SETIAP
tahun, ribuan mahasiswa baru memasuki dunia perguruan tinggi dengan semangat
dan harapan yang tinggi. Demikian pula di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
(PTKI). Mereka memulai perjalanan akademik mereka melalui Masa Pengenalan
Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK), sebuah tradisi yang diharapkan dapat
menjadi pintu gerbang untuk memahami kehidupan kampus dan mempersiapkan mereka
menjadi bagian dari komunitas akademik yang lebih besar. Namun, di balik
suasana yang tampak meriah, PBAK sering kali menjadi panggung bagi
praktik-praktik yang tidak diinginkan, seperti bullying. Fenomena ini
tidak hanya mencederai semangat mahasiswa baru, tetapi juga mencoreng
nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap individu di
lingkungan akademik.
Jonathan
Haidt dalam bukunya, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by
Politics and Religion (2013), menjelaskan bagaimana moralitas terbentuk
melalui enam fondasi dasar: harm/care, fairness/cheating, loyalty/betrayal,
authority/subversion, sanctity/degradation, dan liberty/oppression. Dalam
konteks PBAK, fondasi moral ini seringkali berkonflik, menghasilkan perilaku
yang kontradiktif, termasuk bullying. Dengan memadukan teori Haidt
dengan lima pilar karakter bangsa Indonesia, kita dapat merumuskan pendekatan
yang lebih tajam untuk mencegah bullying dan mempromosikan lingkungan
kampus yang lebih inklusif dan beradab.
Lima
Pilar Karakter untuk Mencegah Bullying
Untuk
menghadapi dan mengatasi permasalahan ini, sudah saatnya kita kembali ke akar
dari jati diri bangsa, yaitu nilai-nilai luhur yang terkandung dalam lima pilar
karakter bangsa Indonesia: Transendensi, Humanisasi, Kebinekaan, Liberasi, dan
Keadilan. Kelima pilar ini tidak hanya relevan dalam kehidupan bermasyarakat
secara umum, tetapi juga sangat penting untuk ditanamkan dalam konteks PBAK.
Berikut ini adalah analisis bagaimana kelima pilar ini dapat diterapkan untuk
mencegah dan menghentikan bullying di PBAK.
Satu,
Transendensi: Menyadari Posisi Sebagai Makhluk Tuhan. Transendensi mengajarkan
kita untuk menyadari bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
Kesadaran ini harus menumbuhkan rasa tanggung jawab dan penghambaan kepada
Tuhan, serta menghormati ciptaan-Nya, termasuk sesama manusia. Dalam konteks
PBAK, nilai transendensi ini dapat menjadi dasar untuk menolak segala bentuk
bullying. Setiap tindakan bullying pada dasarnya adalah bentuk penolakan
terhadap hakikat kemanusiaan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Jonathan Haidt
menjelaskan bahwa fondasi moralitas seperti sanctity/degradation
berperan penting dalam menjaga nilai-nilai transendensi. Dengan memahami bahwa
setiap individu memiliki nilai sakral, kita dapat menciptakan lingkungan PBAK
yang lebih menghargai kemanusiaan.
Dua, Humanisasi: Memanusiakan Manusia dalam Segala
Aspek. Humanisasi menekankan bahwa setiap manusia setara di mata Tuhan, hanya
dibedakan oleh ilmu dan ketakwaan. Dalam konteks PBAK, nilai ini berarti setiap
mahasiswa, baik senior maupun junior, harus diperlakukan dengan adil dan
bermartabat. Tidak ada tempat bagi perlakuan yang merendahkan, melecehkan, atau
menindas orang lain. Bullying, dalam bentuk apa pun, adalah penolakan terhadap
asas humanisasi. Haidt menyatakan bahwa fondasi moralitas harm/care dan fairness/cheating
sangat relevan dalam membangun lingkungan yang adil dan peduli. Dengan
menguatkan nilai humanisasi, kita memastikan bahwa setiap individu di kampus
diperlakukan dengan hormat dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tiga,
Kebinekaan: Merayakan Perbedaan, Menumbuhkan Persatuan. Indonesia dikenal
sebagai bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama, budaya, dan
bahasa. Kebinekaan ini adalah kekuatan, bukan kelemahan. Dalam konteks PBAK,
kebinekaan harus dijadikan dasar untuk merajut persatuan di antara mahasiswa
baru yang datang dari berbagai latar belakang. PBAK harus menjadi ruang di mana
perbedaan dihargai dan dijadikan sumber kekuatan untuk menciptakan persatuan.
Haidt menunjukkan bahwa fondasi moral loyalty/betrayal dapat menjadi
pedang bermata dua—dapat memperkuat persatuan, namun juga bisa memperdalam
jurang perpecahan jika tidak dikelola dengan bijak. Bullying yang
terjadi karena perbedaan suku, agama, atau budaya adalah bentuk penolakan
terhadap nilai kebinekaan. Dengan menanamkan rasa hormat dan cinta terhadap
perbedaan, kita bisa menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan harmonis.
Empat,
Liberasi: Membebaskan dari Segala Bentuk Penindasan. Liberasi mengajarkan kita
untuk menolak segala bentuk penindasan manusia oleh manusia. Dalam konteks
PBAK, ini berarti menolak segala bentuk kekuasaan senior yang menindas junior.
Praktik-praktik yang melecehkan, mempermalukan, atau menyakiti mahasiswa baru
atas nama tradisi PBAK adalah bentuk penindasan yang tidak dapat dibenarkan.
Haidt menunjukkan bahwa fondasi moral liberty/oppression sangat krusial
dalam memahami dan melawan segala bentuk penindasan. Dengan menguatkan nilai
liberasi, kita menciptakan generasi mahasiswa yang menghargai kebebasan,
martabat, dan hak asasi setiap individu. Liberasi juga mengajarkan mahasiswa
baru untuk berani berbicara dan melawan jika mereka menjadi korban atau menyaksikan
praktik bullying.
Lima,
Keadilan: Menjaga Keseimbangan dan Keharmonisan. Keadilan adalah fondasi dari
kesejahteraan, baik di tingkat individu maupun sosial. Dalam konteks PBAK,
keadilan berarti memastikan bahwa setiap mahasiswa diperlakukan dengan adil,
tanpa diskriminasi atau perlakuan yang tidak pantas. Bullying adalah bentuk
ketidakadilan yang merusak keseimbangan sosial di kampus. Haidt menegaskan
bahwa fondasi moral fairness/cheating menjadi pusat dalam penegakan
keadilan, di mana setiap individu mendapatkan perlakuan yang sesuai dan
proporsional. Dengan menegakkan prinsip keadilan, kita menjaga harmoni dan
memastikan bahwa setiap orang mendapatkan hak dan perlakuan yang sesuai.
Keadilan juga mengajarkan pentingnya tanggung jawab sosial untuk melindungi
mereka yang rentan dan memastikan bahwa semua mahasiswa merasakan rasa aman dan
nyaman di lingkungan kampus.
Transformasi
Karakter Melalui Kebiasaan Kecil
Kaitannya
dengan ini, James Clear dalam bukunya, Atomic Habits: An Easy & Proven
Way to Build Good Habits & Break Bad Ones (2018), menekankan bahwa
perubahan besar bisa dimulai dari kebiasaan kecil yang konsisten. Dalam konteks
PBAK, perubahan budaya untuk menghindari bullying dapat dimulai dari
kebiasaan-kebiasaan kecil yang positif, baik dari senior maupun junior.
Misalnya,
jika setiap senior dalam PBAK mulai membiasakan diri untuk selalu menghargai
mahasiswa baru, mengingatkan mereka dengan cara yang baik, dan menolak praktik
bullying dalam bentuk apa pun, kebiasaan ini akan menular dan menjadi budaya
yang mengakar di kampus. Demikian pula, mahasiswa baru dapat didorong untuk
membiasakan diri melapor jika mereka melihat atau mengalami bullying, serta
mendukung teman-teman mereka yang menjadi korban. Ini selaras dengan konsep “identity-based
habits” dari Clear, di mana perubahan dimulai dari bagaimana seseorang
memandang dirinya sendiri dan peran yang ia mainkan dalam komunitasnya.
Dari
Clear, kita bisa melihat bahwa untuk menghentikan bullying di PBAK, kita harus
membudayakan kebiasaan-kebiasaan positif yang mendukung nilai-nilai luhur.
Misalnya, membiasakan sesi refleksi harian di mana mahasiswa baru dan senior
saling berbagi pengalaman positif dan pelajaran yang mereka dapatkan selama
PBAK. Kebiasaan kecil ini bisa menjadi langkah awal yang konkret untuk
membangun budaya kampus yang lebih suportif dan inklusif.
Lebih
lanjut, Clear juga menekankan pentingnya “environment design” dalam
pembentukan kebiasaan. Dalam konteks PBAK, ini berarti kampus perlu menciptakan
lingkungan yang mendukung kebiasaan baik dan mengurangi godaan untuk terlibat
dalam perilaku negatif seperti bullying. Misalnya, dengan memperkenalkan
mentor-mentor yang dapat diandalkan oleh mahasiswa baru, serta menyediakan
ruang-ruang yang aman untuk diskusi dan pelaporan insiden bullying.
Menerapkan
Nilai-nilai Luhur dan Kebiasaan Positif dalam PBAK
Mengatasi
masalah bullying dalam PBAK bukanlah tugas yang mudah, tetapi bukan
berarti tidak mungkin. Untuk menciptakan PBAK yang tidak hanya menjadi ajang
perkenalan kampus, tetapi juga ajang pembentukan karakter yang kuat dan
bermartabat, hal ini tentu saja membutuhkan dukungan pihak kampus dalam
mengambil peran aktif menanamkan nilai-nilai positif selama PBAK, baik melalui
kegiatan formal seperti ceramah dan diskusi, maupun melalui pendekatan informal
yang melibatkan seluruh elemen kampus.
Selain
itu, mahasiswa senior yang terlibat dalam PBAK harus diberikan pemahaman yang
mendalam tentang nilai-nilai ini, agar mereka dapat menjadi teladan dan
pelindung bagi mahasiswa baru. Kampus juga perlu menyediakan mekanisme yang
jelas dan tegas untuk menangani kasus-kasus bullying, termasuk memberikan
sanksi yang tegas bagi pelaku dan memberikan dukungan bagi korban. Dengan
memanfaatkan fondasi moral yang dijelaskan oleh Haidt, ditambah dengan
implementasi kebiasaan kecil yang positif sesuai konsep James Clear, kita dapat
lebih memahami motivasi di balik perilaku bullying dan mencari solusi yang
lebih efektif.
PBAK
adalah langkah awal bagi mahasiswa baru untuk memasuki dunia akademik yang
lebih besar. Ini adalah kesempatan emas untuk menanamkan nilai-nilai luhur yang
akan membentuk karakter mereka di masa depan. Karena itu melalui PBAK, kita
tidak hanya perlu mencegah bullying, tetapi juga penting menyiapkan karakter
mahasiswa baru yang memiliki integritas, kemandirian, dan rasa tanggung jawab
yang tinggi. Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang menciptakan kampus yang
aman, tetapi juga tentang membentuk masa depan Indonesia yang lebih baik, di
mana setiap individu dihargai, dilindungi, dan diberdayakan.
Dengan
menciptakan budaya yang berlandaskan nilai-nilai luhur dan kebiasaan positif,
kita semua bisa berkontribusi untuk membuat PBAK menjadi pengalaman yang
bermakna, penuh dengan pembelajaran, dan bebas dari intimidasi. Setiap tindakan
kecil yang diambil dengan sadar dapat membawa perubahan besar, baik bagi
individu maupun komunitas. Saatnya kita bersama-sama membangun kampus yang
lebih beradab, di mana setiap mahasiswa dapat berkembang dengan aman dan
nyaman, sesuai dengan potensi terbaik mereka.***