasaan kecil yang kita lakukan setiap hari mungkin tampak sepele. Namun, jika diteliti lebih dalam, kita akan menemukan bahwa kebiasaan-kebiasaan itu ibarat benih yang ditanam di tanah kesadaran kita, yang kelak akan tumbuh menjadi pohon-pohon besar dengan akar kuat di dalam jiwa.

 

Dalam rangka menghargai keragaman yang kita miliki di negeri ini, buku "Moderasi Beragama: Tanggapan Atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya" karya Lukman Hakim Saifuddin menghadirkan pintu gerbang untuk memahami pentingnya pendidikan moderasi beragama sebagai sebuah kebiasaan yang terintegrasi dalam keseharian. Gambaran jelas yang disampaikan Saifuddin mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana kebiasaan kecil yang kita tanam dalam interaksi sehari-hari dapat membuahkan hasil yang sarat dengan nilai toleransi dan saling menghormati.

 

Apa yang bisa dilakukan dunia pendidikan?


Lanskap pendidikan moderasi beragama di Indonesia, tentu bukan sekadar ruang kelas formal. Melainkan, ia adalah lahan yang membutuhkan pengelolaan yang baik, di mana pelajaran tentang toleransi dan moderasi harus ditanamkan dengan penuh kasih sayang. Di sinilah peran guru agama menjadi sangat vital; mereka bukan hanya sekadar pengajar, melainkan juga penanam nilai yang tangguh. Kebiasaan untuk menghormati perbedaan semestinya dimulai dari ruang kelas, tempat di mana anak-anak dari berbagai latar belakang berkumpul.

 

James Clear dalam bukunya "Atomic Habits" menawarkan cara pandang baru yang dapat dipinjam untuk meninjau gagasan Saifuddin. Clear menerangkan bahwa kebiasaan kecil, yang dilakukan secara konsisten, dapat membawa dampak yang begitu besar.

 

Dalam hal ini, kebiasaan moderasi agama jelas bukanlah sebuah pencapaian instan, melainkan suatu perjalanan panjang yang dimulai dari langkah-langkah kecil yang terencana. Sama seperti penanaman benih, guru agama dapat mengajarkan kepada siswa untuk menghargai perbedaan dengan mengajak mereka berdiskusi, berbagi pandangan, dan memaparkan pendapat satu sama lain dengan rasa saling menghormati. Ketika siswa dilatih untuk terbuka dan berani mengemukakan pendapat, mereka dengan sendirinya akan menyadari bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan sebuah warna yang memperindah dan memperkaya kehidupan.

 

"Design environment" atau desain lingkungan juga menjadi pokok penting dalam pembangunan kebiasaan ini. Sekolah dengan demikian perlu menciptakan suasana yang kondusif bagi pengembangan sikap moderat, sikap yang disarankan oleh Saifuddin pada bukunya. Kegiatan lintas agama yang dihelat di lingkungan sekolah menjadi langkah konkret untuk menyatukan berbagai latar belakang siswa, memberikan mereka pengalaman langsung tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai.

 

Kegiatan seperti diskusi lintas agama, kunjungan ke rumah ibadah, atau kegiatan sosial bersama tidak hanya memperkaya pengetahuan siswa, tetapi juga mengajarkan mereka untuk memahami dan menghargai perbedaan. Dalam konteks pendidikan moderasi beragama, kegiatan-kegiatan ini adalah cara yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan sikap terbuka.

 

Robert K. Merton menjelaskan bahwa jika nilai-nilai moderasi tidak diinternalisasi, potensi konflik dapat muncul di kemudian hari. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural, kebutuhan untuk menanamkan moderasi beragama menjadi semakin mendesak. Dengan mengintegrasikan pendidikan moderasi beragama ke dalam kehidupan sehari-hari, kita membekali generasi penerus dengan kemampuan untuk mengelola perbedaan secara lebih baik.

 

Ini selaras dengan konsep “ketahanan sosial”, di mana anak-anak perlu dipersiapkan untuk menjadi individu yang mampu beradaptasi dengan keragaman. Tanpa pengetahuan dan sikap moderat, mereka mungkin akan terjebak dalam konflik antarkelompok yang dapat berdampak buruk pada stabilitas sosial.

 

Dalam konteks Merdeka Belajar, di mana siswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi potensi mereka, pendidikan moderasi beragama seharusnya menjadi bagian integral dari pengalaman belajar. Guru agama tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai fasilitator yang mendorong siswa untuk aktif berpartisipasi dalam diskusi dan kegiatan lintas agama.

 

Keberhasilan dalam membangun sikap moderat tidak hanya bergantung pada kurikulum yang diajarkan, tetapi juga pada keteladanan yang ditunjukkan oleh para pendidik. Dalam hal ini, guru agama yang mencerminkan sikap moderat dalam keseharian mereka akan membentuk karakter siswa yang mampu bertindak adil dan bijaksana.

 

Investasi yang tidak bisa diabaikan


Moderasi beragama, seperti yang dikhawatirkan Saifuddin pada bukunya, adalah sebuah investasi yang tidak bisa diabaikan. Dalam ranah dunia pendidikan, anak-anak yang dididik dengan nilai-nilai moderasi sejak dini akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya mengenal dan menjalankan agama mereka dengan baik, tetapi juga menghargai keyakinan orang lain. Ini adalah langkah preventif untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damaï.

 

Keberagaman Indonesia yang menakjubkan adalah bagaikan taman yang beraneka warna. Tanpa pengetahuan dan sikap moderat, taman itu berpotensi menjadi ladang konflik. Sebaliknya, dengan pendidikan moderasi beragama, kita dapat membangun fondasi kebersamaan yang kokoh, di mana setiap individu berperan sebagai penjaga keindahan dan keharmonisan.

 

Saifuddin mengingatkan kita dalam bukunya bahwa moderasi beragama bukanlah sekadar teori, melainkan sebuah praktik yang harus terus-menerus dilakukan dan dipelihara. Dengan menjaga keberlanjutan pola ini, kita dapat memastikan bahwa sikap moderat akan terus hidup dan berkembang, tidak hanya di dalam diri individu, tetapi juga dalam masyarakat yang lebih luas.

 

Buku "Moderasi Beragama" karya Lukman Hakim Saifuddin mengajak kita untuk merenungkan kembali pentingnya membangun karakter moderat dalam beragama di tengah keragaman yang kita miliki. Seperti aliran sungai yang mengalir tenang dan mengajak segala hal di sekitarnya untuk hidup berdampingan, moderasi beragama akan menciptakan generasi yang memiliki ketahanan moral dan spiritual yang kuat, siap menghadapi tantangan zaman dengan hati yang lapang.

 

Mari kita renungkan betapa pentingnya menanamkan kebiasaan moderat dalam sikap dan perilaku beragama kita, sehingga anak-anak kita dapat tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya memahami agama, tetapi juga mengamalkan nilai-nilai kebersamaan dan perdamaian. Kita semua memiliki peran dalam mewujudkan dunia yang lebih harmonis melalui kebiasaan sederhana yang kita ciptakan bersama.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now