Iklan

Media Sosial: Antara Keadilan dan Olok-olok

syamsul kurniawan
Saturday, January 18, 2025
Last Updated 2025-01-18T13:36:50Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Oleh: Syamsul Kurniawan


Di dunia digital yang penuh dengan informasi dan interaksi sosial, algoritma media sosial berperan sangat besar dalam membentuk bagaimana opini publik berkembang. Berita yang viral dapat merubah persepsi kita terhadap suatu peristiwa dengan begitu cepat, dan sering kali tidak seimbang dengan kenyataan yang ada. Salah satu contoh nyata adalah kasus pelecehan seksual yang melibatkan Agus, oknum penyandang disabilitas tersangka. Ketika berita ini menyebar di media sosial, reaksi netizen berkembang dalam bentuk yang cepat dan emosional, tidak jarang menyimpang dari konteks hukum dan moral yang sesungguhnya.


Fenomena ini tidak bisa dipahami hanya dengan melihat bagaimana informasi itu mengalir begitu saja. Untuk lebih mendalam memahami pembentukan opini publik yang terjadi, kita bisa merujuk pada teori psikologi Sigmund Freud tentang id, ego, dan superego, yang dapat menjelaskan bagaimana media sosial dan algoritma memengaruhi cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak. Ketiga elemen dalam teori Freud ini—id, ego, dan superego—berfungsi sebagai komponen utama yang membentuk kepribadian manusia dan cara kita bereaksi terhadap situasi tertentu. Dalam hal ini, teori tersebut juga bisa memberikan wawasan tentang bagaimana algoritma membentuk opini publik, serta bagaimana kita terperangkap dalam reaksi emosional yang didorong oleh media sosial.


Id: Keinginan Tanpa Kendali


Freud mengemukakan bahwa id adalah bagian dari kepribadian yang didorong oleh naluri dasar dan keinginan tanpa kendali, terutama keinginan untuk memuaskan kebutuhan instingtif seperti kenyamanan, kesenangan, dan pelepasan. Dalam konteks media sosial, id ini tercermin dalam perilaku impulsif yang kita lihat dalam banyak reaksi netizen terhadap berita-berita viral. Ketika sebuah berita seperti kasus Agus muncul, algoritma media sosial, dengan cepat, merespons keinginan instingtif ini, yaitu keinginan untuk terlibat dalam dramatisasi cerita tersebut. Reaksi emosional—baik kemarahan, kebencian, simpati, atau penyesalan—adalah respons id yang muncul dengan sangat cepat, tanpa mempertimbangkan kenyataan atau proses hukum yang tengah berlangsung.


Algoritma media sosial mengerti bahwa emosi-emosi ini sangat kuat dalam menarik perhatian, sehingga algoritma akan lebih mengutamakan konten yang bisa memicu reaksi emosional yang intens. Dalam kasus Agus, kita dapat melihat bagaimana informasi yang beredar cenderung berfokus pada hal-hal yang bisa memicu amarah atau simpati secara mendalam. Sindiran terhadap kekurangan fisik pelaku—seperti julukan "Buntung" yang disematkan pada Agus—menjadi lebih sering muncul, karena kekurangan fisik tersebut dianggap "mudah" untuk dijadikan target olok-olokan. Dalam hal ini, id masyarakat lebih fokus pada ekspresi emosional yang seketika memenuhi keinginan untuk mendapatkan kepuasan instan, daripada berusaha mencari kebenaran atau memproses informasi secara rasional.


Ego: Pembelaan Diri yang Rasional


Di sisi lain, ego berfungsi untuk menyeimbangkan antara keinginan id dan tuntutan kenyataan. Ego berusaha untuk mengendalikan dorongan-dorongan instinktif dari id dan mencari cara yang lebih rasional untuk mencapainya. Dalam konteks media sosial, ego ini berperan sebagai penggerak dari diskusi yang lebih rasional dan berbasis bukti. Sayangnya, fungsi ego dalam masyarakat digital sering kali terabaikan. Reaksi impulsif yang dipicu oleh algoritma menggantikan ruang untuk refleksi dan pemikiran yang lebih mendalam.


Namun, dalam beberapa kasus, kita juga bisa melihat ego berperan dalam upaya untuk menanggapi atau membela diri dari kritik. Dalam kasus Agus, beberapa pihak mencoba untuk menunjukkan sisi kemanusiaan pelaku, dengan argumen bahwa ia adalah penyandang disabilitas, dan oleh karena itu, seharusnya ada pertimbangan lebih dalam proses hukumnya. Walaupun demikian, sering kali perspektif ego ini lebih terhambat oleh arus besar reaksi emosional yang menguasai platform media sosial. Diskusi yang lebih rasional sering kali tenggelam dalam riuhnya komentar-komentar impulsif yang lebih cenderung menghukum atau membela tanpa dasar yang kuat.


Superego: Moralitas dan Tanggung Jawab Sosial


Superego adalah bagian dari kepribadian yang berfungsi sebagai kontrol moral dan etika, yang mengarahkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang diterima. Di dunia media sosial, superego ini berperan untuk menuntun masyarakat agar tetap berpijak pada nilai-nilai keadilan, empati, dan moralitas. Namun, dalam konteks algoritma media sosial, fungsi superego sering kali terkikis. Ketika sindiran-sindiran yang merendahkan fisik pelaku lebih sering muncul, kita melihat bagaimana superego ini gagal mengontrol dorongan untuk menghormati martabat manusia, bahkan terhadap pelaku kriminal.


Sindiran terhadap kekurangan fisik pelaku dalam kasus Agus adalah manifestasi dari kegagalan superego dalam menuntun masyarakat untuk lebih berfokus pada masalah inti—yaitu kejahatan yang dilakukan—dan bukan pada aspek yang tidak relevan, seperti fisik atau kondisi sosial pelaku. Seringkali, netizen di media sosial lebih tertarik untuk memperbincangkan fisik pelaku, yang dianggap "unik" atau "berbeda", daripada mengingat bahwa pelaku tersebut adalah seorang manusia yang sedang menghadapi proses hukum. Sindiran-sindiran ini bukan hanya mengarah pada pengucilan, tetapi juga merendahkan kemanusiaan pelaku, yang tentunya bertentangan dengan nilai-nilai moral dan keadilan sosial yang seharusnya kita junjung.


Namun, di balik kritik sosial yang muncul, kita juga dapat melihat peran superego yang berusaha untuk menegakkan keadilan. Sebagian dari kita masih berusaha untuk menyarankan agar kasus ini diselesaikan dengan cara yang lebih adil, dengan mempertimbangkan hak-hak hukum Agus sebagai tersangka, serta menuntut agar media sosial tidak memperburuk keadaan dengan penilaian yang terburu-buru atau tidak beralasan. Sayangnya, dalam banyak kasus, algoritma lebih memilih konten yang cenderung mengabaikan superego ini—yakni, mengabaikan norma sosial yang mengedepankan martabat setiap individu dan mengutamakan keadilan.


Sindiran dan Polaritas: Distorsi Sosial yang Diciptakan Algoritma


Sebagai refleksi dari ketiga elemen dalam teori Freud, kita bisa melihat bagaimana algoritma media sosial mendorong terjadinya distorsi sosial. Dalam kasus Agus, sindiran-sindiran terhadap fisiknya yang mengarah pada olok-olokan mengaburkan fokus kita dari substansi permasalahan yang sebenarnya: tindakan pelecehan seksual yang dilakukan. Kekurangan fisik Agus, yang dalam hal ini tidak relevan dengan kejahatan yang ia lakukan, justru menjadi fokus utama yang mendapat perhatian besar. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana algoritma bekerja untuk menguatkan reaksi emosional yang lebih rendah, tanpa memberikan ruang bagi refleksi rasional atau nilai-nilai moral yang lebih luhur.


Lebih jauh lagi, perilaku ini memperburuk polarisasi sosial, di mana orang-orang terpecah dalam pro dan kontra, tanpa ada ruang untuk pemahaman yang lebih dalam tentang proses hukum yang sedang berlangsung. Polaritas ini menciptakan ruang bagi ketidakadilan, karena opini yang terbentuk lebih didorong oleh reaksi emosional daripada oleh pemikiran rasional yang didasari oleh fakta dan bukti yang ada.


Pada akhirnya, kita harus mulai menyadari bahwa media sosial, meskipun memiliki potensi untuk menciptakan ruang untuk diskusi yang konstruktif, sering kali lebih mengutamakan emosi daripada rasionalitas. Sindiran-sindiran yang lebih fokus pada kekurangan fisik pelaku, ketimbang pada kejahatan yang dilakukan, adalah bentuk dari distorsi sosial yang sangat berbahaya. Kita harus mengingat bahwa setiap individu, terlepas dari latar belakang fisiknya, berhak untuk diperlakukan dengan martabat dan keadilan. Algoritma, meskipun dirancang untuk meningkatkan interaksi, tidak boleh mengorbankan nilai-nilai moral yang mendasari masyarakat yang adil dan beradab.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now