Oleh: Syamsul Kurniawan
DI TENGAH gemuruh zaman, globalisasi hadir seperti
arus besar yang tak bisa dihindari, merambah setiap sudut kehidupan. Ia membawa
serta janji kemajuan, keterbukaan, dan kemakmuran yang lebih merata. Namun,
seperti arus yang deras, globalisasi juga menggerus pinggiran, mengaburkan
batas-batas yang dulu kokoh, dan meninggalkan jejak-jejak ketidakpastian yang
mendalam di banyak tempat.
Globalisasi sebagai konsekuensi dari perubahan sosial
adalah sesuatu yang niscaya dalam perjalanan sejarah umat manusia. Ia adalah
proses alami, bagian dari dinamika kehidupan sosial yang terus berkembang.
Ketika struktur dan fungsi dari sistem sosial bergeser, kita menyebutnya
perubahan sosial—suatu fenomena yang tak bisa dihindari oleh masyarakat
manapun, kapanpun, dan di manapun. Kondisi ini adalah salah satu bentuk paling
mencolok dari perubahan sosial, sebuah proses yang membawa transformasi total
kehidupan bersama, mengubah pola-pola tradisional menjadi lebih modern.
Namun, globalisasi tidak pernah datang tanpa
tantangan. Ia selalu diiringi oleh ketegangan, baik dalam tataran individu
maupun kolektif. Ada yang menyambutnya sebagai angin segar, tanda dari era baru
yang lebih cerah. Namun, ada pula yang merasa terancam, takut kehilangan akar
yang selama ini menjadi landasan hidup mereka. Perubahan yang begitu cepat dan
mendalam ini sering kali menghadirkan dilema: apakah globalisasi harus melulu
tentang modernitas dan mengabaikan tradisi? Atau, mungkinkah, globalisasi bisa
dibangun dari keduanya?
Untuk memahami lebih dalam fenomena ini, kita dapat
merujuk pada teori perubahan sosial dari Talcott Parsons. Parsons, dalam
karyanya The Social System (1964), mengemukakan bahwa perubahan sosial
adalah hasil dari penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan yang terjadi
baik dari dalam maupun luar sistem tersebut. Teori fungsionalisme struktural
Parsons menjelaskan bahwa setiap elemen dalam sistem sosial memiliki fungsi
tertentu untuk menjaga keseimbangan sistem. Ketika ada tekanan dari luar,
sistem sosial harus beradaptasi untuk mempertahankan keseimbangan tersebut.
Proses adaptasi ini sering kali menghasilkan perubahan dalam struktur dan
fungsi sistem sosial. Dengan demikian, perubahan sosial sebagai proses yang
bertahap, di mana perubahan kecil dalam satu bagian sistem dapat menyebabkan
penyesuaian di bagian lain, sehingga keseluruhan sistem tetap stabil. Namun,
dalam konteks modernisasi dan globalisasi, penyesuaian ini sering kali tidak
cukup untuk menjaga keseimbangan. (Parsons,
1964)
Perubahan yang terjadi begitu cepat dan luas sering
kali mengakibatkan ketidakstabilan yang signifikan dalam sistem sosial, yang
pada gilirannya memunculkan reaksi-reaksi yang beragam, termasuk radikalisme
dan penolakan terhadap modernisasi. Pada ranah ini, radikalisme kerap melakukan
penolakan terhadap modernisasi, dikarenakan dugaan kelompok-kelompok pendukung
paham ini, bahwa modernisasi adalah proyek dari Barat. Padahal, modernisasi dan
westernisasi perlu dibedakan. modernisasi, meskipun sering dikaitkan dengan
proses kebarat-baratan, sebenarnya adalah fenomena yang lebih kompleks. Dalam
konteks ini, Barat mungkin telah mencapai modernitas lebih dulu, namun jalan
menuju modernitas tidak harus selalu meniru Barat. Modernisasi pada intinya
adalah proses berkemajuan, bukan sekadar adopsi nilai-nilai Barat. (Abdulsyani,
1994)
Jefta Leibo menguraikan bahwa proses modernisasi dapat
dipicu oleh tiga hal: pertama, immanent change, yang berasal dari
perubahan internal dalam sistem sosial itu sendiri; kedua, selective contact
change, di mana ide-ide baru diperkenalkan oleh pengaruh luar secara tidak
sadar; dan ketiga, directed contact change ketika perubahan tersebut
sengaja didorong oleh kekuatan eksternal dengan sengaja. (Leibo,
1995) Dalam konteks masyarakat Islam di Indonesia, ketiga faktor ini tampak
relevan, menciptakan dinamika yang rumit antara tradisi dan modernitas.
***
Di era globalisasi, dunia kita tampak semakin
terhubung. Namun, di balik keterhubungan ini, terselip kerentanan yang sering
kali tak kasat mata. Globalisasi tidak hanya membawa angin kemajuan, tetapi
juga menebarkan benih-benih ketidakpastian, ketidakadilan, dan alienasi. Dalam
konteks ini, radikalisme umat beragama sering kali muncul sebagai reaksi
ekstrem terhadap trauma yang disebabkan oleh globalisasi.
Zuhairi Misrawi, dalam analisisnya, menunjukkan bahwa
terorisme yang melibatkan pemeluk agama dapat dipandang sebagai reaksi dari
pertemuan keras antara nilai-nilai tradisional agama dan arus deras
globalisasi. Ia menyatakan bahwa globalisasi telah mempertemukan berbagai
simbol agama dengan dinamika global yang tidak selalu harmonis, menciptakan
kondisi di mana agama sering kali menjadi benteng terakhir bagi mereka yang
merasa terancam oleh perubahan sosial yang cepat dan tak terkendali. Dalam
konteks ini, agama bukan hanya sekadar sumber identitas, tetapi juga perlawanan
terhadap kekuatan-kekuatan yang dianggap merusak tatanan sosial yang mapan. (Misrawi,
2006)
Globalisasi, dengan segala janji kemakmurannya,
ternyata membawa ketidakadilan yang lebih luas. Talcott Parsons, menjelaskan
bahwa ketika tekanan dari luar terlalu besar, sistem sosial mengalami
ketidakstabilan yang signifikan. (Parsons,
1964) Dalam konteks globalisasi, ketidakstabilan ini sering kali memunculkan
reaksi-reaksi defensif dari kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan. Bagi
mereka yang mengalami trauma akibat perubahan yang terlalu cepat, agama sering
kali menjadi tempat berlindung—sebuah sarana untuk mempertahankan identitas di
tengah dunia yang tampak semakin asing. Ketika modernisasi muncul sebagai
konsekuensi dari globalisasi, maka ia kemudian turut menjadi “kambing hitam”.
Tambahan lagi, “Barat” yang dipandang sebagai pesaing untuk kelompok-kelompok
pendukung paham ini, kerap menyuarakan pentingnya menjadi modern.
Radikalisme umat beragama, dalam pandangan Misrawi,
tidak terlepas dari kondisi ini. Globalisasi telah menciptakan
kelompok-kelompok beragama yang merasa tersisih, terpinggirkan dari arus utama,
dan pada akhirnya terkonsolidasi dalam sebuah sikap yang ekstrem dan menolak
modernisasi. Mereka yang merasa kehilangan pijakan di dunia yang semakin
kompleks ini, sering kali mencari kepastian dalam ajaran-ajaran agama yang
mereka anggap sebagai solusi untuk mengatasi ketidakpastian. Namun, ketika
ajaran agama ini dimaknai secara sempit dan dipadukan dengan rasa frustrasi
yang mendalam, ia bisa berubah menjadi ideologi radikal yang mendorong aksi
kekerasan.
Paulo Freire, dalam "Pedagogy of the Oppressed"
(1970), menggambarkan bagaimana penindasan melahirkan ketidakadilan yang
sistemik. Ia menyatakan bahwa ketidakadilan sosial yang dihasilkan oleh sistem
yang tidak adil akan mendorong mereka yang tertindas untuk mencari jalan
keluar—sering kali melalui perlawanan yang ekstrem. Dalam konteks globalisasi,
radikalisme agama bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan
yang dirasakan oleh kelompok-kelompok yang merasa diabaikan oleh sistem global
yang dominan yang dikira berlindung lewat narasi-narasi modernisasi.
Trauma terhadap globalisasi ini tidak hanya bersifat
material, tetapi juga psikologis dan spiritual. Demikian pula berdampak pada
pilihan sikap resisten terhadap modernisasi. Globalisasi tidak hanya
meminggirkan secara ekonomi, tetapi juga mengalienasi secara budaya dan
identitas. Mereka yang terjebak dalam trauma ini merasa bahwa dunia yang mereka
kenal telah diambil alih oleh kekuatan asing yang tidak mereka pahami dan tidak
dapat mereka kendalikan. Dalam situasi seperti ini, radikalisme menjadi semacam
respons untuk merebut kembali kontrol atas kehidupan mereka, untuk menegaskan
identitas yang mereka anggap tengah terancam, baik oleh globalisasi maupun tren
modernitas.
Di Indonesia, misalnya, kita melihat bagaimana
radikalisme agama sering kali berkaitan dengan rasa ketidakadilan sosial dan
ekonomi. Mereka yang merasa terpinggirkan oleh globalisasi maupun modernisasi,
baik secara ekonomi maupun budaya, cenderung mencari alternatif yang dapat
memberikan mereka rasa aman dan identitas yang kokoh. Agama, dalam banyak
kasus, menyediakan keduanya—namun dengan risiko bahwa identitas ini dapat
dimanipulasi menjadi alat untuk membenarkan kekerasan.
Namun tentu saja, radikalisme bukanlah solusi.
Sebaliknya, ia memperparah masalah dengan menciptakan lingkaran kekerasan yang
sulit dihentikan. Globalisasi mungkin telah membawa banyak tantangan, tetapi
solusi terhadap tantangan ini tidak terletak pada penolakan terhadap modernitas
atau pada kekerasan. Solusi yang lebih konstruktif adalah dengan mengembangkan
pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana kita dapat mengintegrasikan
nilai-nilai tradisional dengan tuntutan-tuntutan globalisasi, atau bagaimana
kita dapat mengembangkan sikap yang berdamai dengan modernitas tanpa harus
kehilangan esensi dalam beragama.
***
Melalui esai ini, saya mengajukan argumen bahwa
pendidikan agama yang moderat memiliki peran kunci dalam mencegah radikalisme
dan memfasilitasi adaptasi yang sukses terhadap perubahan sosial yang
ditimbulkan oleh globalisasi. Pendidikan agama yang didasarkan pada pemahaman
yang mendalam tentang ajaran-ajaran agama, yang terbuka terhadap dialog dengan globalisasi
dan nilai-nilai modern, dapat menjadi alat yang efektif untuk menghadapi
tantangan zaman ini. Sulit memungkiri, zaman telah sangat berubah dibandingkan
masanya ketika Nabi Saw masih hidup. Ini adalah tugas yang harus diemban oleh
setiap pendidik, setiap pemuka agama, dan setiap individu yang peduli dengan
masa depan yang lebih damai dan adil.
Di era globalisasi dan tren modernitas, di mana
perubahan sosial terjadi begitu cepat dan sering kali tak terduga, kita
membutuhkan pendekatan yang lebih holistik dalam memahami dinamika yang ada.
Radikalisme adalah salah satu reaksi yang muncul dari ketidakmampuan sistem
sosial untuk beradaptasi dengan perubahan, tetapi bukan satu-satunya reaksi
yang mungkin. Dengan memahami trauma yang disebabkan oleh globalisasi, kita
dapat mencari solusi yang lebih manusiawi, lebih inklusif, dan lebih adil dalam
menghadapi tantangan zaman ini, dan tentu saja meminimalkan seminimal mungkin
peluang suburnya benih-benih radikalisme dalam beragama.***