Syamsul Kurniawan
GURU Pendidikan Agama Islam (Selanjutnya ditulis: Guru PAI), dalam
pandangan masyarakat dan siswa, tidak hanya sekadar pendidik yang menyampaikan
ilmu di dalam kelas. Ia adalah sosok yang senantiasa diamati, diteladani, dan
bahkan dijadikan acuan moral. Dalam setiap gestur, tutur kata, bahkan cara
menghadapi situasi, guru PAI menjadi panutan yang mewarnai perkembangan siswa.
Oleh karena itu, kompetensi sosial seorang guru PAI menjadi aspek yang sangat
krusial, tidak hanya dalam pembentukan pembelajaran efektif, tetapi juga dalam
pengembangan karakter siswa.
Kompetensi sosial memungkinkan guru PAI untuk menciptakan hubungan yang
harmonis dengan siswa, kolega, orang tua, hingga masyarakat sekitar. Dalam
proses pendidikan formal, hal ini menjadi salah satu penentu tercapainya tujuan
pendidikan. Guru yang memiliki kompetensi sosial unggul mampu menciptakan
suasana belajar yang inklusif, toleran, dan kooperatif. Sebaliknya, kegagalan
guru PAI untuk berinteraksi secara efektif sering kali menjadi akar berbagai
masalah, baik dalam pembelajaran di kelas maupun dalam pembentukan karakter
siswa.
Krisis Karakter dan Tanggung Jawab Guru PAI
Dalam beberapa tahun terakhir, tampak semakin banyak kasus di mana
nilai-nilai moral dan karakter siswa mengalami degradasi. Fenomena seperti
rendahnya rasa hormat kepada guru, minimnya kesadaran religius, hingga perilaku
intoleran, menjadi cerminan dari kegagalan dalam pendidikan karakter. Sebagai
ujung tombak pendidikan, banyak pihak menyoroti bahwa ketidakmampuan guru PAI mengoptimalkan
kompetensi sosialnya turut berkontribusi terhadap permasalahan ini.
Banyak guru PAI yang tidak menyadari bahwa kurangnya penerapan
kompetensi sosial mereka telah membuat interaksi mereka dengan siswa menjadi
kaku, kurang empatik, bahkan formalitas belaka. Padahal, dalam mendidik
karakter, keteladanan dan komunikasi yang efektif adalah hal yang esensial.
Guru PAI jelas tidak hanya mengajarkan nilai, tetapi juga hidup di dalamnya
serta menunjukkannya melalui perilaku sehari-hari.
Pendidikan di era Society 5.0 memberikan fokus pada pengintegrasian
teknologi dalam kehidupan manusia dengan tetap menempatkan nilai-nilai
kemanusiaan sebagai prioritas utama. Di dalam konteks ini, pendidikan tidak
hanya bertujuan untuk menghasilkan insan cerdas secara intelektual, tetapi juga
manusia yang memiliki karakter kuat, moral yang baik, serta keterampilan sosial
yang unggul. Namun, teknologi yang semakin canggih sering kali menciptakan
tantangan baru bagi guru. Termasuk dalam konteks ini: guru PAI.
Dalam era ini, kompetensi teknis seperti penguasaan Internet of Things
(IoT), kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), dan augmented reality,
menjadi kebutuhan pendidikan modern. Tetapi, yang lebih penting adalah
bagaimana teknologi ini digunakan untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan dan
moral. Guru PAI perlu memiliki keseimbangan antara literasi teknologi dan
kecakapan sosial, agar penggunaan teknologi tidak membawa kemunduran karakter.
Kompetensi sosial di era Society 5.0 bukan lagi entitas yang dapat
diabaikan. Guru PAI tidak hanya dituntut untuk memahami siswa sebagai individu
yang unik dengan potensi masing-masing, tetapi juga harus mampu merumuskan
strategi pendidikan berbasis kemitraan antara teknologi dan nilai-nilai
spiritual. Kehadiran IoT, misalnya, membuka peluang baru bagi guru PAI untuk
menjangkau siswa melalui platform digital. Namun, tanpa kemampuan sosial yang
efektif, teknologi justru bisa memperlebar jarak antara guru PAI dan siswa.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, dan
berempati tetap menjadi unsur krusial di era ini. Misalnya, guru PAI yang
memiliki kecakapan komunikasi yang baik akan lebih mampu memanfaatkan teknologi
untuk mendekati siswa, memahami kesulitan mereka, dan memberikan solusi yang
relevan dengan kebutuhan individu.
Setiap siswa tidak hanya belajar dari materi kurikulum, tetapi juga
dari lingkungan yang mereka tempati. Dalam hal ini, guru PAI memainkan peran
yang jauh melampaui penyampaian pengetahuan; ia adalah pembentuk atmosfer
kelas. Kompetensi sosial guru PAI memungkinkan terciptanya suasana pembelajaran
yang menghormati nilai-nilai keberbedaan, toleransi, dan empati. Sebagai
contoh, guru PAI yang mampu menjalin kedekatan dengan siswa cenderung lebih
berhasil dalam menanamkan nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, atau
tanggung jawab.
Sebaliknya, jika seorang guru PAI menunjukkan gaya komunikasi yang
tidak baik—seperti terlalu otoriter, cuek, atau tidak responsif—siswa akan
merasa terabaikan dan bahkan kehilangan motivasi untuk belajar. Situasi ini
sering kali menjadi akar dari rendahnya hasil pembelajaran dan kegagalan dalam
menanamkan nilai-nilai karakter.
Kompetensi Sosial Guru PAI: Tanggung Jawab yang Lebih Besar
Dalam konteks PAI, kompetensi sosial guru berperan lebih besar
dibandingkan mata pelajaran lainnya. Sebagai pengajar materi yang juga menjadi
pedoman moral dan spiritual siswa, guru PAI perlu memiliki kemampuan
berkomunikasi yang menginspirasi. Ia tidak hanya mendekati siswa dengan materi
ajar, tetapi juga dengan nasihat, keteladanan, hingga empati terhadap
permasalahan yang dihadapi siswa.
Guru PAI yang memiliki kompetensi sosial baik mampu menjadi tempat
berkembangnya siswa, baik secara intelektual maupun spiritual. Dalam situasi di
mana siswa menghadapi krisis moral atau kebingungan identitas, guru PAI dapat
memberikan arahan yang menenangkan dan membangun, bukannya memaksakan atau
menghakimi.
Kompetensi sosial guru PAI mencakup beberapa dimensi penting. Pertama,
kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan, tulisan, atau bahkan isyarat ketika
berinteraksi dengan siswa, kolega, atau orang tua siswa. Kedua, kemampuan untuk
menggunakan teknologi sebagai sarana komunikasi yang efektif. Ketiga, kemampuan
untuk bergaul dengan santun, baik di dunia kerja maupun dalam masyarakat umum.
Keempat, kemampuan beradaptasi terhadap latar belakang dan budaya siswa yang
beragam.
Kemampuan ini bukan sekadar teoritis; ia perlu diterapkan dalam
tindakan nyata. Guru, misalnya, harus dapat menunjukkan keterbukaan dalam
diskusi kelas, memberikan umpan balik yang membangun, serta melibatkan orang
tua dalam pencapaian perkembangan karakter siswa.
Teknologi sebagai Sarana Penunjang Kompetensi Sosial
Teknologi, meskipun awalnya terlihat seperti ancaman terhadap hubungan
manusia, sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk memperkuat kompetensi sosial guru.
Dengan menggunakan aplikasi komunikasi seperti WhatsApp, Google Classroom, atau
platform pembelajaran kolaboratif lainnya, guru dapat memperluas dialog antara
siswa, orang tua, dan dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, teknologi seperti
virtual reality dapat membantu guru menciptakan pengalaman belajar yang
interaktif, tetapi tetap berbasis pada pendekatan personal.
Namun, teknologi saja tidak cukup. Guru PAI perlu memiliki keterampilan
sosial untuk tetap menjaga hubungan manusiawi di tengah hubungan digital.
Sebuah pesan singkat yang hangat, panggilan video yang menyemangati, atau
sekadar perhatian kecil terhadap siswa, menjadi elemen penting yang menunjukkan
bahwa guru PAI tetap dekat dengan siswa meskipun melalui media virtual.
Sebagai penutup, kompetensi sosial guru PAI adalah pilar yang tidak
tergantikan dalam proses pendidikan karakter. Tanpa kemampuan ini, pendidikan
hanya akan menjadi transfer pengetahuan, bukan transformasi nilai. Guru PAI,
terutama di era Society 5.0, harus memadukan kompetensi teknologi dengan
kecerdasan sosial untuk memberikan pengalaman belajar yang relevan bagi siswa.
Era digital boleh saja mengubah cara kita belajar, tetapi guru PAI
dengan kompetensi sosial tinggi akan selalu menjadi figur sentral dalam
pengembangan manusia. Ia adalah jembatan antara nilai-nilai moral dan
teknologi, antara pengajaran akademik dan pendidikan karakter, antara harapan
siswa dan masa depan mereka. Kita hanya dapat mencapai kualitas pendidikan yang
lebih baik dengan memastikan guru PAI tetap berfungsi sebagai pendidik,
panutan, dan pemimpin moral bagi generasi mendatang.***