Oleh: Syamsul Kurniawan
Sore ini, pulang dari tempat kerja, saya
sempatkan untuk duduk sejenak di sofa, lalu mengambil remote dan menyalakan
televisi. Sejenak saya berpindah-pindah saluran, mencari sesuatu yang bisa
mengalihkan pikiran setelah seharian bekerja. Namun, di setiap saluran yang
saya lihat, ada satu hal yang mengusik pikiran saya. Setiap kali iklan muncul,
hampir selalu ada perempuan di sana. Bukan sebagai karakter sentral yang
memegang kekuatan atau kontrol, tetapi sebagai objek. Perempuan yang tersenyum,
tampil menarik, dan menjual. Tubuh mereka bukan sekadar bagian dari narasi
iklan, melainkan elemen utama yang dipasarkan.
Ini membuat saya teringat pada satu
istilah yang sudah lama dibahas dalam kajian feminisme: patriarki. Tapi sore
ini, saya merasa kita sedang hidup dalam bentuk patriarki yang baru, yang
berbeda dari yang dulu ada. Ini bukan lagi patriarki yang kasar dan
terang-terangan, melainkan patriarki yang terselubung dan tersembunyi di balik
lapisan-lapisan modernitas. Istilah yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini
adalah “neopatriarchy”—sebuah evolusi dari patriarki klasik yang berbaur dengan
kapitalisme dan teknologi modern. Neopatriarki tidak lagi sekadar mengatur
perempuan melalui norma-norma sosial dan agama, tetapi juga melalui industri
media dan iklan, di mana tubuh perempuan menjadi komoditas utama.
Ketika saya melihat perempuan di layar,
saya tidak hanya melihat seseorang yang sedang tampil di depan kamera. Saya
melihat bagaimana tubuh perempuan dipakai sebagai alat untuk menarik perhatian
dan menjual produk—dari kosmetik, mobil, hingga peralatan rumah tangga. Di
setiap iklan, perempuan hadir dengan citra yang sama: cantik, ramping, dan
penuh senyum. Bukan berarti cantik adalah masalah, tetapi ketika cantik dipakai
sebagai satu-satunya standar untuk mempresentasikan perempuan, kita perlu
bertanya: apa yang sedang terjadi?
Ini adalah wajah baru dari
patriarki—yang disamarkan sebagai kebebasan, tetapi pada kenyataannya, mengikat
perempuan dalam peran yang sama seperti dulu. Neopatriarki memanfaatkan
kemajuan teknologi, ekonomi, dan media untuk melanggengkan kontrol atas tubuh
dan seksualitas perempuan, tetapi kali ini dengan cara yang lebih halus.
Perempuan bukan lagi dijadikan objek secara langsung melalui aturan sosial yang
ketat, melainkan melalui industri yang memolesnya menjadi 'norma baru'. Dan di
sinilah uang, sebagaimana yang dijelaskan dalam The Psychology of Money
(2020) oleh Morgan Housel, memainkan peran besar. Kapitalisme modern
menggunakan uang untuk mendikte bagaimana kita memahami tubuh, seksualitas, dan
relasi gender.
Dalam iklan-iklan yang saya tonton tadi,
terlihat jelas bagaimana tubuh perempuan menjadi alat untuk memikat konsumen.
Kapitalisme modern bekerja dengan sangat efektif, membuat kita percaya bahwa
membeli produk-produk tertentu akan membawa kita lebih dekat pada
"kesempurnaan" yang ditampilkan perempuan-perempuan ini. Tetapi di
balik itu semua, yang terjadi adalah neopatriarki sedang mengontrol seksualitas
perempuan melalui standar-standar kecantikan yang dipromosikan secara masif.
Ini bukan sekadar masalah tentang
penampilan, tetapi tentang bagaimana perempuan diposisikan dalam sistem ekonomi
dan sosial yang masih patriarkal. Neopatriarki menggunakan uang dan media untuk
mengontrol cara kita memahami peran perempuan. Jika patriarki klasik mengontrol
perempuan melalui aturan-aturan ketat tentang moralitas dan seksualitas,
neopatriarki mengontrol mereka melalui konstruksi yang lebih modern: uang,
media, dan iklan.
Di sisi lain, perempuan yang bekerja dan
memiliki penghasilan sendiri mungkin terlihat lebih mandiri dan memiliki
kendali atas hidup mereka. Namun, dalam konteks neopatriarki, kebebasan ini
adalah ilusi. Meskipun perempuan mungkin memiliki uang, kebebasan seksual dan
tubuh mereka masih diatur oleh norma-norma yang ditetapkan oleh kapitalisme dan
media. Kita melihat perempuan yang sukses di bidangnya, namun tubuh dan citra
mereka tetap harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh patriarki modern.
Fenomena ini juga membawa saya pada
pemikiran tentang bagaimana kita sebagai masyarakat memandang uang dan
seksualitas. Housel berbicara tentang bagaimana persepsi kita terhadap uang
lebih penting daripada uang itu sendiri. Sama halnya dengan seksualitas
perempuan di era neopatriarki: cara kita mempersepsikannya lebih banyak
dikendalikan oleh norma dan kapitalisme daripada oleh kebebasan sejati.
Perempuan seolah diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri, namun hanya dalam
kerangka yang telah dibentuk oleh masyarakat patriarkal.
Saya teringat bagaimana iklan-iklan di
televisi tadi mempromosikan produk-produk yang seolah menjanjikan kebebasan dan
kebahagiaan bagi perempuan. Dari produk kecantikan hingga perawatan tubuh,
semua tampak menawarkan satu hal: kebebasan untuk menjadi versi terbaik dari
diri kita. Tetapi apakah kebebasan ini benar-benar ada? Atau ini hanyalah
bagian dari strategi kapitalisme patriarkal yang menjual ide kebebasan sembari
tetap mengontrol tubuh perempuan?
Neopatriarki tidak hanya bekerja di
balik layar iklan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari kita. Ia hadir dalam
cara kita melihat peran perempuan di rumah tangga, di tempat kerja, bahkan
dalam relasi intim. Perempuan mungkin memiliki karier yang sukses, tetapi di
rumah, mereka masih diharapkan untuk menjalankan peran tradisional sebagai ibu
dan istri. Ini adalah bentuk kontrol halus yang tetap menempatkan perempuan
dalam posisi subordinat, meskipun dengan kemasan yang lebih modern.
Kita seringkali berpikir bahwa dengan
kemajuan teknologi dan ekonomi, perempuan telah mencapai kebebasan penuh.
Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Neopatriarki menggunakan uang dan
kemajuan ini untuk menciptakan ilusi kebebasan, padahal pada dasarnya, kontrol
atas tubuh dan seksualitas perempuan tetap kuat. Uang memberi kita ilusi bahwa
kita bisa memiliki kendali atas hidup kita, tetapi pada kenyataannya, sistem
patriarkal yang lebih modern ini masih memegang kendali.
Fenomena neopatriarki juga terlihat
dalam bagaimana perempuan yang memiliki pengaruh besar di media sosial atau
dunia hiburan tetap dihadapkan pada ekspektasi tentang penampilan fisik mereka.
Mereka mungkin dianggap sukses secara finansial, tetapi tubuh mereka tetap
menjadi bagian dari narasi yang harus memenuhi standar tertentu. Ini adalah
bentuk lain dari kontrol seksual yang terjadi dalam konteks neopatriarki—di
mana perempuan terlihat bebas, tetapi pada kenyataannya, mereka tetap diatur
oleh norma-norma yang kaku.
Menghubungkan ini dengan konsep yang
diuraikan dalam The Psychology of Money, kita dapat melihat bahwa
seksualitas, seperti halnya uang, sering kali menjadi alat kekuasaan.
Kapitalisme modern menjual seksualitas perempuan sebagai komoditas, sementara
patriarki menggunakan seksualitas sebagai alat kontrol. Perempuan yang mungkin memiliki
kebebasan finansial tetap dihadapkan pada batasan-batasan sosial yang mengekang
kebebasan seksual mereka.
Kita sering berbicara tentang kemajuan,
tetapi kita perlu bertanya, apakah kemajuan ini juga berarti kebebasan yang
sejati bagi perempuan? Apakah dengan semakin terlibatnya perempuan dalam dunia
kerja dan ekonomi, mereka benar-benar bebas dari kendali patriarki? Jawabannya,
sebagaimana terlihat dalam konsep neopatriarki, adalah bahwa kebebasan ini
masih sangat terbatas. Kapitalisme modern mungkin memberikan kebebasan
finansial, tetapi kebebasan seksual dan tubuh perempuan masih diatur oleh
norma-norma patriarkal.
Pada akhirnya, perempuan dalam
iklan-iklan yang saya tonton sore ini bukan sekadar objek visual. Mereka adalah
simbol dari bagaimana kapitalisme dan patriarki berkolaborasi untuk mengontrol
tubuh dan seksualitas perempuan. Neopatriarki adalah wajah baru dari dominasi
lama, di mana kontrol dilakukan melalui uang, media, dan konstruksi sosial yang
tampak modern tetapi tetap mendiskriminasi.
Dalam masyarakat yang semakin maju ini,
kita tidak hanya perlu memperjuangkan kebebasan finansial bagi perempuan,
tetapi juga kebebasan sejati atas tubuh dan seksualitas mereka. Sebab,
sebagaimana yang diajarkan oleh kapitalisme dan patriarki, kendali atas uang
bukanlah segalanya. Kendali atas tubuh dan kebebasan seksual adalah esensi dari
kebebasan yang sejati. Neopatriarki mungkin bersembunyi di balik layar-layar
iklan dan kemajuan ekonomi, tetapi dengan memahami mekanismenya, kita bisa
mulai membongkar sistem ini.***