Iklan

Mendorong Batu Menuju Dunia Inklusif

syamsul kurniawan
Monday, November 18, 2024
Last Updated 2024-12-08T08:55:10Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Ilustrasi (Sumber: https://dindikpora.jogjakota.go.id/detail/index/29437)


Oleh: Syamsul Kurniawan


Siang itu, di sebuah kafe kecil dekat kampus, saya duduk merenungi genangan air yang memenuhi jalanan. Di depan saya, segelas Avocado Milo Lava dan sepiring kecil bakso goreng menjadi teman dalam perenungan. Langit cerah di atas memberikan harapan, namun di bawahnya, genangan air menjadi pengingat bahwa perjalanan menuju perubahan selalu penuh tantangan. Seperti genangan air itu, dunia pendidikan juga menghadapi rintangan dalam upayanya menciptakan ruang yang inklusif.


Pendidikan multikultural adalah batu besar yang harus terus kita dorong. Ia bukan sekadar ide, melainkan kebutuhan di tengah dunia yang saling terhubung, tetapi juga sering terpecah. Kita hidup di era Society 5.0, di mana teknologi seharusnya menjadi penghubung. Namun, tantangan keberagaman sering kali menghalangi langkah menuju harmoni.


Teringat kisah Sisyphus, tokoh mitologi Yunani yang dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya kembali jatuh. Perjuangannya tampak sia-sia, tetapi bagi Albert Camus, justru di situ letak maknanya. Pendidikan multikultural adalah batu kita. Meski tantangan terus muncul, setiap dorongan adalah bagian dari perjalanan menuju dunia inklusif.


Di dalam kelas, guru adalah tokoh utama dalam cerita ini. Mereka adalah para penjaga nyala api yang membawa siswa melintasi batas-batas budaya, nilai, dan keyakinan. Namun, tanpa alat yang tepat, perjuangan mereka seperti mendorong batu di jalan yang licin. Di sinilah pelatihan berbasis teknologi menjadi sangat penting.


Seorang guru yang memahami pedagogi multikultural dan mampu menggunakan teknologi adalah pemahat batu yang telaten. Mereka membentuk ruang belajar yang inklusif, di mana siswa belajar memahami bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman. Dengan setiap langkah kecil, mereka membawa kita lebih dekat ke puncak bukit.


Namun, batu ini berat. Resistensi budaya dan minimnya akses terhadap teknologi menjadi tantangan besar. Sebagian masyarakat menganggap pendidikan multikultural sebagai ancaman terhadap identitas lokal. Padahal, ia justru merangkul keberagaman, menjadikannya kekuatan yang memperkaya.


Teknologi menawarkan alat untuk menjembatani perbedaan, tetapi hanya jika digunakan dengan bijak. Dalam pendidikan multikultural, teknologi adalah jembatan, bukan pengganti nilai-nilai kemanusiaan. Seorang guru yang kreatif bisa memanfaatkan media sosial, aplikasi pembelajaran, atau “big data” untuk menciptakan pengalaman belajar yang inklusif.


Di sisi lain, kurikulum adalah peta dalam perjalanan ini. Kurikulum yang inklusif, yang mengintegrasikan nilai-nilai keberagaman, teknologi, dan spiritualitas, menjadi kompas moral bagi siswa. Namun, kurikulum ini harus hidup di dalam kelas, bukan hanya di atas kertas kebijakan.


Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah salah satu cara untuk menghidupkan kurikulum ini. Dengan HOTS, siswa diajak berpikir kritis, kreatif, dan analitis, melampaui sekadar memahami keberagaman. Mereka belajar mengevaluasi dan merangkul perbedaan sebagai bagian dari hidup mereka.


Namun, seperti dorongan Sisyphus, HOTS membutuhkan ketekunan. Pemikiran kritis adalah proses panjang yang membutuhkan konsistensi. Setiap pertanyaan yang diajukan siswa, setiap diskusi yang mereka lakukan, adalah langkah kecil menuju puncak bukit.


Genangan air di luar kafe itu mengingatkan saya bahwa tantangan adalah bagian dari perjalanan. Genangan itu pada waktunya akan surut, dan begitu pula dengan hambatan dalam pendidikan multikultural. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk terus melangkah, meski dengan kaki yang basah.


Dalam setiap ruang kelas, dalam setiap diskusi tentang budaya dan nilai, ada peluang untuk menanamkan kebiasaan berpikir inklusif. James Clear dalam Atomic Habits (2018) mengingatkan bahwa perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil. Dalam pendidikan, kebiasaan itu adalah mendorong siswa untuk bertanya, mendengarkan, dan memahami.


Setiap dorongan terhadap batu besar ini adalah langkah menuju dunia yang lebih inklusif. Meski jalannya terjal, setiap usaha mendekatkan kita pada masyarakat yang menghargai perbedaan. Teknologi, jika digunakan dengan bijak, bisa menjadi alat berat yang membantu meringankan beban.


Namun, batu ini tidak akan bergerak dengan sendirinya. Dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak: guru, siswa, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas. Dalam perjalanan ini, tidak ada peran yang terlalu kecil. Setiap individu adalah bagian dari upaya kolektif ini.


Pendidikan multikultural adalah perjalanan tanpa akhir. Ia bukan tentang mencapai kesempurnaan, tetapi tentang keberanian untuk terus mendorong, meski batu itu jatuh berulang kali. Dalam absurditas perjuangan ini, ada makna yang hanya bisa ditemukan jika kita memilih untuk melanjutkan.


Langkah kecil, seperti menyusun kurikulum yang inklusif atau melatih guru dengan keterampilan baru, adalah awal dari perubahan besar. Setiap dorongan membawa kita lebih dekat ke dunia yang kita bayangkan—dunia di mana keberagaman dirayakan, bukan dipertentangkan.


Ketika saya menyeruput sisa terakhir Avocado Milo Lava, saya memikirkan Sisyphus, bukan sebagai tokoh tragis, tetapi sebagai simbol harapan. Ia terus mendorong, bukan karena ia harus, tetapi karena ia memilih untuk percaya pada makna perjuangannya.


Pendidikan multikultural adalah batu besar yang harus terus kita dorong bersama. Meski berat, setiap langkah adalah bukti bahwa kita sedang bergerak menuju dunia inklusif yang lebih baik. Dan dalam proses ini, kita menemukan makna sejati dari perjuangan.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now