Ilustrasi (Sumber: https://mojokertokab.go.id/detail-artikel?slug=ini-30-macam-hak-asasi-manusia-menurut-pbb-1680060108) |
Oleh:
Syamsul Kurniawan (Dosen di IAIN Pontianak)
PENDIDIKAN
tinggi merupakan benteng penting dalam pembentukan manusia yang berwawasan
luas, kritis, dan manusiawi. Dengan kata lain, pendidikan tinggi mesti sejalan
dengan kebutuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam konteks Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam (PTKI), tugas ini semakin mendalam karena ada tanggung jawab
moral yang melekat untuk menanamkan nilai-nilai agama sekaligus hak asasi
manusia (HAM). Integrasi HAM ke dalam arah dan kebijakan PTKI bukan sekadar
pilihan, melainkan keharusan yang mendesak dalam upaya mencetak generasi
mahasiswa Muslim yang memahami dan menghidupi nilai-nilai keadilan, persamaan,
dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Thomas
Jefferson, seorang filsuf dan negarawan, menegaskan bahwa HAM bukanlah hak yang
diberikan oleh negara, melainkan hak alami yang dianugerahkan oleh Tuhan. Dalam
ranah pendidikan tinggi, terutama di PTKI, pandangan ini harus dipahami secara
mendalam. Hak asasi bukanlah sekadar topik diskusi teoritis, melainkan fondasi
etis yang menghidupi setiap interaksi sosial dan akademik. Dengan begitu,
pendidikan di PTKI sepatutnya berperan sebagai katalis utama dalam membangun
kesadaran mahasiswa akan HAM sebagai nilai yang inheren dalam setiap aspek
kehidupan mereka.
Jangan
Sampai Gagal Paham
HAM,
sebagaimana dipahami dalam Universal Declaration of Human Rights,
merupakan hak kodrati yang tidak dapat dipisahkan dari esensi kemanusiaan.
Pendidikan yang gagal paham mengintegrasikan prinsip ini berisiko menghasilkan
lulusan yang cerdas secara intelektual, tetapi tumpul secara moral. Di PTKI, arah
dan kebijakan pendidikan tinggi yang selaras nilai-nilai HAM tidak hanya
berbicara tentang hukum atau hak legalistik, melainkan juga tentang bagaimana
mahasiswa belajar menghargai hak orang lain dalam setiap interaksi sosial dan
akademik mereka.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Mariam Budiardjo (1985), HAM adalah hak yang dimiliki setiap
manusia sejak lahir, tanpa memandang bangsa, agama, atau jenis kelamin.
Mengintegrasikan HAM ke dalam pendidikan berarti membuka ruang bagi mahasiswa
untuk memahami hak-hak mereka sendiri, sekaligus tanggung jawab mereka dalam
menjaga hak orang lain. Dalam pendidikan yang berlandaskan HAM, mahasiswa tidak
hanya didorong untuk menjadi individu yang mandiri, tetapi juga untuk menjadi
anggota masyarakat yang peduli terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan
kolektif.
Di
Indonesia, pentingnya HAM dalam pendidikan tinggi telah diakui secara legal.
UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa negara, hukum, dan
pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi HAM setiap warga negara. Di PTKI,
peran strategis pendidikan agama menjadi sangat penting dalam menanamkan
kesadaran HAM kepada mahasiswa Muslim. Namun, dalam praktiknya, integrasi HAM
ke dalam kurikulum masih sering terbatas pada wacana normatif, tanpa aplikasi
nyata yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan
tinggi di PTKI yang mengedepankan HAM, harus bisa berangkat dari cara PTKI
mengoperasikan lembaganya. Relasi antara dosen dan mahasiswa, serta interaksi
antarmahasiswa, harus dilandasi oleh prinsip saling menghormati dan menjaga
martabat manusia. Nilai-nilai moral dan spiritual yang diajarkan di PTKI seharusnya
menjadi fondasi kuat untuk memperdalam kesadaran akan pentingnya HAM. Di
sinilah peran pendidikan agama bukan hanya sebatas transfer pengetahuan,
melainkan juga sebagai medium transformasi karakter.
Tantangannya
Namun
demikian, tantangan yang dihadapi dalam mengintegrasikan HAM di PTKI tidaklah
sederhana. Salah satu tantangan utama adalah keberadaan budaya kekerasan, baik
fisik maupun psikologis, yang kadang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.
Kekerasan ini bisa datang dari sesama mahasiswa atau bahkan dari dosen, yang
tentunya bertentangan dengan esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan
seharusnya menjadi ruang yang aman bagi setiap individu untuk berkembang tanpa
ancaman atau tekanan.
UU
Pendidikan Nasional melalui Pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa pendidikan harus
dilaksanakan secara demokratis, berkeadilan, dan nondiskriminatif. Ini
menandakan pentingnya penghormatan terhadap HAM dalam seluruh aspek proses
pendidikan. Setiap tindakan yang merendahkan martabat manusia—baik melalui
kekerasan verbal maupun fisik—harus dieliminasi dari lingkungan pendidikan
tinggi. Implementasi pendidikan HAM tidak bisa hanya berada pada tataran teori,
tetapi harus tercermin dalam setiap tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
PTKI.
Sebagai
lembaga pendidikan berbasis agama, PTKI memiliki keistimewaan tersendiri dalam
mengintegrasikan HAM ke dalam kurikulum. Ajaran agama Islam yang menekankan
nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kasih sayang terhadap sesama manusia
menjadi landasan yang kokoh untuk membentuk generasi mahasiswa yang peka
terhadap HAM. Hal ini memberikan peluang besar bagi PTKI untuk menjadi pelopor
dalam menyebarkan kesadaran HAM di kalangan mahasiswa Muslim.
Meski
demikian, upaya ini seringkali terhalang oleh interpretasi agama yang kaku.
Beberapa PTKI melihat HAM sebagai konsep yang mungkin bertentangan dengan
nilai-nilai agama, padahal, jika dipahami secara mendalam, ajaran agama justru
mendukung nilai-nilai HAM yang universal. Peran dosen sangat penting dalam
mengajarkan pemahaman agama yang inklusif dan komprehensif kepada mahasiswa,
sehingga mereka bisa menghargai HAM sebagai bagian integral dari ajaran agama
mereka.
Pendidikan
HAM di PTKI seharusnya tidak hanya sebatas mengajarkan hak-hak individu, tetapi
juga tanggung jawab kolektif untuk menjaga hak orang lain. Proses pendidikan
harus mencerminkan penghargaan terhadap martabat manusia, baik dalam hubungan
antara dosen dan mahasiswa maupun dalam interaksi antar sesama mahasiswa.
Penghormatan ini akan membentuk karakter mahasiswa yang lebih peduli dan
memiliki rasa tanggung jawab sosial yang tinggi.
Konsep
pendidikan melalui HAM, sebagaimana dinyatakan dalam UN Declaration on
Education and Training 2012, menekankan bahwa relasi dalam proses pembelajaran
harus didasarkan pada penghormatan HAM. Ini berarti, integrasi HAM dalam
kurikulum PTKI tidak cukup hanya pada materi pelajaran, tetapi juga harus
diterapkan dalam cara berinteraksi dan berelasi di ruang kelas. Setiap
individu, baik dosen maupun mahasiswa, harus diperlakukan dengan adil, setara,
dan tanpa diskriminasi.
PTKI
juga perlu melakukan refleksi terhadap budaya internal yang ada. Budaya
kekerasan dan diskriminasi harus digantikan dengan budaya dialog yang
menghargai martabat manusia. Tanpa perubahan budaya ini, upaya integrasi HAM
dalam arah dan kebijakannya hanya akan menjadi jargon yang tidak memiliki
dampak nyata. Oleh karena itu, perubahan struktural dan kultural di PTKI
menjadi prasyarat penting untuk keberhasilan integrasi HAM dalam pendidikan di
PTKI.
Pelatihan
bagi dosen terkait HAM juga sangat diperlukan. Dosen memegang peran sentral
dalam menciptakan lingkungan belajar yang menghargai HAM. Pelatihan ini akan
memberikan mereka wawasan tentang bagaimana prinsip-prinsip HAM dapat
diterapkan dalam praktik pengajaran, serta bagaimana mereka bisa menjadi contoh
yang baik bagi mahasiswa dalam menjunjung nilai-nilai HAM. Keterlibatan aktif
dosen dalam menyebarkan nilai-nilai HAM di PTKI sangat penting untuk
menciptakan lingkungan akademik yang inklusif dan demokratis.
Pendidikan
tinggi yang berbasis HAM di PTKI juga harus melibatkan partisipasi aktif
mahasiswa. Mereka tidak hanya dipandang sebagai objek pendidikan, tetapi juga
sebagai subjek yang memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam proses
pembelajaran. Dalam konteks PTKI, pendidikan HAM harus membuka ruang bagi
mahasiswa untuk berdiskusi secara kritis tentang isu-isu HAM yang relevan
dengan kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari
komunitas yang lebih besar.
Penting
bagi arah dan kebijakan PTKI untuk mengakomodasi metode pembelajaran yang
interaktif, yang mendorong mahasiswa berpikir kritis dan reflektif. Mahasiswa
perlu dilatih untuk memahami bahwa kebebasan mereka tidak berarti kebebasan
untuk melanggar hak orang lain. Pendidikan HAM di PTKI harus mampu menanamkan
kesadaran bahwa setiap hak harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial
terhadap sesama.
Dalam
proses ini, dukungan pemerintah dan lembaga terkait sangat diperlukan.
Pemerintah harus memastikan bahwa PTKI benar-benar mengimplementasikan
prinsip-prinsip HAM dalam penyelenggaraan pendidikannya. Lembaga-lembaga HAM
juga dapat berperan dalam memberikan pelatihan dan sumber daya yang dibutuhkan
untuk mendukung implementasi HAM di perguruan tinggi, sehingga kesadaran akan
pentingnya HAM semakin tumbuh di kalangan mahasiswa muslim.
Integrasi
HAM dalam arah dan kebijakan PTKI adalah langkah penting menuju terciptanya
generasi muslim yang manusiawi, adil, dan bertanggung jawab. Generasi yang
tidak hanya memahami hak-hak mereka, tetapi juga berkomitmen untuk menjaga
hak-hak orang lain. Dengan pendidikan yang berlandaskan HAM, PTKI akan mampu
mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga
memiliki jiwa kemanusiaan yang kuat, serta mampu berkontribusi positif bagi
masyarakat dan bangsa.***