Siang itu, di sebuah kafe kecil dekat kampus, saya
duduk merenungi genangan air yang memenuhi jalanan. Di depan saya, segelas
Avocado Milo Lava dan sepiring kecil bakso goreng menjadi teman dalam
perenungan. Langit cerah di atas memberikan harapan, namun di bawahnya,
genangan air menjadi pengingat bahwa perjalanan menuju perubahan selalu penuh
tantangan. Seperti genangan air itu, dunia pendidikan juga menghadapi rintangan
dalam upayanya menciptakan ruang yang inklusif.
Pendidikan multikultural adalah batu besar yang harus
terus kita dorong. Ia bukan sekadar ide, melainkan kebutuhan di tengah dunia
yang saling terhubung, tetapi juga sering terpecah. Kita hidup di era Society
5.0, di mana teknologi seharusnya menjadi penghubung. Namun, tantangan
keberagaman sering kali menghalangi langkah menuju harmoni.
Teringat kisah Sisyphus, tokoh mitologi Yunani yang
dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya
kembali jatuh. Perjuangannya tampak sia-sia, tetapi bagi Albert Camus, justru
di situ letak maknanya. Pendidikan multikultural adalah batu kita. Meski
tantangan terus muncul, setiap dorongan adalah bagian dari perjalanan menuju
dunia inklusif.
Di dalam kelas, guru adalah tokoh utama dalam cerita ini. Mereka adalah para penjaga nyala api yang membawa siswa melintasi batas-batas budaya, nilai, dan keyakinan. Namun, tanpa alat yang tepat, perjuangan mereka seperti mendorong batu di jalan yang licin. Di sinilah pelatihan berbasis teknologi menjadi sangat penting.
Seorang guru yang memahami pedagogi multikultural dan
mampu menggunakan teknologi adalah pemahat batu yang telaten. Mereka membentuk
ruang belajar yang inklusif, di mana siswa belajar memahami bahwa keberagaman
adalah kekayaan, bukan ancaman. Dengan setiap langkah kecil, mereka membawa
kita lebih dekat ke puncak bukit.
Namun, batu ini berat. Resistensi budaya dan minimnya
akses terhadap teknologi menjadi tantangan besar. Sebagian masyarakat
menganggap pendidikan multikultural sebagai ancaman terhadap identitas lokal.
Padahal, ia justru merangkul keberagaman, menjadikannya kekuatan yang
memperkaya.
Teknologi menawarkan alat untuk menjembatani
perbedaan, tetapi hanya jika digunakan dengan bijak. Dalam pendidikan
multikultural, teknologi adalah jembatan, bukan pengganti nilai-nilai
kemanusiaan. Seorang guru yang kreatif bisa memanfaatkan media sosial, aplikasi
pembelajaran, atau “big data” untuk menciptakan pengalaman belajar yang
inklusif.
Di sisi lain, kurikulum adalah peta dalam perjalanan
ini. Kurikulum yang inklusif, yang mengintegrasikan nilai-nilai keberagaman,
teknologi, dan spiritualitas, menjadi kompas moral bagi siswa. Namun, kurikulum
ini harus hidup di dalam kelas, bukan hanya di atas kertas kebijakan.
Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah salah satu
cara untuk menghidupkan kurikulum ini. Dengan HOTS, siswa diajak berpikir
kritis, kreatif, dan analitis, melampaui sekadar memahami keberagaman. Mereka
belajar mengevaluasi dan merangkul perbedaan sebagai bagian dari hidup mereka.
Namun, seperti dorongan Sisyphus, HOTS membutuhkan
ketekunan. Pemikiran kritis adalah proses panjang yang membutuhkan konsistensi.
Setiap pertanyaan yang diajukan siswa, setiap diskusi yang mereka lakukan,
adalah langkah kecil menuju puncak bukit.
Genangan air di luar kafe itu mengingatkan saya bahwa
tantangan adalah bagian dari perjalanan. Genangan itu pada waktunya akan surut,
dan begitu pula dengan hambatan dalam pendidikan multikultural. Yang dibutuhkan
adalah keberanian untuk terus melangkah, meski dengan kaki yang basah.
Dalam setiap ruang kelas, dalam setiap diskusi tentang
budaya dan nilai, ada peluang untuk menanamkan kebiasaan berpikir inklusif.
James Clear dalam Atomic Habits (2018) mengingatkan bahwa perubahan
besar dimulai dari kebiasaan kecil. Dalam pendidikan, kebiasaan itu adalah
mendorong siswa untuk bertanya, mendengarkan, dan memahami.
Setiap dorongan terhadap batu besar ini adalah langkah
menuju dunia yang lebih inklusif. Meski jalannya terjal, setiap usaha
mendekatkan kita pada masyarakat yang menghargai perbedaan. Teknologi, jika
digunakan dengan bijak, bisa menjadi alat berat yang membantu meringankan
beban.
Namun, batu ini tidak akan bergerak dengan sendirinya.
Dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak: guru, siswa, pembuat kebijakan, dan
masyarakat luas. Dalam perjalanan ini, tidak ada peran yang terlalu kecil.
Setiap individu adalah bagian dari upaya kolektif ini.
Pendidikan multikultural adalah perjalanan tanpa
akhir. Ia bukan tentang mencapai kesempurnaan, tetapi tentang keberanian untuk
terus mendorong, meski batu itu jatuh berulang kali. Dalam absurditas
perjuangan ini, ada makna yang hanya bisa ditemukan jika kita memilih untuk
melanjutkan.
Langkah kecil, seperti menyusun kurikulum yang
inklusif atau melatih guru dengan keterampilan baru, adalah awal dari perubahan
besar. Setiap dorongan membawa kita lebih dekat ke dunia yang kita
bayangkan—dunia di mana keberagaman dirayakan, bukan dipertentangkan.
Ketika saya menyeruput sisa terakhir Avocado Milo
Lava, saya memikirkan Sisyphus, bukan sebagai tokoh tragis, tetapi sebagai
simbol harapan. Ia terus mendorong, bukan karena ia harus, tetapi karena ia
memilih untuk percaya pada makna perjuangannya.
Pendidikan multikultural adalah batu besar yang harus
terus kita dorong bersama. Meski berat, setiap langkah adalah bukti bahwa kita
sedang bergerak menuju dunia inklusif yang lebih baik. Dan dalam proses ini,
kita menemukan makna sejati dari perjuangan.***