Ilustrasi (Sumber: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6703802/114-contoh-pantun-nasehat-penuh-motivasi-dan-renungan-untuk-kehidupan) |
Oleh: Syamsul Kurniawan
Pada 17
Desember 2020, tepat empat tahun yang lalu, sejarah mencatat sebuah peristiwa penting
bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Melayu. Pada hari itu,
melalui keputusan PBB dan UNESCO, pantun resmi diakui sebagai Warisan Budaya
Tak Benda (WBTB), atau Intangible Cultural Heritage bagi umat manusia.
Pengakuan global ini adalah kemenangan yang tidak hanya mengharumkan nama
bangsa Indonesia, tetapi juga mempertegas kedudukan pantun sebagai bagian tak
terpisahkan dari tamaddun atau peradaban Melayu yang telah melahirkan berbagai
karya budaya bernilai tinggi. Pantun, sebagai tradisi lisan yang telah lama
menjadi bagian dari keseharian masyarakat Melayu, kini mendapatkan pengakuan
yang layak di mata dunia.
Namun,
meskipun pantun telah mendapatkan pengakuan internasional, tantangan besar kini
adalah bagaimana mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan sosial yang
semakin terpengaruh oleh perkembangan media baru dan teknologi digital.
Pengusulan untuk menjadikan 17 Desember sebagai Hari Pantun Nasional merupakan
langkah strategis untuk merayakan dan menghidupkan kembali pantun sebagai
bagian dari identitas budaya yang patut dijaga, terutama di kalangan generasi
muda. Di sinilah pentingnya merefleksikan bagaimana pantun, yang dulunya
menjadi bagian dari habitus masyarakat Melayu, kini mulai terpinggirkan di
tengah arus budaya global yang serba cepat.
Pantun dalam Perspektif Habitus dan Krisis Identitas
Untuk
memahami dampak pengaruh media baru terhadap eksistensi pantun, kita bisa
merujuk pada konsep habitus yang dicetuskan oleh Pierre Bourdieu (1977, 1992).
Dalam teorinya, habitus merujuk pada sistem kebiasaan, nilai-nilai, dan
pola-pola perilaku yang terinternalisasi dalam individu dan kelompok sosial.
Pantun, dalam konteks ini, adalah bagian dari habitus kolektif masyarakat
Melayu, yang mencerminkan cara berbicara, berpikir, dan berinteraksi yang telah
lama terwariskan. Dulu, pantun adalah cara masyarakat Melayu berkomunikasi,
baik dalam konteks pergaulan sehari-hari, upacara adat, bahkan dalam
pengungkapan perasaan dan pemikiran.
Namun,
seiring dengan perkembangan zaman, habitus ini mengalami pergeseran. Kehadiran
media sosial dan teknologi digital yang menawarkan komunikasi instan, langsung,
dan sering kali tidak membutuhkan struktur atau keindahan seperti dalam pantun,
menyebabkan tradisi berpantun mulai terpinggirkan. Generasi muda, yang lebih
terbiasa dengan kecepatan komunikasi digital, sering kali menganggap pantun
sebagai bentuk komunikasi yang terlalu lama dan rumit. Ini menciptakan krisis
identitas budaya, di mana pantun yang dulu menjadi simbol jati diri Melayu,
kini dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan tidak lagi relevan.
Padahal, di
balik keindahan dan kompleksitas struktur pantun, terkandung nilai-nilai luhur
yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat. Pantun mengajarkan kita
tentang kesopanan, kebijaksanaan, dan kecerdasan berbahasa yang lebih mendalam.
Oleh karena itu, pengusulan Hari Pantun Nasional pada 17 Desember bukan hanya
bertujuan untuk merayakan warisan budaya, tetapi juga untuk mengingatkan kita
akan pentingnya melestarikan pantun sebagai bagian dari habitus yang membentuk
jati diri Melayu di tengah tantangan zaman.
Pantun sebagai Modal Sosial di Era Digital
Salah satu
cara agar pantun tetap relevan dalam konteks sosial modern adalah dengan
melihatnya sebagai modal sosial. Dalam teori Bourdieu (1990, 2015), modal
sosial mengacu pada hubungan, jaringan, dan struktur sosial yang dimiliki
individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam dunia yang semakin terhubung
dengan teknologi digital, pantun bisa menjadi modal sosial yang memiliki nilai
lebih. Dalam konteks ini, pantun bukan hanya menunjukkan kemampuan berbahasa,
tetapi juga menunjukkan kedalaman budaya dan kesadaran sosial yang dimiliki
oleh individu.
Pemanfaatan
platform digital seperti TikTok, Instagram, atau YouTube, dapat menjadi ruang
yang subur untuk menghidupkan kembali pantun, menjadikannya lebih menarik dan
relevan di kalangan generasi muda. Misalnya, pantun bisa disajikan dalam bentuk
tantangan kreatif di media sosial, atau sebagai bagian dari konten hiburan yang
ringan namun mendalam. Dalam hal ini, pantun bisa diposisikan sebagai alat
distinction—simbol dari identitas budaya yang lebih dalam dan lebih bernilai
dibandingkan dengan format komunikasi yang serba instan dan dangkal.
Selain itu,
melalui adaptasi digital ini, pantun dapat membantu menguatkan modal sosial
masyarakat Melayu. Orang yang mampu berpantun dengan cerdas dan penuh makna
tidak hanya dihargai karena keterampilan berbahasa mereka, tetapi juga karena
mereka menunjukkan keterhubungan dengan budaya dan tradisi mereka. Dengan
demikian, pantun berfungsi sebagai distinction, yaitu pembeda yang menunjukkan
status sosial dan kecerdasan budaya dalam masyarakat yang semakin mengutamakan
kecepatan dan efisiensi.
Pantun dan Simulasi: Membedakan yang Nyata dan yang Tersimulasi
Namun,
dalam dunia digital yang semakin terhubung dan serba instan ini, pantun
menghadapi tantangan baru, yaitu fenomena simulasi yang dibahas oleh Jean
Baudrillard (1994) dalam teori Simulacra dan Hiperrealitas. Baudrillard
berargumen bahwa dalam masyarakat postmodern, batas antara kenyataan dan
representasi semakin kabur. Simulasi, dalam pandangannya, bukan lagi hanya
sekadar representasi dari realitas, melainkan telah menggantikan realitas itu
sendiri. Sebagai contoh, dalam dunia media sosial, kita sering kali menghadapi
bentuk-bentuk komunikasi yang tampaknya nyata, namun sebenarnya hanya merupakan
salinan dari apa yang dianggap sebagai 'realitas' ideal—tanpa kedalaman, tanpa
makna yang sesungguhnya.
Pantun,
yang berakar dari realitas budaya Melayu dan menggambarkan cara berpikir yang
penuh keindahan dan makna mendalam, berada pada posisi yang sangat rentan di
tengah simulasi ini. Banyak konten digital yang mengklaim sebagai representasi
dari budaya, namun sebenarnya hanya bentuk hiperrealitas yang terlepas dari
nilai dan konteks aslinya. Misalnya, banyak akun di media sosial yang
menggunakan pantun sebagai elemen hiburan tanpa menghargai esensi dan kedalaman
maknanya. Dalam konteks ini, pantun sering kali hanya menjadi salinan yang
dipermudah dan dipermainkan, tanpa mengaitkannya dengan kehidupan nyata yang
penuh makna.
Maka, untuk
menyelamatkan pantun dari jebakan simulasi ini, kita harus memperkenalkan
kembali pantun dalam bentuk yang jujur dan penuh makna, bukan sebagai sekadar
simbol visual atau hiburan belaka. Melalui Hari Pantun Nasional, kita dapat
mengingatkan masyarakat bahwa pantun lebih dari sekadar bentuk komunikasi yang
lucu atau kreatif. Pantun adalah bagian dari kearifan lokal yang berakar pada
realitas sosial, yang harus dijaga agar tidak terperangkap dalam hiperrealitas
budaya populer.
Pantun sebagai Identitas Budaya di Dunia Global
Dalam
masyarakat global yang semakin homogen ini, pantun berpotensi menjadi simbol
identitas budaya Melayu yang khas dan tak tergantikan. Di tengah dominasi
budaya global, yang sering kali melupakan akar budaya lokal, pantun bisa
berfungsi sebagai distinction—sebuah pembeda yang menegaskan keunikan dan
kedalaman budaya Melayu. Pantun yang dipresentasikan dengan penuh kreativitas
di dunia digital bisa menjadi simbol bahwa meskipun dunia semakin terhubung dan
terkoneksi secara virtual, ada hal-hal yang tetap harus dijaga dan
dilestarikan: yaitu kearifan lokal dan identitas budaya yang berasal dari
warisan nenek moyang.
Namun, agar
pantun dapat tetap bertahan sebagai bagian dari identitas budaya, kita perlu
menjadikannya bagian dari habitus generasi muda. Hari Pantun Nasional yang
diusulkan pada 17 Desember bisa menjadi momen penting untuk menggugah kesadaran
generasi muda akan pentingnya menjaga tradisi ini. Melalui pendidikan formal
dan informal, kita dapat memastikan bahwa pantun tidak hanya dipandang sebagai
warisan masa lalu, tetapi juga sebagai bagian dari percakapan sosial yang
relevan dalam kehidupan kontemporer.
Untuk
mewujudkan hal tersebut, diperlukan upaya bersama untuk membentuk habitus baru
yang menghargai dan melestarikan pantun. Salah satu langkah penting adalah
melalui pendidikan. Mengajarkan pantun sebagai bagian dari kurikulum di
sekolah, baik dalam bentuk sastra, bahasa, maupun pemahaman budaya, akan
membantu generasi muda menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, pantun tidak hanya menjadi bahan ajar, tetapi juga menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari yang diterima dan diapresiasi.
Di samping
itu, memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan pantun adalah langkah yang
cerdas. Melalui media sosial, tantangan pantun atau konten kreatif yang
melibatkan pantun bisa menarik perhatian lebih banyak orang, terutama generasi
muda. Dengan cara ini, pantun akan kembali hidup dalam percakapan digital yang
modern, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang terkandung di
dalamnya.
Pantun dan Hiperrealitas: Menghadapi Dunia yang
Terlepas dari Realitas
Dalam konteks hiperrealitas yang dijelaskan oleh Baudrillard, dunia
digital seringkali memisahkan kita dari realitas yang otentik. Kita hidup dalam
dunia simulacra, di
mana apa yang kita lihat dan konsumsi bukan lagi representasi dari kenyataan,
tetapi merupakan salinan yang diciptakan untuk memenuhi ekspektasi dan
keinginan yang instan. Ini adalah kondisi di mana dunia digital menjadi lebih
nyata daripada dunia fisik itu sendiri. Dalam hal ini, pantun yang merupakan
bagian dari kearifan lokal
yang mendalam berisiko terjepit dalam hiperrealitas
ini. Sebagai contoh, pantun yang dulunya digunakan untuk menyampaikan pesan
moral, sosial, dan estetika dalam kehidupan sehari-hari kini sering kali
dipermainkan dan disederhanakan dalam format yang dangkal untuk memenuhi
tuntutan hiburan.
Dalam dunia hiperrealitas ini, segala sesuatu
bisa diciptakan ulang tanpa memperhatikan substansi dan makna yang terkandung
di dalamnya. Pantun yang tadinya berfungsi sebagai alat komunikasi yang kaya
akan simbolisme, kini sering kali dipertontonkan tanpa kedalaman makna. Pantun
hanya dijadikan alat untuk menghibur atau bahkan menjadi konten viral tanpa memperhitungkan
tujuan aslinya sebagai ekspresi budaya yang menyampaikan nilai-nilai luhur.
Dengan kata lain, pantun
dalam dunia digital bisa menjadi korban dari simulasi ini, di mana bentuknya lebih penting daripada
makna sejatinya.
Namun, tantangan ini bukan tanpa solusi. Hari Pantun Nasional dapat menjadi
titik balik untuk mempromosikan pantun dalam konteks yang lebih bermakna dan
autentik. Dengan menciptakan ruang di mana pantun tidak hanya menjadi hiburan
semata, tetapi juga alat untuk memahami dan merefleksikan identitas budaya
Melayu, kita bisa melawan arus hiperrealitas
ini. Pantun perlu diposisikan kembali sebagai bentuk ekspresi budaya yang penuh
makna dan relevansi dengan kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai alat
untuk memenuhi tuntutan pasar hiburan yang serba cepat dan dangkal.
Kita hidup di dunia yang semakin terhubung secara
global, di mana arus informasi mengalir tanpa henti. Budaya global, sering kali
dalam bentuk hiburan massal, memesona masyarakat dan menawarkan kenyamanan
dalam bentuk komunikasi yang serba instan. Di sisi lain, pantun memiliki
potensi untuk menjadi alat pembeda
(distinction) yang menegaskan keunikan budaya Melayu di tengah arus budaya
global. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang
distinction,
elemen-elemen budaya yang bisa dilihat sebagai simbol status sosial atau
identitas sering kali digunakan untuk menunjukkan siapa kita dalam masyarakat.
Pantun, dengan keindahan dan kedalaman struktur bahasanya, memiliki potensi
untuk menjadi simbol kecerdasan dan kedalaman budaya yang tidak dimiliki oleh
banyak bentuk komunikasi lainnya.
Di dunia yang semakin homogen ini, pantun dapat
berfungsi sebagai simbol keunikan dan distinction
budaya Melayu. Dalam masyarakat yang semakin dipenuhi dengan media hiburan
global yang serba cepat dan instan, kemampuan untuk berpantun dengan baik bisa
menjadi tanda bahwa seseorang tidak hanya terhubung dengan tradisi dan
identitas lokalnya, tetapi juga memiliki kedalaman intelektual dan kesadaran
budaya. Ini adalah bentuk penghargaan terhadap habitus yang telah membentuk cara berpikir dan
berinteraksi masyarakat Melayu selama berabad-abad.
Melalui Hari
Pantun Nasional, kita dapat menyadarkan masyarakat akan nilai distinction ini. Pantun bukan
sekadar hiburan atau bentuk komunikasi semata, tetapi juga sebuah simbol
kebijaksanaan, kecerdasan, dan kearifan budaya yang mampu menandai identitas
seseorang dalam masyarakat. Dengan menegaskan kembali peran pantun dalam
kehidupan sosial, kita bisa mengangkat marwah Melayu di tengah derasnya arus
budaya global yang sering kali mengabaikan nilai-nilai lokal.
Pantun sebagai Kunci untuk Menjaga Keaslian
Budaya Lokal
Keberadaan pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang diakui
oleh UNESCO harus dilihat sebagai momentum untuk menjaga keaslian budaya lokal di tengah
gelombang globalisasi. Di dunia yang semakin terdigitalisasi dan terhubung ini,
sangat mudah bagi budaya lokal untuk tergerus oleh arus informasi yang datang
dari luar. Pantun, dengan segala kedalamannya, berfungsi sebagai penanda keaslian budaya Melayu. Tradisi
berpantun menciptakan suatu cara berkomunikasi yang tidak hanya indah, tetapi
juga mengandung nilai moral dan sosial yang mendalam, sesuatu yang mungkin
hilang dalam budaya komunikasi instan dan serba cepat.
Dalam hal ini, Hari Pantun Nasional harus dimanfaatkan untuk merayakan
keberadaan pantun sebagai bagian tak terpisahkan dari jati diri bangsa Melayu. Melalui
perayaan ini, kita bukan hanya mengingat kembali warisan budaya yang telah lama
ada, tetapi juga memberi kesempatan bagi masyarakat untuk merenungkan betapa
pentingnya menjaga keaslian tradisi di tengah dunia yang semakin terpengaruh
oleh arus budaya global. Pantun harus kembali diposisikan sebagai representasi
budaya yang lebih dari sekadar hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk
membangun kesadaran akan nilai-nilai budaya yang mengakar dalam kehidupan
sehari-hari.
Menghadapi Tantangan Media Sosial:
Mempertahankan Nilai dalam Era Simulasi
Salah satu tantangan terbesar dalam menghadapi simulasi dan hiperrealitas adalah bagaimana
menjaga agar pantun tetap memiliki nilai yang autentik dan tidak hanya menjadi
konten yang dikonsumsi secara dangkal. Di media sosial, di mana kecepatan dan
popularitas sering kali menjadi ukuran kesuksesan, pantun berpotensi kehilangan
esensinya. Pantun yang semula digunakan sebagai bentuk komunikasi yang
mengandung makna mendalam kini bisa dengan mudah menjadi sekadar lelucon atau
permainan kata-kata tanpa kedalaman.
Namun, ini juga menawarkan peluang untuk
menciptakan kebangkitan pantun
dalam konteks baru. Media sosial memiliki potensi untuk menyebarkan pantun
kepada audiens yang lebih luas, terutama di kalangan generasi muda yang sering
kali tidak terpapar dengan warisan budaya tradisional. Dalam hal ini, Hari Pantun Nasional dapat menjadi
platform untuk mengenalkan pantun kembali kepada masyarakat melalui cara yang
lebih modern, dengan tetap mempertahankan nilai dan esensinya. Pantun yang
disajikan dalam konteks digital, jika dipadukan dengan pemahaman yang mendalam
tentang maknanya, bisa menghidupkan kembali tradisi ini sebagai alat komunikasi
yang penuh kebijaksanaan.
Sebagai
penutup, Hari Pantun Nasional yang diusulkan pada 17 Desember
harus menjadi momen refleksi bagi kita semua untuk merayakan dan melestarikan pantun sebagai bagian tak
terpisahkan dari jati diri Melayu.
Pantun, yang telah diakui sebagai Warisan
Budaya Tak Benda oleh UNESCO, bukan hanya sekadar warisan
budaya yang patut dihargai, tetapi juga simbol dari habitus yang membentuk cara berpikir
dan berinteraksi dalam masyarakat Melayu. Di tengah kemajuan teknologi dan
budaya global yang semakin mendominasi, pantun
memiliki potensi untuk kembali menjadi modal
sosial dan distinction
yang memperkaya kehidupan sosial kita, baik dalam dunia nyata maupun digital.
Dengan menjadikan pantun sebagai bagian dari habitus modern, kita dapat
memastikan bahwa identitas Melayu
tetap terjaga dan dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendidikan, platform digital, dan perayaan Hari Pantun Nasional, pantun dapat
menjadi simbol keunikan budaya
yang menegaskan kedalaman dan kekayaan budaya Indonesia, terutama dalam konteks
budaya Melayu yang semakin terpinggirkan di tengah arus globalisasi. Dengan
cara ini, pantun tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang sebagai
bagian dari kearifan lokal
yang tetap relevan di dunia yang semakin terhubung secara digital.***