Cover Buku The Islamist (Sumber: https://www.amazon.com/Islamist-Joined-Radical-Britain-Inside/dp/B099NT259M) |
Oleh: Syamsul Kurniawan
ADA satu
sore yang memaksa saya terhenti di tengah segala rutinitas. Di luar, hujan turun
lembut, menciptakan alunan ritmis di kaca jendela, seolah memaksa saya
merenungi lebih dalam setiap halaman buku yang ada di tangan saya. “The
Islamist” karya Ed Husain, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2007,
tergeletak di sana, menyajikan sebuah cerita yang menyentak kesadaran saya
tentang fenomena yang telah lama mengusik pikiran—mengapa seseorang bisa
terjerumus dalam lingkaran ekstremisme? Apa yang membuat seseorang yang
sebelumnya tenang, penuh keingintahuan akan agama, berubah menjadi radikal dan
menghalalkan kekerasan?
Suara
hujan di luar memperkuat suasana kontemplatif dalam diri saya. Pikiran saya
berkecamuk dengan pertanyaan yang mungkin juga dialami oleh banyak orang:
bagaimana bisa seseorang, terutama yang dibesarkan di tengah pendidikan modern
dan paham akan nilai-nilai toleransi, tiba-tiba berubah menjadi ekstremis?
Apakah agama, dalam hal ini Islam, menjadi penyebabnya? Atau justru ada
faktor-faktor lain yang lebih kompleks, tersembunyi di balik narasi yang sering
kita dengar?
Saya
mengingat kembali peristiwa-peristiwa tragis yang telah merobek kehidupan
banyak orang, baik di negara saya sendiri maupun di belahan dunia lainnya.
Ledakan bom, penembakan, dan penindasan atas nama agama. Semua kekejaman ini
dilakukan oleh orang-orang yang mengklaim bahwa mereka sedang berjihad. Namun,
jihad yang mereka maksud begitu jauh dari esensi jihad yang sesungguhnya,
sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Alih-alih memperjuangkan kebaikan dan
keadilan, mereka justru menyebarkan kekerasan dan kebencian.
Dalam
keremangan sore itu, sambil sesekali mencuri pandang keluar jendela yang
berkabut, saya mulai menyelami kisah pribadi Ed Husain. Dia bukan hanya seorang
narator yang pandai, tetapi juga seorang saksi hidup dari proses radikalisasi
yang menjerat dirinya di masa muda. Husain, seorang pemuda yang awalnya penuh
rasa ingin tahu dan ketulusan dalam mencari makna Islam, akhirnya tertarik ke
dalam ideologi yang keras dan penuh kebencian. Ini membuat saya berpikir lebih
dalam: bagaimana radikalisasi bekerja dalam pikiran seseorang? Apa yang membuat
orang-orang seperti Husain muda bisa diyakinkan bahwa kekerasan adalah
satu-satunya jalan untuk membela agama?
Buku
ini memberikan saya jendela yang jelas tentang bagaimana ekstremisme agama bisa
menyusup ke dalam pikiran seseorang yang mungkin awalnya memiliki niat tulus
untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Husain
menggambarkan betapa halusnya proses radikalisasi, dimulai dari ketidakpuasan
sosial, perasaan tidak berdaya, hingga berakhir pada eksploitasi agama yang
dangkal. Di tengah suara hujan yang semakin deras, saya merasa lebih
mengerti—meski juga lebih terganggu—bahwa radikalisme bukanlah sesuatu yang
lahir dari kekosongan. Ia terbangun melalui narasi yang salah, didorong oleh
rasa ketidakadilan, dan diakhiri dengan manipulasi simbol-simbol agama yang
disalahpahami.
Pikiran
saya pun melayang pada situasi saat ini, di mana dunia terjerat oleh informasi
yang tak terkendali. Para ekstremis, dengan agenda politik dan ideologis
mereka, memanfaatkan celah ini untuk menyebarkan ideologi kekerasan mereka
dengan cepat, terutama melalui media sosial. Simbol-simbol agama dipelintir
menjadi senjata untuk membenarkan tindakan teror. Di sinilah muncul peran
krusial para intelektual—mereka yang memiliki kemampuan untuk memisahkan mana
yang benar dan mana yang manipulatif.
Buku
Husain, dengan narasi yang sangat personal, memicu kesadaran mendalam dalam
diri saya bahwa kita semua, terutama para intelektual, memiliki tanggung jawab
besar. Tanggung jawab untuk berjihad dalam makna yang sesungguhnya—bukan dengan
kekerasan, tetapi dengan gagasan, narasi, dan pemikiran kritis yang mampu
melawan distorsi ekstremisme.
Jihad
intelektual adalah bentuk perlawanan yang tidak melibatkan kekerasan fisik,
tetapi justru lebih kuat dalam menekan narasi radikal yang berkembang di tengah
masyarakat. Dalam suasana kontemplatif ini, saya merenungi gagasan bahwa jihad
bukanlah semata soal mengangkat senjata atau pertempuran fisik, sebagaimana
sering dipahami oleh mereka yang telah disesatkan oleh retorika ekstremis.
Sebaliknya, jihad dalam bentuk yang lebih luas adalah perjuangan untuk
memperjuangkan kebenaran dan keadilan, baik melalui pemikiran, tulisan, maupun
tindakan nyata yang penuh kasih.
Dalam
kisah Ed Husain, kita bisa melihat bagaimana radikalisasi berkembang. Narasi
yang diciptakan oleh para pemimpin ekstremis sering kali membungkus kebencian
dengan jubah agama, menyederhanakan konflik menjadi pertempuran antara
kebenaran absolut dan kesalahan mutlak. Namun, narasi ini rapuh, dan di sinilah
peran para intelektual sangat dibutuhkan. Dengan kekuatan gagasan dan analisis
kritis, mereka dapat memecah narasi tersebut, menghadirkan kompleksitas
realitas, dan memperlihatkan bahwa kebenaran tidak sesederhana klaim ekstremis.
Sebagaimana
yang saya baca dari perjalanan Husain dalam The Islamist (2007),
radikalisasi sering kali muncul dari perasaan ketidakberdayaan dan
ketidakpuasan sosial yang membara. Dalam situasi seperti ini, banyak pemuda
yang rentan terhadap janji-janji ilusi para ekstremis yang menawarkan makna
hidup yang seolah-olah lebih agung dan transenden. Mereka diajak untuk percaya
bahwa satu-satunya cara untuk menjadi "pahlawan" dalam pandangan
agama adalah melalui kekerasan dan peperangan.
Namun,
jihad yang sejati jauh dari kekerasan. Jihad adalah perjuangan untuk kebaikan,
sebuah upaya sungguh-sungguh dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan
kesejahteraan umat manusia. Dan perlawanan terbesar terhadap ekstremisme adalah
melalui pemahaman dan narasi yang benar tentang agama dan dunia yang kita
tinggali.
Peran
Intelektual dalam Menekan Ekstremisme
Dalam
era yang semakin dipenuhi oleh misinformasi, intelektual memiliki tanggung
jawab besar untuk menjadi benteng terakhir melawan distorsi dan manipulasi yang
sering kali dilakukan oleh kelompok ekstremis. Para cendekiawan harus mampu
menggunakan gagasan mereka untuk melawan narasi-narasi kebencian dan
menyebarkan pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif tentang makna jihad.
Pierre
Bourdieu, dengan konsep kapital simboliknya, memberikan kerangka yang relevan
dalam memahami bagaimana para intelektual bisa menjadi agen perubahan sosial.
Intelektual memiliki kapital simbolik berupa otoritas moral dan pengetahuan
yang dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan membentuk kebijakan
yang lebih adil. Dalam konteks jihad cendekia, peran ini bahkan lebih krusial.
Mereka bisa menjadi penjaga moral dan intelektual yang menyuarakan
gagasan-gagasan yang mendukung perdamaian dan keadilan di tengah derasnya
narasi kebencian.
Habitus
intelektual, seperti yang dijelaskan Bourdieu dalam The Logic of Practice
(1992), terbentuk dari pengalaman hidup dan pendidikan. Intelektual yang
memiliki habitus ini dapat melihat masalah dengan lebih tajam, menawarkan
solusi yang lebih kompleks dan bijak. Mereka tidak hanya merespons kekerasan
dengan kekerasan, tetapi dengan gagasan yang menyentuh akar permasalahan,
mencari penyelesaian yang lebih berkelanjutan dan manusiawi.
Dalam
kasus ekstremisme agama, peran intelektual sangat jelas. Ketika simbol-simbol
agama diperalat untuk memicu kekerasan, intelektual dapat mengembalikan makna
sejati dari simbol-simbol tersebut. Mereka dapat menunjukkan bahwa agama
bukanlah sumber kekerasan, melainkan panduan untuk hidup damai dan penuh kasih.
Namun,
tantangan terbesar yang dihadapi oleh para intelektual saat ini bukan hanya
ekstremisme itu sendiri, melainkan dunia yang semakin terjebak dalam
hyperreality—sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard. Dalam
bukunya Simulacra and Simulation (1994), Baudrillard menjelaskan
bagaimana dunia modern telah menciptakan simulasi, di mana realitas yang
sebenarnya sering kali tenggelam di bawah lapisan-lapisan simulasi yang
diciptakan oleh media dan teknologi. Dalam dunia ini, simbol-simbol tidak lagi
merefleksikan kenyataan, tetapi justru menciptakan kenyataan baru yang sering
kali dimanipulasi demi tujuan tertentu.
Di
dunia hyperreal ini, para ekstremis menggunakan media massa dan teknologi untuk
menciptakan simulasi tentang jihad dan kekerasan. Mereka memanipulasi citra dan
simbol agama untuk menciptakan ilusi bahwa jihad adalah tentang perang dan
teror. Inilah ilusi yang harus dilawan oleh para intelektual. Dengan
gagasan-gagasan mereka yang berbasis pada kebenaran, mereka harus mengungkapkan
simulasi ini dan meng embalikan makna
asli jihad sebagai perjuangan untuk kebaikan, keadilan, dan perdamaian.
Di
tengah gemuruh dunia hyperreal ini, para intelektual harus menjadi pemandu
dalam menyingkap lapisan-lapisan ilusi yang diciptakan oleh para ekstremis.
Tugas mereka tidak hanya menghadirkan fakta, tetapi juga memperbaiki pemahaman
masyarakat tentang konsep-konsep mendasar seperti jihad, yang telah lama
disalahpahami dan disalahgunakan. Seperti yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard
dalam Simulacra and Simulation (1994), kita hidup di era di mana
simbol-simbol agama dan sosial sering kali dideformasi oleh simulasi yang
sedemikian kuat, hingga sulit untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang
ilusi.
Intelektual
yang berperan dalam jihad cendekia harus berjihad untuk kebenaran di tengah
lautan informasi yang kerap kali membingungkan. Dengan pena sebagai senjata,
mereka harus menggunakan pemikiran yang tajam, tulisan yang menggugah, serta
narasi yang mendalam untuk melawan simbol-simbol palsu yang digunakan untuk
mendukung ekstremisme. Intelektual harus bertindak sebagai penjaga moral dan
pemikir kritis di era yang sering kali kehilangan orientasi dalam memahami
makna sejati dari jihad dan perdamaian.
Jihad
Intelektual: Tantangan dan Harapan
Tantangan
yang dihadapi para cendekiawan dalam jihad intelektual ini sangat besar. Dunia
yang semakin tergantung pada citra dan narasi instan menuntut para intelektual
untuk beradaptasi dan menemukan cara yang efektif untuk menyebarkan gagasan
mereka. Mereka tidak hanya perlu melawan distorsi yang dibuat oleh ekstremis,
tetapi juga harus bersaing dengan banjir informasi di era digital. Narasi yang
dangkal dan berbahaya dapat dengan cepat menyebar melalui media sosial, membuat
jihad intelektual semakin kompleks dan sulit.
Namun,
tantangan besar ini juga diiringi dengan peluang yang lebih luas. Dunia
digital, meskipun sering kali menjadi sarana penyebaran ekstremisme, juga
menyediakan platform yang kuat bagi intelektual untuk menjangkau audiens yang
lebih luas. Dengan menggunakan teknologi yang sama, para cendekia dapat
menyebarkan gagasan mereka melalui artikel, video, podcast, atau diskusi
daring. Mereka bisa menjadi bagian dari percakapan global yang memerangi
ekstremisme dan memperjuangkan perdamaian dengan narasi yang lebih mendalam dan
berlandaskan pada fakta.
Intelektual
masa kini harus lebih fleksibel dan inovatif dalam pendekatan mereka. Mereka
tidak bisa hanya mengandalkan metode tradisional seperti buku atau kuliah di ruang
kelas untuk menyebarkan gagasan mereka. Dunia modern menuntut mereka untuk
hadir di media sosial, diskusi daring, dan platform digital lainnya yang
menjangkau generasi muda—kelompok yang sering kali menjadi sasaran utama
radikalisasi. Para intelektual harus mampu menggunakan narasi yang relevan,
kreatif, dan mudah diakses oleh masyarakat luas untuk melawan penyalahgunaan
simbol agama dan narasi kekerasan yang disebarkan oleh ekstremis.
Masa
Depan Jihad Intelektual: Membuka Jalan untuk Perdamaian
Pada
akhirnya, jihad intelektual adalah perjuangan yang tidak hanya berfokus pada
melawan narasi ekstremisme, tetapi juga membangun fondasi bagi perdamaian yang
sejati. Intelektual memiliki peran sentral dalam menciptakan dunia yang lebih
adil dan damai, di mana simbol-simbol agama seperti jihad tidak lagi
disalahgunakan untuk kepentingan politik atau ideologis yang destruktif. Jihad
intelektual, dengan gagasan sebagai senjata utamanya, adalah cara untuk
mengembalikan makna sejati jihad sebagai perjuangan untuk kebaikan, keadilan,
dan perdamaian.
Ed
Husain, dalam bukunya The Islamist (2007), memberikan contoh yang sangat
relevan tentang bagaimana seseorang yang pernah terjebak dalam lingkaran
ekstremisme dapat kembali ke jalan yang lebih damai melalui refleksi
intelektual. Perjalanannya dari seorang ekstremis muda menjadi seorang pengkritik
radikalisme menunjukkan bahwa perubahan adalah mungkin, dan narasi perdamaian
dapat memenangkan hati dan pikiran, bahkan di kalangan mereka yang sebelumnya
radikal.
Jean
Baudrillard, dengan konsep hyperreality dalam Simulacra and Simulation
(1994), mengingatkan kita bahwa dalam dunia yang semakin terjerat oleh citra
dan simbol-simbol palsu, tugas intelektual adalah melawan ilusi tersebut dan
membawa kita kembali pada kenyataan. Intelektual harus terus berjihad dengan
gagasan-gagasan yang berdasarkan kebenaran dan keadilan, untuk memastikan bahwa
dunia tidak terjebak dalam simulasi yang diciptakan oleh kelompok-kelompok yang
ingin memanfaatkan agama untuk tujuan kekerasan.
Pada
Hari Perdamaian Internasional, yang diperingati setiap 21 September, kita
diingatkan bahwa perjuangan untuk perdamaian bukan hanya tentang menghentikan
peperangan fisik, tetapi juga tentang menghentikan kekerasan dalam pemikiran
dan gagasan. Para intelektual memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin
jihad ini—jihad yang dilakukan dengan pemikiran, pena, dan diskusi. Di era
hyperreal ini, jihad intelektual adalah jalan menuju perdamaian
sejati—perjuangan untuk membawa kebenaran dan keadilan ke permukaan di tengah
dunia yang semakin terjebak dalam ilusi. ***