Oleh: Syamsul Kurniawan
Hujan turun deras di atas trotoar kota Jakarta. Sosok perempuan bernama Gadis, berusia 22 tahun, berdiri dengan jaket tipis yang sudah mulai basah.
Udara dingin menembus kulitnya, tetapi ia tak peduli. Di tengah kota yang selalu
sibuk dan penuh dengan manusia, Gadis merasa seolah ia terjebak dalam sebuah
ruang sunyi yang tidak terlihat oleh dunia. Jalanan di sekitar stadion tampak
lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas dengan tergesa-gesa,
berusaha menghindari hujan. Namun, Gadis tetap di sini, bertahan di setiap
tetes hujan yang turun, berjuang untuk kehidupan yang semakin tak pasti.
Dua tahun sudah berlalu sejak kedua orang tuanya
meninggal akibat pandemi COVID-19. Dunia mereka yang dulu penuh dengan kasih
sayang dan perhatian kini telah berubah drastis. Tanpa orang tua, Gadis menjadi
sandaran hidup bagi adiknya, Wulan, yang baru berusia 8 tahun. Dimas, adiknya
yang berusia 15 tahun, lebih banyak menghabiskan waktu dengan ponselnya,
mencari pelarian dari kenyataan yang pahit. Rumah kontrakan mereka yang sempit
dan usang tak lebih dari tempat berlindung sementara. Gadis tahu, di sinilah
mereka harus bertahan, walaupun hidup mereka seperti sebuah perjalanan tanpa
arah yang jelas.
Setiap pagi, Gadis bangun lebih awal untuk menyiapkan gorengan dagangannya. Adonan tepung dan isian yang sederhana adalah satu-satunya harapan mereka untuk bertahan. Namun, setiap kali hujan datang, pendapatan dari berjualan gorengan menjadi sangat tidak menentu. Banyak orang memilih untuk tetap di rumah, membuatnya kesulitan mencari pembeli. Gadis tahu bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia harus bekerja lebih keras, bahkan jika itu berarti harus menjual rokok, barang yang bukan bagian dari keinginannya.
Hari ini, hujan semakin deras. Gadis menyandarkan
gerobaknya di bawah pohon besar di pinggir jalan, berharap ada pembeli yang
datang. Namun, hari ini tampaknya sama seperti hari-hari lainnya—panas yang
menguap bersama harapan, dan hujan yang menghentikan langkah-langkahnya. Wulan,
adiknya yang ceria, pasti sedang menunggu di rumah. Tapi apa yang bisa ia bawa
pulang untuk mereka makan malam? Seringkali, makanan mereka hanya seharga lima
ribu rupiah, nasi bungkus dengan lauk seadanya dari warteg.
Saat itulah seorang pria berhenti di depannya. Pria itu tampak kelelahan, wajahnya tampak lelah dan murung. Gadis mengamati pria itu sejenak, lalu kembali menata gorengan dagangannya dengan tangan yang sudah mulai kedinginan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hingga pria itu akhirnya membuka percakapan.
“Mbak, jual rokok ya?” tanya pria itu, suaranya
pelan namun penuh pengharapan.
Gadis mengangguk, menawarkan beberapa bungkus
rokok yang ia bawa. Ini bukan sesuatu yang ia inginkan, tetapi hidupnya
memaksanya untuk melakukannya. Setiap transaksi kecil adalah satu-satunya cara
ia bisa memberi makan Wulan.
“Harus jual rokok juga, Mbak?” tanya pria itu
lagi, matanya sedikit menilai namun tidak berniat menghakimi.
“Kadang kalau hujan gini, susah jual gorengan. Jadi rokok juga,” jawab Gadis singkat, mencoba tersenyum meskipun rasa cemas dan lelah menggerogoti hatinya.
Pria itu mengangguk, seolah memahami situasi yang Gadis hadapi. “Saya juga begitu, Mbak. Jual tiket di stadion. Terkadang laku, terkadang nggak. Hidup memang penuh ketidakpastian,” katanya dengan nada yang berat
.
Gadis hanya terdiam, merasakan ikatan pemahaman
yang tak terucapkan. Mereka berdua tengah berjuang dalam arus kehidupan yang
tak memberi ruang untuk berhenti. Pria itu membeli sebatang rokok, lalu
berbalik dan melangkah pergi. Sebelum ia menghilang dalam keramaian hujan, ia
sempat berkata, "Kamu luar biasa, Mbak. Semoga kamu bisa terus
bertahan."
Gadis menatap pria itu yang menghilang di balik
tirai hujan. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuat hatinya sedikit lebih
ringan, seakan beban yang ditanggungnya sedikit terangkat. Hanya sesaat, tapi
cukup untuk memberinya semangat untuk bertahan.
Sesampainya di rumah, Gadis mendapati Wulan
sedang bermain di sudut ruang kecil mereka. Ruangan itu hanya cukup untuk
mereka bertiga, dan dindingnya sudah mulai retak karena usia. Gadis merasa
sesak setiap kali melihat rumah mereka yang semakin tidak layak huni, namun ia
tahu, di sinilah mereka harus bertahan. Wulan langsung berlari menghampirinya
dengan senyum ceria. “Kak, bawa apa?” tanyanya dengan gembira, meskipun mereka
sudah tahu bahwa yang dibawa kakaknya adalah nasi bungkus dengan lauk
sederhana.
“Makan dulu, Wulan. Kakak sudah bawa nasi bungkus,” kata Gadis sambil membuka kantong plastik berisi makanan yang baru saja ia beli di warteg seharga lima ribu rupiah. Lauknya sederhana, tempe dan sambal. Itu adalah makanan yang sudah menjadi rutinitas mereka—seadanya, tetapi cukup untuk mengisi perut.
Wulan langsung duduk di meja kecil mereka, senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya meski ia tahu makanan itu tidak banyak. Gadis duduk di sampingnya, membuka bungkus nasi itu dengan hati yang berat, mencoba menyembunyikan rasa khawatir di balik senyumannya.
“Ayo, makan, Kak,” ajak Wulan, sambil menggigit
nasinya dengan lahap.
Gadis merasa sesak di dadanya, namun ia berusaha tetap tegar. Untuk Wulan, ia akan terus berjuang. Untuk adiknya, ia akan terus berjalan meski jalan yang harus dilalui penuh dengan kerikil tajam. Tidak ada pilihan lain. Mereka hanya punya satu sama lain, dan Gadis tahu bahwa harapan mereka hanya ada di tangannya.
Di luar, hujan masih mengguyur kota Jakarta, namun Gadis merasa sedikit lebih tenang. Seperti hujan yang membersihkan udara, harapan yang dipeluknya memberi ruang baru untuk bertahan. Ia tahu bahwa hidup ini penuh dengan tantangan dan ketidakpastian, namun untuk Wulan, ia akan terus bertahan. Setiap tetes hujan yang turun adalah bagian dari perjalanan panjang yang harus ia jalani. Tidak ada akhir yang jelas, tetapi selagi masih ada harapan, Gadis tahu ia tidak bisa menyerah.
Hari-hari yang sulit ini mungkin tidak akan pernah benar-benar berakhir, tetapi Gadis tidak pernah merasa sendirian. Ada Wulan, ada adiknya yang kecil itu yang selalu mengingatkan bahwa kehidupan ini berharga, walaupun segala sesuatu tampaknya hancur dan tak pasti. Harapan adalah satu-satunya pegangan yang masih bisa mereka miliki di dunia yang terus berubah ini.
Di dunia yang terus bergulir, seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan, Gadis memeluk harapan dengan erat. Karena meskipun segala sesuatunya terasa tak adil, ia tahu bahwa hidup ini harus terus berjalan. Untuk Wulan, ia akan terus berjuang, bahkan jika dunia terasa begitu jauh dari harapan.