Iklan

Neopatriarki

syamsul kurniawan
Tuesday, December 17, 2024
Last Updated 2024-12-24T15:21:34Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Sore ini, pulang dari tempat kerja, saya sempatkan untuk duduk sejenak di sofa, lalu mengambil remote dan menyalakan televisi. Sejenak saya berpindah-pindah saluran, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikiran setelah seharian bekerja. Namun, di setiap saluran yang saya lihat, ada satu hal yang mengusik pikiran saya. Setiap kali iklan muncul, hampir selalu ada perempuan di sana. Bukan sebagai karakter sentral yang memegang kekuatan atau kontrol, tetapi sebagai objek. Perempuan yang tersenyum, tampil menarik, dan menjual. Tubuh mereka bukan sekadar bagian dari narasi iklan, melainkan elemen utama yang dipasarkan.

 

Ini membuat saya teringat pada satu istilah yang sudah lama dibahas dalam kajian feminisme: patriarki. Tapi sore ini, saya merasa kita sedang hidup dalam bentuk patriarki yang baru, yang berbeda dari yang dulu ada. Ini bukan lagi patriarki yang kasar dan terang-terangan, melainkan patriarki yang terselubung dan tersembunyi di balik lapisan-lapisan modernitas. Istilah yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini adalah “neopatriarchy”—sebuah evolusi dari patriarki klasik yang berbaur dengan kapitalisme dan teknologi modern. Neopatriarki tidak lagi sekadar mengatur perempuan melalui norma-norma sosial dan agama, tetapi juga melalui industri media dan iklan, di mana tubuh perempuan menjadi komoditas utama.

 

Ketika saya melihat perempuan di layar, saya tidak hanya melihat seseorang yang sedang tampil di depan kamera. Saya melihat bagaimana tubuh perempuan dipakai sebagai alat untuk menarik perhatian dan menjual produk—dari kosmetik, mobil, hingga peralatan rumah tangga. Di setiap iklan, perempuan hadir dengan citra yang sama: cantik, ramping, dan penuh senyum. Bukan berarti cantik adalah masalah, tetapi ketika cantik dipakai sebagai satu-satunya standar untuk mempresentasikan perempuan, kita perlu bertanya: apa yang sedang terjadi?

 

Ini adalah wajah baru dari patriarki—yang disamarkan sebagai kebebasan, tetapi pada kenyataannya, mengikat perempuan dalam peran yang sama seperti dulu. Neopatriarki memanfaatkan kemajuan teknologi, ekonomi, dan media untuk melanggengkan kontrol atas tubuh dan seksualitas perempuan, tetapi kali ini dengan cara yang lebih halus. Perempuan bukan lagi dijadikan objek secara langsung melalui aturan sosial yang ketat, melainkan melalui industri yang memolesnya menjadi 'norma baru'. Dan di sinilah uang, sebagaimana yang dijelaskan dalam The Psychology of Money (2020) oleh Morgan Housel, memainkan peran besar. Kapitalisme modern menggunakan uang untuk mendikte bagaimana kita memahami tubuh, seksualitas, dan relasi gender.

 

Dalam iklan-iklan yang saya tonton tadi, terlihat jelas bagaimana tubuh perempuan menjadi alat untuk memikat konsumen. Kapitalisme modern bekerja dengan sangat efektif, membuat kita percaya bahwa membeli produk-produk tertentu akan membawa kita lebih dekat pada "kesempurnaan" yang ditampilkan perempuan-perempuan ini. Tetapi di balik itu semua, yang terjadi adalah neopatriarki sedang mengontrol seksualitas perempuan melalui standar-standar kecantikan yang dipromosikan secara masif.

 

Ini bukan sekadar masalah tentang penampilan, tetapi tentang bagaimana perempuan diposisikan dalam sistem ekonomi dan sosial yang masih patriarkal. Neopatriarki menggunakan uang dan media untuk mengontrol cara kita memahami peran perempuan. Jika patriarki klasik mengontrol perempuan melalui aturan-aturan ketat tentang moralitas dan seksualitas, neopatriarki mengontrol mereka melalui konstruksi yang lebih modern: uang, media, dan iklan.

 

Di sisi lain, perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri mungkin terlihat lebih mandiri dan memiliki kendali atas hidup mereka. Namun, dalam konteks neopatriarki, kebebasan ini adalah ilusi. Meskipun perempuan mungkin memiliki uang, kebebasan seksual dan tubuh mereka masih diatur oleh norma-norma yang ditetapkan oleh kapitalisme dan media. Kita melihat perempuan yang sukses di bidangnya, namun tubuh dan citra mereka tetap harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh patriarki modern.

 

Fenomena ini juga membawa saya pada pemikiran tentang bagaimana kita sebagai masyarakat memandang uang dan seksualitas. Housel berbicara tentang bagaimana persepsi kita terhadap uang lebih penting daripada uang itu sendiri. Sama halnya dengan seksualitas perempuan di era neopatriarki: cara kita mempersepsikannya lebih banyak dikendalikan oleh norma dan kapitalisme daripada oleh kebebasan sejati. Perempuan seolah diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri, namun hanya dalam kerangka yang telah dibentuk oleh masyarakat patriarkal.

 

Saya teringat bagaimana iklan-iklan di televisi tadi mempromosikan produk-produk yang seolah menjanjikan kebebasan dan kebahagiaan bagi perempuan. Dari produk kecantikan hingga perawatan tubuh, semua tampak menawarkan satu hal: kebebasan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Tetapi apakah kebebasan ini benar-benar ada? Atau ini hanyalah bagian dari strategi kapitalisme patriarkal yang menjual ide kebebasan sembari tetap mengontrol tubuh perempuan?

 

Neopatriarki tidak hanya bekerja di balik layar iklan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari kita. Ia hadir dalam cara kita melihat peran perempuan di rumah tangga, di tempat kerja, bahkan dalam relasi intim. Perempuan mungkin memiliki karier yang sukses, tetapi di rumah, mereka masih diharapkan untuk menjalankan peran tradisional sebagai ibu dan istri. Ini adalah bentuk kontrol halus yang tetap menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, meskipun dengan kemasan yang lebih modern.

 

Kita seringkali berpikir bahwa dengan kemajuan teknologi dan ekonomi, perempuan telah mencapai kebebasan penuh. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Neopatriarki menggunakan uang dan kemajuan ini untuk menciptakan ilusi kebebasan, padahal pada dasarnya, kontrol atas tubuh dan seksualitas perempuan tetap kuat. Uang memberi kita ilusi bahwa kita bisa memiliki kendali atas hidup kita, tetapi pada kenyataannya, sistem patriarkal yang lebih modern ini masih memegang kendali.

 

Fenomena neopatriarki juga terlihat dalam bagaimana perempuan yang memiliki pengaruh besar di media sosial atau dunia hiburan tetap dihadapkan pada ekspektasi tentang penampilan fisik mereka. Mereka mungkin dianggap sukses secara finansial, tetapi tubuh mereka tetap menjadi bagian dari narasi yang harus memenuhi standar tertentu. Ini adalah bentuk lain dari kontrol seksual yang terjadi dalam konteks neopatriarki—di mana perempuan terlihat bebas, tetapi pada kenyataannya, mereka tetap diatur oleh norma-norma yang kaku.

 

Menghubungkan ini dengan konsep yang diuraikan dalam The Psychology of Money, kita dapat melihat bahwa seksualitas, seperti halnya uang, sering kali menjadi alat kekuasaan. Kapitalisme modern menjual seksualitas perempuan sebagai komoditas, sementara patriarki menggunakan seksualitas sebagai alat kontrol. Perempuan yang mungkin memiliki kebebasan finansial tetap dihadapkan pada batasan-batasan sosial yang mengekang kebebasan seksual mereka.

 

Kita sering berbicara tentang kemajuan, tetapi kita perlu bertanya, apakah kemajuan ini juga berarti kebebasan yang sejati bagi perempuan? Apakah dengan semakin terlibatnya perempuan dalam dunia kerja dan ekonomi, mereka benar-benar bebas dari kendali patriarki? Jawabannya, sebagaimana terlihat dalam konsep neopatriarki, adalah bahwa kebebasan ini masih sangat terbatas. Kapitalisme modern mungkin memberikan kebebasan finansial, tetapi kebebasan seksual dan tubuh perempuan masih diatur oleh norma-norma patriarkal.

 

Pada akhirnya, perempuan dalam iklan-iklan yang saya tonton sore ini bukan sekadar objek visual. Mereka adalah simbol dari bagaimana kapitalisme dan patriarki berkolaborasi untuk mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan. Neopatriarki adalah wajah baru dari dominasi lama, di mana kontrol dilakukan melalui uang, media, dan konstruksi sosial yang tampak modern tetapi tetap mendiskriminasi.

 

Dalam masyarakat yang semakin maju ini, kita tidak hanya perlu memperjuangkan kebebasan finansial bagi perempuan, tetapi juga kebebasan sejati atas tubuh dan seksualitas mereka. Sebab, sebagaimana yang diajarkan oleh kapitalisme dan patriarki, kendali atas uang bukanlah segalanya. Kendali atas tubuh dan kebebasan seksual adalah esensi dari kebebasan yang sejati. Neopatriarki mungkin bersembunyi di balik layar-layar iklan dan kemajuan ekonomi, tetapi dengan memahami mekanismenya, kita bisa mulai membongkar sistem ini.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now