Ilustrasi (Sumber: www.islamkaffah.id) |
Oleh: Syamsul Kurniawan
Di era digital saat ini, Indonesia
menyaksikan ledakan pengguna internet yang sangat signifikan. Berdasarkan data
terbaru dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024,
jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221 juta orang. Lebih dari
80% populasi Indonesia kini terhubung ke internet, menghadapi arus informasi
yang melimpah setiap harinya. Kemudahan akses informasi ini tidak selalu
memberikan manfaat, terutama ketika disinformasi, hoaks, dan manipulasi data
semakin beredar luas di dunia maya. Konteks ini membawa kita pada tantangan
besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam, yang harus mampu
memberikan bekal tidak hanya pengetahuan agama, tetapi juga keterampilan
berpikir kritis.
Dalam menghadapi derasnya informasi,
terutama informasi yang bersifat menyesatkan, kita dihadapkan pada fenomena
yang oleh Jean Baudrillard (1994) disebut sebagai “simulasi” dan “hyperreality”.
Baudrillard menguraikan bagaimana realitas dapat dipalsukan melalui
representasi yang sangat mirip dengan kenyataan, namun sesungguhnya telah
terputus dari akar kebenaran. Di era internet, simulasi ini muncul dalam bentuk
disinformasi yang kerap kali memanipulasi realitas, sehingga memunculkan sebuah
dunia hiperrealitas, di mana yang benar dan yang palsu sulit dibedakan. Dalam
konteks ini, penting untuk membekali generasi muda dengan kemampuan berpikir
kritis melalui pendidikan agama Islam.
Pendidikan agama, yang selama ini
sering diidentikkan dengan pengajaran nilai-nilai moral dan ajaran normatif,
harus berkembang menjadi lebih kritis dan kontekstual. Kurikulum pendidikan
agama Islam harus mampu menyentuh aspek-aspek berpikir kritis sehingga peserta
didik tidak hanya terampil dalam memahami ajaran agama, tetapi juga mampu
menelaah, menganalisis, dan menyaring informasi yang beredar. Hal ini menjadi
semakin relevan ketika kita memahami bahwa generasi muda saat ini—yang sebagian
besar hidup dalam dunia digital—sangat rentan terhadap jebakan informasi palsu.
Teknologi sebagai "Sentuhan
Midas" Abad Ini
Dalam menggali lebih dalam tentang
dampak teknologi, ada satu cerita yang memberikan pelajaran relevan bagi kita
di abad ini: “Tragedi Raja Midas”. Kisah Midas, seorang raja yang berambisi
memiliki kekuatan mengubah segala yang disentuhnya menjadi emas, adalah
perumpamaan yang kuat tentang obsesi dan konsekuensinya. Awalnya, Midas
memandang emas sebagai lambang kekayaan dan kekuasaan, sesuatu yang ia anggap
mampu membawa kebahagiaan tanpa batas. Namun, saat setiap sentuhannya mengubah
benda, makanan, dan bahkan orang yang dicintainya menjadi emas, Midas menyadari
bahwa hadiah yang diinginkannya justru menjadi kutukan yang menyengsarakan.
Kisah ini seakan menggemakan “dilema
abad ini”. Teknologi digital dan internet adalah "emas" yang
diimpikan oleh manusia modern—sebuah alat yang menjanjikan efisiensi,
kemudahan, dan kekayaan informasi. Namun, seperti Raja Midas, yang terjebak dalam
akibat dari keinginannya sendiri, kita juga mungkin terperangkap dalam jebakan
teknologi yang kita puja. Kemudahan akses informasi yang disediakan oleh
internet juga datang dengan dampak negatif: kecemasan sosial, alienasi, serta
arus informasi yang menyesatkan dan merusak. Alih-alih membawa kita lebih dekat
dengan kebenaran, teknologi, seperti sentuhan Midas, justru sering kali
mengasingkan kita dari realitas yang sesungguhnya.
Jean Baudrillard, dengan teorinya
tentang “simulasi” dan “hyperreality”, membantu kita memahami fenomena
ini. Di era digital, kita terpapar pada representasi realitas yang telah
terputus dari kebenaran aslinya—simulasi yang menciptakan dunia hiperrealitas,
di mana kita sering kali kesulitan membedakan antara yang nyata dan yang palsu.
Teknologi, seperti emas bagi Midas, tampak menggiurkan dan bermanfaat, tetapi
tanpa kemampuan untuk berpikir kritis, kita berisiko terjebak dalam realitas
yang palsu, di mana informasi menjadi kabur dan kebenaran menjadi sulit
dijangkau.
Kisah Midas dan teori Baudrillard
memberi kita perspektif penting dalam memahami kondisi pendidikan saat ini. Di
tengah derasnya arus teknologi dan informasi, peserta didik tidak boleh hanya
menjadi konsumen pasif yang menerima segala sesuatu tanpa berpikir kritis.
Teknologi, meskipun membawa banyak manfaat, tidak bisa diandalkan sepenuhnya
tanpa pemahaman yang mendalam dan analisis kritis terhadap informasi yang
disediakan. Kurikulum pendidikan agama Islam memiliki peran penting dalam
mempersiapkan generasi muda untuk mampu berpikir secara mandiri, kritis, dan
tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang menyesatkan.
Pendidikan Agama di Era Simulasi
Kurikulum pendidikan adalah tulang
punggung dari proses pembelajaran yang terstruktur. Para ahli menyebutkan bahwa
“kurikulum adalah jantung pendidikan”. Ini tidak hanya berlaku dalam ranah
pendidikan umum, tetapi juga dalam pendidikan agama Islam. Kurikulum harus
dirancang sedemikian rupa agar peserta didik mendapatkan pembelajaran yang
komprehensif, tidak hanya mencakup aspek kognitif, tetapi juga afektif dan
psikomotorik. Di sini, pembelajaran agama Islam tidak hanya harus mengajarkan
nilai-nilai akhlak dan keimanan, tetapi juga cara berpikir kritis dan
reflektif.
Saat ini, pembelajaran agama yang
terlalu dogmatis tanpa memberikan ruang untuk diskusi atau kritik tidak lagi
relevan dengan kebutuhan zaman. Seperti yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard
dalam teorinya, simulasi telah melahirkan “hyperreality”, sebuah dunia di mana
batas antara yang nyata dan yang palsu menjadi semakin tipis. Di sinilah
tantangan bagi pendidikan agama Islam untuk menyusun kurikulum yang mampu
mengatasi tantangan ini. Kurikulum harus berfokus pada pembentukan keterampilan
berpikir kritis agar peserta didik mampu menavigasi dunia digital yang penuh
dengan jebakan informasi palsu.
Sebagai contoh, kita bisa melihat
bagaimana ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan kejujuran dan integritas
dapat diaplikasikan dalam konteks digital. Hoaks dan disinformasi yang begitu
mudah menyebar di internet adalah salah satu bentuk nyata dari simulasi yang
dijelaskan oleh Baudrillard. Pendidikan agama Islam dapat berperan dalam
membekali peserta didik dengan alat untuk mengkritisi fenomena ini, melalui
pembelajaran yang kontekstual dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Peserta
didik harus diajak untuk memikirkan bagaimana ajaran Islam dapat diterapkan
dalam menghadapi masalah-masalah etika komunikasi dan penyebaran informasi di
era digital.
Kurikulum yang baik adalah kurikulum
yang dinamis, yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa
meninggalkan inti dari tujuan pendidikan itu sendiri. Dalam konteks pendidikan
agama Islam, tujuan utamanya adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa,
dan berakhlak mulia. Namun, di era yang penuh dengan simulasi dan hyperreality,
tujuan ini harus dicapai dengan cara yang lebih kontekstual dan adaptif.
Di sinilah pentingnya “pengembangan
kurikulum yang dinamis”. Kurikulum tidak boleh statis dan hanya berfokus pada
satu pendekatan. Ia harus berkembang sesuai dengan tantangan zaman. Jean
Baudrillard memberikan kita wawasan tentang bagaimana realitas dapat dipalsukan
melalui simulasi. Dalam dunia pendidikan, ini berarti kita harus waspada
terhadap jebakan-jebakan informasi yang dapat memanipulasi pemahaman kita
tentang dunia, termasuk pemahaman kita tentang agama.
Oleh karena itu, pengembangan
kurikulum pendidikan agama Islam harus mampu menyeimbangkan antara pemahaman
yang mendalam tentang ajaran agama dengan keterampilan untuk menghadapi
tantangan modern. Peserta didik perlu diajak untuk melihat ajaran agama bukan
sebagai sesuatu yang statis, tetapi sebagai landasan yang dinamis, yang mampu
memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan kontemporer. Dalam hal ini,
berpikir kritis menjadi salah satu keterampilan yang sangat diperlukan.
Pendidik memiliki peran yang sangat
penting dalam mewujudkan hal ini. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai
pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Proses pembelajaran tidak boleh
hanya terfokus pada transfer pengetahuan semata, tetapi juga harus mencakup
ruang untuk diskusi, analisis, dan refleksi. Kurikulum yang dirancang dengan
baik akan memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengeksplorasi
pemikiran mereka, mengaitkan ajaran agama dengan realitas yang mereka hadapi,
serta mengembangkan cara berpikir yang kritis dan reflektif.
Pendidikan Agama Islam di Era
Digital: Tantangan dan Peluang
Pengembangan kurikulum pendidikan
agama Islam di era digital membawa tantangan dan peluang tersendiri.
Tantangannya adalah bagaimana kita dapat menyesuaikan ajaran-ajaran agama
dengan konteks modern, tanpa menghilangkan esensi dari ajaran tersebut. Di sisi
lain, era digital juga memberikan peluang besar untuk memperkaya proses
pembelajaran dengan akses informasi yang luas dan teknologi yang canggih.
Namun, di tengah arus informasi yang
begitu deras, pendidikan agama Islam tidak bisa hanya mengandalkan metode
pengajaran tradisional. Disrupsi informasi yang terjadi di era digital ini, di
mana informasi palsu dan disinformasi mudah menyeb ar, menuntut adanya
pembaruan dalam metode pengajaran agama. Pendidikan agama harus mampu
memberikan peserta didik keterampilan untuk menyaring informasi yang benar dari
yang palsu, dan ini hanya bisa dicapai melalui pengembangan keterampilan
berpikir kritis.
Di sinilah letak pentingnya
pengembangan kurikulum yang adaptif. Kurikulum pendidikan agama Islam harus
dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan ruang bagi peserta didik untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis. Proses pembelajaran
harus bersifat interaktif, di mana peserta didik tidak hanya menerima informasi
secara pasif, tetapi juga aktif dalam mengeksplorasi dan menganalisis
fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar mereka.
Pendidikan agama Islam yang baik
adalah pendidikan yang mampu menjembatani antara ajaran agama yang normatif
dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer yang dihadapi oleh peserta didik.
Sebagai contoh, peserta didik harus diajak untuk memikirkan bagaimana ajaran
Islam tentang kejujuran dapat diterapkan dalam konteks dunia digital, di mana
hoaks dan disinformasi begitu mudah menyebar. Mereka juga harus diajak untuk
memahami bagaimana prinsip-prinsip Islam tentang keadilan sosial dapat
diaplikasikan dalam menghadapi tantangan-tantangan global seperti perubahan
iklim, ketimpangan ekonomi, dan lain sebagainya.
Pendidikan untuk Mengatasi Alienasi
Digital
Salah satu dampak besar dari kemajuan
teknologi, seperti yang diilustrasikan melalui kisah Raja Midas, adalah
alienasi. Raja Midas yang tadinya berpikir bahwa emas akan memberikan
kebahagiaan, akhirnya terasing dari semua yang ia cintai. Dalam konteks modern,
teknologi yang pada awalnya dianggap sebagai alat untuk mempermudah kehidupan,
ternyata bisa membuat kita semakin terisolasi dari dunia nyata. Keterikatan
yang berlebihan pada perangkat digital, media sosial, dan dunia maya telah
menciptakan kondisi di mana manusia modern sering kali terasing dari interaksi
sosial yang otentik.
Ini adalah fenomena “alienasi digital”,
di mana meskipun kita terus-menerus terhubung dengan dunia melalui teknologi,
kita justru semakin jauh dari pengalaman nyata dan interaksi sosial yang sehat.
Pendidikan agama Islam memiliki potensi besar untuk menjadi penyeimbang bagi
tantangan ini. Dengan menekankan pentingnya nilai-nilai kebersamaan, kasih
sayang, dan hubungan yang penuh empati dalam kehidupan sehari-hari, pendidikan
agama dapat membantu mengatasi dampak alienasi ini.
Namun, untuk mencapai ini, kurikulum
agama tidak bisa hanya berfokus pada pengajaran nilai-nilai moral yang kaku.
Peserta didik perlu dibimbing untuk memahami bagaimana teknologi dapat
memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan dunia, dan bagaimana mereka dapat
menggunakannya secara bijak. Melalui keterampilan berpikir kritis, peserta
didik dapat dilatih untuk tidak terjebak dalam ilusi kemudahan dan koneksi yang
diciptakan oleh teknologi, melainkan untuk membangun relasi yang lebih dalam
dan bermakna, baik dengan sesama manusia maupun dengan Sang Pencipta.
Menghadapi Masa Depan dengan
Pemikiran Kritis
Di tengah perkembangan pesat dunia
digital dan disrupsi informasi, pendidikan agama Islam harus mampu beradaptasi.
Jumlah pengguna internet di Indonesia yang telah mencapai “221 juta orang”
menggambarkan betapa besar tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan,
terutama pendidikan agama, dalam menjaga integritas moral generasi muda. Di era
yang penuh dengan simulasi dan hyperreality seperti yang dijelaskan oleh Jean
Baudrillard, kemampuan berpikir kritis menjadi sangat penting.
Kurikulum pendidikan agama Islam
harus dirancang sedemikian rupa agar tidak hanya berfokus pada penanaman
nilai-nilai moral dan ajaran agama, tetapi juga pada pengembangan keterampilan
berpikir kritis. Peserta didik harus dibekali dengan kemampuan untuk menyaring
informasi yang mereka terima, menganalisisnya dengan bijaksana, dan
mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian,
pendidikan agama Islam dapat berperan dalam membentuk generasi yang tidak hanya
beriman dan bertakwa, tetapi juga cerdas dan kritis dalam menghadapi tantangan
zaman.
Dalam menghadapi dilema teknologi
yang semakin menguatkan keterikatan manusia pada dunia maya, pendidikan agama
Islam harus berfungsi sebagai alat refleksi diri. Teknologi, meskipun
menawarkan berbagai manfaat dan kemudahan, bisa saja berubah menjadi "emas"
Midas yang mengasingkan manusia dari kenyataan dan nilai-nilai kemanusiaan
sejati. Melalui pendidikan yang tepat, generasi muda diharapkan mampu tidak
hanya memahami ajaran agama dengan baik, tetapi juga mengembangkan keterampilan
untuk berpikir kritis dan bertindak bijaksana dalam dunia yang semakin
kompleks.
Dengan kurikulum yang dinamis dan
adaptif, pendidikan agama Islam dapat menjadi alat yang efektif untuk membekali
generasi muda dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menghadapi masa
depan. Di era simulasi dan hyperreality, kemampuan berpikir kritis menjadi
senjata utama untuk menjaga integritas moral dan spiritual, serta untuk
memastikan bahwa ajaran agama tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Pada akhirnya, pendidikan agama Islam
di era digital ini harus mampu memadukan dua elemen penting: “iman yang
mendalam dan kemampuan berpikir kritis”. Pendidikan agama Islam tidak lagi
melulu tentang bekal “menuju akhirat”, tetapi juga bekal “di
dunia” sehingga bisa hidup lebih baik.[1] Teknologi, dengan segala kemajuan
dan kemudahan yang ditawarkannya, tidak bisa dijadikan satu-satunya jalan
menuju kemajuan tanpa diimbangi dengan kemampuan reflektif dan kritis. Seperti
halnya Raja Midas yang terjebak dalam keinginannya akan emas, manusia modern
juga berpotensi terjebak dalam pesona teknologi tanpa menyadari dampak yang
ditimbulkannya.
Di sini, kurikulum pendidikan agama
Islam harus mampu menjadi alat yang efektif dalam membangun generasi yang tidak
hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga bijak dalam menyikapi arus informasi
yang datang. Kemampuan berpikir kritis akan membantu peserta didik untuk tidak
hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga individu yang mampu menyaring,
menganalisis, dan mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai agama yang telah
mereka pelajari. Dengan demikian, teknologi tidak lagi menjadi kutukan seperti
emas bagi Raja Midas, melainkan alat yang memperkaya kehidupan manusia dalam
arti yang sebenarnya.
Kurikulum pendidikan agama Islam yang
dinamis dan relevan dengan perkembangan zaman akan menjadi kunci dalam
menghadapi tantangan masa depan. Ia akan memastikan bahwa generasi muda tidak
hanya memahami ajaran agama dengan baik, tetapi juga mampu berpikir kritis,
mandiri, dan bijaksana dalam menghadapi berbagai tantangan yang akan mereka
temui di dunia yang semakin terhubung ini. Dalam dunia simulasi dan
hyperreality, iman yang kuat dan kecerdasan kritis akan menjadi dua pilar utama
yang mampu menjaga generasi mendatang dari jebakan-jebakan ilusi teknologi yang
menyesatkan.***