Iklan

Hari Pantun Nasional: Lebih dari Sekedar Merayakan Warisan Budaya Melayu

syamsul kurniawan
Tuesday, December 17, 2024
Last Updated 2024-12-24T15:21:05Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Ilustrasi (Sumber: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6703802/114-contoh-pantun-nasehat-penuh-motivasi-dan-renungan-untuk-kehidupan)

Oleh: Syamsul Kurniawan


Pada 17 Desember 2020, tepat empat tahun yang lalu, sejarah mencatat sebuah peristiwa penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Melayu. Pada hari itu, melalui keputusan PBB dan UNESCO, pantun resmi diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), atau Intangible Cultural Heritage bagi umat manusia. Pengakuan global ini adalah kemenangan yang tidak hanya mengharumkan nama bangsa Indonesia, tetapi juga mempertegas kedudukan pantun sebagai bagian tak terpisahkan dari tamaddun atau peradaban Melayu yang telah melahirkan berbagai karya budaya bernilai tinggi. Pantun, sebagai tradisi lisan yang telah lama menjadi bagian dari keseharian masyarakat Melayu, kini mendapatkan pengakuan yang layak di mata dunia.


Namun, meskipun pantun telah mendapatkan pengakuan internasional, tantangan besar kini adalah bagaimana mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan sosial yang semakin terpengaruh oleh perkembangan media baru dan teknologi digital. Pengusulan untuk menjadikan 17 Desember sebagai Hari Pantun Nasional merupakan langkah strategis untuk merayakan dan menghidupkan kembali pantun sebagai bagian dari identitas budaya yang patut dijaga, terutama di kalangan generasi muda. Di sinilah pentingnya merefleksikan bagaimana pantun, yang dulunya menjadi bagian dari habitus masyarakat Melayu, kini mulai terpinggirkan di tengah arus budaya global yang serba cepat.


Pantun dalam Perspektif Habitus dan Krisis Identitas


Untuk memahami dampak pengaruh media baru terhadap eksistensi pantun, kita bisa merujuk pada konsep habitus yang dicetuskan oleh Pierre Bourdieu (1977, 1992). Dalam teorinya, habitus merujuk pada sistem kebiasaan, nilai-nilai, dan pola-pola perilaku yang terinternalisasi dalam individu dan kelompok sosial. Pantun, dalam konteks ini, adalah bagian dari habitus kolektif masyarakat Melayu, yang mencerminkan cara berbicara, berpikir, dan berinteraksi yang telah lama terwariskan. Dulu, pantun adalah cara masyarakat Melayu berkomunikasi, baik dalam konteks pergaulan sehari-hari, upacara adat, bahkan dalam pengungkapan perasaan dan pemikiran.


Namun, seiring dengan perkembangan zaman, habitus ini mengalami pergeseran. Kehadiran media sosial dan teknologi digital yang menawarkan komunikasi instan, langsung, dan sering kali tidak membutuhkan struktur atau keindahan seperti dalam pantun, menyebabkan tradisi berpantun mulai terpinggirkan. Generasi muda, yang lebih terbiasa dengan kecepatan komunikasi digital, sering kali menganggap pantun sebagai bentuk komunikasi yang terlalu lama dan rumit. Ini menciptakan krisis identitas budaya, di mana pantun yang dulu menjadi simbol jati diri Melayu, kini dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan tidak lagi relevan.


Padahal, di balik keindahan dan kompleksitas struktur pantun, terkandung nilai-nilai luhur yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat. Pantun mengajarkan kita tentang kesopanan, kebijaksanaan, dan kecerdasan berbahasa yang lebih mendalam. Oleh karena itu, pengusulan Hari Pantun Nasional pada 17 Desember bukan hanya bertujuan untuk merayakan warisan budaya, tetapi juga untuk mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan pantun sebagai bagian dari habitus yang membentuk jati diri Melayu di tengah tantangan zaman.


Pantun sebagai Modal Sosial di Era Digital


Salah satu cara agar pantun tetap relevan dalam konteks sosial modern adalah dengan melihatnya sebagai modal sosial. Dalam teori Bourdieu (1990, 2015), modal sosial mengacu pada hubungan, jaringan, dan struktur sosial yang dimiliki individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam dunia yang semakin terhubung dengan teknologi digital, pantun bisa menjadi modal sosial yang memiliki nilai lebih. Dalam konteks ini, pantun bukan hanya menunjukkan kemampuan berbahasa, tetapi juga menunjukkan kedalaman budaya dan kesadaran sosial yang dimiliki oleh individu.


Pemanfaatan platform digital seperti TikTok, Instagram, atau YouTube, dapat menjadi ruang yang subur untuk menghidupkan kembali pantun, menjadikannya lebih menarik dan relevan di kalangan generasi muda. Misalnya, pantun bisa disajikan dalam bentuk tantangan kreatif di media sosial, atau sebagai bagian dari konten hiburan yang ringan namun mendalam. Dalam hal ini, pantun bisa diposisikan sebagai alat distinction—simbol dari identitas budaya yang lebih dalam dan lebih bernilai dibandingkan dengan format komunikasi yang serba instan dan dangkal.


Selain itu, melalui adaptasi digital ini, pantun dapat membantu menguatkan modal sosial masyarakat Melayu. Orang yang mampu berpantun dengan cerdas dan penuh makna tidak hanya dihargai karena keterampilan berbahasa mereka, tetapi juga karena mereka menunjukkan keterhubungan dengan budaya dan tradisi mereka. Dengan demikian, pantun berfungsi sebagai distinction, yaitu pembeda yang menunjukkan status sosial dan kecerdasan budaya dalam masyarakat yang semakin mengutamakan kecepatan dan efisiensi.


Pantun dan Simulasi: Membedakan yang Nyata dan yang Tersimulasi


Namun, dalam dunia digital yang semakin terhubung dan serba instan ini, pantun menghadapi tantangan baru, yaitu fenomena simulasi yang dibahas oleh Jean Baudrillard (1994) dalam teori Simulacra dan Hiperrealitas. Baudrillard berargumen bahwa dalam masyarakat postmodern, batas antara kenyataan dan representasi semakin kabur. Simulasi, dalam pandangannya, bukan lagi hanya sekadar representasi dari realitas, melainkan telah menggantikan realitas itu sendiri. Sebagai contoh, dalam dunia media sosial, kita sering kali menghadapi bentuk-bentuk komunikasi yang tampaknya nyata, namun sebenarnya hanya merupakan salinan dari apa yang dianggap sebagai 'realitas' ideal—tanpa kedalaman, tanpa makna yang sesungguhnya.


Pantun, yang berakar dari realitas budaya Melayu dan menggambarkan cara berpikir yang penuh keindahan dan makna mendalam, berada pada posisi yang sangat rentan di tengah simulasi ini. Banyak konten digital yang mengklaim sebagai representasi dari budaya, namun sebenarnya hanya bentuk hiperrealitas yang terlepas dari nilai dan konteks aslinya. Misalnya, banyak akun di media sosial yang menggunakan pantun sebagai elemen hiburan tanpa menghargai esensi dan kedalaman maknanya. Dalam konteks ini, pantun sering kali hanya menjadi salinan yang dipermudah dan dipermainkan, tanpa mengaitkannya dengan kehidupan nyata yang penuh makna.


Maka, untuk menyelamatkan pantun dari jebakan simulasi ini, kita harus memperkenalkan kembali pantun dalam bentuk yang jujur dan penuh makna, bukan sebagai sekadar simbol visual atau hiburan belaka. Melalui Hari Pantun Nasional, kita dapat mengingatkan masyarakat bahwa pantun lebih dari sekadar bentuk komunikasi yang lucu atau kreatif. Pantun adalah bagian dari kearifan lokal yang berakar pada realitas sosial, yang harus dijaga agar tidak terperangkap dalam hiperrealitas budaya populer.


Pantun sebagai Identitas Budaya di Dunia Global


Dalam masyarakat global yang semakin homogen ini, pantun berpotensi menjadi simbol identitas budaya Melayu yang khas dan tak tergantikan. Di tengah dominasi budaya global, yang sering kali melupakan akar budaya lokal, pantun bisa berfungsi sebagai distinction—sebuah pembeda yang menegaskan keunikan dan kedalaman budaya Melayu. Pantun yang dipresentasikan dengan penuh kreativitas di dunia digital bisa menjadi simbol bahwa meskipun dunia semakin terhubung dan terkoneksi secara virtual, ada hal-hal yang tetap harus dijaga dan dilestarikan: yaitu kearifan lokal dan identitas budaya yang berasal dari warisan nenek moyang.


Namun, agar pantun dapat tetap bertahan sebagai bagian dari identitas budaya, kita perlu menjadikannya bagian dari habitus generasi muda. Hari Pantun Nasional yang diusulkan pada 17 Desember bisa menjadi momen penting untuk menggugah kesadaran generasi muda akan pentingnya menjaga tradisi ini. Melalui pendidikan formal dan informal, kita dapat memastikan bahwa pantun tidak hanya dipandang sebagai warisan masa lalu, tetapi juga sebagai bagian dari percakapan sosial yang relevan dalam kehidupan kontemporer.


Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan upaya bersama untuk membentuk habitus baru yang menghargai dan melestarikan pantun. Salah satu langkah penting adalah melalui pendidikan. Mengajarkan pantun sebagai bagian dari kurikulum di sekolah, baik dalam bentuk sastra, bahasa, maupun pemahaman budaya, akan membantu generasi muda menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, pantun tidak hanya menjadi bahan ajar, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang diterima dan diapresiasi.


Di samping itu, memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan pantun adalah langkah yang cerdas. Melalui media sosial, tantangan pantun atau konten kreatif yang melibatkan pantun bisa menarik perhatian lebih banyak orang, terutama generasi muda. Dengan cara ini, pantun akan kembali hidup dalam percakapan digital yang modern, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.


Pantun dan Hiperrealitas: Menghadapi Dunia yang Terlepas dari Realitas


Dalam konteks hiperrealitas yang dijelaskan oleh Baudrillard, dunia digital seringkali memisahkan kita dari realitas yang otentik. Kita hidup dalam dunia simulacra, di mana apa yang kita lihat dan konsumsi bukan lagi representasi dari kenyataan, tetapi merupakan salinan yang diciptakan untuk memenuhi ekspektasi dan keinginan yang instan. Ini adalah kondisi di mana dunia digital menjadi lebih nyata daripada dunia fisik itu sendiri. Dalam hal ini, pantun yang merupakan bagian dari kearifan lokal yang mendalam berisiko terjepit dalam hiperrealitas ini. Sebagai contoh, pantun yang dulunya digunakan untuk menyampaikan pesan moral, sosial, dan estetika dalam kehidupan sehari-hari kini sering kali dipermainkan dan disederhanakan dalam format yang dangkal untuk memenuhi tuntutan hiburan.


Dalam dunia hiperrealitas ini, segala sesuatu bisa diciptakan ulang tanpa memperhatikan substansi dan makna yang terkandung di dalamnya. Pantun yang tadinya berfungsi sebagai alat komunikasi yang kaya akan simbolisme, kini sering kali dipertontonkan tanpa kedalaman makna. Pantun hanya dijadikan alat untuk menghibur atau bahkan menjadi konten viral tanpa memperhitungkan tujuan aslinya sebagai ekspresi budaya yang menyampaikan nilai-nilai luhur. Dengan kata lain, pantun dalam dunia digital bisa menjadi korban dari simulasi ini, di mana bentuknya lebih penting daripada makna sejatinya.


Namun, tantangan ini bukan tanpa solusi. Hari Pantun Nasional dapat menjadi titik balik untuk mempromosikan pantun dalam konteks yang lebih bermakna dan autentik. Dengan menciptakan ruang di mana pantun tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga alat untuk memahami dan merefleksikan identitas budaya Melayu, kita bisa melawan arus hiperrealitas ini. Pantun perlu diposisikan kembali sebagai bentuk ekspresi budaya yang penuh makna dan relevansi dengan kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai alat untuk memenuhi tuntutan pasar hiburan yang serba cepat dan dangkal.


Kita hidup di dunia yang semakin terhubung secara global, di mana arus informasi mengalir tanpa henti. Budaya global, sering kali dalam bentuk hiburan massal, memesona masyarakat dan menawarkan kenyamanan dalam bentuk komunikasi yang serba instan. Di sisi lain, pantun memiliki potensi untuk menjadi alat pembeda (distinction) yang menegaskan keunikan budaya Melayu di tengah arus budaya global. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang distinction, elemen-elemen budaya yang bisa dilihat sebagai simbol status sosial atau identitas sering kali digunakan untuk menunjukkan siapa kita dalam masyarakat. Pantun, dengan keindahan dan kedalaman struktur bahasanya, memiliki potensi untuk menjadi simbol kecerdasan dan kedalaman budaya yang tidak dimiliki oleh banyak bentuk komunikasi lainnya.


Di dunia yang semakin homogen ini, pantun dapat berfungsi sebagai simbol keunikan dan distinction budaya Melayu. Dalam masyarakat yang semakin dipenuhi dengan media hiburan global yang serba cepat dan instan, kemampuan untuk berpantun dengan baik bisa menjadi tanda bahwa seseorang tidak hanya terhubung dengan tradisi dan identitas lokalnya, tetapi juga memiliki kedalaman intelektual dan kesadaran budaya. Ini adalah bentuk penghargaan terhadap habitus yang telah membentuk cara berpikir dan berinteraksi masyarakat Melayu selama berabad-abad.


Melalui Hari Pantun Nasional, kita dapat menyadarkan masyarakat akan nilai distinction ini. Pantun bukan sekadar hiburan atau bentuk komunikasi semata, tetapi juga sebuah simbol kebijaksanaan, kecerdasan, dan kearifan budaya yang mampu menandai identitas seseorang dalam masyarakat. Dengan menegaskan kembali peran pantun dalam kehidupan sosial, kita bisa mengangkat marwah Melayu di tengah derasnya arus budaya global yang sering kali mengabaikan nilai-nilai lokal.


Pantun sebagai Kunci untuk Menjaga Keaslian Budaya Lokal


Keberadaan pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang diakui oleh UNESCO harus dilihat sebagai momentum untuk menjaga keaslian budaya lokal di tengah gelombang globalisasi. Di dunia yang semakin terdigitalisasi dan terhubung ini, sangat mudah bagi budaya lokal untuk tergerus oleh arus informasi yang datang dari luar. Pantun, dengan segala kedalamannya, berfungsi sebagai penanda keaslian budaya Melayu. Tradisi berpantun menciptakan suatu cara berkomunikasi yang tidak hanya indah, tetapi juga mengandung nilai moral dan sosial yang mendalam, sesuatu yang mungkin hilang dalam budaya komunikasi instan dan serba cepat.


Dalam hal ini, Hari Pantun Nasional harus dimanfaatkan untuk merayakan keberadaan pantun sebagai bagian tak terpisahkan dari jati diri bangsa Melayu. Melalui perayaan ini, kita bukan hanya mengingat kembali warisan budaya yang telah lama ada, tetapi juga memberi kesempatan bagi masyarakat untuk merenungkan betapa pentingnya menjaga keaslian tradisi di tengah dunia yang semakin terpengaruh oleh arus budaya global. Pantun harus kembali diposisikan sebagai representasi budaya yang lebih dari sekadar hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun kesadaran akan nilai-nilai budaya yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari.


Menghadapi Tantangan Media Sosial: Mempertahankan Nilai dalam Era Simulasi


Salah satu tantangan terbesar dalam menghadapi simulasi dan hiperrealitas adalah bagaimana menjaga agar pantun tetap memiliki nilai yang autentik dan tidak hanya menjadi konten yang dikonsumsi secara dangkal. Di media sosial, di mana kecepatan dan popularitas sering kali menjadi ukuran kesuksesan, pantun berpotensi kehilangan esensinya. Pantun yang semula digunakan sebagai bentuk komunikasi yang mengandung makna mendalam kini bisa dengan mudah menjadi sekadar lelucon atau permainan kata-kata tanpa kedalaman.


Namun, ini juga menawarkan peluang untuk menciptakan kebangkitan pantun dalam konteks baru. Media sosial memiliki potensi untuk menyebarkan pantun kepada audiens yang lebih luas, terutama di kalangan generasi muda yang sering kali tidak terpapar dengan warisan budaya tradisional. Dalam hal ini, Hari Pantun Nasional dapat menjadi platform untuk mengenalkan pantun kembali kepada masyarakat melalui cara yang lebih modern, dengan tetap mempertahankan nilai dan esensinya. Pantun yang disajikan dalam konteks digital, jika dipadukan dengan pemahaman yang mendalam tentang maknanya, bisa menghidupkan kembali tradisi ini sebagai alat komunikasi yang penuh kebijaksanaan.


Sebagai penutup, Hari Pantun Nasional yang diusulkan pada 17 Desember harus menjadi momen refleksi bagi kita semua untuk merayakan dan melestarikan pantun sebagai bagian tak terpisahkan dari jati diri Melayu. Pantun, yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO, bukan hanya sekadar warisan budaya yang patut dihargai, tetapi juga simbol dari habitus yang membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam masyarakat Melayu. Di tengah kemajuan teknologi dan budaya global yang semakin mendominasi, pantun memiliki potensi untuk kembali menjadi modal sosial dan distinction yang memperkaya kehidupan sosial kita, baik dalam dunia nyata maupun digital.


Dengan menjadikan pantun sebagai bagian dari habitus modern, kita dapat memastikan bahwa identitas Melayu tetap terjaga dan dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendidikan, platform digital, dan perayaan Hari Pantun Nasional, pantun dapat menjadi simbol keunikan budaya yang menegaskan kedalaman dan kekayaan budaya Indonesia, terutama dalam konteks budaya Melayu yang semakin terpinggirkan di tengah arus globalisasi. Dengan cara ini, pantun tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang sebagai bagian dari kearifan lokal yang tetap relevan di dunia yang semakin terhubung secara digital.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now