Iklan

Sekecewa Itu

syamsul kurniawan
Tuesday, December 3, 2024
Last Updated 2024-12-14T10:10:01Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 

Ilustrasi (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/703617141772454527/)

Cerpen: Syamsul Kurniawan


Pada malam yang hujan itu, tepat 10 November, Viti duduk terpaku di ujung tempat tidur, pandangannya kosong menatap layar handphone yang gemetar di tangannya. Suara detakan jantungnya menyaingi hujan yang membasahi atap rumah. Pesan singkat itu datang begitu mendalam, mengoyak relung hatinya: “Innalillahi, Candra meninggal dunia karena kecelakaan. Sabar ya, Viti.”


Dia tak tahu harus merasa apa. Hanya ada kehampaan, seolah seluruh dunia runtuh tanpa peringatan. Candra, yang dulu adalah sosok yang selalu mengisi ruang hatinya, kini telah tiada. Sosok yang pernah menyelimutinya dengan cinta, kini tinggal kenangan. Kenangan yang, meski pahit, begitu sulit untuk dilupakan.


Ia teringat bagaimana dulu Candra, seorang pemuda yang penuh semangat, selalu datang ke rumahnya dengan gitar di punggung, menyanyikan lagu-lagu yang mereka buat bersama, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Waktu itu, Candra adalah segala-galanya—sahabat, kekasih, dan tempat di mana hatinya bertahta.


Namun, kini, semua itu hanyalah bayangan yang hilang. Viti memejamkan mata, berusaha menahan perasaan yang mulai merobek dadanya. Kenangan indah itu begitu nyata, seolah mereka baru saja bercanda, tertawa bersama. Namun, ia ingat dengan jelas pula saat Candra mulai menjauh. Saat ia melihat kedekatan Candra dengan Imel, teman band-nya. Ada sesuatu yang berubah dalam diri Candra, dan Viti merasakannya.


Di tengah keraguan dan kekecewaan, Viti menelusuri kembali apa yang terjadi antara mereka. Ia ingat, tepat setahun yang lalu, tanggal yang sama dengan hari ini, saat ia memutuskan hubungan mereka. Candra, yang selalu menatapnya dengan penuh harap, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang penuh penyesalan. Namun bagi Viti, keputusan itu sudah bulat.


"Viti, aku salah. Aku minta maaf. Aku masih mencintaimu," kata Candra saat itu, dengan suara yang hampir pecah.


Tapi Viti hanya menundukkan kepala. Hatinya tak lagi bisa menerima semua kata-kata itu. "Kamu sudah melukai aku, Candra. Aku tidak bisa terus begini. Aku merasa... aku bukan lagi siapa-siapamu."


Candra berdiri di depan pintu, matanya berkaca-kaca. Viti tidak tahu mengapa, tapi ia merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan. Cinta yang dulu mereka bagi kini terasa seperti beban, sesuatu yang terlalu berat untuk dipikul lagi. Ketika Candra akhirnya pergi, Viti menutup pintu itu dengan berat hati. Sejak saat itu, dunia mereka terpisah.

***


Namun kini, di hadapan peti jenazah Candra, semuanya terasa berbeda. Viti merasa hampa, tidak tahu harus merasa marah, kecewa, atau justru bersedih. Candra sudah tiada, dan ia tahu, seberapa besar pun rasa sakit yang ia rasakan, tak ada lagi kata yang bisa mengubah apa yang telah terjadi. Viti memejamkan mata, dan air mata mulai menetes, meski ia berusaha keras menahannya.


Ia berdiri di sana, di antara kerumunan orang yang datang untuk memberi penghormatan terakhir pada Candra. Semua wajah tampak sedih, tetapi tidak ada yang bisa merasakan kepedihannya, karena hanya Viti yang tahu betapa besar rasa kecewa yang ia simpan. Candra, yang dulu begitu dekat dengannya, kini hanyalah bagian dari kenangan.


Di sudut ruangan, Imel berdiri dengan wajah yang terbalut kesedihan, seolah ia tak percaya dengan apa yang terjadi. Viti menatap Imel dari kejauhan. Imel, yang pernah menjadi penghalang hubungan mereka, kini juga terlihat terhimpit oleh duka yang sama. Namun Viti tahu, hatinya tak bisa lagi terbuka untuk Candra. Walau ia mencintainya, luka itu terlalu dalam untuk disembuhkan.


"Viti, aku... aku benar-benar menyesal," suara Imel terdengar lirih, seolah berusaha mencari jawaban dari Viti yang tak pernah ia dapatkan.


Viti hanya mengangguk pelan, tak bisa berkata-kata. Baginya, kata-kata itu sudah tidak berguna lagi. Semua yang terjadi sudah terlalu jauh. Cinta mereka, yang dulu begitu indah dan penuh harapan, kini hanya menyisakan duka yang tak kunjung hilang.


Ia mengingat kembali bagaimana Candra dan Imel sering bersama di studio band. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Candra. Terkadang, saat ia mengajak Candra berbicara, Candra hanya menghindar, memilih berbicara dengan Imel. Viti tahu, ada sesuatu yang terjadi antara mereka, meskipun Candra selalu meyakinkannya bahwa itu hanya masalah musik.


Namun, rasa curiga semakin berkembang. Viti merasa seperti kehilangan kendali atas hubungan mereka. Cinta yang ia berikan dengan sepenuh hati terasa seperti tak dihargai. Candra, yang dulu begitu penuh cinta, kini seperti menjauh tanpa alasan yang jelas. Hingga akhirnya, saat dia tahu Imel mulai mengambil tempat di hati Candra, Viti merasa terkhianati.


"Di mana letak hatimu yang dulu, Candra?" Viti berkata pada dirinya sendiri, menyeka air mata yang semakin sulit ia tahan. "Kenapa kamu memilih dia?"


Namun, meski semua itu menyakitkan, Viti juga merasa ada sebuah kerinduan yang masih menggelayuti hatinya. Bagaimana bisa cinta yang begitu besar berubah menjadi kehampaan seperti ini? Mengapa ia tak bisa membenci Candra, meskipun Candra sudah melukainya sedalam ini?


Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Imel berdiri di sampingnya, dengan wajah yang basah oleh air mata. "Viti," kata Imel, suara seraknya hampir tak terdengar. "Aku tahu, kamu kecewa. Tapi, Candra... dia benar-benar mencintaimu. Dia selalu ingin kembali ke kamu. Tapi... aku tahu, sudah terlambat."


Viti menatap Imel dengan kosong. "Sudah terlambat. Cinta yang dia berikan sudah terlalu terlambat untukku."


Imel terisak, menunduk. "Aku tahu, Viti. Aku tahu. Aku hanya... ingin kamu tahu, dia selalu memikirkanmu, bahkan saat dia pergi."


Pada saat itu, Viti merasa seolah waktu berhenti. Semua yang ada di sekelilingnya terhapus, hanya ada Candra dalam pikirannya. Candra, yang terbang terlalu tinggi, tanpa menyadari bahwa dalam keinginannya untuk mencintainya, ia melukai semua yang ada di sekitarnya. Cinta mereka adalah cinta yang melampaui batas, terlalu jauh, terlalu dalam, hingga akhirnya hancur berkeping-keping.


Viti menatap wajah Candra sekali lagi. Wajah yang kini tampak damai, seolah bebas dari semua beban yang pernah mereka pikul bersama. Tetapi bagi Viti, kedamaian itu datang terlambat. Cinta yang seharusnya menyatukan mereka kini justru menyisakan luka yang tak terobati.


Ia berbalik dan melangkah pergi. Cinta itu sudah terhapus. Kini, Viti tahu, hatinya tak akan pernah bisa kembali seperti dulu. Sebagaimana Icarus yang terjatuh setelah terbang terlalu tinggi, cinta mereka pun jatuh dengan kejam. Dan kini, Viti harus belajar untuk hidup tanpa Candra, meskipun ia tahu, kenangan tentangnya akan selalu mengisi ruang yang kosong di hatinya.


Viti mengangkat wajahnya, menyeka air mata yang kini lebih banyak daripada yang bisa ia tahan, dan berjalan keluar dari rumah duka itu, meninggalkan semua kenangan yang tak akan pernah kembali.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now