Iklan

Radikalisme Umat Beragama: Trauma Globalisasi dan Resistensi Terhadap Modernisasi

syamsul kurniawan
Friday, December 20, 2024
Last Updated 2024-12-22T10:12:22Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan


DI TENGAH gemuruh zaman, globalisasi hadir seperti arus besar yang tak bisa dihindari, merambah setiap sudut kehidupan. Ia membawa serta janji kemajuan, keterbukaan, dan kemakmuran yang lebih merata. Namun, seperti arus yang deras, globalisasi juga menggerus pinggiran, mengaburkan batas-batas yang dulu kokoh, dan meninggalkan jejak-jejak ketidakpastian yang mendalam di banyak tempat.

 

Globalisasi sebagai konsekuensi dari perubahan sosial adalah sesuatu yang niscaya dalam perjalanan sejarah umat manusia. Ia adalah proses alami, bagian dari dinamika kehidupan sosial yang terus berkembang. Ketika struktur dan fungsi dari sistem sosial bergeser, kita menyebutnya perubahan sosial—suatu fenomena yang tak bisa dihindari oleh masyarakat manapun, kapanpun, dan di manapun. Kondisi ini adalah salah satu bentuk paling mencolok dari perubahan sosial, sebuah proses yang membawa transformasi total kehidupan bersama, mengubah pola-pola tradisional menjadi lebih modern.

 

Namun, globalisasi tidak pernah datang tanpa tantangan. Ia selalu diiringi oleh ketegangan, baik dalam tataran individu maupun kolektif. Ada yang menyambutnya sebagai angin segar, tanda dari era baru yang lebih cerah. Namun, ada pula yang merasa terancam, takut kehilangan akar yang selama ini menjadi landasan hidup mereka. Perubahan yang begitu cepat dan mendalam ini sering kali menghadirkan dilema: apakah globalisasi harus melulu tentang modernitas dan mengabaikan tradisi? Atau, mungkinkah, globalisasi bisa dibangun dari keduanya?

 

Untuk memahami lebih dalam fenomena ini, kita dapat merujuk pada teori perubahan sosial dari Talcott Parsons. Parsons, dalam karyanya The Social System (1964), mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah hasil dari penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan yang terjadi baik dari dalam maupun luar sistem tersebut. Teori fungsionalisme struktural Parsons menjelaskan bahwa setiap elemen dalam sistem sosial memiliki fungsi tertentu untuk menjaga keseimbangan sistem. Ketika ada tekanan dari luar, sistem sosial harus beradaptasi untuk mempertahankan keseimbangan tersebut. Proses adaptasi ini sering kali menghasilkan perubahan dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Dengan demikian, perubahan sosial sebagai proses yang bertahap, di mana perubahan kecil dalam satu bagian sistem dapat menyebabkan penyesuaian di bagian lain, sehingga keseluruhan sistem tetap stabil. Namun, dalam konteks modernisasi dan globalisasi, penyesuaian ini sering kali tidak cukup untuk menjaga keseimbangan. (Parsons, 1964)

 

Perubahan yang terjadi begitu cepat dan luas sering kali mengakibatkan ketidakstabilan yang signifikan dalam sistem sosial, yang pada gilirannya memunculkan reaksi-reaksi yang beragam, termasuk radikalisme dan penolakan terhadap modernisasi. Pada ranah ini, radikalisme kerap melakukan penolakan terhadap modernisasi, dikarenakan dugaan kelompok-kelompok pendukung paham ini, bahwa modernisasi adalah proyek dari Barat. Padahal, modernisasi dan westernisasi perlu dibedakan. modernisasi, meskipun sering dikaitkan dengan proses kebarat-baratan, sebenarnya adalah fenomena yang lebih kompleks. Dalam konteks ini, Barat mungkin telah mencapai modernitas lebih dulu, namun jalan menuju modernitas tidak harus selalu meniru Barat. Modernisasi pada intinya adalah proses berkemajuan, bukan sekadar adopsi nilai-nilai Barat. (Abdulsyani, 1994)

 

Jefta Leibo menguraikan bahwa proses modernisasi dapat dipicu oleh tiga hal: pertama, immanent change, yang berasal dari perubahan internal dalam sistem sosial itu sendiri; kedua, selective contact change, di mana ide-ide baru diperkenalkan oleh pengaruh luar secara tidak sadar; dan ketiga, directed contact change ketika perubahan tersebut sengaja didorong oleh kekuatan eksternal dengan sengaja. (Leibo, 1995) Dalam konteks masyarakat Islam di Indonesia, ketiga faktor ini tampak relevan, menciptakan dinamika yang rumit antara tradisi dan modernitas.

 

***

Di era globalisasi, dunia kita tampak semakin terhubung. Namun, di balik keterhubungan ini, terselip kerentanan yang sering kali tak kasat mata. Globalisasi tidak hanya membawa angin kemajuan, tetapi juga menebarkan benih-benih ketidakpastian, ketidakadilan, dan alienasi. Dalam konteks ini, radikalisme umat beragama sering kali muncul sebagai reaksi ekstrem terhadap trauma yang disebabkan oleh globalisasi.

 

Zuhairi Misrawi, dalam analisisnya, menunjukkan bahwa terorisme yang melibatkan pemeluk agama dapat dipandang sebagai reaksi dari pertemuan keras antara nilai-nilai tradisional agama dan arus deras globalisasi. Ia menyatakan bahwa globalisasi telah mempertemukan berbagai simbol agama dengan dinamika global yang tidak selalu harmonis, menciptakan kondisi di mana agama sering kali menjadi benteng terakhir bagi mereka yang merasa terancam oleh perubahan sosial yang cepat dan tak terkendali. Dalam konteks ini, agama bukan hanya sekadar sumber identitas, tetapi juga perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang dianggap merusak tatanan sosial yang mapan. (Misrawi, 2006)

 

Globalisasi, dengan segala janji kemakmurannya, ternyata membawa ketidakadilan yang lebih luas. Talcott Parsons, menjelaskan bahwa ketika tekanan dari luar terlalu besar, sistem sosial mengalami ketidakstabilan yang signifikan. (Parsons, 1964) Dalam konteks globalisasi, ketidakstabilan ini sering kali memunculkan reaksi-reaksi defensif dari kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan. Bagi mereka yang mengalami trauma akibat perubahan yang terlalu cepat, agama sering kali menjadi tempat berlindung—sebuah sarana untuk mempertahankan identitas di tengah dunia yang tampak semakin asing. Ketika modernisasi muncul sebagai konsekuensi dari globalisasi, maka ia kemudian turut menjadi “kambing hitam”. Tambahan lagi, “Barat” yang dipandang sebagai pesaing untuk kelompok-kelompok pendukung paham ini, kerap menyuarakan pentingnya menjadi modern.

 

Radikalisme umat beragama, dalam pandangan Misrawi, tidak terlepas dari kondisi ini. Globalisasi telah menciptakan kelompok-kelompok beragama yang merasa tersisih, terpinggirkan dari arus utama, dan pada akhirnya terkonsolidasi dalam sebuah sikap yang ekstrem dan menolak modernisasi. Mereka yang merasa kehilangan pijakan di dunia yang semakin kompleks ini, sering kali mencari kepastian dalam ajaran-ajaran agama yang mereka anggap sebagai solusi untuk mengatasi ketidakpastian. Namun, ketika ajaran agama ini dimaknai secara sempit dan dipadukan dengan rasa frustrasi yang mendalam, ia bisa berubah menjadi ideologi radikal yang mendorong aksi kekerasan.

 

Paulo Freire, dalam "Pedagogy of the Oppressed" (1970), menggambarkan bagaimana penindasan melahirkan ketidakadilan yang sistemik. Ia menyatakan bahwa ketidakadilan sosial yang dihasilkan oleh sistem yang tidak adil akan mendorong mereka yang tertindas untuk mencari jalan keluar—sering kali melalui perlawanan yang ekstrem. Dalam konteks globalisasi, radikalisme agama bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan oleh kelompok-kelompok yang merasa diabaikan oleh sistem global yang dominan yang dikira berlindung lewat narasi-narasi modernisasi.

 

Trauma terhadap globalisasi ini tidak hanya bersifat material, tetapi juga psikologis dan spiritual. Demikian pula berdampak pada pilihan sikap resisten terhadap modernisasi. Globalisasi tidak hanya meminggirkan secara ekonomi, tetapi juga mengalienasi secara budaya dan identitas. Mereka yang terjebak dalam trauma ini merasa bahwa dunia yang mereka kenal telah diambil alih oleh kekuatan asing yang tidak mereka pahami dan tidak dapat mereka kendalikan. Dalam situasi seperti ini, radikalisme menjadi semacam respons untuk merebut kembali kontrol atas kehidupan mereka, untuk menegaskan identitas yang mereka anggap tengah terancam, baik oleh globalisasi maupun tren modernitas.

 

Di Indonesia, misalnya, kita melihat bagaimana radikalisme agama sering kali berkaitan dengan rasa ketidakadilan sosial dan ekonomi. Mereka yang merasa terpinggirkan oleh globalisasi maupun modernisasi, baik secara ekonomi maupun budaya, cenderung mencari alternatif yang dapat memberikan mereka rasa aman dan identitas yang kokoh. Agama, dalam banyak kasus, menyediakan keduanya—namun dengan risiko bahwa identitas ini dapat dimanipulasi menjadi alat untuk membenarkan kekerasan.

 

Namun tentu saja, radikalisme bukanlah solusi. Sebaliknya, ia memperparah masalah dengan menciptakan lingkaran kekerasan yang sulit dihentikan. Globalisasi mungkin telah membawa banyak tantangan, tetapi solusi terhadap tantangan ini tidak terletak pada penolakan terhadap modernitas atau pada kekerasan. Solusi yang lebih konstruktif adalah dengan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana kita dapat mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan tuntutan-tuntutan globalisasi, atau bagaimana kita dapat mengembangkan sikap yang berdamai dengan modernitas tanpa harus kehilangan esensi dalam beragama.

 

***

 

Melalui esai ini, saya mengajukan argumen bahwa pendidikan agama yang moderat memiliki peran kunci dalam mencegah radikalisme dan memfasilitasi adaptasi yang sukses terhadap perubahan sosial yang ditimbulkan oleh globalisasi. Pendidikan agama yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang ajaran-ajaran agama, yang terbuka terhadap dialog dengan globalisasi dan nilai-nilai modern, dapat menjadi alat yang efektif untuk menghadapi tantangan zaman ini. Sulit memungkiri, zaman telah sangat berubah dibandingkan masanya ketika Nabi Saw masih hidup. Ini adalah tugas yang harus diemban oleh setiap pendidik, setiap pemuka agama, dan setiap individu yang peduli dengan masa depan yang lebih damai dan adil.

 

Di era globalisasi dan tren modernitas, di mana perubahan sosial terjadi begitu cepat dan sering kali tak terduga, kita membutuhkan pendekatan yang lebih holistik dalam memahami dinamika yang ada. Radikalisme adalah salah satu reaksi yang muncul dari ketidakmampuan sistem sosial untuk beradaptasi dengan perubahan, tetapi bukan satu-satunya reaksi yang mungkin. Dengan memahami trauma yang disebabkan oleh globalisasi, kita dapat mencari solusi yang lebih manusiawi, lebih inklusif, dan lebih adil dalam menghadapi tantangan zaman ini, dan tentu saja meminimalkan seminimal mungkin peluang suburnya benih-benih radikalisme dalam beragama.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now