Iklan

Maslahat Beragama di Era Society 5.0

syamsul kurniawan
Saturday, November 30, 2024
Last Updated 2024-12-08T12:05:59Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

KETIKA saya membuka aplikasi WhatsApp di smartphone saya, sebuah kebiasaan yang sudah mendarah daging, saya disambut oleh tumpukan pesan di beberapa grup yang saya ikuti. Dari sekian banyak notifikasi, beberapa grup terlihat lebih aktif daripada yang lain. Saya klik salah satu grup yang berisi rekan-rekan kerja saya. Begitu pesan pertama terbaca, saya merasakan kegelisahan menyusup ke dalam pikiran saya.

 

Diskusi di grup tersebut mulai melenceng dari topik yang seharusnya, berubah menjadi ajang saling serang, caci maki, dan hujatan. Seolah-olah semua yang dibahas adalah alasan untuk memperdebatkan ide-ide yang seharusnya bisa disampaikan dengan cara yang lebih konstruktif. Saya tidak bisa tidak merasa prihatin; dalam era di mana komunikasi seharusnya lebih mudah, mengapa interaksi kita justru semakin buruk?

 

Selanjutnya, saya pindah ke grup lain, kali ini berisi anggota komunitas agama yang sama dengan saya. Saya berharap menemukan suasana yang lebih positif. Namun, apa yang saya temukan tidak jauh berbeda. Di antara pesan-pesan yang seharusnya menebar inspirasi dan nilai-nilai maslahat, ada saja komentar yang merendahkan, saling menyudutkan, dan bahkan memicu pertikaian. Ini membuat saya semakin gelisah. Apa sebenarnya yang terjadi pada cara kita berkomunikasi? Apakah ini yang disebut kemajuan dalam beragama?

 

Kekhawatiran ini berakar pada pemikiran yang lebih dalam. Sebagai seorang pemeluk agama, saya merasa perlu untuk mempertanyakan apakah dialog yang kita jalani di ruang digital ini benar-benar membawa maslahat. Apakah kita hanya terjebak dalam simulasi interaksi yang tampaknya penuh makna, namun sejatinya tidak mencerminkan nilai-nilai luhur dari ajaran agama kita? Kita harus merenungkan, apakah penggunaan teknologi dalam komunikasi ini semakin mendekatkan kita pada kebaikan dan saling memahami, atau justru menjauhkan kita dari esensi kemanusiaan yang seharusnya kita junjung?

 

Di tengah kemajuan teknologi yang menyentuh setiap aspek kehidupan, kita sering kali terjebak dalam fenomena komunikasi yang tidak sehat. Society 5.0 menawarkan visi masyarakat yang lebih baik dengan memadukan teknologi canggih dan manusia sebagai pusatnya. Namun, jika kita gagal menciptakan ruang komunikasi yang sehat dan mendukung nilai-nilai positif, maka tujuan luhur ini akan sulit tercapai. Dalam konteks ini, tantangan kita bukan hanya bagaimana memanfaatkan teknologi, tetapi juga bagaimana menciptakan dialog yang membawa maslahat bagi semua pihak.


Mengevaluasi Pendidikan Agama


Kebutuhan akan maslahat beragama semakin mendesak di tengah kemajuan teknologi. Beragama bukan sekadar menjalankan ritual dan hukum, melainkan juga tentang menciptakan lingkungan yang membawa manfaat bagi individu dan masyarakat. Dalam Society 5.0, agama harus mampu menjadi sumber inspirasi yang mendukung nilai-nilai kemanusiaan, agar kita tidak terjebak dalam realitas yang semakin menjauh dari esensi kemanusiaan itu sendiri.

 

Dosa terbesar pendidikan agama adalah ketika ia gagal melahirkan peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai maslahat dalam kehidupan sehari-hari. Jika pendidikan agama hanya terfokus pada pengajaran teori tanpa mengaitkannya dengan realitas kehidupan, maka kita akan menghasilkan generasi yang miskin pengalaman dan empati. Sebuah pendidikan yang tidak mampu menciptakan individu yang berkarakter, kreatif, dan mampu berkolaborasi dalam masyarakat tidak hanya kehilangan tujuan, tetapi juga mengabaikan amanah yang diberikan kepada mereka.

 

Dalam konteks Society 5.0, peserta didik diharapkan untuk menguasai 6C Skills: Communication, Collaboration, Critical Thinking, Citizenship, Creativity, dan Character. Keterampilan-keterampilan ini sangat penting untuk menciptakan individu yang mampu beradaptasi dan berkontribusi positif dalam masyarakat. Tanpa kemampuan ini, peserta didik tidak akan mampu berkomunikasi secara efektif, berkolaborasi dengan orang lain, dan berpikir kritis tentang bagaimana tindakan mereka dapat mempengaruhi masyarakat.

 

Oleh karena itu, pendidikan agama harus berupaya mengintegrasikan keterampilan ini dalam kurikulum. Peserta didik tidak hanya perlu diajarkan tentang ajaran agama, tetapi juga bagaimana menerapkannya dalam konteks sosial dan teknologi yang kompleks. Dengan pendekatan ini, pendidikan agama dapat menghasilkan individu yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi.

 

Dalam The Turning Point (1984), Fritjof Capra menggambarkan bahwa peradaban kita sedang berada di titik balik, di mana kita harus membuat pilihan penting antara mengikuti jalur lama yang materialistis atau beralih ke paradigma baru yang lebih berkelanjutan dan manusiawi. Capra menekankan bahwa pergeseran paradigma ini tidak hanya melibatkan aspek ekonomi dan teknologi, tetapi juga nilai-nilai spiritual dan moral. Dalam Society 5.0, kita harus memahami bahwa keberhasilan kita dalam menggunakan teknologi untuk maslahat tidak terlepas dari kesadaran moral yang harus kita bangun.

 

Meskipun era industri 4.0 masih sangat memimpin dalam berbagai topik bahasan, wacana tentang Society 5.0 tetap relevan dan penting. Kita tidak dapat meredupkan pentingnya diskusi mengenai bagaimana teknologi dan moralitas dapat bersinergi untuk mencapai masyarakat yang lebih baik. Dalam konteks ini, pendidikan agama memiliki peran krusial dalam membentuk karakter dan kesadaran sosial peserta didik.

 

Pendidikan agama yang berbasis maslahat adalah pendidikan yang tidak hanya mengajarkan nilai-nilai spiritual, tetapi juga membekali peserta didik dengan kemampuan untuk berpikir kritis dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Society 5.0, di mana tantangan sosial dan teknologi semakin kompleks, pendidikan agama harus mampu menjadi jembatan antara nilai-nilai moral dan realitas sosial.

 

Membangun kesadaran kritis di kalangan peserta didik adalah langkah penting dalam memastikan bahwa mereka dapat berkontribusi positif bagi masyarakat. Kesadaran kritis memungkinkan individu untuk mempertanyakan dan menganalisis informasi yang mereka terima, sehingga mereka tidak terjebak dalam opini yang tidak berdasar atau prejudis.

 

Dalam konteks ini, kita juga harus menyentuh pada simulasi dan simulacra yang dibahas oleh Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1994). Baudrillard mengemukakan bahwa kita hidup dalam dunia yang semakin ditandai oleh simulasi, di mana tanda dan representasi menggantikan realitas itu sendiri. Kita harus bertanya kepada diri sendiri: Apakah teknologi yang kita gunakan dalam Society 5.0 benar-benar merefleksikan realitas yang ingin kita ciptakan, ataukah kita terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh kemajuan teknologi?

 

Seperti Raja Midas, yang terjebak dalam kutukan emasnya—sesuatu yang awalnya diinginkan menjadi sumber kebahagiaan, tetapi berakhir menjadi beban—kita harus hati-hati agar tidak terjebak dalam ilusi kemajuan yang ditawarkan oleh teknologi. Jika kita tidak waspada, kita bisa kehilangan makna sejati dari kemanusiaan dan nilai-nilai yang seharusnya kita junjung.

 

Akhirnya, untuk mencapai tujuan Society 5.0 yang positif dan maslahat, kita harus berani mempertanyakan apakah pendidikan agama yang ada saat ini telah memenuhi tuntutan tersebut. Mari kita ingat bahwa teknologi yang berkembang pesat seharusnya tidak mengurangi nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, mari kita jadikan agama sebagai pemandu yang membantu kita dalam beradaptasi dan memanfaatkan kemajuan teknologi demi kebaikan bersama.

 

Dengan pemikiran yang kritis dan kesadaran moral yang tinggi, kita dapat menciptakan generasi yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga mampu menyebarkan nilai-nilai maslahat dalam beragama. Jika kita mampu mewujudkan hal ini, maka Society 5.0 bukan hanya akan menjadi era kemajuan teknologi, tetapi juga era di mana manusia dan nilai-nilai kemanusiaan berada di pusat perhatian.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now