Iklan

Pendidikan Nonformal dan Informal dalam Membangun Karakter Moderasi Beragama

syamsul kurniawan
Tuesday, November 12, 2024
Last Updated 2025-01-27T12:54:50Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

PENDIDIKAN nonformal dan informal memainkan peran penting dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, terutama dalam mendukung pendidikan formal. Pendidikan ini mencakup upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang tidak selalu bisa dijangkau oleh pendidikan formal. Dalam kerangka pembangunan karakter bangsa yang mengacu pada nilai-nilai agama dan moderasi beragama, pendidikan nonformal dan informal menjadi jalur yang sangat strategis. Tidak hanya berfungsi untuk mendukung pendidikan sepanjang hayat, tetapi juga sebagai wahana untuk menanamkan karakter moderat, inklusif, dan toleran sejak dini.

 

Dalam konteks ini, pendidikan nonformal dan informal harus dipandang sebagai wadah yang fleksibel, fungsional, dan relevan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Melalui lembaga seperti majelis taklim, kelompok belajar, kursus, dan pusat kegiatan belajar masyarakat, pendidikan nonformal memberikan kesempatan untuk menyemai karakter yang didasarkan pada kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten, sebagaimana diuraikan dalam buku Atomic Habits (2018) oleh James Clear. Mengintegrasikan pendidikan karakter berbasis nilai agama dengan pendekatan kebiasaan kecil adalah langkah efektif dalam membentuk individu yang berkarakter kuat dan mampu menjalani kehidupan yang moderat, terutama dalam konteks keberagaman agama.

 

Perlu Dimulai Sejak Dini

 

Pendidikan karakter yang berlandaskan nilai-nilai agama harus dimulai sejak dini dan berlangsung sepanjang hayat. Ini bukan sekadar soal belajar akademik, tetapi mencakup keterampilan hidup yang lebih luas. Keterampilan ini meliputi segala sesuatu yang diperlukan untuk menjadi manusia yang lebih baik, seperti keterampilan rumah tangga, berpikir analitik, dan pembentukan sikap dan nilai. Dalam konteks moderasi beragama, kebiasaan untuk menghargai perbedaan agama dan keyakinan harus dipupuk sejak kecil dan diperkuat melalui pengalaman sehari-hari.

 

James Clear (2018) mengajarkan bahwa perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten. Dalam hal pendidikan sepanjang hayat, ini berarti bahwa setiap tahapan pendidikan—dari usia dini hingga dewasa—harus diisi dengan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung moderasi beragama. Misalnya, dalam kehidupan keluarga, orang tua bisa membiasakan anak untuk berbicara dengan sopan kepada teman-temannya yang berbeda agama atau mengajak mereka untuk terlibat dalam kegiatan bersama yang melibatkan berbagai kelompok agama. Setiap tindakan kecil ini, jika dilakukan terus-menerus, akan membentuk karakter yang menghargai keberagaman dan moderasi.

 

Kebutuhan Belajar Minimum

 

Kebutuhan belajar minimum yang esensial mencakup lebih dari sekadar pengetahuan akademis. Pendidikan nonformal berperan penting dalam mengisi kekosongan yang mungkin tidak terpenuhi oleh pendidikan formal, terutama dalam menanamkan nilai-nilai yang berkaitan dengan moderasi beragama. Di sini, kebiasaan kecil menjadi kunci. Lingkungan pendidikan nonformal, seperti majelis taklim atau kelompok belajar, dapat menjadi tempat di mana peserta didik secara rutin diajarkan untuk menghargai perbedaan, membuka dialog, dan hidup rukun dengan orang lain.

 

Dalam konteks moderasi beragama, kebutuhan belajar minimum ini mencakup kemampuan untuk berpikir secara inklusif, memahami perspektif agama yang berbeda, dan merespons konflik dengan cara yang damai. James Clear (2018) menekankan bahwa kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan secara terus-menerus, seperti dialog terbuka atau kolaborasi dalam proyek sosial yang melibatkan berbagai kelompok agama, akan menciptakan fondasi yang kuat untuk moderasi beragama.

 

Menginternalisasikan Nilai Moderasi di Setiap Tahapan: Nonformal dan Informal

 

Perjalanan hidup manusia, dari masa kanak-kanak hingga dewasa, adalah proses transisi yang penuh dengan pembelajaran dan pengembangan diri. Pada setiap tahap pertumbuhan ini, ada kebutuhan yang berbeda terkait pendidikan, terutama dalam hal karakter dan moderasi beragama. Pada masa balita hingga kanak-kanak, misalnya, pendidikan nonformal dan informal memainkan peran penting dalam memperkenalkan nilai-nilai seperti toleransi, cinta damai, dan saling menghormati.

 

James Clear (2018) mengingatkan bahwa perubahan besar dalam karakter tidak terjadi dalam satu malam, melainkan melalui serangkaian kebiasaan kecil yang diperkuat dari waktu ke waktu. Orang tua, pengasuh, dan guru dalam lingkungan pendidikan nonformal bisa memanfaatkan prinsip ini untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Setiap interaksi sosial, diskusi kecil, atau kegiatan lintas agama yang melibatkan anak-anak akan memperkuat pemahaman mereka tentang pentingnya hidup rukun di tengah perbedaan.

 

1. Pendidikan Nonformal

 

Pendidikan nonformal, terutama di wilayah pedesaan, sering kali menjadi satu-satunya akses yang dimiliki oleh masyarakat untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan. Namun, pendidikan ini juga memiliki potensi besar untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama, terutama dalam masyarakat yang mungkin lebih homogen secara agama atau budaya. Para pendidik di lembaga pendidikan nonformal dapat memanfaatkan konteks lokal untuk memperkenalkan konsep toleransi dan moderasi melalui aktivitas yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan.

 

James Clear (2018) menjelaskan bahwa lingkungan memiliki peran penting dalam membentuk kebiasaan. Dalam konteks ini, menciptakan lingkungan pendidikan nonformal yang mendukung moderasi beragama di pedesaan adalah salah satu cara untuk memperkuat karakter moderat. Program-program pendidikan yang menekankan kerja sama lintas kelompok agama dalam proyek-proyek pembangunan desa, misalnya, dapat menjadi kebiasaan kecil yang konsisten dan berdampak besar dalam membentuk masyarakat yang lebih inklusif.

 

Pendidikan nonformal tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak, tetapi juga untuk orang dewasa. Andragogi, atau ilmu pembelajaran orang dewasa, mengajarkan bahwa orang dewasa belajar dengan cara yang berbeda dari anak-anak. Mereka membutuhkan pendekatan yang lebih relevan dengan pengalaman hidup mereka. Pendidikan nonformal untuk orang dewasa, seperti kursus atau majelis taklim, dapat menjadi tempat di mana nilai-nilai moderasi beragama dipelajari melalui refleksi dan dialog.

 

Kebiasaan kecil yang relevan bagi orang dewasa dalam mempraktikkan moderasi beragama bisa berupa dialog lintas agama dalam kelompok-kelompok diskusi, atau terlibat dalam kegiatan sosial yang melibatkan berbagai kelompok keagamaan. Menurut Clear (2018), kebiasaan kecil yang dilakukan secara berulang akan menciptakan perubahan besar. Dalam konteks pendidikan nonformal untuk orang dewasa, setiap diskusi dan interaksi lintas agama menjadi kebiasaan yang memperkuat karakter moderat dan toleran.

 

Kaitannya dengan ini, pemberdayaan masyarakat, terutama mereka yang kurang terjangkau oleh pendidikan formal, adalah salah satu tujuan penting dari pendidikan nonformal. Pendidikan yang bertujuan memberdayakan ini tidak hanya membantu individu meningkatkan keterampilan hidup mereka, tetapi juga memberikan kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai moderasi dan toleransi beragama. Ketika individu diberdayakan secara sosial dan ekonomi, mereka menjadi lebih mampu berpartisipasi dalam dialog lintas agama dan menghargai perbedaan.

 

James Clear (2018) menyatakan bahwa kebiasaan yang baik harus didukung oleh lingkungan yang memberdayakan. Pendidikan nonformal yang dirancang untuk memberdayakan masyarakat juga harus menciptakan kebiasaan kecil yang memupuk moderasi beragama, seperti kerja sama lintas agama dalam proyek komunitas atau pelatihan bersama yang melibatkan berbagai kelompok agama. Dengan memberikan peran yang berarti kepada setiap individu, mereka akan lebih terbuka untuk memahami dan menghormati perbedaan agama.

 

Kecuali itu, pendidikan nonformal menemukan relevansinya dengan gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan (1968). Dalam konsep Freire ini, peserta didik dipandang sebagai subjek aktif, bukan objek pasif, dalam proses pembelajaran. Pendidikan pembebasan mengajarkan individu untuk mengembangkan pemahaman diri yang positif dan kritis terhadap lingkungan sosial mereka. Dalam konteks moderasi beragama, pendidikan pembebasan dapat digunakan untuk menanamkan kesadaran bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menghargai perbedaan dan mempraktikkan moderasi dalam kehidupan sehari-hari.

 

Kebiasaan reflektif yang diajarkan dalam pendidikan pembebasan, seperti berdialog secara kritis tentang isu-isu sosial dan agama, dapat memperkuat nilai-nilai moderasi beragama. Seperti yang dijelaskan oleh James Clear (2018), kebiasaan untuk selalu mengevaluasi diri dan lingkungan adalah langkah penting menuju perubahan yang lebih besar. Setiap kali peserta didik diajak untuk merefleksikan peran mereka dalam masyarakat yang majemuk, mereka membentuk kebiasaan untuk bersikap lebih inklusif dan moderat.

 

2. Pendidikan Informal

 

Pendidikan informal, yang diperoleh seseorang dari pengalaman hidup sehari-hari, juga berperan penting dalam pembentukan karakter moderasi beragama. Pengalaman yang diperoleh dari keluarga, lingkungan kerja, dan interaksi sosial membentuk pandangan hidup seseorang. Di sinilah peran keluarga menjadi krusial sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama. Keluarga dapat membiasakan anak-anak untuk menghargai perbedaan agama, berempati terhadap orang lain, dan berdialog secara terbuka dengan anggota keluarga atau teman-teman dari latar belakang agama yang berbeda. Kebiasaan-kebiasaan ini, jika dilakukan sejak kecil dan dipraktikkan secara konsisten, akan memperkuat nilai-nilai moderasi dalam diri anak-anak.

 

Pendidikan informal juga mencakup pembelajaran dari pengalaman di tempat kerja dan dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap interaksi di lingkungan sosial memberikan peluang untuk membentuk dan memperkuat karakter. Sebagai contoh, seorang pekerja yang terbiasa berinteraksi dengan rekan kerja dari latar belakang agama yang berbeda dapat belajar untuk lebih menghargai dan memahami perbedaan keyakinan. Dalam hal ini, kebiasaan untuk mendengarkan dengan empati, menghindari prasangka, dan terlibat dalam dialog konstruktif bisa dibentuk melalui rutinitas harian di tempat kerja. James Clear (2018) menekankan pentingnya membangun kebiasaan kecil yang berulang, dan ini bisa diterapkan dalam konteks pendidikan informal, di mana individu secara terus-menerus dihadapkan pada pengalaman hidup yang beragam.

 

Sinergi antara Pendidikan Formal, Nonformal, dan Informal dalam Moderasi Beragama

 

Pendidikan nonformal dan informal tidak dapat berjalan secara terpisah, dan selayaknya bersinergi dengan pendidikan formal. Ketiganya harus saling bersinergi untuk mencapai tujuan pembangunan karakter bangsa yang kuat dan moderat. Pendidikan karakter melalui jalur formal di sekolah, yang mengajarkan toleransi, menghargai perbedaan, dan cinta damai, harus diperkuat oleh pendidikan nonformal dan informal yang terjadi di luar sekolah. Dengan cara ini, peserta didik tidak hanya menerima teori tentang moderasi beragama, tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan nyata.

 

James Clear (2018) mengajarkan bahwa kebiasaan baru bisa terbentuk jika didukung oleh lingkungan yang konsisten. Pendidikan formal dapat menciptakan landasan teori tentang moderasi beragama, tetapi pendidikan nonformal dan informal harus memastikan bahwa nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap interaksi sosial, baik di rumah, tempat kerja, maupun lingkungan masyarakat, harus menjadi tempat di mana nilai-nilai moderasi ini terus diperkuat.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now