Iklan

Menata Kurikulum untuk Menghadapi Simulasi dan Hyperreality: Kebutuhan Pendidikan Agama

syamsul kurniawan
Friday, January 3, 2025
Last Updated 2025-01-05T05:50:21Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
Ilustrasi (Sumber: www.islamkaffah.id)

Oleh: Syamsul Kurniawan


Di era digital saat ini, Indonesia menyaksikan ledakan pengguna internet yang sangat signifikan. Berdasarkan data terbaru dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221 juta orang. Lebih dari 80% populasi Indonesia kini terhubung ke internet, menghadapi arus informasi yang melimpah setiap harinya. Kemudahan akses informasi ini tidak selalu memberikan manfaat, terutama ketika disinformasi, hoaks, dan manipulasi data semakin beredar luas di dunia maya. Konteks ini membawa kita pada tantangan besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam, yang harus mampu memberikan bekal tidak hanya pengetahuan agama, tetapi juga keterampilan berpikir kritis.

 

Dalam menghadapi derasnya informasi, terutama informasi yang bersifat menyesatkan, kita dihadapkan pada fenomena yang oleh Jean Baudrillard (1994) disebut sebagai “simulasi” dan “hyperreality”. Baudrillard menguraikan bagaimana realitas dapat dipalsukan melalui representasi yang sangat mirip dengan kenyataan, namun sesungguhnya telah terputus dari akar kebenaran. Di era internet, simulasi ini muncul dalam bentuk disinformasi yang kerap kali memanipulasi realitas, sehingga memunculkan sebuah dunia hiperrealitas, di mana yang benar dan yang palsu sulit dibedakan. Dalam konteks ini, penting untuk membekali generasi muda dengan kemampuan berpikir kritis melalui pendidikan agama Islam.

 

Pendidikan agama, yang selama ini sering diidentikkan dengan pengajaran nilai-nilai moral dan ajaran normatif, harus berkembang menjadi lebih kritis dan kontekstual. Kurikulum pendidikan agama Islam harus mampu menyentuh aspek-aspek berpikir kritis sehingga peserta didik tidak hanya terampil dalam memahami ajaran agama, tetapi juga mampu menelaah, menganalisis, dan menyaring informasi yang beredar. Hal ini menjadi semakin relevan ketika kita memahami bahwa generasi muda saat ini—yang sebagian besar hidup dalam dunia digital—sangat rentan terhadap jebakan informasi palsu.

 

Teknologi sebagai "Sentuhan Midas" Abad Ini

 

Dalam menggali lebih dalam tentang dampak teknologi, ada satu cerita yang memberikan pelajaran relevan bagi kita di abad ini: “Tragedi Raja Midas”. Kisah Midas, seorang raja yang berambisi memiliki kekuatan mengubah segala yang disentuhnya menjadi emas, adalah perumpamaan yang kuat tentang obsesi dan konsekuensinya. Awalnya, Midas memandang emas sebagai lambang kekayaan dan kekuasaan, sesuatu yang ia anggap mampu membawa kebahagiaan tanpa batas. Namun, saat setiap sentuhannya mengubah benda, makanan, dan bahkan orang yang dicintainya menjadi emas, Midas menyadari bahwa hadiah yang diinginkannya justru menjadi kutukan yang menyengsarakan.

 

Kisah ini seakan menggemakan “dilema abad ini”. Teknologi digital dan internet adalah "emas" yang diimpikan oleh manusia modern—sebuah alat yang menjanjikan efisiensi, kemudahan, dan kekayaan informasi. Namun, seperti Raja Midas, yang terjebak dalam akibat dari keinginannya sendiri, kita juga mungkin terperangkap dalam jebakan teknologi yang kita puja. Kemudahan akses informasi yang disediakan oleh internet juga datang dengan dampak negatif: kecemasan sosial, alienasi, serta arus informasi yang menyesatkan dan merusak. Alih-alih membawa kita lebih dekat dengan kebenaran, teknologi, seperti sentuhan Midas, justru sering kali mengasingkan kita dari realitas yang sesungguhnya.

 

Jean Baudrillard, dengan teorinya tentang “simulasi” dan “hyperreality”, membantu kita memahami fenomena ini. Di era digital, kita terpapar pada representasi realitas yang telah terputus dari kebenaran aslinya—simulasi yang menciptakan dunia hiperrealitas, di mana kita sering kali kesulitan membedakan antara yang nyata dan yang palsu. Teknologi, seperti emas bagi Midas, tampak menggiurkan dan bermanfaat, tetapi tanpa kemampuan untuk berpikir kritis, kita berisiko terjebak dalam realitas yang palsu, di mana informasi menjadi kabur dan kebenaran menjadi sulit dijangkau.

 

Kisah Midas dan teori Baudrillard memberi kita perspektif penting dalam memahami kondisi pendidikan saat ini. Di tengah derasnya arus teknologi dan informasi, peserta didik tidak boleh hanya menjadi konsumen pasif yang menerima segala sesuatu tanpa berpikir kritis. Teknologi, meskipun membawa banyak manfaat, tidak bisa diandalkan sepenuhnya tanpa pemahaman yang mendalam dan analisis kritis terhadap informasi yang disediakan. Kurikulum pendidikan agama Islam memiliki peran penting dalam mempersiapkan generasi muda untuk mampu berpikir secara mandiri, kritis, dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang menyesatkan.

 

Pendidikan Agama di Era Simulasi

 

Kurikulum pendidikan adalah tulang punggung dari proses pembelajaran yang terstruktur. Para ahli menyebutkan bahwa “kurikulum adalah jantung pendidikan”. Ini tidak hanya berlaku dalam ranah pendidikan umum, tetapi juga dalam pendidikan agama Islam. Kurikulum harus dirancang sedemikian rupa agar peserta didik mendapatkan pembelajaran yang komprehensif, tidak hanya mencakup aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Di sini, pembelajaran agama Islam tidak hanya harus mengajarkan nilai-nilai akhlak dan keimanan, tetapi juga cara berpikir kritis dan reflektif.

 

Saat ini, pembelajaran agama yang terlalu dogmatis tanpa memberikan ruang untuk diskusi atau kritik tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman. Seperti yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard dalam teorinya, simulasi telah melahirkan “hyperreality”, sebuah dunia di mana batas antara yang nyata dan yang palsu menjadi semakin tipis. Di sinilah tantangan bagi pendidikan agama Islam untuk menyusun kurikulum yang mampu mengatasi tantangan ini. Kurikulum harus berfokus pada pembentukan keterampilan berpikir kritis agar peserta didik mampu menavigasi dunia digital yang penuh dengan jebakan informasi palsu.

 

Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan kejujuran dan integritas dapat diaplikasikan dalam konteks digital. Hoaks dan disinformasi yang begitu mudah menyebar di internet adalah salah satu bentuk nyata dari simulasi yang dijelaskan oleh Baudrillard. Pendidikan agama Islam dapat berperan dalam membekali peserta didik dengan alat untuk mengkritisi fenomena ini, melalui pembelajaran yang kontekstual dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik harus diajak untuk memikirkan bagaimana ajaran Islam dapat diterapkan dalam menghadapi masalah-masalah etika komunikasi dan penyebaran informasi di era digital.

 

Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang dinamis, yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan inti dari tujuan pendidikan itu sendiri. Dalam konteks pendidikan agama Islam, tujuan utamanya adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Namun, di era yang penuh dengan simulasi dan hyperreality, tujuan ini harus dicapai dengan cara yang lebih kontekstual dan adaptif.

 

Di sinilah pentingnya “pengembangan kurikulum yang dinamis”. Kurikulum tidak boleh statis dan hanya berfokus pada satu pendekatan. Ia harus berkembang sesuai dengan tantangan zaman. Jean Baudrillard memberikan kita wawasan tentang bagaimana realitas dapat dipalsukan melalui simulasi. Dalam dunia pendidikan, ini berarti kita harus waspada terhadap jebakan-jebakan informasi yang dapat memanipulasi pemahaman kita tentang dunia, termasuk pemahaman kita tentang agama.

 

Oleh karena itu, pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam harus mampu menyeimbangkan antara pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama dengan keterampilan untuk menghadapi tantangan modern. Peserta didik perlu diajak untuk melihat ajaran agama bukan sebagai sesuatu yang statis, tetapi sebagai landasan yang dinamis, yang mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan kontemporer. Dalam hal ini, berpikir kritis menjadi salah satu keterampilan yang sangat diperlukan.

 

Pendidik memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan hal ini. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Proses pembelajaran tidak boleh hanya terfokus pada transfer pengetahuan semata, tetapi juga harus mencakup ruang untuk diskusi, analisis, dan refleksi. Kurikulum yang dirancang dengan baik akan memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengeksplorasi pemikiran mereka, mengaitkan ajaran agama dengan realitas yang mereka hadapi, serta mengembangkan cara berpikir yang kritis dan reflektif.

 

Pendidikan Agama Islam di Era Digital: Tantangan dan Peluang

 

Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam di era digital membawa tantangan dan peluang tersendiri. Tantangannya adalah bagaimana kita dapat menyesuaikan ajaran-ajaran agama dengan konteks modern, tanpa menghilangkan esensi dari ajaran tersebut. Di sisi lain, era digital juga memberikan peluang besar untuk memperkaya proses pembelajaran dengan akses informasi yang luas dan teknologi yang canggih.

 

Namun, di tengah arus informasi yang begitu deras, pendidikan agama Islam tidak bisa hanya mengandalkan metode pengajaran tradisional. Disrupsi informasi yang terjadi di era digital ini, di mana informasi palsu dan disinformasi mudah menyeb ar, menuntut adanya pembaruan dalam metode pengajaran agama. Pendidikan agama harus mampu memberikan peserta didik keterampilan untuk menyaring informasi yang benar dari yang palsu, dan ini hanya bisa dicapai melalui pengembangan keterampilan berpikir kritis.

 

Di sinilah letak pentingnya pengembangan kurikulum yang adaptif. Kurikulum pendidikan agama Islam harus dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis. Proses pembelajaran harus bersifat interaktif, di mana peserta didik tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga aktif dalam mengeksplorasi dan menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar mereka.

 

Pendidikan agama Islam yang baik adalah pendidikan yang mampu menjembatani antara ajaran agama yang normatif dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer yang dihadapi oleh peserta didik. Sebagai contoh, peserta didik harus diajak untuk memikirkan bagaimana ajaran Islam tentang kejujuran dapat diterapkan dalam konteks dunia digital, di mana hoaks dan disinformasi begitu mudah menyebar. Mereka juga harus diajak untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip Islam tentang keadilan sosial dapat diaplikasikan dalam menghadapi tantangan-tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan lain sebagainya.

 

Pendidikan untuk Mengatasi Alienasi Digital

 

Salah satu dampak besar dari kemajuan teknologi, seperti yang diilustrasikan melalui kisah Raja Midas, adalah alienasi. Raja Midas yang tadinya berpikir bahwa emas akan memberikan kebahagiaan, akhirnya terasing dari semua yang ia cintai. Dalam konteks modern, teknologi yang pada awalnya dianggap sebagai alat untuk mempermudah kehidupan, ternyata bisa membuat kita semakin terisolasi dari dunia nyata. Keterikatan yang berlebihan pada perangkat digital, media sosial, dan dunia maya telah menciptakan kondisi di mana manusia modern sering kali terasing dari interaksi sosial yang otentik.

 

Ini adalah fenomena “alienasi digital”, di mana meskipun kita terus-menerus terhubung dengan dunia melalui teknologi, kita justru semakin jauh dari pengalaman nyata dan interaksi sosial yang sehat. Pendidikan agama Islam memiliki potensi besar untuk menjadi penyeimbang bagi tantangan ini. Dengan menekankan pentingnya nilai-nilai kebersamaan, kasih sayang, dan hubungan yang penuh empati dalam kehidupan sehari-hari, pendidikan agama dapat membantu mengatasi dampak alienasi ini.

 

Namun, untuk mencapai ini, kurikulum agama tidak bisa hanya berfokus pada pengajaran nilai-nilai moral yang kaku. Peserta didik perlu dibimbing untuk memahami bagaimana teknologi dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan dunia, dan bagaimana mereka dapat menggunakannya secara bijak. Melalui keterampilan berpikir kritis, peserta didik dapat dilatih untuk tidak terjebak dalam ilusi kemudahan dan koneksi yang diciptakan oleh teknologi, melainkan untuk membangun relasi yang lebih dalam dan bermakna, baik dengan sesama manusia maupun dengan Sang Pencipta.

 

Menghadapi Masa Depan dengan Pemikiran Kritis

 

Di tengah perkembangan pesat dunia digital dan disrupsi informasi, pendidikan agama Islam harus mampu beradaptasi. Jumlah pengguna internet di Indonesia yang telah mencapai “221 juta orang” menggambarkan betapa besar tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan, terutama pendidikan agama, dalam menjaga integritas moral generasi muda. Di era yang penuh dengan simulasi dan hyperreality seperti yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard, kemampuan berpikir kritis menjadi sangat penting.

 

Kurikulum pendidikan agama Islam harus dirancang sedemikian rupa agar tidak hanya berfokus pada penanaman nilai-nilai moral dan ajaran agama, tetapi juga pada pengembangan keterampilan berpikir kritis. Peserta didik harus dibekali dengan kemampuan untuk menyaring informasi yang mereka terima, menganalisisnya dengan bijaksana, dan mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan agama Islam dapat berperan dalam membentuk generasi yang tidak hanya beriman dan bertakwa, tetapi juga cerdas dan kritis dalam menghadapi tantangan zaman.

 

Dalam menghadapi dilema teknologi yang semakin menguatkan keterikatan manusia pada dunia maya, pendidikan agama Islam harus berfungsi sebagai alat refleksi diri. Teknologi, meskipun menawarkan berbagai manfaat dan kemudahan, bisa saja berubah menjadi "emas" Midas yang mengasingkan manusia dari kenyataan dan nilai-nilai kemanusiaan sejati. Melalui pendidikan yang tepat, generasi muda diharapkan mampu tidak hanya memahami ajaran agama dengan baik, tetapi juga mengembangkan keterampilan untuk berpikir kritis dan bertindak bijaksana dalam dunia yang semakin kompleks.

 

Dengan kurikulum yang dinamis dan adaptif, pendidikan agama Islam dapat menjadi alat yang efektif untuk membekali generasi muda dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menghadapi masa depan. Di era simulasi dan hyperreality, kemampuan berpikir kritis menjadi senjata utama untuk menjaga integritas moral dan spiritual, serta untuk memastikan bahwa ajaran agama tetap relevan dengan perkembangan zaman.

 

Pada akhirnya, pendidikan agama Islam di era digital ini harus mampu memadukan dua elemen penting: “iman yang mendalam dan kemampuan berpikir kritis”. Pendidikan agama Islam tidak lagi melulu tentang bekal “menuju akhirat”, tetapi juga bekal “di dunia” sehingga bisa hidup lebih baik.[1] Teknologi, dengan segala kemajuan dan kemudahan yang ditawarkannya, tidak bisa dijadikan satu-satunya jalan menuju kemajuan tanpa diimbangi dengan kemampuan reflektif dan kritis. Seperti halnya Raja Midas yang terjebak dalam keinginannya akan emas, manusia modern juga berpotensi terjebak dalam pesona teknologi tanpa menyadari dampak yang ditimbulkannya.

 

Di sini, kurikulum pendidikan agama Islam harus mampu menjadi alat yang efektif dalam membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga bijak dalam menyikapi arus informasi yang datang. Kemampuan berpikir kritis akan membantu peserta didik untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga individu yang mampu menyaring, menganalisis, dan mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai agama yang telah mereka pelajari. Dengan demikian, teknologi tidak lagi menjadi kutukan seperti emas bagi Raja Midas, melainkan alat yang memperkaya kehidupan manusia dalam arti yang sebenarnya.

 

Kurikulum pendidikan agama Islam yang dinamis dan relevan dengan perkembangan zaman akan menjadi kunci dalam menghadapi tantangan masa depan. Ia akan memastikan bahwa generasi muda tidak hanya memahami ajaran agama dengan baik, tetapi juga mampu berpikir kritis, mandiri, dan bijaksana dalam menghadapi berbagai tantangan yang akan mereka temui di dunia yang semakin terhubung ini. Dalam dunia simulasi dan hyperreality, iman yang kuat dan kecerdasan kritis akan menjadi dua pilar utama yang mampu menjaga generasi mendatang dari jebakan-jebakan ilusi teknologi yang menyesatkan.***



[1] Heri Gunawan, Kurikulum Dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Bandung: Alfabeta, 2012).

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now