Ilustrasi (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/703617141772454527/) |
Cerpen: Syamsul Kurniawan
Pada malam yang hujan itu, tepat 10 November,
Viti duduk terpaku di ujung tempat tidur, pandangannya kosong menatap layar
handphone yang gemetar di tangannya. Suara detakan jantungnya menyaingi hujan
yang membasahi atap rumah. Pesan singkat itu datang begitu mendalam, mengoyak
relung hatinya: “Innalillahi, Candra meninggal dunia karena kecelakaan.
Sabar ya, Viti.”
Dia tak tahu harus merasa apa. Hanya ada
kehampaan, seolah seluruh dunia runtuh tanpa peringatan. Candra, yang dulu
adalah sosok yang selalu mengisi ruang hatinya, kini telah tiada. Sosok yang
pernah menyelimutinya dengan cinta, kini tinggal kenangan. Kenangan yang, meski
pahit, begitu sulit untuk dilupakan.
Ia teringat bagaimana dulu Candra, seorang
pemuda yang penuh semangat, selalu datang ke rumahnya dengan gitar di punggung,
menyanyikan lagu-lagu yang mereka buat bersama, seolah dunia hanya milik mereka
berdua. Waktu itu, Candra adalah segala-galanya—sahabat, kekasih, dan tempat di
mana hatinya bertahta.
Namun, kini, semua itu hanyalah bayangan yang
hilang. Viti memejamkan mata, berusaha menahan perasaan yang mulai merobek
dadanya. Kenangan indah itu begitu nyata, seolah mereka baru saja bercanda,
tertawa bersama. Namun, ia ingat dengan jelas pula saat Candra mulai menjauh.
Saat ia melihat kedekatan Candra dengan Imel, teman band-nya. Ada sesuatu yang
berubah dalam diri Candra, dan Viti merasakannya.
Di tengah keraguan dan kekecewaan, Viti
menelusuri kembali apa yang terjadi antara mereka. Ia ingat, tepat setahun yang
lalu, tanggal yang sama dengan hari ini, saat ia memutuskan hubungan mereka.
Candra, yang selalu menatapnya dengan penuh harap, tiba-tiba berubah menjadi
sosok yang penuh penyesalan. Namun bagi Viti, keputusan itu sudah bulat.
"Viti, aku salah. Aku minta maaf. Aku
masih mencintaimu," kata Candra saat itu, dengan suara yang hampir pecah.
Tapi Viti hanya menundukkan kepala. Hatinya
tak lagi bisa menerima semua kata-kata itu. "Kamu sudah melukai aku,
Candra. Aku tidak bisa terus begini. Aku merasa... aku bukan lagi
siapa-siapamu."
Candra berdiri di depan pintu, matanya
berkaca-kaca. Viti tidak tahu mengapa, tapi ia merasa tak ada lagi yang bisa
dilakukan. Cinta yang dulu mereka bagi kini terasa seperti beban, sesuatu yang
terlalu berat untuk dipikul lagi. Ketika Candra akhirnya pergi, Viti menutup
pintu itu dengan berat hati. Sejak saat itu, dunia mereka terpisah.
***
Namun kini, di hadapan peti jenazah Candra,
semuanya terasa berbeda. Viti merasa hampa, tidak tahu harus merasa marah,
kecewa, atau justru bersedih. Candra sudah tiada, dan ia tahu, seberapa besar
pun rasa sakit yang ia rasakan, tak ada lagi kata yang bisa mengubah apa yang
telah terjadi. Viti memejamkan mata, dan air mata mulai menetes, meski ia
berusaha keras menahannya.
Ia berdiri di sana, di antara kerumunan orang
yang datang untuk memberi penghormatan terakhir pada Candra. Semua wajah tampak
sedih, tetapi tidak ada yang bisa merasakan kepedihannya, karena hanya Viti
yang tahu betapa besar rasa kecewa yang ia simpan. Candra, yang dulu begitu
dekat dengannya, kini hanyalah bagian dari kenangan.
Di sudut ruangan, Imel berdiri dengan wajah
yang terbalut kesedihan, seolah ia tak percaya dengan apa yang terjadi. Viti
menatap Imel dari kejauhan. Imel, yang pernah menjadi penghalang hubungan
mereka, kini juga terlihat terhimpit oleh duka yang sama. Namun Viti tahu,
hatinya tak bisa lagi terbuka untuk Candra. Walau ia mencintainya, luka itu
terlalu dalam untuk disembuhkan.
"Viti, aku... aku benar-benar
menyesal," suara Imel terdengar lirih, seolah berusaha mencari jawaban
dari Viti yang tak pernah ia dapatkan.
Viti hanya mengangguk pelan, tak bisa
berkata-kata. Baginya, kata-kata itu sudah tidak berguna lagi. Semua yang
terjadi sudah terlalu jauh. Cinta mereka, yang dulu begitu indah dan penuh
harapan, kini hanya menyisakan duka yang tak kunjung hilang.
Ia mengingat kembali bagaimana Candra dan Imel
sering bersama di studio band. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Candra.
Terkadang, saat ia mengajak Candra berbicara, Candra hanya menghindar, memilih
berbicara dengan Imel. Viti tahu, ada sesuatu yang terjadi antara mereka,
meskipun Candra selalu meyakinkannya bahwa itu hanya masalah musik.
Namun, rasa curiga semakin berkembang. Viti
merasa seperti kehilangan kendali atas hubungan mereka. Cinta yang ia berikan
dengan sepenuh hati terasa seperti tak dihargai. Candra, yang dulu begitu penuh
cinta, kini seperti menjauh tanpa alasan yang jelas. Hingga akhirnya, saat dia
tahu Imel mulai mengambil tempat di hati Candra, Viti merasa terkhianati.
"Di mana letak hatimu yang dulu,
Candra?" Viti berkata pada dirinya sendiri, menyeka air mata yang semakin
sulit ia tahan. "Kenapa kamu memilih dia?"
Namun, meski semua itu menyakitkan, Viti juga
merasa ada sebuah kerinduan yang masih menggelayuti hatinya. Bagaimana bisa
cinta yang begitu besar berubah menjadi kehampaan seperti ini? Mengapa ia tak
bisa membenci Candra, meskipun Candra sudah melukainya sedalam ini?
Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
Imel berdiri di sampingnya, dengan wajah yang basah oleh air mata.
"Viti," kata Imel, suara seraknya hampir tak terdengar. "Aku
tahu, kamu kecewa. Tapi, Candra... dia benar-benar mencintaimu. Dia selalu
ingin kembali ke kamu. Tapi... aku tahu, sudah terlambat."
Viti menatap Imel dengan kosong. "Sudah
terlambat. Cinta yang dia berikan sudah terlalu terlambat untukku."
Imel terisak, menunduk. "Aku tahu, Viti.
Aku tahu. Aku hanya... ingin kamu tahu, dia selalu memikirkanmu, bahkan saat
dia pergi."
Pada saat itu, Viti merasa seolah waktu
berhenti. Semua yang ada di sekelilingnya terhapus, hanya ada Candra dalam
pikirannya. Candra, yang terbang terlalu tinggi, tanpa menyadari bahwa dalam
keinginannya untuk mencintainya, ia melukai semua yang ada di sekitarnya. Cinta
mereka adalah cinta yang melampaui batas, terlalu jauh, terlalu dalam, hingga
akhirnya hancur berkeping-keping.
Viti menatap wajah Candra sekali lagi. Wajah
yang kini tampak damai, seolah bebas dari semua beban yang pernah mereka pikul
bersama. Tetapi bagi Viti, kedamaian itu datang terlambat. Cinta yang
seharusnya menyatukan mereka kini justru menyisakan luka yang tak terobati.
Ia berbalik dan melangkah pergi. Cinta itu
sudah terhapus. Kini, Viti tahu, hatinya tak akan pernah bisa kembali seperti
dulu. Sebagaimana Icarus yang terjatuh setelah terbang terlalu tinggi, cinta
mereka pun jatuh dengan kejam. Dan kini, Viti harus belajar untuk hidup tanpa
Candra, meskipun ia tahu, kenangan tentangnya akan selalu mengisi ruang yang
kosong di hatinya.
Viti mengangkat wajahnya, menyeka air mata
yang kini lebih banyak daripada yang bisa ia tahan, dan berjalan keluar dari
rumah duka itu, meninggalkan semua kenangan yang tak akan pernah kembali.***