Oleh: Syamsul Kurniawan
Di dunia digital yang penuh dengan informasi dan interaksi sosial, algoritma
media sosial berperan sangat besar dalam membentuk bagaimana opini publik
berkembang. Berita yang viral dapat merubah persepsi kita terhadap suatu
peristiwa dengan begitu cepat, dan sering kali tidak seimbang dengan kenyataan
yang ada. Salah satu contoh nyata adalah kasus pelecehan seksual yang
melibatkan Agus, oknum penyandang disabilitas tersangka. Ketika berita ini
menyebar di media sosial, reaksi netizen berkembang dalam bentuk yang cepat dan
emosional, tidak jarang menyimpang dari konteks hukum dan moral yang
sesungguhnya.
Fenomena ini tidak bisa dipahami hanya dengan melihat bagaimana informasi
itu mengalir begitu saja. Untuk lebih mendalam memahami pembentukan opini
publik yang terjadi, kita bisa merujuk pada teori psikologi Sigmund Freud
tentang id, ego, dan superego, yang dapat menjelaskan bagaimana media sosial
dan algoritma memengaruhi cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak. Ketiga
elemen dalam teori Freud ini—id, ego, dan superego—berfungsi sebagai komponen
utama yang membentuk kepribadian manusia dan cara kita bereaksi terhadap
situasi tertentu. Dalam hal ini, teori tersebut juga bisa memberikan wawasan
tentang bagaimana algoritma membentuk opini publik, serta bagaimana kita
terperangkap dalam reaksi emosional yang didorong oleh media sosial.
Id: Keinginan Tanpa Kendali
Freud mengemukakan bahwa id adalah bagian dari kepribadian yang didorong
oleh naluri dasar dan keinginan tanpa kendali, terutama keinginan untuk
memuaskan kebutuhan instingtif seperti kenyamanan, kesenangan, dan pelepasan.
Dalam konteks media sosial, id ini tercermin dalam perilaku impulsif yang kita
lihat dalam banyak reaksi netizen terhadap berita-berita viral. Ketika sebuah
berita seperti kasus Agus muncul, algoritma media sosial, dengan cepat,
merespons keinginan instingtif ini, yaitu keinginan untuk terlibat dalam
dramatisasi cerita tersebut. Reaksi emosional—baik kemarahan, kebencian,
simpati, atau penyesalan—adalah respons id yang muncul dengan sangat cepat,
tanpa mempertimbangkan kenyataan atau proses hukum yang tengah berlangsung.
Algoritma media sosial mengerti bahwa emosi-emosi ini sangat kuat dalam
menarik perhatian, sehingga algoritma akan lebih mengutamakan konten yang bisa
memicu reaksi emosional yang intens. Dalam kasus Agus, kita dapat melihat
bagaimana informasi yang beredar cenderung berfokus pada hal-hal yang bisa
memicu amarah atau simpati secara mendalam. Sindiran terhadap kekurangan fisik
pelaku—seperti julukan "Buntung" yang disematkan pada Agus—menjadi
lebih sering muncul, karena kekurangan fisik tersebut dianggap "mudah"
untuk dijadikan target olok-olokan. Dalam hal ini, id masyarakat lebih fokus
pada ekspresi emosional yang seketika memenuhi keinginan untuk mendapatkan
kepuasan instan, daripada berusaha mencari kebenaran atau memproses informasi
secara rasional.
Ego: Pembelaan Diri yang Rasional
Di sisi lain, ego berfungsi untuk menyeimbangkan antara keinginan id dan
tuntutan kenyataan. Ego berusaha untuk mengendalikan dorongan-dorongan
instinktif dari id dan mencari cara yang lebih rasional untuk mencapainya.
Dalam konteks media sosial, ego ini berperan sebagai penggerak dari diskusi
yang lebih rasional dan berbasis bukti. Sayangnya, fungsi ego dalam masyarakat
digital sering kali terabaikan. Reaksi impulsif yang dipicu oleh algoritma
menggantikan ruang untuk refleksi dan pemikiran yang lebih mendalam.
Namun, dalam beberapa kasus, kita juga bisa melihat ego berperan dalam upaya
untuk menanggapi atau membela diri dari kritik. Dalam kasus Agus, beberapa
pihak mencoba untuk menunjukkan sisi kemanusiaan pelaku, dengan argumen bahwa
ia adalah penyandang disabilitas, dan oleh karena itu, seharusnya ada
pertimbangan lebih dalam proses hukumnya. Walaupun demikian, sering kali
perspektif ego ini lebih terhambat oleh arus besar reaksi emosional yang
menguasai platform media sosial. Diskusi yang lebih rasional sering kali
tenggelam dalam riuhnya komentar-komentar impulsif yang lebih cenderung
menghukum atau membela tanpa dasar yang kuat.
Superego: Moralitas dan Tanggung Jawab Sosial
Superego adalah bagian dari kepribadian yang berfungsi sebagai kontrol moral
dan etika, yang mengarahkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan norma dan
nilai sosial yang diterima. Di dunia media sosial, superego ini berperan untuk
menuntun masyarakat agar tetap berpijak pada nilai-nilai keadilan, empati, dan
moralitas. Namun, dalam konteks algoritma media sosial, fungsi superego sering
kali terkikis. Ketika sindiran-sindiran yang merendahkan fisik pelaku lebih
sering muncul, kita melihat bagaimana superego ini gagal mengontrol dorongan
untuk menghormati martabat manusia, bahkan terhadap pelaku kriminal.
Sindiran terhadap kekurangan fisik pelaku dalam kasus Agus adalah
manifestasi dari kegagalan superego dalam menuntun masyarakat untuk lebih
berfokus pada masalah inti—yaitu kejahatan yang dilakukan—dan bukan pada aspek
yang tidak relevan, seperti fisik atau kondisi sosial pelaku. Seringkali,
netizen di media sosial lebih tertarik untuk memperbincangkan fisik pelaku,
yang dianggap "unik" atau "berbeda", daripada mengingat
bahwa pelaku tersebut adalah seorang manusia yang sedang menghadapi proses
hukum. Sindiran-sindiran ini bukan hanya mengarah pada pengucilan, tetapi juga
merendahkan kemanusiaan pelaku, yang tentunya bertentangan dengan nilai-nilai
moral dan keadilan sosial yang seharusnya kita junjung.
Namun, di balik kritik sosial yang muncul, kita juga dapat melihat peran
superego yang berusaha untuk menegakkan keadilan. Sebagian dari kita masih
berusaha untuk menyarankan agar kasus ini diselesaikan dengan cara yang lebih
adil, dengan mempertimbangkan hak-hak hukum Agus sebagai tersangka, serta
menuntut agar media sosial tidak memperburuk keadaan dengan penilaian yang
terburu-buru atau tidak beralasan. Sayangnya, dalam banyak kasus, algoritma
lebih memilih konten yang cenderung mengabaikan superego ini—yakni, mengabaikan
norma sosial yang mengedepankan martabat setiap individu dan mengutamakan
keadilan.
Sindiran dan Polaritas: Distorsi Sosial yang Diciptakan Algoritma
Sebagai refleksi dari ketiga elemen dalam teori Freud, kita bisa melihat
bagaimana algoritma media sosial mendorong terjadinya distorsi sosial. Dalam
kasus Agus, sindiran-sindiran terhadap fisiknya yang mengarah pada olok-olokan
mengaburkan fokus kita dari substansi permasalahan yang sebenarnya: tindakan
pelecehan seksual yang dilakukan. Kekurangan fisik Agus, yang dalam hal ini
tidak relevan dengan kejahatan yang ia lakukan, justru menjadi fokus utama yang
mendapat perhatian besar. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana algoritma
bekerja untuk menguatkan reaksi emosional yang lebih rendah, tanpa memberikan
ruang bagi refleksi rasional atau nilai-nilai moral yang lebih luhur.
Lebih jauh lagi, perilaku ini memperburuk polarisasi sosial, di mana
orang-orang terpecah dalam pro dan kontra, tanpa ada ruang untuk pemahaman yang
lebih dalam tentang proses hukum yang sedang berlangsung. Polaritas ini
menciptakan ruang bagi ketidakadilan, karena opini yang terbentuk lebih
didorong oleh reaksi emosional daripada oleh pemikiran rasional yang didasari
oleh fakta dan bukti yang ada.
Pada akhirnya, kita harus mulai menyadari bahwa media sosial, meskipun
memiliki potensi untuk menciptakan ruang untuk diskusi yang konstruktif, sering
kali lebih mengutamakan emosi daripada rasionalitas. Sindiran-sindiran yang
lebih fokus pada kekurangan fisik pelaku, ketimbang pada kejahatan yang
dilakukan, adalah bentuk dari distorsi sosial yang sangat berbahaya. Kita harus
mengingat bahwa setiap individu, terlepas dari latar belakang fisiknya, berhak
untuk diperlakukan dengan martabat dan keadilan. Algoritma, meskipun dirancang
untuk meningkatkan interaksi, tidak boleh mengorbankan nilai-nilai moral yang
mendasari masyarakat yang adil dan beradab.***