Oleh:
Syamsul Kurniawan
Indonesia
adalah mozaik yang kaya, penuh warna dan perbedaan. Di setiap sudut negeri ini,
kita menemui keanekaragaman yang luar biasa—agama, budaya, bahasa, dan etnis
berjalin dalam harmoni yang kadang rapuh. Namun, seperti yang sering kita
saksikan, harmoni ini bisa terganggu oleh gesekan yang timbul dari
ketidakpahaman dan intoleransi. Kita menghadapi kenyataan bahwa keberagaman,
jika tidak dikelola dengan bijak, menyimpan potensi konflik yang berbahaya.
Maka, moderasi beragama adalah kunci untuk menjaga keseimbangan ini. Ia bukan
hanya solusi, melainkan sebuah keharusan yang tak terelakkan.
Moderasi
beragama berarti sikap adil dan terbuka dalam memahami dan menghargai perbedaan
keyakinan. Namun, bagaimana cara mencapainya? Bagaimana kita menanamkan
prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, dalam struktur masyarakat, dan
yang paling penting, dalam diri individu?
Seberapa
Penting Pendidikan Karakter?
Di
sinilah pendidikan karakter berperan sentral. Pendidikan karakter tidak bisa
hanya berfungsi sebagai sarana transmisi pengetahuan. Ia harus menjadi jantung
dari upaya pembentukan karakter bangsa. Di tengah arus globalisasi yang semakin
deras, Indonesia membutuhkan pendidikan yang tidak hanya mengembangkan
kemampuan intelektual, tetapi juga mengakar kuat pada pembangunan karakter
moral. Pendidikan karakter ini tak bisa hanya menjadi tambahan pelengkap dalam
kurikulum, melainkan harus menjadi poros utama. Pendidikan karakter, khususnya
yang berlandaskan moderasi beragama, adalah satu-satunya cara efektif untuk
membangun masyarakat yang inklusif, toleran, dan damai.
Namun,
pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang bisa diwujudkan dalam semalam. Ia
bukanlah perubahan besar yang bisa terjadi seketika melalui kebijakan tunggal
atau program nasional yang monumental. Karakter, sebagaimana ditegaskan oleh
James Clear dalam bukunya Atomic Habits (2018), dibentuk dari akumulasi
kebiasaan-kebiasaan kecil. Perubahan besar datang dari langkah-langkah kecil
yang dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu.
James
Clear memperkenalkan konsep sederhana namun mendalam: kebiasaan kecil yang
dilakukan terus-menerus akan menciptakan perubahan signifikan. Dalam konteks
pendidikan karakter, prinsip ini sangat relevan. Moderasi beragama tidak akan
terwujud dari seminar besar atau pidato inspiratif semata. Ia harus dibangun
dari perilaku sehari-hari—dari kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk di rumah,
sekolah, dan masyarakat.
Misalnya,
di lingkungan keluarga. Orang tua adalah agen pertama yang membentuk kebiasaan
anak-anak mereka. Isyarat kecil seperti diskusi terbuka tentang perbedaan agama
atau budaya dapat menjadi langkah awal dalam menanamkan nilai-nilai moderasi.
Kebiasaan mendengarkan tanpa menghakimi, berdialog dengan terbuka, atau
menghargai pandangan orang lain adalah hal-hal yang bisa dibentuk sejak dini di
rumah. Setiap kali orang tua mengajarkan pentingnya menghormati keyakinan orang
lain, anak-anak akan merespons dengan belajar menghormati, dan perilaku ini
diperkuat oleh penghargaan sosial yang mereka rasakan, baik dalam keluarga
maupun di lingkungan yang lebih luas.
Begitu
pula di sekolah. Pendidikan formal tidak hanya berperan dalam membentuk
kecerdasan akademik, tetapi juga moral dan sosial. Bayangkan sebuah sekolah
yang tidak hanya mengajarkan matematika atau sejarah, tetapi juga memfasilitasi
dialog antaragama, mengadakan diskusi lintas budaya, dan mengajarkan siswa
untuk bekerja sama tanpa melihat latar belakang agama. Sekolah bisa menjadi
tempat di mana kebiasaan moderat dipupuk dan diperkuat melalui interaksi
sehari-hari. Guru berperan sebagai fasilitator dalam menumbuhkan
kebiasaan-kebiasaan baik ini, dari cara mereka mendidik hingga bagaimana mereka
membuka ruang bagi siswa untuk menghargai perbedaan.
Namun,
perubahan ini tidak akan berarti banyak jika lingkungan sosial tidak mendukung.
James Clear menekankan bahwa lingkungan memiliki peran penting dalam
pembentukan kebiasaan. Jika kita ingin membangun karakter moderat dalam
masyarakat, kita harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk itu.
Masyarakat perlu menyediakan ruang-ruang terbuka bagi dialog lintas agama yang
sehat, interaksi sosial yang mengedepankan toleransi, dan kegiatan-kegiatan
yang mempromosikan inklusivitas. Jika ruang-ruang sosial ini diciptakan dengan
baik, kebiasaan moderat akan tumbuh subur.
Di
sisi lain, masyarakat yang terus memperlihatkan polarisasi, yang membatasi
ruang dialog dan memicu ketegangan antar kelompok, hanya akan memperburuk
keretakan sosial. Ini adalah tantangan nyata yang kita hadapi. Sebagai bangsa,
kita harus sadar bahwa karakter bangsa, yang inklusif dan toleran, tidak
terbentuk dari kebijakan pemerintah saja. Ia dibangun dari perilaku-perilaku
kecil yang dilakukan oleh setiap warganya. “Setiap kebiasaan kecil—mulai dari
sikap menerima, mendengarkan dengan empati, hingga menghargai perbedaan—adalah
blok pembangun karakter bangsa.”
Kebiasaan-kebiasaan
kecil ini, jika dilakukan secara konsisten dan terus-menerus, akan mengakar dan
membentuk pola pikir kolektif masyarakat. Perubahan signifikan bukanlah hasil
dari satu kebijakan besar, melainkan dari ribuan langkah kecil yang diambil setiap
hari. Inilah yang kita butuhkan dalam pendidikan karakter berbasis moderasi
beragama. Pendidikan yang mampu membentuk kebiasaan-kebiasaan positif ini—baik
di keluarga, sekolah, maupun masyarakat—akan menjadi fondasi untuk menciptakan
bangsa yang kuat secara moral dan sosial.
Dibutuhkan
Komitmen
Namun,
upaya ini membutuhkan komitmen. Kita seringkali terburu-buru ingin melihat
perubahan besar dalam waktu singkat. Padahal, seperti yang dijelaskan James
Clear, perubahan besar memerlukan waktu. Setiap langkah kecil yang kita ambil, setiap
kebiasaan yang kita bangun untuk menghargai perbedaan, adalah bagian dari
proses panjang menuju bangsa yang lebih baik. Kita mungkin tidak akan melihat
hasilnya dalam waktu dekat, tetapi jika kita konsisten dalam membangun
kebiasaan yang moderat dan inklusif, masa depan yang kita inginkan—sebuah
bangsa yang damai dan toleran—akan terwujud.
Karakter
bangsa, dengan segala kekuatannya, adalah hasil dari akumulasi kebiasaan yang
dijalani oleh individu-individu dalam masyarakat. Ini bukanlah hasil dari satu
keputusan atau kebijakan, melainkan hasil dari proses panjang yang terintegrasi
dalam kehidupan sehari-hari. Dari cara kita berbicara satu sama lain, dari
bagaimana kita mengajar anak-anak kita, hingga bagaimana kita merancang
lingkungan sosial kita—semuanya berkontribusi pada pembentukan karakter bangsa.
Dan
inilah tugas kita, sebagai bangsa yang besar: membangun masa depan yang lebih
baik melalui langkah-langkah kecil yang kita ambil setiap hari. “Karakter yang
kuat tidak muncul dari kebijakan yang memaksa, tetapi dari kebiasaan yang
tumbuh dari kesadaran kolektif akan pentingnya menghargai perbedaan dan
membangun jembatan antara keyakinan yang berbeda.” Masa depan bangsa ini akan
tercermin dari kebiasaan-kebiasaan yang kita bangun hari ini, dan tugas kita
adalah memastikan bahwa kebiasaan itu membawa kita menuju harmoni, toleransi,
dan kedamaian yang lebih kuat.***