Iklan

Membangun Moderasi Beragama Melalui Kebiasaan Kecil Berkarakter

syamsul kurniawan
Tuesday, January 21, 2025
Last Updated 2025-01-21T12:34:13Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 




Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Indonesia adalah mozaik yang kaya, penuh warna dan perbedaan. Di setiap sudut negeri ini, kita menemui keanekaragaman yang luar biasa—agama, budaya, bahasa, dan etnis berjalin dalam harmoni yang kadang rapuh. Namun, seperti yang sering kita saksikan, harmoni ini bisa terganggu oleh gesekan yang timbul dari ketidakpahaman dan intoleransi. Kita menghadapi kenyataan bahwa keberagaman, jika tidak dikelola dengan bijak, menyimpan potensi konflik yang berbahaya. Maka, moderasi beragama adalah kunci untuk menjaga keseimbangan ini. Ia bukan hanya solusi, melainkan sebuah keharusan yang tak terelakkan.

 

Moderasi beragama berarti sikap adil dan terbuka dalam memahami dan menghargai perbedaan keyakinan. Namun, bagaimana cara mencapainya? Bagaimana kita menanamkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, dalam struktur masyarakat, dan yang paling penting, dalam diri individu?

 

Seberapa Penting Pendidikan Karakter?

Di sinilah pendidikan karakter berperan sentral. Pendidikan karakter tidak bisa hanya berfungsi sebagai sarana transmisi pengetahuan. Ia harus menjadi jantung dari upaya pembentukan karakter bangsa. Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, Indonesia membutuhkan pendidikan yang tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual, tetapi juga mengakar kuat pada pembangunan karakter moral. Pendidikan karakter ini tak bisa hanya menjadi tambahan pelengkap dalam kurikulum, melainkan harus menjadi poros utama. Pendidikan karakter, khususnya yang berlandaskan moderasi beragama, adalah satu-satunya cara efektif untuk membangun masyarakat yang inklusif, toleran, dan damai.

 

Namun, pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang bisa diwujudkan dalam semalam. Ia bukanlah perubahan besar yang bisa terjadi seketika melalui kebijakan tunggal atau program nasional yang monumental. Karakter, sebagaimana ditegaskan oleh James Clear dalam bukunya Atomic Habits (2018), dibentuk dari akumulasi kebiasaan-kebiasaan kecil. Perubahan besar datang dari langkah-langkah kecil yang dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu.

 

James Clear memperkenalkan konsep sederhana namun mendalam: kebiasaan kecil yang dilakukan terus-menerus akan menciptakan perubahan signifikan. Dalam konteks pendidikan karakter, prinsip ini sangat relevan. Moderasi beragama tidak akan terwujud dari seminar besar atau pidato inspiratif semata. Ia harus dibangun dari perilaku sehari-hari—dari kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk di rumah, sekolah, dan masyarakat.

 

Misalnya, di lingkungan keluarga. Orang tua adalah agen pertama yang membentuk kebiasaan anak-anak mereka. Isyarat kecil seperti diskusi terbuka tentang perbedaan agama atau budaya dapat menjadi langkah awal dalam menanamkan nilai-nilai moderasi. Kebiasaan mendengarkan tanpa menghakimi, berdialog dengan terbuka, atau menghargai pandangan orang lain adalah hal-hal yang bisa dibentuk sejak dini di rumah. Setiap kali orang tua mengajarkan pentingnya menghormati keyakinan orang lain, anak-anak akan merespons dengan belajar menghormati, dan perilaku ini diperkuat oleh penghargaan sosial yang mereka rasakan, baik dalam keluarga maupun di lingkungan yang lebih luas.

 

Begitu pula di sekolah. Pendidikan formal tidak hanya berperan dalam membentuk kecerdasan akademik, tetapi juga moral dan sosial. Bayangkan sebuah sekolah yang tidak hanya mengajarkan matematika atau sejarah, tetapi juga memfasilitasi dialog antaragama, mengadakan diskusi lintas budaya, dan mengajarkan siswa untuk bekerja sama tanpa melihat latar belakang agama. Sekolah bisa menjadi tempat di mana kebiasaan moderat dipupuk dan diperkuat melalui interaksi sehari-hari. Guru berperan sebagai fasilitator dalam menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan baik ini, dari cara mereka mendidik hingga bagaimana mereka membuka ruang bagi siswa untuk menghargai perbedaan.

 

Namun, perubahan ini tidak akan berarti banyak jika lingkungan sosial tidak mendukung. James Clear menekankan bahwa lingkungan memiliki peran penting dalam pembentukan kebiasaan. Jika kita ingin membangun karakter moderat dalam masyarakat, kita harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk itu. Masyarakat perlu menyediakan ruang-ruang terbuka bagi dialog lintas agama yang sehat, interaksi sosial yang mengedepankan toleransi, dan kegiatan-kegiatan yang mempromosikan inklusivitas. Jika ruang-ruang sosial ini diciptakan dengan baik, kebiasaan moderat akan tumbuh subur.

 

Di sisi lain, masyarakat yang terus memperlihatkan polarisasi, yang membatasi ruang dialog dan memicu ketegangan antar kelompok, hanya akan memperburuk keretakan sosial. Ini adalah tantangan nyata yang kita hadapi. Sebagai bangsa, kita harus sadar bahwa karakter bangsa, yang inklusif dan toleran, tidak terbentuk dari kebijakan pemerintah saja. Ia dibangun dari perilaku-perilaku kecil yang dilakukan oleh setiap warganya. “Setiap kebiasaan kecil—mulai dari sikap menerima, mendengarkan dengan empati, hingga menghargai perbedaan—adalah blok pembangun karakter bangsa.”

 

Kebiasaan-kebiasaan kecil ini, jika dilakukan secara konsisten dan terus-menerus, akan mengakar dan membentuk pola pikir kolektif masyarakat. Perubahan signifikan bukanlah hasil dari satu kebijakan besar, melainkan dari ribuan langkah kecil yang diambil setiap hari. Inilah yang kita butuhkan dalam pendidikan karakter berbasis moderasi beragama. Pendidikan yang mampu membentuk kebiasaan-kebiasaan positif ini—baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat—akan menjadi fondasi untuk menciptakan bangsa yang kuat secara moral dan sosial.

 

Dibutuhkan Komitmen

Namun, upaya ini membutuhkan komitmen. Kita seringkali terburu-buru ingin melihat perubahan besar dalam waktu singkat. Padahal, seperti yang dijelaskan James Clear, perubahan besar memerlukan waktu. Setiap langkah kecil yang kita ambil, setiap kebiasaan yang kita bangun untuk menghargai perbedaan, adalah bagian dari proses panjang menuju bangsa yang lebih baik. Kita mungkin tidak akan melihat hasilnya dalam waktu dekat, tetapi jika kita konsisten dalam membangun kebiasaan yang moderat dan inklusif, masa depan yang kita inginkan—sebuah bangsa yang damai dan toleran—akan terwujud.

 

Karakter bangsa, dengan segala kekuatannya, adalah hasil dari akumulasi kebiasaan yang dijalani oleh individu-individu dalam masyarakat. Ini bukanlah hasil dari satu keputusan atau kebijakan, melainkan hasil dari proses panjang yang terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Dari cara kita berbicara satu sama lain, dari bagaimana kita mengajar anak-anak kita, hingga bagaimana kita merancang lingkungan sosial kita—semuanya berkontribusi pada pembentukan karakter bangsa.

 

Dan inilah tugas kita, sebagai bangsa yang besar: membangun masa depan yang lebih baik melalui langkah-langkah kecil yang kita ambil setiap hari. “Karakter yang kuat tidak muncul dari kebijakan yang memaksa, tetapi dari kebiasaan yang tumbuh dari kesadaran kolektif akan pentingnya menghargai perbedaan dan membangun jembatan antara keyakinan yang berbeda.” Masa depan bangsa ini akan tercermin dari kebiasaan-kebiasaan yang kita bangun hari ini, dan tugas kita adalah memastikan bahwa kebiasaan itu membawa kita menuju harmoni, toleransi, dan kedamaian yang lebih kuat.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now