Cerpen: Syamsul Kurniawan
Piring itu pecah berantakan di lantai. Cegukan
suara pecahan kaca yang menggelinding menyentak ketenangan rumah yang hening.
Ibu terkejut, melangkah cepat menghampiri. Ayah berdiri kaku, melihat aku yang
berdiri diam, memandangi serpihan-serpihan piring yang berserakan di atas
lantai. Hanya ada satu kata yang keluar dari mulutnya, “Susah banget...
bersihin pecahan ini.”
Aku tak menjawab. Hanya menunduk, menatap
serpihan-serpihan itu. Kaca-kaca yang pecah itu seperti cermin kecil yang
memantulkan wajahku yang tak lagi utuh. Aku merasa seperti salah satu dari
potongan-potongan itu—terpecah, tak bisa disatukan kembali.
“Cepat bantu, jangan diem aja!” Ayah
memerintah sambil mengusap keringat di dahi. Aku hanya mengangguk, berusaha
mengumpulkan serpihan-serpihan itu, tapi tanganku gemetar. Terlalu banyak
potongan yang rusak, seperti diriku.
Suara ibu terdengar dari dapur. “Sudah selesai
makan? Jangan lupa cuci tangan, Cahaya.” Aku hanya mengangguk tanpa sepatah
kata. Tidak ada suara protes, tidak ada kegembiraan, hanya kesunyian. Itu saja
yang bisa aku berikan. Kesunyian yang menggema di rumah ini. Sebuah rumah yang
tak pernah menjadi tempat perlindunganku.
Aku merasa seolah semua yang ada di
sekelilingku adalah pecahan-pecahan yang sulit untuk disatukan lagi. Piring
yang pecah, keluarga yang retak, dan diriku yang terjebak dalam kebodohan yang
tak bisa kuterima. Aku tidak pernah bisa memenuhi harapan mereka—baik ibu,
maupun ayah. Aku tak bisa menulis dengan benar, tak bisa berhitung dengan
cepat. Semua terasa sulit, terlalu sulit.
Aku tinggal kelas lagi. Tahun ini, ini adalah
tahun kedua aku mengulang pelajaran yang sama. Teman-teman di sekolah selalu
mengolok-olokku. Mereka memanggilku bodoh, tak berguna. “Kamu cuma beban,
Cahaya!” suara mereka selalu terngiang-ngiang di telingaku, mengiris lebih
dalam dari yang pernah mereka tahu.
Di kelas, aku duduk sendirian. Semua temanku
sudah punya kelompok belajar sendiri, mereka berdiskusi dengan cepat, saling
berbagi pengetahuan yang aku sendiri tidak pernah bisa kuerti. Setiap kali aku
mencoba bertanya pada guru, matanya penuh rasa kecewa. Seolah aku telah
mengganggu ketenangannya.
Aku bukan bodoh. Tapi, aku lambat. Semuanya
datang dengan cara yang berbeda bagiku. Ketika mereka semua bisa menyelesaikan
soal dengan cepat, aku hanya bisa duduk, merenung, bingung, bahkan terkadang
hampir menangis. Tak ada yang tahu bagaimana rasanya saat itu. Tak ada yang
tahu betapa sulitnya mengerti sesuatu yang tampaknya mudah bagi orang lain.
“Cahaya, ayo jawab!” seru Bu Hilda dengan nada
kesal. Aku menatapnya, matanya penuh harapan yang aku tahu tak akan bisa
kuturuti. Aku hanya bisa diam, menunduk, dan merasakan panas wajahku.
Aku merasa semakin terkucil, semakin jauh dari
dunia mereka yang seakan sempurna. Setiap hari, aku pulang ke rumah dan
menemukan kenyataan yang sama. Ayah marah karena aku tidak bisa menyelesaikan
PR, ibu sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, dan aku? Aku hanya menjadi
bayangan yang menunggu untuk memudar.
***
Malam ini, seperti biasa, aku duduk di meja
belajar, mencoba menyelesaikan pekerjaan rumah yang terasa seperti beban yang
tak terangkat. Buku pelajaran terbuka di depanku, namun kata-kata itu tidak
masuk ke dalam pikiranku. Aku memandang angka-angka dan huruf-huruf yang
bercampur, semuanya menjadi kabur. Aku tidak bisa memahaminya.
Air mata mulai mengalir tanpa suara. Aku
takut, aku lelah, dan aku merasa sangat kesepian. Tidak ada yang mengerti.
Tidak ada yang peduli. Aku mencoba menulis, namun tanganku gemetar. Seperti
sebuah bentuk penolakan dari tubuhku sendiri.
“Cahaya, kenapa belum selesai?” suara ibu
terdengar dari ruang tamu. Aku cepat-cepat menyeka air mata, berusaha keras
agar suara tangisanku tidak terdengar. Aku tidak ingin mengecewakan mereka
lagi.
Namun, ketika aku melihat PR itu lagi, aku
merasakan kesendirian yang lebih dalam. Aku tahu, aku tidak akan pernah
selesai. Seperti sebuah lingkaran setan yang tak ada ujungnya. Aku tak cukup
cepat. Aku tidak cukup pintar. Aku hanya… lambat.
Ada suara ketukan di pintu kamar. Ayah masuk.
Ia melihatku yang terdiam, menatap buku dengan kosong. “Kenapa lagi, Cahaya?”
Suaranya keras, penuh kekesalan.
“Apa lagi yang harus kulakukan untuk membuatmu
paham?” katanya sambil menarik buku itu dari tanganku, melemparkannya ke meja
dengan kasar. Aku hanya bisa menatapnya, mataku kosong. Aku tidak tahu
jawabannya.
“Kenapa kamu tidak bisa seperti
teman-temanmu?” Suara ayah terdengar lebih keras. “Kenapa kamu selalu gagal?”
Aku merasa terjatuh. Terjatuh begitu dalam.
Seperti berada di dasar jurang yang tak terlihat ujungnya. Apa yang salah
dengan aku? Kenapa aku tidak bisa membuat mereka bangga? Kenapa aku selalu
merasa seperti beban?
Aku melirik ke arah meja belajarku. Di sana,
pensil dan pena tergeletak. Aku merasa sudah tak sanggup lagi. Aku merasa
seperti laron yang terjebak dalam kegelapan, tidak bisa keluar, tidak bisa
terbang. Hanya berputar-putar di sekitar cahaya yang jauh, jauh sekali.
***
Pekerjaan rumah itu masih tergeletak di
depanku. Setiap huruf, setiap angka, semakin kabur, semakin sulit untuk
dimengerti. Aku merasa terhimpit, terjebak dalam ruang yang sempit, di dalam
diriku sendiri. Tidak ada jalan keluar.
Aku menatap pena yang tergeletak di tangan
kananku. Lalu, entah kenapa, aku meraihnya dengan tangan yang gemetar. Ada
suara-suara di dalam kepala yang terus berbisik, mengatakan bahwa aku tak akan
pernah bisa. Bahwa aku tak akan pernah cukup baik. Bahwa aku tak akan pernah
mengerti.
Kusentuh ujung pena itu ke kulit tanganku.
Mula-mula terasa sakit. Namun, semakin lama, rasa sakit itu menjadi perasaan
yang lebih menenangkan. Aku menekan ujung pena itu lebih dalam. Darah mulai
menetes. Perlahan, aku melihat darah itu membasahi pekerjaan rumahku, membasahi
lembar-lembar yang penuh dengan kebingungan. Darah itu seperti sebuah jawaban.
Sebuah jawaban untuk rasa sakit yang tak bisa aku jelaskan.
Aku memandangi darah itu mengalir, membasahi
kertas. Seperti darah itu menjawab semua pertanyaanku yang tak pernah terjawab.
Mungkin ini jalan keluar. Mungkin ini yang seharusnya aku lakukan.
Namun, tiba-tiba suara ibu terdengar lagi.
“Cahaya, apa yang kamu lakukan?!”
Aku tersentak, buru-buru menghapus darah itu
dengan tangan yang gemetar. Aku menyembunyikan pena yang masih mengeluarkan
tetesan darah. Tapi sudah terlambat. Ibu masuk dan melihatnya. Wajah ibu pucat,
matanya penuh kecemasan.
“Cahaya…” Suara ibu begitu lemah, seperti ada
sesuatu yang hilang. Seperti ia baru menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat
salah dengan diriku.
Aku menatapnya tanpa kata. Aku tak bisa
menjelaskan. Tak ada kata yang cukup untuk menjelaskan apa yang aku rasakan.
Semua perasaan ini terlalu berat untuk dibawa. Aku merasa sangat lelah.
“Cahaya, kenapa?” ibu bertanya lagi, suara
pecah.
Tapi aku tak bisa menjawab. Aku hanya terdiam.
Seperti laron yang telah kehilangan sayapnya, terjatuh ke dalam gelap, tak bisa
lagi terbang.***