Iklan

Pertaubatan Ed Husain: Jihad Melawan Ekstremisme

syamsul kurniawan
Saturday, September 21, 2024
Last Updated 2025-01-05T07:38:02Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
Cover Buku The Islamist (Sumber: https://www.amazon.com/Islamist-Joined-Radical-Britain-Inside/dp/B099NT259M)


Oleh: Syamsul Kurniawan


ADA satu sore yang memaksa saya terhenti di tengah segala rutinitas. Di luar, hujan turun lembut, menciptakan alunan ritmis di kaca jendela, seolah memaksa saya merenungi lebih dalam setiap halaman buku yang ada di tangan saya. “The Islamist” karya Ed Husain, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2007, tergeletak di sana, menyajikan sebuah cerita yang menyentak kesadaran saya tentang fenomena yang telah lama mengusik pikiran—mengapa seseorang bisa terjerumus dalam lingkaran ekstremisme? Apa yang membuat seseorang yang sebelumnya tenang, penuh keingintahuan akan agama, berubah menjadi radikal dan menghalalkan kekerasan?

 

Suara hujan di luar memperkuat suasana kontemplatif dalam diri saya. Pikiran saya berkecamuk dengan pertanyaan yang mungkin juga dialami oleh banyak orang: bagaimana bisa seseorang, terutama yang dibesarkan di tengah pendidikan modern dan paham akan nilai-nilai toleransi, tiba-tiba berubah menjadi ekstremis? Apakah agama, dalam hal ini Islam, menjadi penyebabnya? Atau justru ada faktor-faktor lain yang lebih kompleks, tersembunyi di balik narasi yang sering kita dengar?

 

Saya mengingat kembali peristiwa-peristiwa tragis yang telah merobek kehidupan banyak orang, baik di negara saya sendiri maupun di belahan dunia lainnya. Ledakan bom, penembakan, dan penindasan atas nama agama. Semua kekejaman ini dilakukan oleh orang-orang yang mengklaim bahwa mereka sedang berjihad. Namun, jihad yang mereka maksud begitu jauh dari esensi jihad yang sesungguhnya, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Alih-alih memperjuangkan kebaikan dan keadilan, mereka justru menyebarkan kekerasan dan kebencian.

 

Dalam keremangan sore itu, sambil sesekali mencuri pandang keluar jendela yang berkabut, saya mulai menyelami kisah pribadi Ed Husain. Dia bukan hanya seorang narator yang pandai, tetapi juga seorang saksi hidup dari proses radikalisasi yang menjerat dirinya di masa muda. Husain, seorang pemuda yang awalnya penuh rasa ingin tahu dan ketulusan dalam mencari makna Islam, akhirnya tertarik ke dalam ideologi yang keras dan penuh kebencian. Ini membuat saya berpikir lebih dalam: bagaimana radikalisasi bekerja dalam pikiran seseorang? Apa yang membuat orang-orang seperti Husain muda bisa diyakinkan bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan untuk membela agama?

 

Buku ini memberikan saya jendela yang jelas tentang bagaimana ekstremisme agama bisa menyusup ke dalam pikiran seseorang yang mungkin awalnya memiliki niat tulus untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Husain menggambarkan betapa halusnya proses radikalisasi, dimulai dari ketidakpuasan sosial, perasaan tidak berdaya, hingga berakhir pada eksploitasi agama yang dangkal. Di tengah suara hujan yang semakin deras, saya merasa lebih mengerti—meski juga lebih terganggu—bahwa radikalisme bukanlah sesuatu yang lahir dari kekosongan. Ia terbangun melalui narasi yang salah, didorong oleh rasa ketidakadilan, dan diakhiri dengan manipulasi simbol-simbol agama yang disalahpahami.

 

Pikiran saya pun melayang pada situasi saat ini, di mana dunia terjerat oleh informasi yang tak terkendali. Para ekstremis, dengan agenda politik dan ideologis mereka, memanfaatkan celah ini untuk menyebarkan ideologi kekerasan mereka dengan cepat, terutama melalui media sosial. Simbol-simbol agama dipelintir menjadi senjata untuk membenarkan tindakan teror. Di sinilah muncul peran krusial para intelektual—mereka yang memiliki kemampuan untuk memisahkan mana yang benar dan mana yang manipulatif.

 

Buku Husain, dengan narasi yang sangat personal, memicu kesadaran mendalam dalam diri saya bahwa kita semua, terutama para intelektual, memiliki tanggung jawab besar. Tanggung jawab untuk berjihad dalam makna yang sesungguhnya—bukan dengan kekerasan, tetapi dengan gagasan, narasi, dan pemikiran kritis yang mampu melawan distorsi ekstremisme.

 

Jihad intelektual adalah bentuk perlawanan yang tidak melibatkan kekerasan fisik, tetapi justru lebih kuat dalam menekan narasi radikal yang berkembang di tengah masyarakat. Dalam suasana kontemplatif ini, saya merenungi gagasan bahwa jihad bukanlah semata soal mengangkat senjata atau pertempuran fisik, sebagaimana sering dipahami oleh mereka yang telah disesatkan oleh retorika ekstremis. Sebaliknya, jihad dalam bentuk yang lebih luas adalah perjuangan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan, baik melalui pemikiran, tulisan, maupun tindakan nyata yang penuh kasih.

 

Dalam kisah Ed Husain, kita bisa melihat bagaimana radikalisasi berkembang. Narasi yang diciptakan oleh para pemimpin ekstremis sering kali membungkus kebencian dengan jubah agama, menyederhanakan konflik menjadi pertempuran antara kebenaran absolut dan kesalahan mutlak. Namun, narasi ini rapuh, dan di sinilah peran para intelektual sangat dibutuhkan. Dengan kekuatan gagasan dan analisis kritis, mereka dapat memecah narasi tersebut, menghadirkan kompleksitas realitas, dan memperlihatkan bahwa kebenaran tidak sesederhana klaim ekstremis.

 

Sebagaimana yang saya baca dari perjalanan Husain dalam The Islamist (2007), radikalisasi sering kali muncul dari perasaan ketidakberdayaan dan ketidakpuasan sosial yang membara. Dalam situasi seperti ini, banyak pemuda yang rentan terhadap janji-janji ilusi para ekstremis yang menawarkan makna hidup yang seolah-olah lebih agung dan transenden. Mereka diajak untuk percaya bahwa satu-satunya cara untuk menjadi "pahlawan" dalam pandangan agama adalah melalui kekerasan dan peperangan.

 

Namun, jihad yang sejati jauh dari kekerasan. Jihad adalah perjuangan untuk kebaikan, sebuah upaya sungguh-sungguh dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia. Dan perlawanan terbesar terhadap ekstremisme adalah melalui pemahaman dan narasi yang benar tentang agama dan dunia yang kita tinggali.

 

Peran Intelektual dalam Menekan Ekstremisme

 

Dalam era yang semakin dipenuhi oleh misinformasi, intelektual memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi benteng terakhir melawan distorsi dan manipulasi yang sering kali dilakukan oleh kelompok ekstremis. Para cendekiawan harus mampu menggunakan gagasan mereka untuk melawan narasi-narasi kebencian dan menyebarkan pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif tentang makna jihad.

 

Pierre Bourdieu, dengan konsep kapital simboliknya, memberikan kerangka yang relevan dalam memahami bagaimana para intelektual bisa menjadi agen perubahan sosial. Intelektual memiliki kapital simbolik berupa otoritas moral dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan membentuk kebijakan yang lebih adil. Dalam konteks jihad cendekia, peran ini bahkan lebih krusial. Mereka bisa menjadi penjaga moral dan intelektual yang menyuarakan gagasan-gagasan yang mendukung perdamaian dan keadilan di tengah derasnya narasi kebencian.

 

Habitus intelektual, seperti yang dijelaskan Bourdieu dalam The Logic of Practice (1992), terbentuk dari pengalaman hidup dan pendidikan. Intelektual yang memiliki habitus ini dapat melihat masalah dengan lebih tajam, menawarkan solusi yang lebih kompleks dan bijak. Mereka tidak hanya merespons kekerasan dengan kekerasan, tetapi dengan gagasan yang menyentuh akar permasalahan, mencari penyelesaian yang lebih berkelanjutan dan manusiawi.

 

Dalam kasus ekstremisme agama, peran intelektual sangat jelas. Ketika simbol-simbol agama diperalat untuk memicu kekerasan, intelektual dapat mengembalikan makna sejati dari simbol-simbol tersebut. Mereka dapat menunjukkan bahwa agama bukanlah sumber kekerasan, melainkan panduan untuk hidup damai dan penuh kasih.

 

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi oleh para intelektual saat ini bukan hanya ekstremisme itu sendiri, melainkan dunia yang semakin terjebak dalam hyperreality—sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard. Dalam bukunya Simulacra and Simulation (1994), Baudrillard menjelaskan bagaimana dunia modern telah menciptakan simulasi, di mana realitas yang sebenarnya sering kali tenggelam di bawah lapisan-lapisan simulasi yang diciptakan oleh media dan teknologi. Dalam dunia ini, simbol-simbol tidak lagi merefleksikan kenyataan, tetapi justru menciptakan kenyataan baru yang sering kali dimanipulasi demi tujuan tertentu.

 

Di dunia hyperreal ini, para ekstremis menggunakan media massa dan teknologi untuk menciptakan simulasi tentang jihad dan kekerasan. Mereka memanipulasi citra dan simbol agama untuk menciptakan ilusi bahwa jihad adalah tentang perang dan teror. Inilah ilusi yang harus dilawan oleh para intelektual. Dengan gagasan-gagasan mereka yang berbasis pada kebenaran, mereka harus mengungkapkan simulasi ini dan meng embalikan makna asli jihad sebagai perjuangan untuk kebaikan, keadilan, dan perdamaian.

 

Di tengah gemuruh dunia hyperreal ini, para intelektual harus menjadi pemandu dalam menyingkap lapisan-lapisan ilusi yang diciptakan oleh para ekstremis. Tugas mereka tidak hanya menghadirkan fakta, tetapi juga memperbaiki pemahaman masyarakat tentang konsep-konsep mendasar seperti jihad, yang telah lama disalahpahami dan disalahgunakan. Seperti yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1994), kita hidup di era di mana simbol-simbol agama dan sosial sering kali dideformasi oleh simulasi yang sedemikian kuat, hingga sulit untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi.

 

Intelektual yang berperan dalam jihad cendekia harus berjihad untuk kebenaran di tengah lautan informasi yang kerap kali membingungkan. Dengan pena sebagai senjata, mereka harus menggunakan pemikiran yang tajam, tulisan yang menggugah, serta narasi yang mendalam untuk melawan simbol-simbol palsu yang digunakan untuk mendukung ekstremisme. Intelektual harus bertindak sebagai penjaga moral dan pemikir kritis di era yang sering kali kehilangan orientasi dalam memahami makna sejati dari jihad dan perdamaian.

 

Jihad Intelektual: Tantangan dan Harapan

 

Tantangan yang dihadapi para cendekiawan dalam jihad intelektual ini sangat besar. Dunia yang semakin tergantung pada citra dan narasi instan menuntut para intelektual untuk beradaptasi dan menemukan cara yang efektif untuk menyebarkan gagasan mereka. Mereka tidak hanya perlu melawan distorsi yang dibuat oleh ekstremis, tetapi juga harus bersaing dengan banjir informasi di era digital. Narasi yang dangkal dan berbahaya dapat dengan cepat menyebar melalui media sosial, membuat jihad intelektual semakin kompleks dan sulit.

 

Namun, tantangan besar ini juga diiringi dengan peluang yang lebih luas. Dunia digital, meskipun sering kali menjadi sarana penyebaran ekstremisme, juga menyediakan platform yang kuat bagi intelektual untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Dengan menggunakan teknologi yang sama, para cendekia dapat menyebarkan gagasan mereka melalui artikel, video, podcast, atau diskusi daring. Mereka bisa menjadi bagian dari percakapan global yang memerangi ekstremisme dan memperjuangkan perdamaian dengan narasi yang lebih mendalam dan berlandaskan pada fakta.

 

Intelektual masa kini harus lebih fleksibel dan inovatif dalam pendekatan mereka. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan metode tradisional seperti buku atau kuliah di ruang kelas untuk menyebarkan gagasan mereka. Dunia modern menuntut mereka untuk hadir di media sosial, diskusi daring, dan platform digital lainnya yang menjangkau generasi muda—kelompok yang sering kali menjadi sasaran utama radikalisasi. Para intelektual harus mampu menggunakan narasi yang relevan, kreatif, dan mudah diakses oleh masyarakat luas untuk melawan penyalahgunaan simbol agama dan narasi kekerasan yang disebarkan oleh ekstremis.

 

Masa Depan Jihad Intelektual: Membuka Jalan untuk Perdamaian

 

Pada akhirnya, jihad intelektual adalah perjuangan yang tidak hanya berfokus pada melawan narasi ekstremisme, tetapi juga membangun fondasi bagi perdamaian yang sejati. Intelektual memiliki peran sentral dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan damai, di mana simbol-simbol agama seperti jihad tidak lagi disalahgunakan untuk kepentingan politik atau ideologis yang destruktif. Jihad intelektual, dengan gagasan sebagai senjata utamanya, adalah cara untuk mengembalikan makna sejati jihad sebagai perjuangan untuk kebaikan, keadilan, dan perdamaian.

 

Ed Husain, dalam bukunya The Islamist (2007), memberikan contoh yang sangat relevan tentang bagaimana seseorang yang pernah terjebak dalam lingkaran ekstremisme dapat kembali ke jalan yang lebih damai melalui refleksi intelektual. Perjalanannya dari seorang ekstremis muda menjadi seorang pengkritik radikalisme menunjukkan bahwa perubahan adalah mungkin, dan narasi perdamaian dapat memenangkan hati dan pikiran, bahkan di kalangan mereka yang sebelumnya radikal.

 

Jean Baudrillard, dengan konsep hyperreality dalam Simulacra and Simulation (1994), mengingatkan kita bahwa dalam dunia yang semakin terjerat oleh citra dan simbol-simbol palsu, tugas intelektual adalah melawan ilusi tersebut dan membawa kita kembali pada kenyataan. Intelektual harus terus berjihad dengan gagasan-gagasan yang berdasarkan kebenaran dan keadilan, untuk memastikan bahwa dunia tidak terjebak dalam simulasi yang diciptakan oleh kelompok-kelompok yang ingin memanfaatkan agama untuk tujuan kekerasan.

 

Pada Hari Perdamaian Internasional, yang diperingati setiap 21 September, kita diingatkan bahwa perjuangan untuk perdamaian bukan hanya tentang menghentikan peperangan fisik, tetapi juga tentang menghentikan kekerasan dalam pemikiran dan gagasan. Para intelektual memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin jihad ini—jihad yang dilakukan dengan pemikiran, pena, dan diskusi. Di era hyperreal ini, jihad intelektual adalah jalan menuju perdamaian sejati—perjuangan untuk membawa kebenaran dan keadilan ke permukaan di tengah dunia yang semakin terjebak dalam ilusi. ***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now