Oleh: Syamsul Kurniawan
Polemik yang mencuat akibat usulan untuk mengganti suara azan dengan running
text di layar televisi saat misa Paus berlangsung menunjukkan fenomena
klasik yang oleh Stanley Cohen sebut sebagai moral panic. Dalam konteks
sosial Indonesia yang multikultural dan sangat religius, isu ini dengan cepat
membangkitkan reaksi keras dari berbagai kelompok masyarakat. Bukan hanya soal
teknis menggantikan suara azan, tetapi juga soal bagaimana simbol-simbol
keagamaan dipertahankan dan diperebutkan dalam ruang publik.
Stanley Cohen, dalam bukunya Folk Devils and Moral Panics
(2022), menjelaskan bahwa moral panic terjadi ketika suatu kelompok
dalam masyarakat diidentifikasi sebagai ancaman terhadap nilai-nilai sosial dan
budaya yang dianut mayoritas. Isu ini dipicu oleh media yang membingkai masalah
tersebut sedemikian rupa sehingga menciptakan gelombang kekhawatiran dan
ketakutan kolektif. Dalam kasus ini, himbauan mengganti suara azan dengan running
text bukanlah ancaman eksistensial bagi agama, namun dalam persepsi sebagian
masyarakat, perubahan ini menyentuh simbol penting keagamaan yang mereka anggap
sakral.
Namun, jika kita mencermati lebih dalam, reaksi masyarakat terhadap isu
ini bisa dipahami melalui perspektif Jonathan Haidt sebagaimana ia terangkan
dalam bukunya The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics
and Religion (2013). Menurut Haidt, moralitas dibangun atas dasar emosi dan
intuisi sosial, bukan murni logika rasional. Maka, tidak mengherankan bila
usulan tersebut memicu reaksi emosional yang kuat dari kalangan tertentu,
karena menyentuh aspek moralitas religius yang sensitif. Ini adalah contoh
bagaimana baik niat baik maupun kesalahpahaman bisa membangkitkan polarisasi
moral dalam masyarakat.
Simbol dan Sakralitas yang Terdesak
Azan, dalam konteks sosial dan budaya Muslim di Indonesia, bukan hanya
sekadar panggilan untuk shalat. Ia adalah simbol dari identitas keagamaan yang
menyatukan komunitas Muslim dalam sebuah ruang spiritual yang sama. Azan adalah
sakralitas yang memanifestasikan kehadiran Tuhan dalam rutinitas harian, sebuah
penanda waktu yang melampaui sekadar seruan untuk beribadah. Ketika simbol ini
diusulkan untuk diganti dengan teks berjalan, ia tidak lagi sekadar soal suara
versus teks, tetapi menyangkut makna sakralitas itu sendiri.
Namun, di era modern ini, makna dari simbol-simbol keagamaan menjadi
semakin kabur. Jean Baudrillard, dalam karyanya Simulacra and Simulation
(1994), menjelaskan bahwa di dunia digital, simbol-simbol cenderung kehilangan
makna aslinya dan menjadi semacam “simulacra”—yakni salinan dari sesuatu yang
tak lagi memiliki referensi nyata. Azan di televisi, yang awalnya merupakan
panggilan spiritual, di era digital bisa dilihat sebagai sebuah ritual budaya
yang disederhanakan menjadi pengingat waktu atau bagian dari rutinitas
penyiaran. Dalam konteks ini, apakah sakralitas azan benar-benar terganggu jika
diganti dengan teks berjalan, atau justru ini bagian dari adaptasi dunia modern
yang memisahkan antara esensi sakral dan representasi simbolis?
Bagi sebagian masyarakat, ini adalah bagian dari pergeseran yang lebih
besar—sebuah kekhawatiran bahwa dunia modern, terutama yang diwarnai oleh
teknologi digital, sedang mengikis nilai-nilai tradisional yang mereka anggap
sebagai pilar identitas. Ini sesuai dengan teori moral panic dari Cohen,
di mana kelompok-kelompok tertentu merasa terancam oleh perubahan sosial yang
dianggap merusak fondasi moral masyarakat.
Polarisasi Moral dan Kebutuhan Akan Identitas
Jonathan Haidt memberikan kerangka analisis yang relevan dalam memahami
bagaimana moralitas dibentuk dan dipertahankan. Dalam bukunya The Righteous
Mind (2013), Haidt mengemukakan bahwa manusia cenderung membentuk pandangan
moral berdasarkan enam dimensi moral, di antaranya adalah kepedulian, keadilan,
kebebasan, kesetiaan, otoritas, dan kesucian. Ketika isu azan muncul, bagi
kelompok yang terlalu fanatik dan ekstrem, ada dimensi kesucian dan kesetiaan
yang sangat kuat terlibat. Suara azan bukan hanya soal kebebasan beragama,
tetapi soal kesucian simbol-simbol agama yang telah terinternalisasi dalam jati
diri mereka sebagai Muslim.
Perubahan bentuk penyiaran azan dianggap sebagai ancaman terhadap
integritas simbol-simbol tersebut. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa
moralitas religius sering kali bersifat emosional dan intuitif, sebagaimana
dijelaskan Haidt. Reaksi masyarakat terhadap perubahan kecil seperti ini sering
kali lebih dalam dan kompleks, mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas
terhadap arah perubahan sosial dan politik di Indonesia, terutama di era
digital yang makin mendesak simbol-simbol tradisional ke ruang margin.
Di sisi lain, kelompok yang mendukung gagasan tersebut mungkin
melihatnya dari perspektif yang lebih pragmatis: bahwa ini adalah kompromi yang
perlu dilakukan dalam rangka menciptakan harmoni antaragama, terutama dalam
acara internasional sebesar misa Paus yang disiarkan secara luas. Ini sesuai
dengan dimensi kebebasan dan keadilan dalam moralitas yang juga diangkat oleh
Haidt, di mana ada keinginan untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif dan
menghargai keragaman.
Simulasi dalam Masyarakat Digital
Jean Baudrillard mengingatkan kita bahwa dalam dunia digital,
simbol-simbol keagamaan tidak lagi bisa dianggap sebagai representasi langsung
dari realitas atau spiritualitas. Televisi, sebagai medium komunikasi modern,
mengubah cara kita memahami dan menginternalisasi simbol-simbol tersebut. Suara
azan di televisi adalah contoh sempurna bagaimana simbol spiritual menjadi
bagian dari rutinitas media massa. Ia tidak lagi menjadi panggilan sakral untuk
salat, tetapi lebih seperti pengingat budaya yang bersifat mekanis.
Dengan demikian, perdebatan soal mengganti suara azan dengan teks
berjalan dalam misa Paus tidak semata-mata tentang agama versus sekularisme,
tetapi tentang bagaimana kita memahami representasi simbolis dalam dunia yang
semakin didominasi oleh teknologi dan simulasi. Azan di televisi, dalam konteks
ini, lebih dekat dengan “simulacra” yang dijelaskan Baudrillard—simbol yang
berulang kali diproduksi tanpa benar-benar memiliki hubungan yang kuat dengan
makna aslinya.
Namun, bagi masyarakat yang masih memegang teguh makna sakralitas
tersebut, perubahan sekecil apapun tetap dipandang sebagai ancaman. Ini adalah
konsekuensi dari dunia yang semakin terhubung, di mana batas antara sakralitas
dan profanitas menjadi semakin kabur. Ketakutan yang muncul, sebagaimana
dijelaskan oleh Cohen, adalah ketakutan akan hilangnya identitas dalam arus
perubahan yang tak terkendali.
Penyelesaian: Dialog Simbolik dan Keadilan Multikultural
Dalam menghadapi fenomena moral panic seperti ini, yang
terpenting adalah bagaimana masyarakat bisa menemukan ruang dialog yang lebih
dalam dan terbuka. Alih-alih terjebak dalam perdebatan simbolis yang emosional,
kita perlu menengok pada esensi dari perdebatan ini: apakah kita memperjuangkan
bentuk simbolik, atau justru makna yang mendasari simbol itu sendiri? Sejauh
mana kita mampu beradaptasi dengan perubahan sosial tanpa kehilangan identitas
dan nilai yang mendasari kehidupan bersama?
Dialog lintas agama dan lintas budaya perlu dikuatkan dalam masyarakat
Indonesia yang plural. Dalam hal ini, kita perlu mendorong pemahaman bahwa
simbol, baik itu suara azan atau teks berjalan, harus selalu dimaknai dalam
konteks yang lebih luas dari sekadar bentuknya. Penghormatan terhadap simbol
agama adalah penting, namun kita juga perlu menimbang fleksibilitas dalam
menjaga harmoni dan kebersamaan dalam masyarakat yang semakin kompleks dan
majemuk.
Polemik soal penggantian suara azan dengan teks berjalan di televisi
hanyalah salah satu contoh dari banyaknya pergeseran simbolis yang sedang
terjadi di dunia modern. Dalam konteks moral panic, isu ini menjadi
penting karena menyentuh jantung dari identitas kolektif, baik sebagai Muslim
maupun sebagai warga negara dalam masyarakat yang plural.
Yang perlu kita pertimbangkan adalah bagaimana kita bisa hidup
berdampingan dalam masyarakat yang semakin plural tanpa kehilangan esensi dari
nilai-nilai kita, tetapi juga tidak terjebak dalam simulasi simbolis yang
mungkin telah kehilangan makna aslinya. Masyarakat yang dewasa adalah
masyarakat yang mampu memahami simbol-simbolnya secara kritis dan fleksibel,
tanpa harus mengorbankan sakralitas yang menjadi jantung dari identitas
keagamaan.***