Oleh: Syamsul Kurniawan
Konflik sosial-keagamaan merupakan salah satu
fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari dinamika masyarakat yang majemuk. Di
Indonesia, yang dikenal dengan keberagaman agama dan budaya, konflik
sosial-keagamaan kerap kali muncul sebagai akibat dari perbedaan pandangan,
nilai, dan identitas yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok. Untuk
memahami konflik ini dengan lebih mendalam, kita perlu melihatnya melalui
bingkai teoritis Johan Galtung, seorang sosiolog terkenal yang mengembangkan
teori konflik dengan pendekatan yang komprehensif, yang menggabungkan analisis
struktural dan kultural dalam konflik sosial. Melalui analisis ini, kita dapat
menggali lebih jauh akar permasalahan yang menyebabkan konflik sosial-keagamaan
dan menemukan solusi yang lebih tepat dalam mengatasi ketegangan tersebut.
Johan Galtung, dalam teori konfliknya, memandang
konflik sebagai suatu keadaan yang melibatkan dua pihak atau lebih dengan
tujuan yang saling bertentangan. Galtung membagi konflik menjadi tiga dimensi
utama: struktural, kultural, dan langsung. Konflik struktural berkaitan dengan
ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan, kekayaan, atau sumber daya dalam
masyarakat. Konflik kultural terjadi karena adanya perbedaan nilai dan norma
yang dipegang oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sementara konflik langsung
adalah bentuk pertentangan yang lebih nyata dan terbuka, seperti kekerasan
fisik atau perlawanan yang terbuka antara dua pihak. Dalam konteks konflik
sosial-keagamaan, ketiga dimensi ini sering kali saling berinteraksi dan
membentuk pola ketegangan yang kompleks.
Secara umum, konflik sosial-keagamaan memang dapat
dipahami sebagai suatu kondisi di mana perbedaan keyakinan agama atau praktik
keagamaan memicu ketegangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dalam
analisis sosiologis, konflik ini sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor
struktural, seperti distribusi kekuasaan yang tidak adil, kesenjangan
sosial-ekonomi, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Namun, faktor
kultural yang berkaitan dengan identitas agama, simbol-simbol keagamaan, dan
norma sosial yang berlaku juga sangat berperan dalam memperburuk ketegangan
antar kelompok. Dalam konteks ini, Galtung mengingatkan kita bahwa konflik
sosial-keagamaan bukan hanya tentang perbedaan agama itu sendiri, tetapi lebih
terkait dengan faktor-faktor struktural dan kultural yang mendasari konflik
tersebut.
Struktur Konflik Sosial-Keagamaan
Dalam perspektif Galtung, struktur konflik
sosial-keagamaan terdiri dari tiga komponen utama: aktor, tujuan, dan sumber
daya. Aktor dalam konflik sosial-keagamaan adalah kelompok-kelompok agama yang
terlibat dalam ketegangan, baik itu kelompok mayoritas maupun minoritas. Tujuan
dari konflik ini sering kali berkaitan dengan perjuangan untuk mempertahankan
atau mengubah status quo dalam masyarakat, baik itu dalam hal hak-hak agama,
kebebasan beribadah, atau pengakuan atas identitas agama. Sumber daya yang diperebutkan
dalam konflik ini bisa berupa kekuasaan politik, kontrol atas sumber daya
ekonomi, atau dominasi budaya yang sering kali dikaitkan dengan simbol-simbol
agama tertentu. Dalam banyak kasus, perbedaan pandangan keagamaan menjadi
sarana untuk merebutkan sumber daya ini, yang mengarah pada eskalasi konflik.
1. Peran Ketidakadilan Struktural dalam
Konflik Sosial-Keagamaan
Salah satu aspek utama dari teori konflik sosial
Galtung adalah ketidakadilan struktural yang sering kali menjadi akar dari
konflik sosial-keagamaan. Ketidakadilan struktural ini muncul ketika ada
kesenjangan antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam hal hak-hak
politik, ekonomi, dan sosial. Di Indonesia, kelompok agama yang dominan sering
kali mendapatkan perlakuan yang lebih baik dalam hal akses terhadap kekuasaan
dan sumber daya, sementara kelompok minoritas sering kali terpinggirkan. Ketidakadilan
ini dapat menciptakan perasaan terpinggirkan dan ketidakpuasan di kalangan
kelompok minoritas, yang kemudian memicu ketegangan dan potensi konflik dengan
kelompok mayoritas. Galtung menekankan bahwa konflik sosial-keagamaan tidak
akan bisa diselesaikan jika ketidakadilan struktural ini tidak diatasi.
2. Konflik Kultural: Perbedaan Nilai dan
Identitas Agama
Selain ketidakadilan struktural, perbedaan
kultural antara kelompok agama juga menjadi faktor penting dalam konflik
sosial-keagamaan. Setiap agama memiliki sistem nilai, norma, dan identitas yang
membentuk cara pandang umat terhadap dunia dan kehidupan mereka. Ketika
kelompok agama yang berbeda tidak memahami atau menerima perbedaan ini,
ketegangan bisa timbul. Dalam teori Galtung, perbedaan kultural ini dapat
memperburuk konflik jika tidak ada upaya untuk mencapai pemahaman bersama.
Misalnya, perbedaan dalam cara beribadah, penggunaan simbol-simbol agama, atau
bahkan pandangan tentang toleransi dapat memicu ketegangan antara
kelompok-kelompok agama. Oleh karena itu, Galtung menyarankan pentingnya dialog
antar budaya dan agama sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketegangan yang
muncul dari perbedaan kultural ini.
3. Konflik Langsung: Kekerasan dan
Ketegangan yang Terbuka
Dalam banyak kasus, konflik sosial-keagamaan
tidak hanya terjadi dalam bentuk ketegangan pasif, tetapi juga dapat berkembang
menjadi kekerasan fisik atau konflik terbuka. Kekerasan ini bisa berupa
serangan terhadap kelompok agama tertentu, perusakan tempat ibadah, atau bahkan
pembunuhan massal. Dalam analisis Galtung, kekerasan ini adalah manifestasi
dari konflik langsung yang muncul akibat ketegangan struktural dan kultural
yang telah lama terpendam. Konflik langsung ini sering kali mendapatkan eskalasi
karena adanya provokasi dari kedua belah pihak, baik yang berasal dari kelompok
mayoritas maupun kelompok minoritas. Oleh karena itu, Galtung menekankan
pentingnya penyelesaian konflik yang tidak hanya mengatasi ketegangan langsung,
tetapi juga merespons akar permasalahan yang lebih dalam.
Pendekatan Menyelesaikan
Konflik Sosial-Keagamaan
Johan Galtung menawarkan pendekatan yang lebih
komprehensif dalam menyelesaikan konflik sosial-keagamaan, yaitu melalui
penyelesaian damai yang melibatkan pemahaman terhadap akar konflik dan upaya
untuk menghilangkan ketidakadilan struktural serta perbedaan kultural. Salah
satu pendekatan yang dikemukakan Galtung adalah konsep positive peace,
yaitu perdamaian yang tidak hanya menghindari kekerasan fisik, tetapi juga
menghapuskan ketidakadilan struktural dan menciptakan hubungan yang harmonis
antara kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik. Dalam konteks
sosial-keagamaan, positive peace ini berarti menciptakan masyarakat
yang inklusif, di mana setiap individu, terlepas dari agama atau latar belakang
budaya, merasa dihargai dan diperlakukan secara adil.
Untuk mencapai positive peace, Galtung
menekankan pentingnya membangun kepercayaan dan dialog antar agama. Dialog ini
harus dilakukan dengan tujuan untuk memahami perbedaan, mengurangi prasangka,
dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam praktiknya,
dialog antar agama harus melibatkan pemimpin agama dan masyarakat sipil untuk
menciptakan ruang di mana perbedaan bisa dibicarakan dengan cara yang
konstruktif. Dialog yang sehat dan terbuka akan membantu mengurangi ketegangan
dan mengarah pada pemahaman yang lebih baik antar umat beragama.
Selain dialog, pendidikan juga memainkan peran
yang sangat penting dalam mengurangi ketegangan sosial-keagamaan. Melalui
pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai toleransi, kebebasan beragama, dan
penghargaan terhadap perbedaan, generasi muda dapat dibekali dengan pemahaman
yang lebih baik tentang bagaimana hidup berdampingan dalam keberagaman. Galtung
berpendapat bahwa pendidikan tidak hanya mengajarkan pengetahuan formal, tetapi
juga harus mencakup nilai-nilai moral yang mendasari kedamaian sosial. Pendidikan
berbasis pada nilai-nilai moderasi dan inklusivitas akan membentuk sikap
toleran yang dapat mengurangi potensi konflik di masa depan.
Untuk mengatasi konflik sosial-keagamaan, Galtung
mengusulkan untuk mengurangi ketidakadilan struktural yang menjadi akar dari
konflik tersebut. Ketidakadilan ini sering kali muncul dalam bentuk
diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas, ketidaksetaraan dalam akses
terhadap sumber daya, dan marginalisasi kelompok tertentu dalam kehidupan
sosial-politik. Galtung menyarankan agar negara dan masyarakat bekerja sama
untuk menciptakan sistem yang lebih adil, di mana semua kelompok, baik
mayoritas maupun minoritas, memiliki hak yang setara. Dengan mengurangi
ketidakadilan ini, ketegangan antar kelompok agama dapat diminimalkan.
Dalam teori Galtung, peran pemerintah juga sangat
krusial dalam menciptakan perdamaian sosial yang berkelanjutan. Pemerintah
harus bertindak sebagai mediator yang adil dalam menyelesaikan konflik, dengan
memastikan bahwa setiap kelompok agama memiliki hak yang sama untuk menjalankan
keyakinan mereka tanpa takut diskriminasi atau penindasan. Negara harus
menciptakan kebijakan yang mendukung kerukunan antar umat beragama dan
mempromosikan dialog antar kelompok yang berbeda. Pemerintah juga harus
menindak tegas segala bentuk kekerasan atau diskriminasi yang terjadi atas
dasar agama.
Melalui teori konflik Johan Galtung, kita dapat
memahami bahwa konflik sosial-keagamaan di Indonesia tidak hanya terjadi karena
perbedaan agama itu sendiri, tetapi juga dipicu oleh ketidakadilan struktural
dan perbedaan kultural yang ada dalam masyarakat. Untuk menyelesaikan konflik
ini, diperlukan pendekatan yang lebih holistik, yang tidak hanya mengatasi
ketegangan langsung, tetapi juga menyentuh akar permasalahan yang lebih dalam.
Pendidikan yang berbasis pada nilai toleransi, dialog antar agama, serta pengurangan
ketidakadilan struktural adalah langkah-langkah penting untuk menciptakan positive
peace. Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat mewujudkan kehidupan
beragama yang lebih damai dan harmonis, di mana setiap umat beragama dapat
hidup berdampingan dalam keberagaman.***