Iklan

Kepahlawanan dalam Dunia Simulasi

syamsul kurniawan
Saturday, November 9, 2024
Last Updated 2024-12-08T08:47:43Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Ilustrasi (Sumber: https://www.kompas.com/edu/read/2020/09/30/111709971/kemendikbud-dorong-kompetensi-guru-smk-di-bidang-ai)

Oleh: Syamsul Kurniawan

Hari Pahlawan, yang diperingati setiap 10 November, adalah momen ketika kita menghormati mereka yang dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Mereka, para pahlawan, adalah simbol keberanian yang nyata, yang dengan darah dan keringat mempertahankan kedaulatan tanah air. Namun, di era yang dikuasai teknologi dan informasi seperti sekarang, apakah makna kepahlawanan masih sesederhana dulu? Jika dahulu perjuangan bersifat fisik, bagaimana dengan tantangan di era Society 5.0 yang penuh dengan ilusi dan simulasi?


Di era Society 5.0, kita hidup di dunia simulasi, sebuah tatanan masyarakat yang digerakkan oleh teknologi yang semakin sulit dibedakan dari kenyataan. Jean Baudrillard (1994), seorang pemikir postmodernis, menggambarkan kondisi ini sebagai “hiperrealitas”—di mana kita, dalam banyak hal, hidup dalam simulasi yang begitu meyakinkan sehingga kita sulit lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi. Dalam konteks pendidikan, simulasi ini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari kurikulum yang berbasis teknologi, ruang kelas digital, hingga realitas virtual yang meniru pengalaman dunia nyata.


Kepahlawanan dalam dunia simulasi ini bukanlah sekadar keberanian untuk memimpin atau bertindak heroik di dunia nyata, tetapi kemampuan untuk menavigasi lapisan-lapisan simulasi yang tak kasat mata namun sangat memengaruhi kehidupan. Pahlawan masa kini tidak lagi bersenjatakan bambu runcing atau senapan, tetapi kritis dalam menghadapi arus informasi yang masif dan terampil dalam menggunakan teknologi sebagai alat, bukan tujuan. Di sinilah peran pendidikan menjadi vital untuk membentuk pahlawan-pahlawan baru yang tangguh dalam realitas digital.


Untuk mencetak pahlawan di era Society 5.0, pendidikan tidak bisa sekadar berfungsi sebagai penyedia informasi. Pendidikan harus menjadi kompas yang mengarahkan siswa untuk memahami batas antara simulasi dan realitas. Siswa tidak hanya dituntut untuk cakap dalam teknologi, tetapi juga memiliki kepekaan untuk mengidentifikasi mana informasi yang autentik dan mana yang hanyalah citra kosong. Menjadi pahlawan di era ini berarti berani mempertanyakan narasi yang terbentuk oleh algoritma, berpikir kritis, dan memiliki keberanian untuk mengeksplorasi kebenaran di balik simulasi.


Salah satu pilar penting dari kepahlawanan di dunia simulasi adalah kompetensi digital. Namun, kemampuan ini lebih dari sekadar memahami teknologi; ia juga mencakup pemahaman etis dan sikap bijak dalam menggunakannya. Teknologi seharusnya mempermudah kita untuk belajar dan bekerja, bukan menciptakan jarak antara manusia dengan realitasnya. Di sinilah peran pendidikan karakter—membimbing siswa untuk tidak terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh kecanggihan teknologi.


Ironisnya, banyak sistem pendidikan di era Society 5.0 yang justru terjebak dalam simulasi tanpa substansi. Kurikulum yang disusun tampak progresif dan inovatif, namun sering kali lebih berfokus pada penggunaan teknologi daripada nilai-nilai dasar pembelajaran. Teknologi yang semula dihadirkan untuk mempermudah malah menjadi pusat, dan pendidikan menjadi teralihkan pada citra digital, bukan esensi pengetahuan itu sendiri. Jika hal ini tidak disadari, kita hanya menciptakan “simulasi kepahlawanan,” di mana siswa terlihat terampil secara digital tetapi dangkal dalam pemahaman.


Dalam dunia simulasi, ruang kelas fisik pun mengalami transformasi menjadi ruang virtual. Ini menghadirkan tantangan baru: bagaimana kita memastikan ruang virtual tersebut tetap menjadi tempat yang kondusif bagi perkembangan karakter dan pengetahuan? Bukan hanya sekadar ilusi belajar yang terjadi di dalamnya, tetapi pembelajaran yang sejati. Pendidikan harus mempertimbangkan aspek ini, jika tidak, kita hanya menciptakan ilusi dari pengalaman belajar yang seolah nyata namun kosong dari nilai.


Kepahlawanan di dunia simulasi juga harus melibatkan dukungan struktural, termasuk pemberian beasiswa bagi siswa yang memiliki minat dan bakat. Beasiswa ini bukan sekadar bantuan finansial, tetapi juga cara untuk mengakui potensi sejati siswa di tengah gempuran tuntutan teknologi. Ini adalah bentuk nyata dari kepahlawanan, di mana kita tidak hanya mengikuti arus teknologi tetapi menggunakannya sebagai alat untuk menumbuhkan bakat-bakat yang terpendam.


Begitu pula, guru dan tenaga pendidik harus dilibatkan sebagai bagian integral dalam mencetak pahlawan di era Society 5.0. Mereka harus memiliki akses pada pelatihan, sertifikasi, serta kesejahteraan yang layak agar dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi tanpa kehilangan kendali atas esensi pendidikan. Guru adalah aktor utama dalam membimbing siswa agar tidak terjebak dalam simulasi pendidikan, tetapi mampu memanfaatkannya sebagai medium untuk menggali pengetahuan dan pemahaman.


Sayangnya, banyak guru yang diharuskan menguasai teknologi tanpa diberikan dukungan yang memadai. Mereka hanya diberi alat dan kurikulum tanpa penjelasan mendalam tentang bagaimana teknologi ini bisa memperkaya pembelajaran. Tanpa bimbingan yang tepat, mereka rentan terjebak dalam simulasi digital yang hanya mengutamakan tampilan luar dan bukan makna dari proses belajar itu sendiri. Ini adalah tantangan besar, dan solusi atasnya adalah bentuk kepahlawanan modern yang mesti kita perjuangkan.


Menjadi pahlawan dalam dunia simulasi juga berarti harus mampu memahami konteks sosial-budaya yang ada di sekitar kita. Dunia virtual sering kali menghadirkan nilai-nilai yang homogen, sementara Indonesia kaya akan keberagaman budaya. Pendidikan yang ideal harus mengajarkan siswa untuk bangga pada akar budaya mereka, tidak hanya mengikuti tren global yang sering kali homogen. Jika tidak, kita hanya menciptakan generasi yang terasing di dunia sendiri, generasi yang lebih dekat dengan simulasi daripada dengan jati diri mereka.


Pendidikan karakter menjadi komponen penting dalam menciptakan pahlawan di era Society 5.0. Meskipun teknologi menawarkan kemudahan, nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, dan rasa hormat tidak bisa dipelajari dari algoritma atau aplikasi. Ini adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan secara langsung melalui contoh nyata, bukan simulasi. Kita membutuhkan pahlawan yang memiliki integritas di era digital, mereka yang mampu membedakan mana yang benar dan salah di tengah arus informasi yang begitu besar.


Di era Society 5.0 ini, kita juga perlu meninjau ulang definisi evaluasi dalam pendidikan. Evaluasi tidak hanya harus fokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses belajar yang dijalani siswa. Dalam dunia simulasi, ada kecenderungan untuk lebih fokus pada hasil yang terlihat baik di permukaan, sementara proses pembelajaran yang sejati terabaikan. Kepahlawanan dalam pendidikan berarti berani menilai siswa tidak hanya dari hasil akhir tetapi dari usaha dan dedikasi yang mereka berikan selama proses belajar.


Kepahlawanan di dunia simulasi juga melibatkan keberanian untuk merombak manajemen pendidikan, memastikan bahwa setiap unit pendidikan, mulai dari kelas, asrama, hingga perangkat pembelajaran, mendukung pengalaman belajar yang otentik. Sebuah ruang belajar yang nyaman, baik fisik maupun virtual, adalah bentuk kepahlawanan nyata dalam mendukung siswa dan guru menjalani proses pendidikan yang bermakna. Namun, jika hanya terbatas pada tampilan luar, semua ini hanya menjadi simulasi tanpa substansi.


Menciptakan pahlawan di dunia simulasi juga berarti mempersiapkan siswa untuk menjadi kreator, bukan hanya konsumen teknologi. Mereka harus didorong untuk menciptakan, menemukan solusi baru, dan mengembangkan ide-ide orisinal yang bermanfaat. Pendidikan yang ideal akan membekali mereka dengan keterampilan untuk menguasai teknologi tanpa kehilangan kreativitas dan kemandirian. Pahlawan di era ini adalah mereka yang mampu memanfaatkan teknologi untuk tujuan kemanusiaan, bukan sekadar mengikutinya secara pasif.


Di tengah tantangan Society 5.0, Hari Pahlawan adalah momentum untuk merefleksikan kembali apa arti kepahlawanan di era digital ini. Kepahlawanan bukanlah peran yang eksklusif bagi mereka yang berdiri di garis depan pertempuran fisik, tetapi bisa hadir dalam kehidupan sehari-hari, dalam cara kita menggunakan teknologi dan beradaptasi dengan perubahan. Pahlawan di era ini adalah mereka yang berani mempertanyakan, menggali lebih dalam, dan menembus batas simulasi untuk mencapai kebenaran dan kemajuan yang otentik.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now