Iklan

Polemik Azan: Refleksi Moral Panic di Masyarakat

syamsul kurniawan
Tuesday, September 3, 2024
Last Updated 2025-02-12T01:32:32Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Polemik yang mencuat akibat usulan untuk mengganti suara azan dengan running text di layar televisi saat misa Paus berlangsung menunjukkan fenomena klasik yang oleh Stanley Cohen sebut sebagai moral panic. Dalam konteks sosial Indonesia yang multikultural dan sangat religius, isu ini dengan cepat membangkitkan reaksi keras dari berbagai kelompok masyarakat. Bukan hanya soal teknis menggantikan suara azan, tetapi juga soal bagaimana simbol-simbol keagamaan dipertahankan dan diperebutkan dalam ruang publik.

 

Stanley Cohen, dalam bukunya Folk Devils and Moral Panics (2022), menjelaskan bahwa moral panic terjadi ketika suatu kelompok dalam masyarakat diidentifikasi sebagai ancaman terhadap nilai-nilai sosial dan budaya yang dianut mayoritas. Isu ini dipicu oleh media yang membingkai masalah tersebut sedemikian rupa sehingga menciptakan gelombang kekhawatiran dan ketakutan kolektif. Dalam kasus ini, himbauan mengganti suara azan dengan running text bukanlah ancaman eksistensial bagi agama, namun dalam persepsi sebagian masyarakat, perubahan ini menyentuh simbol penting keagamaan yang mereka anggap sakral.

 

Namun, jika kita mencermati lebih dalam, reaksi masyarakat terhadap isu ini bisa dipahami melalui perspektif Jonathan Haidt sebagaimana ia terangkan dalam bukunya The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (2013). Menurut Haidt, moralitas dibangun atas dasar emosi dan intuisi sosial, bukan murni logika rasional. Maka, tidak mengherankan bila usulan tersebut memicu reaksi emosional yang kuat dari kalangan tertentu, karena menyentuh aspek moralitas religius yang sensitif. Ini adalah contoh bagaimana baik niat baik maupun kesalahpahaman bisa membangkitkan polarisasi moral dalam masyarakat.

 

Simbol dan Sakralitas yang Terdesak

 

Azan, dalam konteks sosial dan budaya Muslim di Indonesia, bukan hanya sekadar panggilan untuk shalat. Ia adalah simbol dari identitas keagamaan yang menyatukan komunitas Muslim dalam sebuah ruang spiritual yang sama. Azan adalah sakralitas yang memanifestasikan kehadiran Tuhan dalam rutinitas harian, sebuah penanda waktu yang melampaui sekadar seruan untuk beribadah. Ketika simbol ini diusulkan untuk diganti dengan teks berjalan, ia tidak lagi sekadar soal suara versus teks, tetapi menyangkut makna sakralitas itu sendiri.

 

Namun, di era modern ini, makna dari simbol-simbol keagamaan menjadi semakin kabur. Jean Baudrillard, dalam karyanya Simulacra and Simulation (1994), menjelaskan bahwa di dunia digital, simbol-simbol cenderung kehilangan makna aslinya dan menjadi semacam “simulacra”—yakni salinan dari sesuatu yang tak lagi memiliki referensi nyata. Azan di televisi, yang awalnya merupakan panggilan spiritual, di era digital bisa dilihat sebagai sebuah ritual budaya yang disederhanakan menjadi pengingat waktu atau bagian dari rutinitas penyiaran. Dalam konteks ini, apakah sakralitas azan benar-benar terganggu jika diganti dengan teks berjalan, atau justru ini bagian dari adaptasi dunia modern yang memisahkan antara esensi sakral dan representasi simbolis?

 

Bagi sebagian masyarakat, ini adalah bagian dari pergeseran yang lebih besar—sebuah kekhawatiran bahwa dunia modern, terutama yang diwarnai oleh teknologi digital, sedang mengikis nilai-nilai tradisional yang mereka anggap sebagai pilar identitas. Ini sesuai dengan teori moral panic dari Cohen, di mana kelompok-kelompok tertentu merasa terancam oleh perubahan sosial yang dianggap merusak fondasi moral masyarakat.

 

Polarisasi Moral dan Kebutuhan Akan Identitas

 

Jonathan Haidt memberikan kerangka analisis yang relevan dalam memahami bagaimana moralitas dibentuk dan dipertahankan. Dalam bukunya The Righteous Mind (2013), Haidt mengemukakan bahwa manusia cenderung membentuk pandangan moral berdasarkan enam dimensi moral, di antaranya adalah kepedulian, keadilan, kebebasan, kesetiaan, otoritas, dan kesucian. Ketika isu azan muncul, bagi kelompok yang terlalu fanatik dan ekstrem, ada dimensi kesucian dan kesetiaan yang sangat kuat terlibat. Suara azan bukan hanya soal kebebasan beragama, tetapi soal kesucian simbol-simbol agama yang telah terinternalisasi dalam jati diri mereka sebagai Muslim.

 

Perubahan bentuk penyiaran azan dianggap sebagai ancaman terhadap integritas simbol-simbol tersebut. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa moralitas religius sering kali bersifat emosional dan intuitif, sebagaimana dijelaskan Haidt. Reaksi masyarakat terhadap perubahan kecil seperti ini sering kali lebih dalam dan kompleks, mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas terhadap arah perubahan sosial dan politik di Indonesia, terutama di era digital yang makin mendesak simbol-simbol tradisional ke ruang margin.

 

Di sisi lain, kelompok yang mendukung gagasan tersebut mungkin melihatnya dari perspektif yang lebih pragmatis: bahwa ini adalah kompromi yang perlu dilakukan dalam rangka menciptakan harmoni antaragama, terutama dalam acara internasional sebesar misa Paus yang disiarkan secara luas. Ini sesuai dengan dimensi kebebasan dan keadilan dalam moralitas yang juga diangkat oleh Haidt, di mana ada keinginan untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif dan menghargai keragaman.

 

Simulasi dalam Masyarakat Digital

 

Jean Baudrillard mengingatkan kita bahwa dalam dunia digital, simbol-simbol keagamaan tidak lagi bisa dianggap sebagai representasi langsung dari realitas atau spiritualitas. Televisi, sebagai medium komunikasi modern, mengubah cara kita memahami dan menginternalisasi simbol-simbol tersebut. Suara azan di televisi adalah contoh sempurna bagaimana simbol spiritual menjadi bagian dari rutinitas media massa. Ia tidak lagi menjadi panggilan sakral untuk salat, tetapi lebih seperti pengingat budaya yang bersifat mekanis.

 

Dengan demikian, perdebatan soal mengganti suara azan dengan teks berjalan dalam misa Paus tidak semata-mata tentang agama versus sekularisme, tetapi tentang bagaimana kita memahami representasi simbolis dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi dan simulasi. Azan di televisi, dalam konteks ini, lebih dekat dengan “simulacra” yang dijelaskan Baudrillard—simbol yang berulang kali diproduksi tanpa benar-benar memiliki hubungan yang kuat dengan makna aslinya.

 

Namun, bagi masyarakat yang masih memegang teguh makna sakralitas tersebut, perubahan sekecil apapun tetap dipandang sebagai ancaman. Ini adalah konsekuensi dari dunia yang semakin terhubung, di mana batas antara sakralitas dan profanitas menjadi semakin kabur. Ketakutan yang muncul, sebagaimana dijelaskan oleh Cohen, adalah ketakutan akan hilangnya identitas dalam arus perubahan yang tak terkendali.

 

Penyelesaian: Dialog Simbolik dan Keadilan Multikultural

 

Dalam menghadapi fenomena moral panic seperti ini, yang terpenting adalah bagaimana masyarakat bisa menemukan ruang dialog yang lebih dalam dan terbuka. Alih-alih terjebak dalam perdebatan simbolis yang emosional, kita perlu menengok pada esensi dari perdebatan ini: apakah kita memperjuangkan bentuk simbolik, atau justru makna yang mendasari simbol itu sendiri? Sejauh mana kita mampu beradaptasi dengan perubahan sosial tanpa kehilangan identitas dan nilai yang mendasari kehidupan bersama?

 

Dialog lintas agama dan lintas budaya perlu dikuatkan dalam masyarakat Indonesia yang plural. Dalam hal ini, kita perlu mendorong pemahaman bahwa simbol, baik itu suara azan atau teks berjalan, harus selalu dimaknai dalam konteks yang lebih luas dari sekadar bentuknya. Penghormatan terhadap simbol agama adalah penting, namun kita juga perlu menimbang fleksibilitas dalam menjaga harmoni dan kebersamaan dalam masyarakat yang semakin kompleks dan majemuk.

 

Polemik soal penggantian suara azan dengan teks berjalan di televisi hanyalah salah satu contoh dari banyaknya pergeseran simbolis yang sedang terjadi di dunia modern. Dalam konteks moral panic, isu ini menjadi penting karena menyentuh jantung dari identitas kolektif, baik sebagai Muslim maupun sebagai warga negara dalam masyarakat yang plural.

 

Yang perlu kita pertimbangkan adalah bagaimana kita bisa hidup berdampingan dalam masyarakat yang semakin plural tanpa kehilangan esensi dari nilai-nilai kita, tetapi juga tidak terjebak dalam simulasi simbolis yang mungkin telah kehilangan makna aslinya. Masyarakat yang dewasa adalah masyarakat yang mampu memahami simbol-simbolnya secara kritis dan fleksibel, tanpa harus mengorbankan sakralitas yang menjadi jantung dari identitas keagamaan.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now