Iklan

Ketika Guru Menatap Layar, Murid Terjebak dalam Bayang-bayang.

syamsul kurniawan
Saturday, January 11, 2025
Last Updated 2025-01-13T11:08:34Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan


Saya menulis opini ini di tengah suasana kafe Tropis, ditemani secangkir kopi hitam yang aromanya memenuhi ruang. Sekitar saya, pohon-pohon hijau dan tanaman menjulang, memberikan kesejukan yang jarang ditemukan di hiruk-pikuk kota. Suasana ini mengingatkan saya pada nilai-nilai tradisional yang kerap kita lupakan di era modernisasi. Meskipun teknologi membawa kemajuan, kealpaan terhadap harmoni tradisi dan akhlak adalah ironi yang kian nyata.


Ketika Guru Menatap Layar, Murid Terjebak dalam Bayang-bayang. Judul ini muncul dari pengamatan sederhana: bagaimana guru sering kali asyik dengan perangkat teknologi tanpa memberikan teladan penggunaannya yang bijak, sementara murid justru lebih jauh terseret, berlari tanpa kendali. Keteladanan menjadi inti perbincangan ini. Ketika guru memegang peran sebagai pengarah dan pembimbing, bukankah semestinya mereka lebih dulu menunjukkan contoh dalam mengelola teknologi dengan bijak?


Kompetensi guru bukan sekadar kemampuan mengajar. Ini adalah kombinasi dari sikap, keterampilan, dan kemampuan untuk menciptakan pembelajaran yang efektif. Seorang guru seharusnya mampu menginspirasi murid untuk mengeksplorasi potensi mereka, memotivasi, dan mendorong kemandirian belajar. Dalam konteks teknologi, ini berarti mengarahkan siswa untuk memanfaatkan perangkat sebagai alat pembelajaran, bukan sekadar hiburan.


Namun, tantangan terbesar adalah memastikan guru itu sendiri menjadi teladan. Bagaimana seorang guru dapat menanamkan kedisiplinan digital jika mereka sendiri kerap terlihat memeriksa ponsel di tengah kelas? Guru yang "digugu lan ditiru" mestinya menunjukkan bahwa teknologi adalah alat, bukan penguasa.


Modernisasi menuntut adaptasi, dan ini sah-sah saja. Tetapi, adaptasi tanpa arah hanya akan menghasilkan generasi yang kecanduan teknologi. Di sini, peran guru sebagai pengarah sangat krusial. Murid perlu diajarkan bahwa gawai bukan musuh, tetapi teman belajar yang, jika tidak digunakan dengan benar, dapat menjadi bumerang.


Dalam teori perkembangan psikososial Erikson, perkembangan kemandirian anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Guru adalah bagian dari lingkungan sosial yang membentuk murid. Jika guru mampu menunjukkan penggunaan gawai secara produktif, murid akan lebih mudah mencontoh. Sayangnya, ketika guru sendiri gagal mengelola waktu dengan gawai, bagaimana murid dapat memahami batasan?


Pandemi COVID-19 yang terjadi beberapa tahun lalu masih segar dalam ingatan kita. Masa-masa itu, saat dunia tiba-tiba berhenti sejenak, mengubah banyak hal, termasuk cara anak-anak belajar. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi solusi darurat, mengandalkan teknologi sebagai jembatan penghubung antara guru dan siswa. Dalam waktu singkat, teknologi menjadi penghubung utama, menjadikan perannya begitu nyata dan tak tergantikan. Namun, di balik manfaatnya, sistem ini juga menjadi ujian berat bagi kemandirian siswa.


Ketergantungan pada jawaban instan yang mudah diakses melalui internet perlahan-lahan menggerus daya juang siswa. Proses berpikir kritis yang seharusnya diasah menjadi terpinggirkan oleh kemudahan informasi siap saji. Kebiasaan ini, jika dibiarkan, dapat menciptakan generasi yang tidak lagi berusaha mencari solusi, tetapi hanya bergantung pada jawaban instan.


Dalam situasi ini, kolaborasi antara guru dan orang tua menjadi sangat penting. Guru memiliki peran untuk mengarahkan, sedangkan orang tua menjadi pendamping di rumah yang memastikan penggunaan teknologi tetap terkendali dan bermanfaat. Dengan bekerja sama, keduanya dapat membantu siswa mengelola teknologi dengan bijak, menjadikannya alat untuk belajar, bukan untuk pelarian dari tanggung jawab.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now