Iklan

Melintasi Simulasi Digital: Keberagaman di Society 5.0

syamsul kurniawan
Wednesday, January 8, 2025
Last Updated 2025-01-09T00:57:53Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Oleh: Syamsul Kurniawan

Pada suatu malam yang sunyi di ruang kerja saya, saya mendapati diri tenggelam dalam pemikiran tentang mitos Yunani kejatuhan Icarus. Kisahnya, yang terbang terlalu dekat ke matahari hingga lilin pada sayapnya meleleh, menjadi refleksi sempurna atas bagaimana kita kerap menyikapi teknologi. Di satu sisi, teknologi menawarkan kita sayap untuk terbang lebih tinggi, menjangkau hal-hal yang sebelumnya mustahil. Di sisi lain, tanpa kebijaksanaan, teknologi bisa menjadi sumber kehancuran, terutama dalam pendidikan. Di era Society 5.0, pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme menghadapi tantangan serupa. Teknologi bisa menjadi katalisator untuk pemahaman yang lebih dalam tentang keberagaman, namun juga membawa risiko kehilangan makna jika digunakan secara salah.


Era Society 5.0, yang mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan big data, memberikan peluang besar untuk memperluas jangkauan pendidikan multikultural. Namun, potensi ini tidak datang tanpa risiko. Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulakra dan hiperrealitas, mengingatkan kita bahwa realitas dapat terdistorsi oleh representasi digital. Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti bahwa pembelajaran yang bergantung pada teknologi dapat kehilangan esensi jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang mendalam dan kehadiran nyata siswa serta guru.


Teknologi digital memungkinkan pengajaran nilai-nilai multikultural tidak lagi terbatas pada ruang kelas fisik. Melalui platform digital, siswa dapat "berkunjung" ke tempat-tempat ibadah dari agama lain, menghadiri upacara budaya dari belahan dunia yang berbeda, atau berkolaborasi dalam proyek internasional. Namun, seperti Icarus, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam ilusi teknologi. Simulasi-simulasi ini harus dilandasi oleh kesadaran dan kehadiran penuh siswa, agar tidak menjadi sekadar pengalaman hiperrealitas yang hampa makna.


Salah satu peluang besar di era Society 5.0 adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam personalisasi pembelajaran. AI memungkinkan pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme untuk menyajikan materi yang relevan dengan latar belakang budaya siswa. Misalnya, AI dapat menghadirkan materi yang menghubungkan ajaran agama dengan praktik budaya lokal siswa. Hal ini dapat memperkuat identitas mereka, sekaligus membuka wawasan tentang keberagaman. Namun, jika AI hanya digunakan sebagai alat otomatisasi tanpa panduan manusia, pembelajaran bisa kehilangan dimensi emosional dan spiritual yang menjadi inti dari pendidikan agama.


Di sisi lain, big data memberikan kemampuan untuk menganalisis pola-pola pembelajaran siswa. Data ini dapat digunakan untuk merancang program pendidikan yang lebih efektif dalam menanamkan nilai-nilai multikulturalisme. Misalnya, dengan menganalisis respons siswa terhadap materi tertentu, guru dapat mengidentifikasi area yang perlu ditekankan lebih lanjut. Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa analisis data ini tidak memperkuat stereotip atau bias budaya yang sudah ada.


IoT (Internet of Things) juga membuka peluang untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih interaktif. Dengan perangkat yang terhubung secara digital, siswa dapat berpartisipasi dalam proyek-proyek lintas budaya secara real-time. Misalnya, melalui realitas virtual (VR), siswa dapat "menghadiri" upacara adat di negara lain, atau berdiskusi langsung dengan siswa dari budaya berbeda. Namun, lagi-lagi, pengalaman ini harus lebih dari sekadar simulasi visual. Siswa perlu diarahkan untuk memahami konteks budaya dan nilai-nilai yang mendasari tradisi tersebut.


Teknologi dan Tantangan Kehadiran Nyata


Jean Baudrillard menggambarkan dunia modern sebagai masyarakat yang terjebak dalam hiperrealitas, di mana representasi menjadi lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Dalam pendidikan, ini bisa berarti bahwa siswa lebih akrab dengan representasi digital dari keberagaman daripada pengalaman langsungnya. Misalnya, seorang siswa mungkin melihat representasi digital tentang kehidupan masyarakat adat, tetapi tanpa interaksi langsung, pemahamannya bisa dangkal dan terdistorsi.


Baudrillard mengingatkan bahwa simulasi yang terlalu dominan dapat mengikis kesadaran kita akan realitas. Dalam konteks pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme, hal ini berarti bahwa pembelajaran yang terlalu bergantung pada teknologi bisa kehilangan esensi spiritual dan emosionalnya. Guru harus memastikan bahwa teknologi digunakan sebagai alat untuk mendukung pembelajaran, bukan menggantikannya.


Sebagai contoh, pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) dapat menjadi cara efektif untuk mengintegrasikan teknologi dengan pengalaman nyata. Siswa dapat bekerja sama dalam proyek lintas budaya yang melibatkan interaksi langsung dengan komunitas. Dalam konteks pendidikan agama Islam, proyek ini bisa berupa penelitian tentang praktik keagamaan yang berbeda, atau pengembangan solusi untuk masalah sosial yang dihadapi masyarakat multikultural. Teknologi dapat digunakan untuk mendukung komunikasi dan kolaborasi, tetapi inti dari proyek ini adalah pengalaman langsung dan refleksi mendalam.


Membangun Kebiasaan Multikulturalisme


James Clear, dalam Atomic Habits, berbicara tentang pentingnya kebiasaan kecil yang konsisten dalam menciptakan perubahan besar. Dalam pendidikan multikulturalisme, pendekatan ini sangat relevan. Daripada mencoba mengubah seluruh sistem sekaligus, kita bisa mulai dengan langkah-langkah kecil namun signifikan. Misalnya, guru dapat membiasakan siswa untuk berdiskusi tentang keberagaman setiap minggu, atau mengadakan sesi refleksi tentang pengalaman lintas budaya mereka.


Clear juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung kebiasaan baik. Dalam konteks ini, sekolah perlu menciptakan budaya yang mendorong siswa untuk menghargai perbedaan. Ini bisa dilakukan melalui kegiatan rutin seperti diskusi kelompok, pertunjukan seni budaya, atau program pertukaran siswa. Dengan kebiasaan yang konsisten, siswa dapat menginternalisasi nilai-nilai multikulturalisme.


Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana membangun kebiasaan ini di dunia digital. Teknologi, jika tidak digunakan dengan bijak, bisa memperkuat isolasi sosial dan polarisasi. Media sosial, misalnya, sering kali mendorong pengguna untuk tetap berada dalam "gelembung informasi" mereka, yang memperkuat pandangan mereka sendiri tanpa membuka diri terhadap pandangan lain. Pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme harus mampu melawan tren ini dengan menciptakan ruang digital yang inklusif dan dialogis.


Pada akhirnya, teknologi adalah alat yang netral. Ia bisa menjadi sayap seperti milik Icarus, yang memungkinkan kita terbang lebih tinggi, tetapi juga bisa menjadi sumber kehancuran jika tidak digunakan dengan bijak. Pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme harus memastikan bahwa teknologi digunakan untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, bukan menggantikannya. Seperti yang digambarkan oleh Baudrillard, kita harus tetap sadar akan realitas di balik representasi digital, agar pendidikan tidak kehilangan esensinya.


Melintasi simulasi digital di era Society 5.0, pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme memiliki potensi besar untuk menciptakan generasi yang toleran dan peka terhadap keberagaman. Namun, potensi ini harus diimbangi dengan kesadaran mendalam dan pemanfaatan teknologi yang bijaksana. Teknologi harus menjadi alat untuk menyatukan, bukan memisahkan. Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa memastikan bahwa keberagaman tetap menjadi kekuatan utama dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis di era digital ini.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now