Oleh Syamsul Kurniawan
Pagi itu, dalam rutinitas yang kerap aku jalani, aku
menyusuri pertigaan dekat kampus untuk membeli sebotol air mineral di
minimarket kecil. Sebuah tindakan sederhana yang selama ini tampak biasa saja,
namun lambat laun aku mulai menyadari bahwa botol plastik yang kugenggam adalah
bagian dari masalah besar: krisis sampah plastik. Indonesia, salah satu penghasil
sampah plastik terbesar di dunia, dihadapkan pada kenyataan pahit. Jutaan ton
sampah plastik setiap tahunnya tidak terkelola dengan baik dan sebagian besar
akhirnya mencemari lautan, memengaruhi ekosistem laut dan menambah beban
lingkungan.
Sindiran ringan dari kolega yang mengomentari botol
plastik di tanganku membuatku berpikir lebih dalam. Benarkah tindakan kecil ini
bisa memberi dampak besar? Pertanyaan itu membawaku pada sebuah refleksi. Di
sisi lain, aku melihat bagaimana tumbler kini telah menjadi simbol kesadaran
lingkungan di kalangan masyarakat urban. Banyak orang membawa tumbler sebagai
bagian dari gaya hidup yang dianggap lebih peduli terhadap lingkungan. Namun,
di balik itu muncul pertanyaan lebih mendalam: apakah semua ini benar-benar
dilandasi oleh kesadaran yang tulus, atau hanya sekadar mengikuti tren sosial
yang diadopsi tanpa pemahaman mendalam?.
Yuval Noah Harari, dalam Sapiens (2018),
menggarisbawahi bahwa manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menciptakan
narasi dan simbol-simbol yang memberi makna pada kehidupan mereka. Dalam
konteks masyarakat modern, tumbler adalah salah satu simbol tersebut. Ia telah
menjadi bagian dari narasi besar tentang keberlanjutan dan kepedulian terhadap
lingkungan. Namun, seperti yang dijelaskan Harari, manusia sering kali
menggunakan narasi-narasi ini untuk meredakan kegelisahan eksistensialnya.
Tumbler, dalam hal ini, bisa menjadi bagian dari narasi semacam itu—sesuatu
yang membuat kita merasa telah berbuat sesuatu untuk menyelamatkan bumi,
meskipun dalam kenyataannya, kita masih terjebak dalam pola konsumsi yang sama.
Pierre Bourdieu, melalui konsep “habitus” dalam Distinction:
A Social Critique of the Judgement of Taste (2015), menawarkan pemahaman
yang lebih mendalam mengenai fenomena ini. Bourdieu menjelaskan bahwa kebiasaan
sosial dan pola konsumsi kita sering kali terbentuk tanpa kita sadari
sepenuhnya. Dalam masyarakat urban, penggunaan tumbler adalah bagian dari “habitus”
modern, di mana kebiasaan membawa tumbler telah menjadi norma yang sesuai
dengan gaya hidup yang dianggap lebih sadar lingkungan. Namun, di balik semua
itu, ada ironi yang tidak bisa diabaikan. Meski tumbler mengurangi penggunaan
plastik sekali pakai, proses produksinya sendiri tetap meninggalkan jejak
karbon yang signifikan. Hal ini memperlihatkan betapa kompleksnya masalah
lingkungan yang kita hadapi.
Mengubah Kebiasaan: Lebih dari Sekadar Tumbler
Di balik tren tumbler yang semakin populer ini, kita
tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa Indonesia sedang berada di
tengah krisis besar: “darurat sampah plastik”. Lautan kita yang dahulu kaya
akan keanekaragaman hayati kini dipenuhi oleh jutaan ton sampah plastik,
sebagian besar berasal dari kebiasaan konsumsi yang mengandalkan produk plastik
sekali pakai. Pierre Bourdieu, dengan pendekatan “habitus”-nya, mengajak kita
untuk melihat bahwa kebiasaan sosial, seperti penggunaan tumbler, meskipun penting,
tidak cukup untuk mengatasi masalah lingkungan yang lebih kompleks.
Dalam konteks ini, tumbler adalah simbol perubahan
kecil, tetapi tidak bisa menjadi solusi tunggal untuk krisis sampah plastik
yang kian memburuk. “Habitus” konsumsi berlebihan, ketergantungan kita pada
plastik, dan minimnya infrastruktur pengelolaan sampah adalah tantangan besar
yang harus dihadapi dengan kebijakan struktural yang lebih mendalam. Indonesia
memerlukan perubahan paradigma besar-besaran dalam cara kita memproduksi dan
mengonsumsi plastik.
Tumbler memang dapat mengurangi konsumsi plastik
sekali pakai, tetapi kita membutuhkan langkah yang lebih radikal dalam
membangun sistem pengelolaan sampah yang efisien dan berkelanjutan.
Langkah-langkah kecil seperti membawa tumbler hanyalah awal dari solusi.
Indonesia membutuhkan kebijakan yang lebih tegas dan infrastruktur yang lebih
baik untuk mengelola sampah plastik secara lebih komprehensif. Hanya dengan
mengubah pola pikir kita tentang konsumsi—dari yang bersifat simbolis menjadi
tindakan nyata—kita dapat mengatasi masalah ini.
Simfoni gaya hidup urban, dengan tumbler sebagai
instrumen utamanya, memang terdengar harmonis di permukaan. Namun, seperti
halnya sebuah simfoni, nada-nada di baliknya terkadang menyembunyikan disonansi
yang mengganggu. Penggunaan tumbler memang langkah yang baik dan penting,
tetapi ia tidak cukup untuk menangani krisis lingkungan yang lebih besar.
Indonesia sedang berada di tengah “darurat sampah plastik”, dan tindakan nyata
harus dilakukan lebih dari sekadar simbolisme.
Tumbler, dalam pandangan yang lebih luas, bukan
sekadar alat minum atau penanda identitas sosial. Ia menjadi refleksi dari
masyarakat yang berusaha menyeimbangkan kebutuhan praktis dengan komitmen
keberlanjutan. Namun, jika kita hanya berhenti pada simbolisme tanpa berusaha
merombak cara konsumsi dan produksi plastik, kita hanya menunda krisis yang
jauh lebih besar. Kesadaran yang kita bangun dari tren tumbler harus diperluas
menjadi aksi nyata yang berdampak lebih luas, baik dalam bentuk kebijakan maupun
perubahan perilaku.
Refleksi ini membawaku pada pemahaman baru tentang
peranku dalam tren ini. Mengikuti arus tumbler mungkin tak terhindarkan, namun
aku tak ingin terjebak dalam makna sempit bahwa tumbler hanyalah sebuah
aksesori gaya hidup. Bagiku, tumbler harus menjadi simbol nyata dari perubahan
perilaku konsumsi yang lebih bertanggung jawab. Bukan hanya penanda identitas,
tetapi juga komitmen untuk mulai memikirkan dampak yang lebih luas. Penggunaan
tumbler hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk merombak cara kita mengelola
sampah dan mengurangi ketergantungan pada plastik.***