Oleh: Syamsul Kurniawan
PENDIDIKAN
nonformal dan informal memainkan peran penting dalam sistem pendidikan nasional
di Indonesia, terutama dalam mendukung pendidikan formal. Pendidikan ini
mencakup upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap
yang tidak selalu bisa dijangkau oleh pendidikan formal. Dalam kerangka
pembangunan karakter bangsa yang mengacu pada nilai-nilai agama dan moderasi
beragama, pendidikan nonformal dan informal menjadi jalur yang sangat
strategis. Tidak hanya berfungsi untuk mendukung pendidikan sepanjang hayat,
tetapi juga sebagai wahana untuk menanamkan karakter moderat, inklusif, dan
toleran sejak dini.
Dalam
konteks ini, pendidikan nonformal dan informal harus dipandang sebagai wadah
yang fleksibel, fungsional, dan relevan untuk mengembangkan potensi peserta
didik. Melalui lembaga seperti majelis taklim, kelompok belajar, kursus, dan
pusat kegiatan belajar masyarakat, pendidikan nonformal memberikan kesempatan
untuk menyemai karakter yang didasarkan pada kebiasaan kecil yang dilakukan
secara konsisten, sebagaimana diuraikan dalam buku Atomic Habits (2018)
oleh James Clear. Mengintegrasikan pendidikan karakter berbasis nilai agama
dengan pendekatan kebiasaan kecil adalah langkah efektif dalam membentuk
individu yang berkarakter kuat dan mampu menjalani kehidupan yang moderat,
terutama dalam konteks keberagaman agama.
Perlu
Dimulai Sejak Dini
Pendidikan
karakter yang berlandaskan nilai-nilai agama harus dimulai sejak dini dan
berlangsung sepanjang hayat. Ini bukan sekadar soal belajar akademik, tetapi
mencakup keterampilan hidup yang lebih luas. Keterampilan ini meliputi segala
sesuatu yang diperlukan untuk menjadi manusia yang lebih baik, seperti
keterampilan rumah tangga, berpikir analitik, dan pembentukan sikap dan nilai.
Dalam konteks moderasi beragama, kebiasaan untuk menghargai perbedaan agama dan
keyakinan harus dipupuk sejak kecil dan diperkuat melalui pengalaman
sehari-hari.
James
Clear (2018) mengajarkan bahwa perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil
yang dilakukan secara konsisten. Dalam hal pendidikan sepanjang hayat, ini
berarti bahwa setiap tahapan pendidikan—dari usia dini hingga dewasa—harus
diisi dengan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung moderasi beragama. Misalnya,
dalam kehidupan keluarga, orang tua bisa membiasakan anak untuk berbicara
dengan sopan kepada teman-temannya yang berbeda agama atau mengajak mereka
untuk terlibat dalam kegiatan bersama yang melibatkan berbagai kelompok agama.
Setiap tindakan kecil ini, jika dilakukan terus-menerus, akan membentuk
karakter yang menghargai keberagaman dan moderasi.
Kebutuhan
Belajar Minimum
Kebutuhan
belajar minimum yang esensial mencakup lebih dari sekadar pengetahuan akademis.
Pendidikan nonformal berperan penting dalam mengisi kekosongan yang mungkin
tidak terpenuhi oleh pendidikan formal, terutama dalam menanamkan nilai-nilai
yang berkaitan dengan moderasi beragama. Di sini, kebiasaan kecil menjadi
kunci. Lingkungan pendidikan nonformal, seperti majelis taklim atau kelompok
belajar, dapat menjadi tempat di mana peserta didik secara rutin diajarkan
untuk menghargai perbedaan, membuka dialog, dan hidup rukun dengan orang lain.
Dalam
konteks moderasi beragama, kebutuhan belajar minimum ini mencakup kemampuan
untuk berpikir secara inklusif, memahami perspektif agama yang berbeda, dan
merespons konflik dengan cara yang damai. James Clear (2018) menekankan bahwa
kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan secara terus-menerus, seperti dialog
terbuka atau kolaborasi dalam proyek sosial yang melibatkan berbagai kelompok
agama, akan menciptakan fondasi yang kuat untuk moderasi beragama.
Menginternalisasikan
Nilai Moderasi di Setiap Tahapan: Nonformal dan Informal
Perjalanan
hidup manusia, dari masa kanak-kanak hingga dewasa, adalah proses transisi yang
penuh dengan pembelajaran dan pengembangan diri. Pada setiap tahap pertumbuhan
ini, ada kebutuhan yang berbeda terkait pendidikan, terutama dalam hal karakter
dan moderasi beragama. Pada masa balita hingga kanak-kanak, misalnya,
pendidikan nonformal dan informal memainkan peran penting dalam memperkenalkan
nilai-nilai seperti toleransi, cinta damai, dan saling menghormati.
James
Clear (2018) mengingatkan bahwa perubahan besar dalam karakter tidak terjadi
dalam satu malam, melainkan melalui serangkaian kebiasaan kecil yang diperkuat
dari waktu ke waktu. Orang tua, pengasuh, dan guru dalam lingkungan pendidikan
nonformal bisa memanfaatkan prinsip ini untuk menanamkan nilai-nilai moderasi
beragama. Setiap interaksi sosial, diskusi kecil, atau kegiatan lintas agama
yang melibatkan anak-anak akan memperkuat pemahaman mereka tentang pentingnya
hidup rukun di tengah perbedaan.
1.
Pendidikan Nonformal
Pendidikan
nonformal, terutama di wilayah pedesaan, sering kali menjadi satu-satunya akses
yang dimiliki oleh masyarakat untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan.
Namun, pendidikan ini juga memiliki potensi besar untuk menanamkan nilai-nilai
moderasi beragama, terutama dalam masyarakat yang mungkin lebih homogen secara
agama atau budaya. Para pendidik di lembaga pendidikan nonformal dapat
memanfaatkan konteks lokal untuk memperkenalkan konsep toleransi dan moderasi
melalui aktivitas yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat
pedesaan.
James
Clear (2018) menjelaskan bahwa lingkungan memiliki peran penting dalam
membentuk kebiasaan. Dalam konteks ini, menciptakan lingkungan pendidikan
nonformal yang mendukung moderasi beragama di pedesaan adalah salah satu cara
untuk memperkuat karakter moderat. Program-program pendidikan yang menekankan
kerja sama lintas kelompok agama dalam proyek-proyek pembangunan desa,
misalnya, dapat menjadi kebiasaan kecil yang konsisten dan berdampak besar
dalam membentuk masyarakat yang lebih inklusif.
Pendidikan
nonformal tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak, tetapi juga untuk orang
dewasa. Andragogi, atau ilmu pembelajaran orang dewasa, mengajarkan bahwa orang
dewasa belajar dengan cara yang berbeda dari anak-anak. Mereka membutuhkan
pendekatan yang lebih relevan dengan pengalaman hidup mereka. Pendidikan
nonformal untuk orang dewasa, seperti kursus atau majelis taklim, dapat menjadi
tempat di mana nilai-nilai moderasi beragama dipelajari melalui refleksi dan
dialog.
Kebiasaan
kecil yang relevan bagi orang dewasa dalam mempraktikkan moderasi beragama bisa
berupa dialog lintas agama dalam kelompok-kelompok diskusi, atau terlibat dalam
kegiatan sosial yang melibatkan berbagai kelompok keagamaan. Menurut Clear
(2018), kebiasaan kecil yang dilakukan secara berulang akan menciptakan
perubahan besar. Dalam konteks pendidikan nonformal untuk orang dewasa, setiap
diskusi dan interaksi lintas agama menjadi kebiasaan yang memperkuat karakter
moderat dan toleran.
Kaitannya
dengan ini, pemberdayaan masyarakat, terutama mereka yang kurang terjangkau
oleh pendidikan formal, adalah salah satu tujuan penting dari pendidikan
nonformal. Pendidikan yang bertujuan memberdayakan ini tidak hanya membantu
individu meningkatkan keterampilan hidup mereka, tetapi juga memberikan
kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai moderasi dan toleransi beragama. Ketika
individu diberdayakan secara sosial dan ekonomi, mereka menjadi lebih mampu
berpartisipasi dalam dialog lintas agama dan menghargai perbedaan.
James
Clear (2018) menyatakan bahwa kebiasaan yang baik harus didukung oleh
lingkungan yang memberdayakan. Pendidikan nonformal yang dirancang untuk
memberdayakan masyarakat juga harus menciptakan kebiasaan kecil yang memupuk
moderasi beragama, seperti kerja sama lintas agama dalam proyek komunitas atau
pelatihan bersama yang melibatkan berbagai kelompok agama. Dengan memberikan
peran yang berarti kepada setiap individu, mereka akan lebih terbuka untuk
memahami dan menghormati perbedaan agama.
Kecuali
itu, pendidikan nonformal menemukan relevansinya dengan gagasan Paulo Freire tentang
pendidikan pembebasan (1968). Dalam konsep Freire ini, peserta didik dipandang
sebagai subjek aktif, bukan objek pasif, dalam proses pembelajaran. Pendidikan
pembebasan mengajarkan individu untuk mengembangkan pemahaman diri yang positif
dan kritis terhadap lingkungan sosial mereka. Dalam konteks moderasi beragama,
pendidikan pembebasan dapat digunakan untuk menanamkan kesadaran bahwa setiap
individu memiliki tanggung jawab untuk menghargai perbedaan dan mempraktikkan
moderasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan
reflektif yang diajarkan dalam pendidikan pembebasan, seperti berdialog secara
kritis tentang isu-isu sosial dan agama, dapat memperkuat nilai-nilai moderasi
beragama. Seperti yang dijelaskan oleh James Clear (2018), kebiasaan untuk
selalu mengevaluasi diri dan lingkungan adalah langkah penting menuju perubahan
yang lebih besar. Setiap kali peserta didik diajak untuk merefleksikan peran
mereka dalam masyarakat yang majemuk, mereka membentuk kebiasaan untuk bersikap
lebih inklusif dan moderat.
2.
Pendidikan Informal
Pendidikan
informal, yang diperoleh seseorang dari pengalaman hidup sehari-hari, juga
berperan penting dalam pembentukan karakter moderasi beragama. Pengalaman yang
diperoleh dari keluarga, lingkungan kerja, dan interaksi sosial membentuk
pandangan hidup seseorang. Di sinilah peran keluarga menjadi krusial sebagai
lembaga pendidikan pertama dan utama. Keluarga dapat membiasakan anak-anak
untuk menghargai perbedaan agama, berempati terhadap orang lain, dan berdialog
secara terbuka dengan anggota keluarga atau teman-teman dari latar belakang
agama yang berbeda. Kebiasaan-kebiasaan ini, jika dilakukan sejak kecil dan
dipraktikkan secara konsisten, akan memperkuat nilai-nilai moderasi dalam diri
anak-anak.
Pendidikan
informal juga mencakup pembelajaran dari pengalaman di tempat kerja dan dalam
kehidupan bermasyarakat. Setiap interaksi di lingkungan sosial memberikan
peluang untuk membentuk dan memperkuat karakter. Sebagai contoh, seorang
pekerja yang terbiasa berinteraksi dengan rekan kerja dari latar belakang agama
yang berbeda dapat belajar untuk lebih menghargai dan memahami perbedaan
keyakinan. Dalam hal ini, kebiasaan untuk mendengarkan dengan empati,
menghindari prasangka, dan terlibat dalam dialog konstruktif bisa dibentuk
melalui rutinitas harian di tempat kerja. James Clear (2018) menekankan
pentingnya membangun kebiasaan kecil yang berulang, dan ini bisa diterapkan
dalam konteks pendidikan informal, di mana individu secara terus-menerus
dihadapkan pada pengalaman hidup yang beragam.
Sinergi
antara Pendidikan Formal, Nonformal, dan Informal dalam Moderasi Beragama
Pendidikan
nonformal dan informal tidak dapat berjalan secara terpisah, dan selayaknya
bersinergi dengan pendidikan formal. Ketiganya harus saling bersinergi untuk
mencapai tujuan pembangunan karakter bangsa yang kuat dan moderat. Pendidikan
karakter melalui jalur formal di sekolah, yang mengajarkan toleransi,
menghargai perbedaan, dan cinta damai, harus diperkuat oleh pendidikan
nonformal dan informal yang terjadi di luar sekolah. Dengan cara ini, peserta
didik tidak hanya menerima teori tentang moderasi beragama, tetapi juga
mempraktikkannya dalam kehidupan nyata.
James
Clear (2018) mengajarkan bahwa kebiasaan baru bisa terbentuk jika didukung oleh
lingkungan yang konsisten. Pendidikan formal dapat menciptakan landasan teori
tentang moderasi beragama, tetapi pendidikan nonformal dan informal harus
memastikan bahwa nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap interaksi sosial, baik di rumah, tempat kerja, maupun lingkungan
masyarakat, harus menjadi tempat di mana nilai-nilai moderasi ini terus
diperkuat.***