Oleh: Syamsul Kurniawan
Pada suatu malam yang sunyi di
ruang kerja saya, saya mendapati diri tenggelam dalam pemikiran tentang mitos
Yunani kejatuhan Icarus. Kisahnya, yang terbang terlalu dekat ke matahari
hingga lilin pada sayapnya meleleh, menjadi refleksi sempurna atas bagaimana
kita kerap menyikapi teknologi. Di satu sisi, teknologi menawarkan kita sayap
untuk terbang lebih tinggi, menjangkau hal-hal yang sebelumnya mustahil. Di
sisi lain, tanpa kebijaksanaan, teknologi bisa menjadi sumber kehancuran,
terutama dalam pendidikan. Di era Society 5.0, pendidikan agama Islam berbasis
multikulturalisme menghadapi tantangan serupa. Teknologi bisa menjadi
katalisator untuk pemahaman yang lebih dalam tentang keberagaman, namun juga
membawa risiko kehilangan makna jika digunakan secara salah.
Era Society 5.0, yang
mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan big
data, memberikan peluang besar untuk memperluas jangkauan pendidikan
multikultural. Namun, potensi ini tidak datang tanpa risiko. Jean Baudrillard,
dalam teorinya tentang simulakra dan hiperrealitas, mengingatkan kita bahwa
realitas dapat terdistorsi oleh representasi digital. Dalam konteks pendidikan,
hal ini berarti bahwa pembelajaran yang bergantung pada teknologi dapat
kehilangan esensi jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang mendalam dan
kehadiran nyata siswa serta guru.
Teknologi digital memungkinkan
pengajaran nilai-nilai multikultural tidak lagi terbatas pada ruang kelas
fisik. Melalui platform digital, siswa dapat "berkunjung" ke
tempat-tempat ibadah dari agama lain, menghadiri upacara budaya dari belahan dunia
yang berbeda, atau berkolaborasi dalam proyek internasional. Namun, seperti
Icarus, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam ilusi teknologi.
Simulasi-simulasi ini harus dilandasi oleh kesadaran dan kehadiran penuh siswa,
agar tidak menjadi sekadar pengalaman hiperrealitas yang hampa makna.
Salah satu peluang besar di era
Society 5.0 adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam personalisasi
pembelajaran. AI memungkinkan pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme
untuk menyajikan materi yang relevan dengan latar belakang budaya siswa.
Misalnya, AI dapat menghadirkan materi yang menghubungkan ajaran agama dengan
praktik budaya lokal siswa. Hal ini dapat memperkuat identitas mereka,
sekaligus membuka wawasan tentang keberagaman. Namun, jika AI hanya digunakan
sebagai alat otomatisasi tanpa panduan manusia, pembelajaran bisa kehilangan
dimensi emosional dan spiritual yang menjadi inti dari pendidikan agama.
Di sisi lain, big data
memberikan kemampuan untuk menganalisis pola-pola pembelajaran siswa. Data ini
dapat digunakan untuk merancang program pendidikan yang lebih efektif dalam
menanamkan nilai-nilai multikulturalisme. Misalnya, dengan menganalisis respons
siswa terhadap materi tertentu, guru dapat mengidentifikasi area yang perlu
ditekankan lebih lanjut. Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa
analisis data ini tidak memperkuat stereotip atau bias budaya yang sudah ada.
IoT (Internet of Things) juga
membuka peluang untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih interaktif.
Dengan perangkat yang terhubung secara digital, siswa dapat berpartisipasi
dalam proyek-proyek lintas budaya secara real-time. Misalnya, melalui realitas
virtual (VR), siswa dapat "menghadiri" upacara adat di negara lain,
atau berdiskusi langsung dengan siswa dari budaya berbeda. Namun, lagi-lagi,
pengalaman ini harus lebih dari sekadar simulasi visual. Siswa perlu diarahkan
untuk memahami konteks budaya dan nilai-nilai yang mendasari tradisi tersebut.
Teknologi dan Tantangan
Kehadiran Nyata
Jean Baudrillard menggambarkan
dunia modern sebagai masyarakat yang terjebak dalam hiperrealitas, di mana
representasi menjadi lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Dalam
pendidikan, ini bisa berarti bahwa siswa lebih akrab dengan representasi digital
dari keberagaman daripada pengalaman langsungnya. Misalnya, seorang siswa
mungkin melihat representasi digital tentang kehidupan masyarakat adat, tetapi
tanpa interaksi langsung, pemahamannya bisa dangkal dan terdistorsi.
Baudrillard mengingatkan bahwa
simulasi yang terlalu dominan dapat mengikis kesadaran kita akan realitas.
Dalam konteks pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme, hal ini
berarti bahwa pembelajaran yang terlalu bergantung pada teknologi bisa kehilangan
esensi spiritual dan emosionalnya. Guru harus memastikan bahwa teknologi
digunakan sebagai alat untuk mendukung pembelajaran, bukan menggantikannya.
Sebagai contoh, pembelajaran
berbasis proyek (Project-Based Learning) dapat menjadi cara efektif untuk
mengintegrasikan teknologi dengan pengalaman nyata. Siswa dapat bekerja sama
dalam proyek lintas budaya yang melibatkan interaksi langsung dengan komunitas.
Dalam konteks pendidikan agama Islam, proyek ini bisa berupa penelitian tentang
praktik keagamaan yang berbeda, atau pengembangan solusi untuk masalah sosial
yang dihadapi masyarakat multikultural. Teknologi dapat digunakan untuk
mendukung komunikasi dan kolaborasi, tetapi inti dari proyek ini adalah
pengalaman langsung dan refleksi mendalam.
Membangun Kebiasaan
Multikulturalisme
James Clear, dalam Atomic
Habits, berbicara tentang pentingnya kebiasaan kecil yang konsisten dalam
menciptakan perubahan besar. Dalam pendidikan multikulturalisme, pendekatan ini
sangat relevan. Daripada mencoba mengubah seluruh sistem sekaligus, kita bisa
mulai dengan langkah-langkah kecil namun signifikan. Misalnya, guru dapat
membiasakan siswa untuk berdiskusi tentang keberagaman setiap minggu, atau
mengadakan sesi refleksi tentang pengalaman lintas budaya mereka.
Clear juga menekankan pentingnya
menciptakan lingkungan yang mendukung kebiasaan baik. Dalam konteks ini,
sekolah perlu menciptakan budaya yang mendorong siswa untuk menghargai
perbedaan. Ini bisa dilakukan melalui kegiatan rutin seperti diskusi kelompok,
pertunjukan seni budaya, atau program pertukaran siswa. Dengan kebiasaan yang
konsisten, siswa dapat menginternalisasi nilai-nilai multikulturalisme.
Namun, tantangan terbesar adalah
bagaimana membangun kebiasaan ini di dunia digital. Teknologi, jika tidak
digunakan dengan bijak, bisa memperkuat isolasi sosial dan polarisasi. Media
sosial, misalnya, sering kali mendorong pengguna untuk tetap berada dalam
"gelembung informasi" mereka, yang memperkuat pandangan mereka
sendiri tanpa membuka diri terhadap pandangan lain. Pendidikan agama Islam
berbasis multikulturalisme harus mampu melawan tren ini dengan menciptakan
ruang digital yang inklusif dan dialogis.
Pada akhirnya, teknologi adalah
alat yang netral. Ia bisa menjadi sayap seperti milik Icarus, yang memungkinkan
kita terbang lebih tinggi, tetapi juga bisa menjadi sumber kehancuran jika
tidak digunakan dengan bijak. Pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme
harus memastikan bahwa teknologi digunakan untuk memperkuat nilai-nilai
kemanusiaan, bukan menggantikannya. Seperti yang digambarkan oleh Baudrillard,
kita harus tetap sadar akan realitas di balik representasi digital, agar
pendidikan tidak kehilangan esensinya.
Melintasi simulasi digital di
era Society 5.0, pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme memiliki
potensi besar untuk menciptakan generasi yang toleran dan peka terhadap
keberagaman. Namun, potensi ini harus diimbangi dengan kesadaran mendalam dan
pemanfaatan teknologi yang bijaksana. Teknologi harus menjadi alat untuk
menyatukan, bukan memisahkan. Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa
memastikan bahwa keberagaman tetap menjadi kekuatan utama dalam membangun
masyarakat yang inklusif dan harmonis di era digital ini.***