Laporan terbaru dari Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) yang mengungkapkan 3.877 aduan pelanggaran hak anak
sepanjang tahun 2023, termasuk kasus kekerasan, perundungan, dan kekerasan
seksual di sekolah, menimbulkan keprihatinan mendalam. Kasus-kasus ini
menggarisbawahi krisis karakter yang sedang berlangsung di lingkungan
pendidikan kita. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan
pembinaan moral bagi siswa, justru menjadi arena di mana hak-hak dasar anak
sering kali diabaikan atau dilanggar. Kondisi ini menunjukkan adanya
bayang-bayang kelam yang menyelimuti ruang kelas kita, di mana pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) terjadi sebagai refleksi dari krisis moralitas dan karakter
yang lebih luas.
HAM dalam konteks pendidikan seharusnya
menjadi fondasi yang kokoh bagi pembentukan karakter siswa. Namun, laporan KPAI
mengindikasikan bahwa nilai-nilai dasar HAM belum tertanam kuat dalam sistem
pendidikan kita, sehingga krisis karakter ini terus berlanjut. Dalam esai ini,
saya akan mengupas bagaimana pelanggaran HAM di sekolah mencerminkan krisis
karakter yang mendalam, serta bagaimana bayang-bayang HAM yang seharusnya
memberikan cahaya moral justru menjadi gelap karena lemahnya implementasi
pendidikan karakter.
Krisis Karakter dalam Bayang-Bayang
HAM
Kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan
KPAI menunjukkan bahwa krisis karakter di sekolah-sekolah Indonesia tidak dapat
dianggap enteng. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter
dan moralitas, justru menjadi arena di mana pelanggaran terhadap hak anak
sering kali terjadi. Kekerasan fisik, perundungan, dan kekerasan seksual yang
dialami oleh siswa menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar HAM tidak hanya
diabaikan, tetapi juga diremehkan dalam praktik sehari-hari di ruang kelas.
Dalam bukunya "Distinction: A
Social Critique of the Judgement of Taste" (1979), Pierre Bourdieu
menjelaskan bahwa ranah pendidikan merupakan arena di mana struktur sosial dan
kekuasaan direproduksi dan diperkuat melalui habitus dan modal. Dalam konteks
ini, krisis karakter yang terjadi di sekolah tidak terlepas dari habitus yang
terbentuk di dalam masyarakat yang lebih luas, di mana norma-norma sosial yang
mendukung kekerasan atau ketidakadilan sering kali diinternalisasi oleh siswa.
Ketika sekolah gagal menantang habitus ini dan justru membiarkannya tumbuh
subur, pelanggaran HAM menjadi cerminan dari krisis moralitas yang lebih besar.
Sekolah seharusnya menjadi benteng
moralitas, tempat di mana siswa belajar untuk menghormati hak-hak orang lain
dan mengembangkan nilai-nilai yang selaras dengan HAM. Namun, fakta bahwa
kekerasan dan perundungan masih marak menunjukkan bahwa pendidikan karakter di
Indonesia belum mampu mengatasi krisis ini. Bayang-bayang HAM yang seharusnya
menjadi penuntun moral justru terhalang oleh kegagalan sistemik dalam
mentransmisikan nilai-nilai dasar ini kepada siswa.
Lebih dari itu, ketidakseimbangan modal
sosial dan budaya di kalangan siswa turut memperparah situasi ini. Siswa dari
latar belakang yang kurang mendukung HAM sering kali menemukan bahwa
nilai-nilai yang diajarkan di sekolah tidak sesuai dengan realitas yang mereka
alami. Ketika habitus mereka tidak mendukung penghormatan terhadap HAM, upaya
untuk membentuk karakter yang kuat dan bermoral menjadi tantangan yang lebih
besar. Ini menunjukkan bahwa krisis karakter di sekolah juga merupakan refleksi
dari ketidakseimbangan sosial yang lebih luas dalam masyarakat.
Bayang-Bayang HAM dan Simulacra di
Ruang Kelas
Di era digital, masalah pelanggaran HAM
di sekolah semakin kompleks dengan hadirnya fenomena simulacra, di mana
representasi sering kali menggantikan realitas. Jean Baudrillard dalam "Simulacra
and Simulation" (1981) mengemukakan bahwa di dunia modern, realitas
sering kali disimulasikan melalui media, menciptakan apa yang disebutnya
sebagai "hiperrealitas"—suatu keadaan di mana representasi tidak lagi
merefleksikan kenyataan tetapi justru menggantikan dan mendistorsinya. Dalam
konteks pendidikan, ini berarti bahwa nilai-nilai moral dan HAM yang seharusnya
diinternalisasi oleh siswa bisa jadi tergantikan oleh simulacra—representasi
yang dangkal dan tidak memiliki substansi nyata.
Media sosial, yang semakin menjadi
bagian integral dari kehidupan siswa, sering kali memperkuat simulacra ini.
Nilai-nilai seperti kesetaraan, kebebasan, dan penghormatan terhadap hak-hak
individu sering kali disajikan sebagai slogan-slogan populer tanpa pemahaman
yang mendalam. Siswa yang terus-menerus terpapar pada representasi dangkal ini
mungkin mulai menganggapnya sebagai kenyataan, tanpa menyadari bahwa realitas
moral yang sebenarnya jauh lebih kompleks dan mendalam.
Dalam konteks ini, pendidikan karakter
harus mampu mengatasi tantangan yang dihadirkan oleh simulacra. Sekolah harus
berperan aktif dalam membantu siswa membedakan antara nilai-nilai moral yang
sejati dan representasi yang hanya menampilkan ilusi. Pendidikan karakter yang
efektif harus mengajarkan siswa untuk melihat di balik permukaan dan memahami
esensi dari nilai-nilai HAM yang sejati, bukan sekadar menerima simulacra yang
beredar luas di media sosial.
Namun, ketika simulacra mendominasi
persepsi siswa, nilai-nilai HAM yang diajarkan di ruang kelas bisa kehilangan
makna dan kekuatannya. Representasi yang dangkal ini tidak hanya mereduksi
nilai-nilai HAM menjadi sekadar slogan, tetapi juga mengaburkan pentingnya
tindakan nyata dalam menghormati dan melindungi hak-hak orang lain. Inilah
bayang-bayang gelap yang menyelimuti ruang kelas kita, di mana HAM yang
seharusnya menjadi cahaya moral justru tergantikan oleh ilusi-ilusi yang
dangkal.
Untuk menghadapi tantangan ini,
pendidikan karakter harus lebih dari sekadar mentransmisikan pengetahuan
tentang HAM. Pendidikan karakter harus menjadi proses yang dinamis dan
reflektif, yang membantu siswa mengembangkan kesadaran kritis terhadap representasi
yang mereka hadapi setiap hari. Dengan demikian, sekolah dapat membantu siswa
mengatasi pengaruh negatif simulacra dan menumbuhkan karakter yang kuat, yang
benar-benar menghargai dan melindungi HAM.
Menemukan Solusi
Menghadapi krisis karakter yang
diperparah oleh pelanggaran HAM di sekolah, penting untuk mengingat pandangan
Thomas Lickona, seorang pakar pendidikan karakter yang telah banyak
berkontribusi dalam bidang ini. Dalam bukunya "Educating for Character:
How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility" (1991), Lickona
menekankan bahwa pendidikan karakter harus bersifat holistik, mencakup
penghormatan terhadap hak-hak individu serta integritas moral.
Menurut Lickona, kegagalan pendidikan
karakter sering kali disebabkan oleh tiga hal: kelemahan dalam desain program,
pelaksanaan yang tidak konsisten oleh guru, dan kurangnya alat ukur yang tepat
untuk mengevaluasi hasilnya. Dalam konteks Indonesia, tantangan-tantangan ini
diperparah oleh pengaruh simulacra yang mendistorsi nilai-nilai moral dan HAM
di kalangan siswa.
Oleh karena itu, Lickona mengingatkan
bahwa pendidikan karakter yang efektif harus dimulai dengan desain yang kuat
dan implementasi yang konsisten. Guru harus dilatih untuk menjadi model moral
yang mampu menanamkan nilai-nilai HAM secara efektif, sementara sistem evaluasi
harus dirancang untuk mengukur dampak pendidikan karakter secara komprehensif.
Hanya dengan pendekatan yang menyeluruh dan reflektif ini, kita dapat berharap
bahwa krisis karakter di sekolah-sekolah Indonesia dapat diatasi dan bahwa bayang-bayang
HAM di ruang kelas kita dapat digantikan oleh cahaya moral yang terang
benderang.
Sebagai penutup, kasus-kasus pelanggaran
HAM di sekolah yang dilaporkan oleh KPAI menunjukkan bahwa krisis karakter di
lingkungan pendidikan kita masih sangat nyata. Sekolah, yang seharusnya menjadi
tempat perlindungan dan pembinaan moral, sering kali gagal dalam tugasnya untuk
mentransmisikan nilai-nilai HAM kepada siswa. Ini menciptakan bayang-bayang
gelap dalam ruang kelas, di mana hak-hak dasar anak tidak dihormati dan
moralitas tergantikan oleh representasi dangkal yang dipengaruhi oleh
simulacra.
Menghadapi tantangan ini, pendidikan
karakter harus diperkuat dan disesuaikan dengan tuntutan zaman, termasuk
pengaruh dari dunia digital yang sering kali menciptakan realitas yang
terdistorsi. Mengambil pelajaran dari pandangan Thomas Lickona, pendidikan
karakter harus dirancang dengan baik, dilaksanakan secara konsisten, dan
dievaluasi secara komprehensif. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan
bahwa bayang-bayang HAM di ruang kelas kita berubah menjadi cahaya yang
menerangi, membentuk generasi yang bermoral dan benar-benar menghormati hak
asasi manusia.***