Oleh: Syamsul Kurniawan
Pagi ini,
secangkir teh hangatku menjadi saksi bisu atas kegelisahan yang bergejolak
dalam benak. Bagaimana tidak, di tengah derasnya arus transformasi teknologi,
kita dihadapkan pada tantangan memilih "selera" pendidikan yang tepat
- sebuah pilihan yang seolah sederhana, namun mengandung kompleksitas luar
biasa.
Bagai tragedi
Raja Midas, kemajuan teknologi yang kita nikmati hari ini menyimpan ancaman
tersembunyi. Tatkala segala yang disentuh sang raja berubah menjadi emas, kita
pun kini dihadapkan pada risiko kehilangan "rasa kemanusiaan" di
balik kemudahan yang ditawarkan digitalisasi. Empati, kepedulian, dan ketulusan
dapat terkikis, tergantikan oleh keangkuhan, keserakahan, serta individualisme
yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan.
Selera dalam
pendidikan, layaknya pilihan antara teh atau kopi, mencerminkan preferensi kita
sebagai masyarakat. Apa yang kita anggap penting dalam kurikulum - dari
penekanan pada keterampilan teknis hingga penanaman nilai-nilai moral - adalah
cermin dari harapan, ketakutan, dan kepentingan yang beragam. Di era digital
yang kian mendominasi, pertanyaan mendasarnya adalah, selera siapakah yang
sebenarnya diutamakan dalam pendidikan kita saat ini?
Bagaikan kisah tragedi Raja Midas, kemajuan teknologi yang kita nikmati juga menyimpan ancaman tersembunyi. Jika tidak diimbangi dengan karakter yang kuat, teknologi dapat menjadi bencana yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Seperti raja Midas yang akhirnya menyesali kemampuannya, kemajuan teknologi juga dapat menjerumuskan kita ke dalam lubang kesengsaraan.
Pendidikan di
era digital harus mampu menjembatani teknologi dengan kemanusiaan, bukan
sekadar mencetak individu yang mahir dalam keterampilan digital. Kurikulum
harus memuat kedalaman - ruang di mana peserta didik tidak hanya belajar
menguasai teknologi, tetapi juga menemukan identitas dan tujuan hidup mereka.
Hanya dengan begitu, mereka tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga
bijaksana dalam menjalani hidup.
Seperti Raja
Midas yang akhirnya memohon agar kemampuannya dihilangkan, kita pun harus mampu
mengendalikan hasrat untuk terus-menerus bergantung pada teknologi. Hanya
dengan begitu, teknologi dapat menjadi sahabat yang setia, bukan monster yang
mengancam kemanusiaan kita. Membangun karakter yang kuat menjadi kunci agar
kemajuan teknologi tidak justru menghancurkan peradaban.
Integritas
moral, kebijaksanaan, empati, tanggung jawab, dan kemampuan untuk tetap
berpijak pada nilai-nilai luhur kemanusiaan harus menjadi fondasi dalam
memanfaatkan kemajuan teknologi. Selera pendidikan di era digital seharusnya
tidak dibentuk hanya untuk memenuhi tuntutan zaman, tetapi juga untuk mengakar
pada nilai-nilai yang lebih abadi.
Menteri
Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, dihadapkan pada tantangan besar
untuk menciptakan kurikulum yang seimbang antara penguasaan teknologi dan
pembentukan karakter yang tangguh. Dengan latar belakang keagamaannya yang
kuat, Mu'ti diharapkan mampu menghadirkan pendidikan yang tidak hanya
mementingkan kecakapan teknis, tetapi juga memuat nilai-nilai moral yang
relevan.
Jangan biarkan
tragedi Raja Midas terulang di zaman kita. Marilah kita bersama-sama menjadi
"penakluk" teknologi yang bijak dan bertanggung jawab. Hanya dengan
begitu, kemajuan teknologi yang kita nikmati dapat menjadi berkah, bukan
bencana bagi peradaban. Selera pendidikan yang kita pilih hari ini akan
menentukan masa depan generasi mendatang - apakah mereka hanya akan menjadi
roda penggerak dalam mesin teknologi, ataukah mampu menjadi pribadi yang kuat
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dalam.
Harapan kita
adalah, selera pendidikan kita dapat melahirkan generasi yang lebih dari
sekadar mahir teknologi, tetapi juga manusia yang memiliki kompas moral yang
kuat - seperti layaknya kisah Raja Midas yang akhirnya memohon agar
kemampuannya dihilangkan. Dalam pilihan selera ini, tersimpan masa depan bangsa
yang akan kita wariskan.***