Iklan

Cahaya yang Redup

syamsul kurniawan
Saturday, December 14, 2024
Last Updated 2024-12-14T09:57:17Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Cerpen: Syamsul Kurniawan


Piring itu pecah berantakan di lantai. Cegukan suara pecahan kaca yang menggelinding menyentak ketenangan rumah yang hening. Ibu terkejut, melangkah cepat menghampiri. Ayah berdiri kaku, melihat aku yang berdiri diam, memandangi serpihan-serpihan piring yang berserakan di atas lantai. Hanya ada satu kata yang keluar dari mulutnya, “Susah banget... bersihin pecahan ini.”


Aku tak menjawab. Hanya menunduk, menatap serpihan-serpihan itu. Kaca-kaca yang pecah itu seperti cermin kecil yang memantulkan wajahku yang tak lagi utuh. Aku merasa seperti salah satu dari potongan-potongan itu—terpecah, tak bisa disatukan kembali.


“Cepat bantu, jangan diem aja!” Ayah memerintah sambil mengusap keringat di dahi. Aku hanya mengangguk, berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan itu, tapi tanganku gemetar. Terlalu banyak potongan yang rusak, seperti diriku.


Suara ibu terdengar dari dapur. “Sudah selesai makan? Jangan lupa cuci tangan, Cahaya.” Aku hanya mengangguk tanpa sepatah kata. Tidak ada suara protes, tidak ada kegembiraan, hanya kesunyian. Itu saja yang bisa aku berikan. Kesunyian yang menggema di rumah ini. Sebuah rumah yang tak pernah menjadi tempat perlindunganku.


Aku merasa seolah semua yang ada di sekelilingku adalah pecahan-pecahan yang sulit untuk disatukan lagi. Piring yang pecah, keluarga yang retak, dan diriku yang terjebak dalam kebodohan yang tak bisa kuterima. Aku tidak pernah bisa memenuhi harapan mereka—baik ibu, maupun ayah. Aku tak bisa menulis dengan benar, tak bisa berhitung dengan cepat. Semua terasa sulit, terlalu sulit.


Aku tinggal kelas lagi. Tahun ini, ini adalah tahun kedua aku mengulang pelajaran yang sama. Teman-teman di sekolah selalu mengolok-olokku. Mereka memanggilku bodoh, tak berguna. “Kamu cuma beban, Cahaya!” suara mereka selalu terngiang-ngiang di telingaku, mengiris lebih dalam dari yang pernah mereka tahu.


Di kelas, aku duduk sendirian. Semua temanku sudah punya kelompok belajar sendiri, mereka berdiskusi dengan cepat, saling berbagi pengetahuan yang aku sendiri tidak pernah bisa kuerti. Setiap kali aku mencoba bertanya pada guru, matanya penuh rasa kecewa. Seolah aku telah mengganggu ketenangannya.


Aku bukan bodoh. Tapi, aku lambat. Semuanya datang dengan cara yang berbeda bagiku. Ketika mereka semua bisa menyelesaikan soal dengan cepat, aku hanya bisa duduk, merenung, bingung, bahkan terkadang hampir menangis. Tak ada yang tahu bagaimana rasanya saat itu. Tak ada yang tahu betapa sulitnya mengerti sesuatu yang tampaknya mudah bagi orang lain.


“Cahaya, ayo jawab!” seru Bu Hilda dengan nada kesal. Aku menatapnya, matanya penuh harapan yang aku tahu tak akan bisa kuturuti. Aku hanya bisa diam, menunduk, dan merasakan panas wajahku.


Aku merasa semakin terkucil, semakin jauh dari dunia mereka yang seakan sempurna. Setiap hari, aku pulang ke rumah dan menemukan kenyataan yang sama. Ayah marah karena aku tidak bisa menyelesaikan PR, ibu sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, dan aku? Aku hanya menjadi bayangan yang menunggu untuk memudar.

***


Malam ini, seperti biasa, aku duduk di meja belajar, mencoba menyelesaikan pekerjaan rumah yang terasa seperti beban yang tak terangkat. Buku pelajaran terbuka di depanku, namun kata-kata itu tidak masuk ke dalam pikiranku. Aku memandang angka-angka dan huruf-huruf yang bercampur, semuanya menjadi kabur. Aku tidak bisa memahaminya.


Air mata mulai mengalir tanpa suara. Aku takut, aku lelah, dan aku merasa sangat kesepian. Tidak ada yang mengerti. Tidak ada yang peduli. Aku mencoba menulis, namun tanganku gemetar. Seperti sebuah bentuk penolakan dari tubuhku sendiri.


“Cahaya, kenapa belum selesai?” suara ibu terdengar dari ruang tamu. Aku cepat-cepat menyeka air mata, berusaha keras agar suara tangisanku tidak terdengar. Aku tidak ingin mengecewakan mereka lagi.


Namun, ketika aku melihat PR itu lagi, aku merasakan kesendirian yang lebih dalam. Aku tahu, aku tidak akan pernah selesai. Seperti sebuah lingkaran setan yang tak ada ujungnya. Aku tak cukup cepat. Aku tidak cukup pintar. Aku hanya… lambat.


Ada suara ketukan di pintu kamar. Ayah masuk. Ia melihatku yang terdiam, menatap buku dengan kosong. “Kenapa lagi, Cahaya?” Suaranya keras, penuh kekesalan.


“Apa lagi yang harus kulakukan untuk membuatmu paham?” katanya sambil menarik buku itu dari tanganku, melemparkannya ke meja dengan kasar. Aku hanya bisa menatapnya, mataku kosong. Aku tidak tahu jawabannya.


“Kenapa kamu tidak bisa seperti teman-temanmu?” Suara ayah terdengar lebih keras. “Kenapa kamu selalu gagal?”


Aku merasa terjatuh. Terjatuh begitu dalam. Seperti berada di dasar jurang yang tak terlihat ujungnya. Apa yang salah dengan aku? Kenapa aku tidak bisa membuat mereka bangga? Kenapa aku selalu merasa seperti beban?


Aku melirik ke arah meja belajarku. Di sana, pensil dan pena tergeletak. Aku merasa sudah tak sanggup lagi. Aku merasa seperti laron yang terjebak dalam kegelapan, tidak bisa keluar, tidak bisa terbang. Hanya berputar-putar di sekitar cahaya yang jauh, jauh sekali.

***


Pekerjaan rumah itu masih tergeletak di depanku. Setiap huruf, setiap angka, semakin kabur, semakin sulit untuk dimengerti. Aku merasa terhimpit, terjebak dalam ruang yang sempit, di dalam diriku sendiri. Tidak ada jalan keluar.


Aku menatap pena yang tergeletak di tangan kananku. Lalu, entah kenapa, aku meraihnya dengan tangan yang gemetar. Ada suara-suara di dalam kepala yang terus berbisik, mengatakan bahwa aku tak akan pernah bisa. Bahwa aku tak akan pernah cukup baik. Bahwa aku tak akan pernah mengerti.


Kusentuh ujung pena itu ke kulit tanganku. Mula-mula terasa sakit. Namun, semakin lama, rasa sakit itu menjadi perasaan yang lebih menenangkan. Aku menekan ujung pena itu lebih dalam. Darah mulai menetes. Perlahan, aku melihat darah itu membasahi pekerjaan rumahku, membasahi lembar-lembar yang penuh dengan kebingungan. Darah itu seperti sebuah jawaban. Sebuah jawaban untuk rasa sakit yang tak bisa aku jelaskan.


Aku memandangi darah itu mengalir, membasahi kertas. Seperti darah itu menjawab semua pertanyaanku yang tak pernah terjawab. Mungkin ini jalan keluar. Mungkin ini yang seharusnya aku lakukan.


Namun, tiba-tiba suara ibu terdengar lagi. “Cahaya, apa yang kamu lakukan?!”


Aku tersentak, buru-buru menghapus darah itu dengan tangan yang gemetar. Aku menyembunyikan pena yang masih mengeluarkan tetesan darah. Tapi sudah terlambat. Ibu masuk dan melihatnya. Wajah ibu pucat, matanya penuh kecemasan.


“Cahaya…” Suara ibu begitu lemah, seperti ada sesuatu yang hilang. Seperti ia baru menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan diriku.


Aku menatapnya tanpa kata. Aku tak bisa menjelaskan. Tak ada kata yang cukup untuk menjelaskan apa yang aku rasakan. Semua perasaan ini terlalu berat untuk dibawa. Aku merasa sangat lelah.


“Cahaya, kenapa?” ibu bertanya lagi, suara pecah.


Tapi aku tak bisa menjawab. Aku hanya terdiam. Seperti laron yang telah kehilangan sayapnya, terjatuh ke dalam gelap, tak bisa lagi terbang.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now