Oleh:
Syamsul Kurniawan
Moderasi
beragama adalah salah satu kunci penting untuk membangun masyarakat yang
inklusif dan damai. Namun, moderasi tidak datang begitu saja. Ia harus dipupuk
melalui pendidikan karakter yang berkelanjutan dan berlandaskan nilai-nilai
agama serta moral yang kuat. Dalam konteks pendidikan nasional, Kementerian
Pendidikan Nasional (Diknas) telah mengidentifikasi 18 nilai-nilai karakter
yang perlu ditanamkan sejak dini, dan ini relevan disinari oleh moderasi
beragama. Sehingga, nilai-nilai ini tidak hanya penting bagi pembentukan
individu yang baik, tetapi juga bagi terciptanya masyarakat beragama yang adil
dan damai.
Dalam
tulisan ini, kita akan membahas bagaimana 18 nilai karakter yang telah
diidentifikasi oleh Diknas dapat diintegrasikan dan disinari oleh moderasi
beragama dalam kehidupan sehari-hari melalui pendekatan kebiasaan kecil yang
konsisten. Pendekatan kebiasaan kecil ini penulis rujuk dari James Clear dalam
bukunya Atomic Habits (2018).
Satu,
Religius. Nilai religius menekankan pentingnya menjalankan ajaran agama dengan
baik dan toleran terhadap agama lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kebiasaan
kecil seperti membiasakan anak-anak untuk berdoa sebelum dan sesudah melakukan
kegiatan, serta mengajak mereka untuk menghormati perbedaan agama melalui
dialog dan interaksi positif, adalah langkah awal yang dapat diambil. Seperti
yang diajarkan oleh James Clear (2018), kebiasaan-kebiasaan kecil ini, jika
dilakukan secara konsisten, akan membentuk karakter yang religius dan toleran.
Setiap kali seorang anak berpartisipasi dalam kegiatan ibadah dan menunjukkan
rasa hormat kepada agama lain, mereka menginternalisasi nilai-nilai moderasi
beragama secara mendalam.
Dua,
Jujur. Kejujuran adalah fondasi moral yang harus ditanamkan sejak dini. Namun,
nilai ini tidak dapat diajarkan hanya melalui teori atau perintah. Kebiasaan
kecil seperti selalu berkata jujur meski dalam situasi sulit, dan memberikan
penghargaan bagi kejujuran anak-anak, akan membentuk karakter yang jujur secara
alami. Dalam pendekatan Atomic Habits yang diusulkan Clear (2018),
kebiasaan jujur ini dapat dimulai dengan memicu isyarat kecil, seperti
mendorong anak untuk jujur tentang kesalahan yang mereka buat, kemudian
memberikan penguatan positif setiap kali mereka jujur. Seiring waktu, kebiasaan
ini akan menjadi bagian dari identitas mereka.
Tiga,
Toleransi. Dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia, toleransi adalah
nilai yang sangat penting. Toleransi dapat dibangun melalui kebiasaan sederhana
seperti mendengarkan pandangan yang berbeda tanpa menghakimi dan menghormati
perbedaan dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua dan guru dapat mulai dengan
membiasakan anak-anak untuk mendengarkan tanpa prasangka, memberikan kesempatan
kepada mereka untuk belajar tentang budaya dan agama lain. Dengan membiasakan
tindakan ini secara konsisten, nilai toleransi akan tertanam dalam karakter
mereka dan menjadi bagian dari cara pandang mereka terhadap dunia.
Empat,
Disiplin. Disiplin bukan hanya soal kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga
tentang membangun kebiasaan baik yang berkelanjutan. Menurut James Clear (2018),
disiplin adalah hasil dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan setiap
hari, seperti membiasakan anak-anak untuk bangun dan tidur tepat waktu,
mengerjakan tugas sekolah tanpa menunda, dan menghormati waktu orang lain.
Disiplin yang diterapkan sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah, akan
membantu anak-anak mengembangkan sikap yang teratur dan konsisten dalam hidup
mereka.
Lima,
Kerja Keras. Kerja keras adalah nilai penting yang sering kali diabaikan dalam
era serba instan ini. Kebiasaan untuk bekerja keras dapat dibangun melalui
tugas-tugas kecil yang diberikan kepada anak-anak secara bertahap. Misalnya,
membiasakan mereka untuk menyelesaikan tugas rumah tangga atau tugas sekolah
dengan tekun, tanpa mengharapkan hasil instan. Dalam konsep Atomic Habits
yang diusulkan Clear (2018), kerja keras bisa dibentuk dari tantangan-tantangan
kecil yang diberikan setiap hari, yang akan memperkuat ketekunan dan dedikasi
mereka dalam jangka panjang.
Enam,
Kreatif. Kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir di luar batasan dan
menciptakan sesuatu yang baru. Untuk menanamkan kreativitas, orang tua dan guru
dapat memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk mengeksplorasi ide-ide baru,
menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri, dan tidak takut membuat
kesalahan. Kebiasaan kecil seperti mengajak anak-anak bermain dengan permainan
yang merangsang imajinasi, atau membiarkan mereka mencoba hal-hal baru, akan
membantu menumbuhkan kreativitas. Setiap kali anak-anak diberi ruang untuk
berpikir kreatif, mereka semakin mengembangkan kebiasaan untuk berpikir
inovatif.
Tujuh,
Mandiri. Kemandirian adalah salah satu karakter yang sangat penting dalam
membentuk individu yang tangguh dan tidak mudah bergantung pada orang lain.
Kebiasaan untuk mandiri dapat dibangun dengan memberikan tanggung jawab kecil
kepada anak-anak sejak dini, seperti merapikan mainan mereka sendiri atau
menyiapkan sarapan sederhana. Setiap kali mereka berhasil menyelesaikan
tugas-tugas ini tanpa bantuan, mereka belajar untuk menjadi lebih mandiri.
Menurut James Clear (2018), kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten ini
akan membentuk rasa percaya diri dan kemampuan untuk mengambil inisiatif.
Delapan,
Demokratis. Sikap demokratis tidak hanya diajarkan melalui teori politik,
tetapi melalui kebiasaan menghormati pendapat orang lain dan memberikan
kesempatan kepada setiap orang untuk berbicara. Di lingkungan keluarga atau
sekolah, kebiasaan sederhana seperti mengajak anak-anak berdiskusi dan
mendengarkan pandangan mereka adalah langkah awal yang baik. Ketika anak-anak
merasa pendapat mereka dihargai, mereka akan mengembangkan sikap demokratis
yang menghormati hak dan kewajiban orang lain.
Sembilan,
Rasa Ingin Tahu. Rasa ingin tahu adalah motor penggerak bagi pengetahuan.
Kebiasaan untuk selalu bertanya, mencari tahu, dan tidak puas dengan jawaban
sederhana harus ditumbuhkan sejak dini. Orang tua dan guru dapat mendorong rasa
ingin tahu anak-anak dengan memberikan mereka tantangan baru setiap hari, serta
memberikan ruang bagi mereka untuk mengeksplorasi minat mereka. Menurut konsep
kebiasaan kecil James Clear (2018), rasa ingin tahu ini dapat terus berkembang
jika kita memberikan anak-anak kebiasaan untuk selalu belajar sesuatu yang baru
setiap hari.
Sepuluh,
Semangat Kebangsaan. Mencintai bangsa dan negara bukan hanya soal retorika,
tetapi soal tindakan sehari-hari. Kebiasaan untuk menempatkan kepentingan
bersama di atas kepentingan individu dapat diajarkan melalui partisipasi dalam
kegiatan sosial atau kegiatan kebangsaan sejak usia dini. Mengajak anak-anak
untuk mengenal sejarah bangsa, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, atau
berpartisipasi dalam perayaan nasional adalah kebiasaan kecil yang dapat
membangun semangat kebangsaan mereka.
Sebelas,
Cinta Tanah Air. Cinta tanah air harus ditanamkan melalui tindakan nyata.
Kebiasaan kecil seperti menjaga kebersihan lingkungan, menghargai kekayaan alam
Indonesia, atau membeli produk lokal bisa menjadi langkah awal yang sederhana
namun efektif. James Clear (2018) menjelaskan bahwa kebiasaan yang baik akan
bertahan jika dilengkapi dengan penguatan positif. Dengan memberikan apresiasi
ketika anak-anak menunjukkan cinta kepada tanah air melalui tindakan nyata,
kita akan memperkuat rasa bangga dan kepedulian mereka terhadap negara.
Dua Belas,
Menghargai Prestasi. Anak-anak perlu diajarkan untuk menghargai pencapaian
orang lain, bukan hanya fokus pada pencapaian mereka sendiri. Kebiasaan untuk
memberikan pujian tulus kepada teman yang berhasil mencapai sesuatu atau
merayakan kesuksesan orang lain adalah bagian dari proses ini. Ini bisa dimulai
dari lingkungan keluarga atau sekolah, di mana anak-anak diajak untuk
mengapresiasi prestasi teman-temannya, bukan merasa iri. Kebiasaan menghargai
prestasi ini, jika dipraktikkan secara konsisten, akan membentuk sikap saling menghormati
dalam masyarakat.
Tiga
Belas, Bersahabat/Komunikatif. Bersikap ramah dan mudah berkomunikasi adalah
bagian penting dari pembentukan karakter sosial. Mengajak anak-anak untuk
terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya, berbicara dengan sopan, dan
mendengarkan dengan baik, adalah kebiasaan-kebiasaan kecil yang akan membangun
kemampuan komunikasi mereka. Di lingkungan sekolah, guru dapat mendorong
interaksi antarsiswa dengan memberikan tugas kelompok atau proyek bersama.
Empat
Belas, Cinta Damai. Mencintai kedamaian berarti memiliki kebiasaan untuk tidak
mencari konflik dan lebih memilih solusi damai dalam setiap situasi. Ini bisa
diajarkan kepada anak-anak melalui kebiasaan sederhana seperti meminta maaf
ketika melakukan kesalahan, berbicara dengan nada lembut, dan menghindari
pertengkaran. Dengan membiasakan anak-anak untuk menyelesaikan masalah secara
damai, kita akan membentuk karakter yang lebih harmonis dan inklusif.
Lima
Belas, Gemar Membaca. Gemar membaca adalah kebiasaan yang sangat penting untuk
membangun wawasan yang luas. Namun, kebiasaan ini sering kali sulit ditanamkan
tanpa contoh dan dorongan yang konsisten. Di sinilah pendekatan kebiasaan kecil
dari James Clear (2018) menjadi relevan. Orang tua dan guru dapat memulai
dengan membiasakan anak-anak membaca buku ringan selama beberapa menit setiap
hari. Kebiasaan ini, jika dilakukan terus-menerus, akan menumbuhkan rasa cinta
terhadap membaca. Dengan membiasakan anak untuk menyediakan waktu khusus untuk
membaca, baik di rumah maupun di sekolah, mereka akan mulai menikmati proses
tersebut dan perlahan-lahan kebiasaan itu akan menjadi bagian dari diri mereka.
Selain
itu, guru dan orang tua juga bisa memperkenalkan beragam jenis bacaan, seperti
buku-buku cerita tentang nilai-nilai moral, kebangsaan, atau keragaman budaya.
Bacaan yang beragam ini akan menambah wawasan anak-anak tentang dunia,
sekaligus menumbuhkan kebiasaan untuk mencari pengetahuan baru. Jika mereka
mulai dari langkah kecil, seperti membaca satu bab sehari atau satu artikel per
minggu, kebiasaan ini akan terus berkembang seiring waktu.
Enam
Belas, Peduli Lingkungan. Peduli lingkungan bukan hanya sekadar teori atau
slogan, tetapi harus menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Kebiasaan untuk
menjaga kebersihan, tidak membuang sampah sembarangan, dan merawat lingkungan
bisa ditanamkan sejak dini melalui tindakan kecil yang konsisten. Di rumah,
orang tua bisa mengajak anak-anak untuk bersama-sama membersihkan halaman atau
menanam pohon. Di sekolah, guru dapat mengajak siswa untuk mengikuti program
daur ulang atau kampanye lingkungan.
Dalam
konteks kebiasaan kecil, James Clear (2018) menekankan pentingnya memulai dari
tindakan yang sederhana namun dapat dilakukan secara terus-menerus. Misalnya,
membiasakan anak untuk membuang sampah pada tempatnya, atau mengurangi
penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan penghargaan sederhana
setiap kali mereka melakukan tindakan positif terhadap lingkungan, kebiasaan
ini akan mengakar kuat. Jika dipraktikkan secara konsisten, rasa peduli
terhadap lingkungan akan menjadi bagian dari karakter anak dan membawa dampak
positif bagi masyarakat.
Tujuh
Belas, Peduli Sosial. Peduli sosial adalah sikap untuk selalu ingin membantu
orang lain, terutama mereka yang membutuhkan. Kebiasaan untuk bersikap peduli
dapat dibangun dengan mendorong anak-anak untuk berbagi, membantu teman-teman
yang kesulitan, atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Seperti yang
dijelaskan James Clear (2018), kebiasaan kecil seperti ini harus dilatih secara
berulang-ulang agar menjadi bagian dari rutinitas mereka.
Di
rumah, orang tua bisa membiasakan anak-anak untuk memberikan sebagian mainan
atau makanan kepada mereka yang membutuhkan, atau terlibat dalam kegiatan
sosial bersama keluarga. Di sekolah, siswa bisa diajak untuk mengikuti kegiatan
bakti sosial atau penggalangan dana untuk membantu mereka yang kurang
beruntung. Setiap kali anak-anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mereka
akan merasakan penghargaan dari tindakan tersebut, baik secara emosional maupun
sosial, yang akan memperkuat kebiasaan mereka untuk peduli kepada sesama.
Delapan
Belas, Tanggung Jawab. Tanggung jawab adalah nilai penting yang harus
ditanamkan sejak dini, karena ia menjadi dasar dari kepercayaan diri dan
integritas seseorang. Kebiasaan bertanggung jawab dapat dimulai dari hal-hal
kecil, seperti menyelesaikan tugas rumah, merapikan mainan, atau menjaga
barang-barang pribadi. Dalam pendekatan Atomic Habits (Clear, 2018),
kebiasaan tanggung jawab dapat dipicu dengan memberi anak-anak tugas harian
yang sesuai dengan usia mereka dan memberikan penghargaan saat tugas tersebut
selesai.
Tanggung
jawab juga bisa dilatih melalui kerja kelompok di sekolah, di mana siswa
diajarkan untuk memikul tanggung jawab atas peran mereka dalam tim. Setiap
keberhasilan menyelesaikan tugas akan membentuk pola pikir bahwa mereka mampu
dan bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan. Ini tidak hanya
memperkuat karakter individu, tetapi juga membentuk generasi yang lebih mandiri
dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Sinergi
Pendidikan Formal dan Informal dalam Membentuk Karakter
Nilai-nilai
karakter yang telah diidentifikasi oleh Diknas ini, yang disinari moderasi
beragama, selayaknya dapat ditanamkan melalui sinergi antara pendidikan formal
di sekolah dan pendidikan informal di rumah. Pendidikan karakter yang baik
tidak bisa hanya bergantung pada satu sektor saja. Orang tua dan guru harus
bekerja sama untuk memastikan bahwa nilai-nilai tersebut tertanam dalam setiap
aspek kehidupan anak-anak.
Dalam
konteks ini, James Clear (2018) menekankan pentingnya menciptakan lingkungan
yang mendukung kebiasaan baik. Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat
harus menjadi tempat di mana kebiasaan-kebiasaan kecil yang positif bisa tumbuh
dan berkembang. Sebagai contoh, di rumah, orang tua bisa menciptakan lingkungan
yang mendukung nilai-nilai kejujuran, disiplin, dan peduli sosial melalui
rutinitas sehari-hari. Di sekolah, guru bisa mendorong siswa untuk
mempraktikkan nilai-nilai seperti kerja keras, kreatif, dan demokratis melalui
metode pembelajaran yang partisipatif dan interaktif.
Selain
itu, nilai-nilai agama yang diajarkan di sekolah harus diperkuat di rumah
melalui kebiasaan sederhana seperti berdoa bersama, berbicara tentang
pentingnya menghormati agama lain, dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan sinergi yang kuat antara pendidikan formal dan informal,
anak-anak akan tumbuh dengan karakter yang kuat dan berakar pada nilai-nilai
moral dan agama yang mereka pelajari.
Tantangannya
Salah
satu tantangan terbesar dalam masyarakat Indonesia yang plural adalah menjaga
harmoni antaragama. Moderasi beragama adalah nilai inti yang harus ditanamkan
dalam setiap individu untuk memastikan bahwa perbedaan keyakinan tidak menjadi
sumber konflik, tetapi menjadi kekuatan yang mempersatukan. Moderasi beragama
juga menjadi salah satu nilai penting dalam pendidikan karakter, karena ia
mengajarkan toleransi, menghargai perbedaan, dan hidup rukun dalam masyarakat
yang beragam.
Nilai-nilai
seperti religius, toleransi, cinta damai, dan bersahabat menjadi sangat penting
dalam konteks moderasi beragama. Melalui kebiasaan-kebiasaan kecil seperti
menghargai perbedaan pendapat, mendengarkan pandangan agama lain dengan rasa
hormat, dan mengedepankan dialog yang terbuka, moderasi beragama dapat
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini harus dibentuk sejak
dini, baik di rumah maupun di sekolah, agar anak-anak tumbuh menjadi individu
yang mampu hidup harmonis di tengah perbedaan.
James
Clear (2018) mengingatkan kita bahwa perubahan besar datang dari
tindakan-tindakan kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Membangun karakter
yang moderat dalam beragama tidak bisa dicapai melalui satu langkah besar,
tetapi melalui kebiasaan-kebiasaan kecil yang ditanamkan sejak dini. Ketika
anak-anak dibiasakan untuk bersikap moderat, menghargai perbedaan, dan
berpartisipasi dalam dialog antaragama, mereka akan tumbuh menjadi individu
yang mampu menjaga harmoni sosial.
Dengan
menanamkan 18 nilai karakter yang disinari moderasi beragama melalui kebiasaan-kebiasaan
kecil yang diterapkan di sekolah dan di rumah, kita dapat menciptakan generasi
yang lebih kuat, moderat, dan inklusif. Kebiasaan-kebiasaan ini, jika
dipraktikkan secara berkelanjutan, akan menghasilkan perubahan besar dalam
jangka panjang—baik dalam diri individu maupun dalam masyarakat secara keseluruhan.
“Dan inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter: membentuk individu beragama
yang berkarakter kuat, moderat, dan mampu menjaga harmoni dalam masyarakat yang
beragam.”***