Oleh: Syamsul Kurniawan
KETIKA
saya membuka aplikasi WhatsApp di smartphone saya, sebuah kebiasaan yang sudah
mendarah daging, saya disambut oleh tumpukan pesan di beberapa grup yang saya
ikuti. Dari sekian banyak notifikasi, beberapa grup terlihat lebih aktif
daripada yang lain. Saya klik salah satu grup yang berisi rekan-rekan kerja
saya. Begitu pesan pertama terbaca, saya merasakan kegelisahan menyusup ke
dalam pikiran saya.
Diskusi
di grup tersebut mulai melenceng dari topik yang seharusnya, berubah menjadi
ajang saling serang, caci maki, dan hujatan. Seolah-olah semua yang dibahas
adalah alasan untuk memperdebatkan ide-ide yang seharusnya bisa disampaikan
dengan cara yang lebih konstruktif. Saya tidak bisa tidak merasa prihatin;
dalam era di mana komunikasi seharusnya lebih mudah, mengapa interaksi kita
justru semakin buruk?
Selanjutnya,
saya pindah ke grup lain, kali ini berisi anggota komunitas agama yang sama
dengan saya. Saya berharap menemukan suasana yang lebih positif. Namun, apa
yang saya temukan tidak jauh berbeda. Di antara pesan-pesan yang seharusnya
menebar inspirasi dan nilai-nilai maslahat, ada saja komentar yang merendahkan,
saling menyudutkan, dan bahkan memicu pertikaian. Ini membuat saya semakin
gelisah. Apa sebenarnya yang terjadi pada cara kita berkomunikasi? Apakah ini
yang disebut kemajuan dalam beragama?
Kekhawatiran
ini berakar pada pemikiran yang lebih dalam. Sebagai seorang pemeluk agama,
saya merasa perlu untuk mempertanyakan apakah dialog yang kita jalani di ruang
digital ini benar-benar membawa maslahat. Apakah kita hanya terjebak dalam
simulasi interaksi yang tampaknya penuh makna, namun sejatinya tidak
mencerminkan nilai-nilai luhur dari ajaran agama kita? Kita harus merenungkan,
apakah penggunaan teknologi dalam komunikasi ini semakin mendekatkan kita pada
kebaikan dan saling memahami, atau justru menjauhkan kita dari esensi
kemanusiaan yang seharusnya kita junjung?
Di
tengah kemajuan teknologi yang menyentuh setiap aspek kehidupan, kita sering
kali terjebak dalam fenomena komunikasi yang tidak sehat. Society 5.0
menawarkan visi masyarakat yang lebih baik dengan memadukan teknologi canggih
dan manusia sebagai pusatnya. Namun, jika kita gagal menciptakan ruang
komunikasi yang sehat dan mendukung nilai-nilai positif, maka tujuan luhur ini
akan sulit tercapai. Dalam konteks ini, tantangan kita bukan hanya bagaimana
memanfaatkan teknologi, tetapi juga bagaimana menciptakan dialog yang membawa
maslahat bagi semua pihak.
Mengevaluasi Pendidikan Agama
Kebutuhan
akan maslahat beragama semakin mendesak di tengah kemajuan teknologi. Beragama
bukan sekadar menjalankan ritual dan hukum, melainkan juga tentang menciptakan
lingkungan yang membawa manfaat bagi individu dan masyarakat. Dalam Society
5.0, agama harus mampu menjadi sumber inspirasi yang mendukung nilai-nilai
kemanusiaan, agar kita tidak terjebak dalam realitas yang semakin menjauh dari
esensi kemanusiaan itu sendiri.
Dosa
terbesar pendidikan agama adalah ketika ia gagal melahirkan peserta didik yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai maslahat dalam kehidupan sehari-hari. Jika
pendidikan agama hanya terfokus pada pengajaran teori tanpa mengaitkannya
dengan realitas kehidupan, maka kita akan menghasilkan generasi yang miskin
pengalaman dan empati. Sebuah pendidikan yang tidak mampu menciptakan individu
yang berkarakter, kreatif, dan mampu berkolaborasi dalam masyarakat tidak hanya
kehilangan tujuan, tetapi juga mengabaikan amanah yang diberikan kepada mereka.
Dalam
konteks Society 5.0, peserta didik diharapkan untuk menguasai 6C Skills: Communication,
Collaboration, Critical Thinking, Citizenship, Creativity, dan Character.
Keterampilan-keterampilan ini sangat penting untuk menciptakan individu yang
mampu beradaptasi dan berkontribusi positif dalam masyarakat. Tanpa kemampuan
ini, peserta didik tidak akan mampu berkomunikasi secara efektif, berkolaborasi
dengan orang lain, dan berpikir kritis tentang bagaimana tindakan mereka dapat
mempengaruhi masyarakat.
Oleh
karena itu, pendidikan agama harus berupaya mengintegrasikan keterampilan ini
dalam kurikulum. Peserta didik tidak hanya perlu diajarkan tentang ajaran
agama, tetapi juga bagaimana menerapkannya dalam konteks sosial dan teknologi
yang kompleks. Dengan pendekatan ini, pendidikan agama dapat menghasilkan
individu yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga memiliki integritas
moral yang tinggi.
Dalam
The Turning Point (1984), Fritjof Capra menggambarkan bahwa peradaban
kita sedang berada di titik balik, di mana kita harus membuat pilihan penting
antara mengikuti jalur lama yang materialistis atau beralih ke paradigma baru
yang lebih berkelanjutan dan manusiawi. Capra menekankan bahwa pergeseran
paradigma ini tidak hanya melibatkan aspek ekonomi dan teknologi, tetapi juga
nilai-nilai spiritual dan moral. Dalam Society 5.0, kita harus memahami bahwa
keberhasilan kita dalam menggunakan teknologi untuk maslahat tidak terlepas
dari kesadaran moral yang harus kita bangun.
Meskipun
era industri 4.0 masih sangat memimpin dalam berbagai topik bahasan, wacana
tentang Society 5.0 tetap relevan dan penting. Kita tidak dapat meredupkan
pentingnya diskusi mengenai bagaimana teknologi dan moralitas dapat bersinergi
untuk mencapai masyarakat yang lebih baik. Dalam konteks ini, pendidikan agama
memiliki peran krusial dalam membentuk karakter dan kesadaran sosial peserta
didik.
Pendidikan
agama yang berbasis maslahat adalah pendidikan yang tidak hanya mengajarkan
nilai-nilai spiritual, tetapi juga membekali peserta didik dengan kemampuan
untuk berpikir kritis dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam Society 5.0, di mana tantangan sosial dan teknologi semakin
kompleks, pendidikan agama harus mampu menjadi jembatan antara nilai-nilai
moral dan realitas sosial.
Membangun
kesadaran kritis di kalangan peserta didik adalah langkah penting dalam
memastikan bahwa mereka dapat berkontribusi positif bagi masyarakat. Kesadaran
kritis memungkinkan individu untuk mempertanyakan dan menganalisis informasi
yang mereka terima, sehingga mereka tidak terjebak dalam opini yang tidak
berdasar atau prejudis.
Dalam
konteks ini, kita juga harus menyentuh pada simulasi dan simulacra yang dibahas
oleh Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1994). Baudrillard
mengemukakan bahwa kita hidup dalam dunia yang semakin ditandai oleh simulasi,
di mana tanda dan representasi menggantikan realitas itu sendiri. Kita harus
bertanya kepada diri sendiri: Apakah teknologi yang kita gunakan dalam Society
5.0 benar-benar merefleksikan realitas yang ingin kita ciptakan, ataukah kita
terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh kemajuan teknologi?
Seperti
Raja Midas, yang terjebak dalam kutukan emasnya—sesuatu yang awalnya diinginkan
menjadi sumber kebahagiaan, tetapi berakhir menjadi beban—kita harus hati-hati
agar tidak terjebak dalam ilusi kemajuan yang ditawarkan oleh teknologi. Jika
kita tidak waspada, kita bisa kehilangan makna sejati dari kemanusiaan dan
nilai-nilai yang seharusnya kita junjung.
Akhirnya,
untuk mencapai tujuan Society 5.0 yang positif dan maslahat, kita harus berani
mempertanyakan apakah pendidikan agama yang ada saat ini telah memenuhi
tuntutan tersebut. Mari kita ingat bahwa teknologi yang berkembang pesat
seharusnya tidak mengurangi nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, mari kita
jadikan agama sebagai pemandu yang membantu kita dalam beradaptasi dan
memanfaatkan kemajuan teknologi demi kebaikan bersama.
Dengan
pemikiran yang kritis dan kesadaran moral yang tinggi, kita dapat menciptakan
generasi yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga mampu menyebarkan
nilai-nilai maslahat dalam beragama. Jika kita mampu mewujudkan hal ini, maka
Society 5.0 bukan hanya akan menjadi era kemajuan teknologi, tetapi juga era di
mana manusia dan nilai-nilai kemanusiaan berada di pusat perhatian.***