Ilustrasi (Sumber: https://nasional.sindonews.com/berita/1346185/18/hari-santri-dan-cita-cita-kemerdekaan)
Oleh: Syamsul Kurniawan
Pancasila, sebagai
ideologi bangsa, menjadi landasan yang membimbing kita. Di tengah transisi dari
pemerintahan Presiden Joko Widodo menuju Presiden Prabowo Subianto, penting
bagi kita untuk menyadari bahwa kesinambungan perjuangan ini harus didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila, yang tidak hanya relevan, tetapi juga menyatu dengan
agama yang dianut. Kesadaran ini selayaknya kita bangun, demikian pula relevan
bagi para santri.
Sila pertama
Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah landasan spiritual yang menjadi
dasar bagi perjalanan bangsa ini. Santri, dengan modal spiritual mereka,
memiliki pemahaman mendalam tentang pentingnya menghormati Tuhan sebagai pusat
kehidupan. Bung Karno menyebut sila ini sebagai “bintang pembimbing” yang akan
menuntun bangsa Indonesia menuju kebaikan dan kebajikan. Di masa transisi
pemerintahan ini, santri memiliki peran penting dalam menjaga agar nilai-nilai
ketuhanan tetap menjadi fondasi moral bangsa. Ketuhanan yang Maha Esa tidak
hanya sekadar semboyan, tetapi merupakan dasar moral yang memandu setiap
kebijakan dan tindakan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Sila kedua, “Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab”, menegaskan pentingnya menghormati martabat manusia,
apapun latar belakangnya. Santri, dengan modal intelektual yang mereka miliki,
memahami bahwa agama mengajarkan penghormatan terhadap sesama manusia. Ini
sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya keadilan dan
kemanusiaan. Dalam konteks transisi pemerintahan, santri dapat menjadi penjaga
nilai-nilai ini dengan memastikan bahwa setiap tindakan dan kebijakan yang
diambil oleh pemimpin baru tetap menghormati hak-hak asasi manusia. Sebab,
kemanusiaan yang adil dan beradab adalah inti dari praktik sosial yang sehat
dan berkeadilan.
Sila ketiga, “Persatuan
Indonesia”, adalah kekhasan Pancasila yang menjadi penyeimbang antara
nasionalisme dan internasionalisme. Santri, yang tumbuh dalam lingkungan
pesantren yang menghargai keberagaman, memiliki peran penting dalam menjaga
persatuan bangsa. Bung Karno pernah mengatakan bahwa internasionalisme hanya
bisa tumbuh subur jika berakar pada nasionalisme yang kuat. Persatuan ini tidak
boleh pudar di tengah arus globalisasi, apalagi di masa transisi pemerintahan.
Santri harus terus menjadi pilar persatuan bangsa, memastikan bahwa Indonesia
tetap satu, meskipun beragam.
Sila keempat, “Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”,
mengajarkan kita tentang pentingnya demokrasi yang berbasis pada musyawarah dan
kebijaksanaan. Santri, dengan tradisi mereka yang menjunjung tinggi dialog dan
musyawarah, dapat berperan dalam memastikan bahwa demokrasi di Indonesia
berjalan dengan penuh hikmat. Dalam masa transisi dari Presiden Jokowi ke
Presiden Prabowo, santri harus terus mendorong agar setiap keputusan politik
diambil berdasarkan musyawarah yang adil dan bijaksana. Demokrasi Pancasila
bukan sekadar sistem politik, tetapi juga wujud keyakinan bahwa setiap
keputusan harus mencerminkan kehendak rakyat dengan mengutamakan kebijaksanaan.
Terakhir, sila
kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menegaskan bahwa
kemakmuran dan kesejahteraan harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Santri, yang mewakili kelompok yang dekat dengan masyarakat kecil, sangat peka
terhadap isu keadilan sosial. Keadilan sosial tidak hanya tentang kesejahteraan
materi, tetapi juga mencakup rasa keadilan dalam akses terhadap pendidikan,
kesehatan, dan kesempatan yang setara. Dalam masa transisi ini, santri harus
terus mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa keadilan sosial menjadi
prioritas utama dalam kebijakan-kebijakan yang diambil, agar semua rakyat
Indonesia dapat merasakan manfaatnya.
Menyambung Juang
Merengkuh Masa Depan
Santri-santri di
Indonesia selayaknya tidak bisa lepas dari kelima sila Pancasila sebagai kompas
yang membimbing dalam perjuangan tersebut. Transisi kepemimpinan dari Presiden
Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto adalah momentum penting untuk
melanjutkan apa yang telah berjalan dengan baik, sambil membuka jalan untuk
inovasi dan perbaikan yang lebih baik lagi. Pancasila, sebagai pedoman, tidak
hanya menawarkan visi masa depan, tetapi juga menyediakan fondasi moral dan
etika yang harus kita jaga.
Pierre Bourdieu,
dengan konsep habitus, modal, dan ranah, mengajarkan kita bahwa praktik sosial
tidak muncul begitu saja, tetapi dibentuk oleh kebiasaan, pengetahuan, dan
modal yang dimiliki oleh individu maupun kelompok dalam ranah tertentu. Santri,
dengan “habitus” keagamaan dan kebangsaan yang telah terbentuk sejak lama,
memiliki modal intelektual dan spiritual yang kuat untuk menjaga kesinambungan
nilai-nilai Pancasila. Dalam ranah sosial dan politik, santri dapat memainkan
peran penting dalam menjaga agar transisi pemerintahan ini berjalan dengan
baik, tanpa mengorbankan nilai-nilai kebangsaan.
Ketika kita
berbicara tentang “menyambung juang,” itu berarti kita harus tetap berpegang
pada nilai-nilai yang telah terbukti baik di masa lalu, sambil terus berinovasi
untuk masa depan. Dalam konteks ini, peran santri sangat penting. Mereka adalah
kelompok yang tidak hanya memegang teguh nilai-nilai agama, tetapi juga
memahami pentingnya kebangsaan dan kemanusiaan. Habitus santri adalah habitus
yang harmonis antara agama dan kebangsaan, dan ini harus terus mereka wariskan
kepada generasi mendatang.
Di masa transisi
ini, santri harus terus menjadi penjaga “habitus” Pancasila, memastikan bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila tetap menjadi landasan dalam
pengambilan keputusan. Persatuan Indonesia, kemanusiaan yang adil dan beradab,
keadilan sosial, dan demokrasi yang berlandaskan hikmat kebijaksanaan, semuanya
harus terus menjadi prioritas dalam praktik sosial kita. Santri, dengan modal
intelektual dan spiritual mereka, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga
agar nilai-nilai ini tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman.
Pada akhirnya,
Pancasila bukan hanya pedoman hidup, tetapi juga modal besar yang kita miliki
sebagai bangsa. Santri, sebagai penjaga moral dan nilai-nilai keagamaan, adalah
agen penting dalam memastikan bahwa Pancasila tetap menjadi fondasi kita dalam
menyongsong masa depan. Santri harus terus menyambung juang, menjaga apa yang
sudah baik, dan merengkuh masa depan dengan keyakinan bahwa Pancasila dapat
digunakan sebagai kompasnya.***