Iklan

PBAK: Mengukir Karakter, Menyudahi Intimidasi

syamsul kurniawan
Monday, September 2, 2024
Last Updated 2024-12-26T09:54:51Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

SETIAP tahun, ribuan mahasiswa baru memasuki dunia perguruan tinggi dengan semangat dan harapan yang tinggi. Demikian pula di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Mereka memulai perjalanan akademik mereka melalui Masa Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK), sebuah tradisi yang diharapkan dapat menjadi pintu gerbang untuk memahami kehidupan kampus dan mempersiapkan mereka menjadi bagian dari komunitas akademik yang lebih besar. Namun, di balik suasana yang tampak meriah, PBAK sering kali menjadi panggung bagi praktik-praktik yang tidak diinginkan, seperti bullying. Fenomena ini tidak hanya mencederai semangat mahasiswa baru, tetapi juga mencoreng nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap individu di lingkungan akademik.

 

Jonathan Haidt dalam bukunya, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (2013), menjelaskan bagaimana moralitas terbentuk melalui enam fondasi dasar: harm/care, fairness/cheating, loyalty/betrayal, authority/subversion, sanctity/degradation, dan liberty/oppression. Dalam konteks PBAK, fondasi moral ini seringkali berkonflik, menghasilkan perilaku yang kontradiktif, termasuk bullying. Dengan memadukan teori Haidt dengan lima pilar karakter bangsa Indonesia, kita dapat merumuskan pendekatan yang lebih tajam untuk mencegah bullying dan mempromosikan lingkungan kampus yang lebih inklusif dan beradab.

 

Lima Pilar Karakter untuk Mencegah Bullying

 

Untuk menghadapi dan mengatasi permasalahan ini, sudah saatnya kita kembali ke akar dari jati diri bangsa, yaitu nilai-nilai luhur yang terkandung dalam lima pilar karakter bangsa Indonesia: Transendensi, Humanisasi, Kebinekaan, Liberasi, dan Keadilan. Kelima pilar ini tidak hanya relevan dalam kehidupan bermasyarakat secara umum, tetapi juga sangat penting untuk ditanamkan dalam konteks PBAK. Berikut ini adalah analisis bagaimana kelima pilar ini dapat diterapkan untuk mencegah dan menghentikan bullying di PBAK.

 

Satu, Transendensi: Menyadari Posisi Sebagai Makhluk Tuhan. Transendensi mengajarkan kita untuk menyadari bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Kesadaran ini harus menumbuhkan rasa tanggung jawab dan penghambaan kepada Tuhan, serta menghormati ciptaan-Nya, termasuk sesama manusia. Dalam konteks PBAK, nilai transendensi ini dapat menjadi dasar untuk menolak segala bentuk bullying. Setiap tindakan bullying pada dasarnya adalah bentuk penolakan terhadap hakikat kemanusiaan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Jonathan Haidt menjelaskan bahwa fondasi moralitas seperti sanctity/degradation berperan penting dalam menjaga nilai-nilai transendensi. Dengan memahami bahwa setiap individu memiliki nilai sakral, kita dapat menciptakan lingkungan PBAK yang lebih menghargai kemanusiaan.

 

Dua,  Humanisasi: Memanusiakan Manusia dalam Segala Aspek. Humanisasi menekankan bahwa setiap manusia setara di mata Tuhan, hanya dibedakan oleh ilmu dan ketakwaan. Dalam konteks PBAK, nilai ini berarti setiap mahasiswa, baik senior maupun junior, harus diperlakukan dengan adil dan bermartabat. Tidak ada tempat bagi perlakuan yang merendahkan, melecehkan, atau menindas orang lain. Bullying, dalam bentuk apa pun, adalah penolakan terhadap asas humanisasi. Haidt menyatakan bahwa fondasi moralitas harm/care dan fairness/cheating sangat relevan dalam membangun lingkungan yang adil dan peduli. Dengan menguatkan nilai humanisasi, kita memastikan bahwa setiap individu di kampus diperlakukan dengan hormat dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

 

Tiga, Kebinekaan: Merayakan Perbedaan, Menumbuhkan Persatuan. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama, budaya, dan bahasa. Kebinekaan ini adalah kekuatan, bukan kelemahan. Dalam konteks PBAK, kebinekaan harus dijadikan dasar untuk merajut persatuan di antara mahasiswa baru yang datang dari berbagai latar belakang. PBAK harus menjadi ruang di mana perbedaan dihargai dan dijadikan sumber kekuatan untuk menciptakan persatuan. Haidt menunjukkan bahwa fondasi moral loyalty/betrayal dapat menjadi pedang bermata dua—dapat memperkuat persatuan, namun juga bisa memperdalam jurang perpecahan jika tidak dikelola dengan bijak. Bullying yang terjadi karena perbedaan suku, agama, atau budaya adalah bentuk penolakan terhadap nilai kebinekaan. Dengan menanamkan rasa hormat dan cinta terhadap perbedaan, kita bisa menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan harmonis.

 

Empat, Liberasi: Membebaskan dari Segala Bentuk Penindasan. Liberasi mengajarkan kita untuk menolak segala bentuk penindasan manusia oleh manusia. Dalam konteks PBAK, ini berarti menolak segala bentuk kekuasaan senior yang menindas junior. Praktik-praktik yang melecehkan, mempermalukan, atau menyakiti mahasiswa baru atas nama tradisi PBAK adalah bentuk penindasan yang tidak dapat dibenarkan. Haidt menunjukkan bahwa fondasi moral liberty/oppression sangat krusial dalam memahami dan melawan segala bentuk penindasan. Dengan menguatkan nilai liberasi, kita menciptakan generasi mahasiswa yang menghargai kebebasan, martabat, dan hak asasi setiap individu. Liberasi juga mengajarkan mahasiswa baru untuk berani berbicara dan melawan jika mereka menjadi korban atau menyaksikan praktik bullying.

 

Lima, Keadilan: Menjaga Keseimbangan dan Keharmonisan. Keadilan adalah fondasi dari kesejahteraan, baik di tingkat individu maupun sosial. Dalam konteks PBAK, keadilan berarti memastikan bahwa setiap mahasiswa diperlakukan dengan adil, tanpa diskriminasi atau perlakuan yang tidak pantas. Bullying adalah bentuk ketidakadilan yang merusak keseimbangan sosial di kampus. Haidt menegaskan bahwa fondasi moral fairness/cheating menjadi pusat dalam penegakan keadilan, di mana setiap individu mendapatkan perlakuan yang sesuai dan proporsional. Dengan menegakkan prinsip keadilan, kita menjaga harmoni dan memastikan bahwa setiap orang mendapatkan hak dan perlakuan yang sesuai. Keadilan juga mengajarkan pentingnya tanggung jawab sosial untuk melindungi mereka yang rentan dan memastikan bahwa semua mahasiswa merasakan rasa aman dan nyaman di lingkungan kampus.

 

Transformasi Karakter Melalui Kebiasaan Kecil

 

Kaitannya dengan ini, James Clear dalam bukunya, Atomic Habits: An Easy & Proven Way to Build Good Habits & Break Bad Ones (2018), menekankan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kebiasaan kecil yang konsisten. Dalam konteks PBAK, perubahan budaya untuk menghindari bullying dapat dimulai dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang positif, baik dari senior maupun junior.

 

Misalnya, jika setiap senior dalam PBAK mulai membiasakan diri untuk selalu menghargai mahasiswa baru, mengingatkan mereka dengan cara yang baik, dan menolak praktik bullying dalam bentuk apa pun, kebiasaan ini akan menular dan menjadi budaya yang mengakar di kampus. Demikian pula, mahasiswa baru dapat didorong untuk membiasakan diri melapor jika mereka melihat atau mengalami bullying, serta mendukung teman-teman mereka yang menjadi korban. Ini selaras dengan konsep “identity-based habits” dari Clear, di mana perubahan dimulai dari bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri dan peran yang ia mainkan dalam komunitasnya.

 

Dari Clear, kita bisa melihat bahwa untuk menghentikan bullying di PBAK, kita harus membudayakan kebiasaan-kebiasaan positif yang mendukung nilai-nilai luhur. Misalnya, membiasakan sesi refleksi harian di mana mahasiswa baru dan senior saling berbagi pengalaman positif dan pelajaran yang mereka dapatkan selama PBAK. Kebiasaan kecil ini bisa menjadi langkah awal yang konkret untuk membangun budaya kampus yang lebih suportif dan inklusif.

 

Lebih lanjut, Clear juga menekankan pentingnya “environment design” dalam pembentukan kebiasaan. Dalam konteks PBAK, ini berarti kampus perlu menciptakan lingkungan yang mendukung kebiasaan baik dan mengurangi godaan untuk terlibat dalam perilaku negatif seperti bullying. Misalnya, dengan memperkenalkan mentor-mentor yang dapat diandalkan oleh mahasiswa baru, serta menyediakan ruang-ruang yang aman untuk diskusi dan pelaporan insiden bullying.

 

Menerapkan Nilai-nilai Luhur dan Kebiasaan Positif dalam PBAK

 

Mengatasi masalah bullying dalam PBAK bukanlah tugas yang mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Untuk menciptakan PBAK yang tidak hanya menjadi ajang perkenalan kampus, tetapi juga ajang pembentukan karakter yang kuat dan bermartabat, hal ini tentu saja membutuhkan dukungan pihak kampus dalam mengambil peran aktif menanamkan nilai-nilai positif selama PBAK, baik melalui kegiatan formal seperti ceramah dan diskusi, maupun melalui pendekatan informal yang melibatkan seluruh elemen kampus.

 

Selain itu, mahasiswa senior yang terlibat dalam PBAK harus diberikan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai ini, agar mereka dapat menjadi teladan dan pelindung bagi mahasiswa baru. Kampus juga perlu menyediakan mekanisme yang jelas dan tegas untuk menangani kasus-kasus bullying, termasuk memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku dan memberikan dukungan bagi korban. Dengan memanfaatkan fondasi moral yang dijelaskan oleh Haidt, ditambah dengan implementasi kebiasaan kecil yang positif sesuai konsep James Clear, kita dapat lebih memahami motivasi di balik perilaku bullying dan mencari solusi yang lebih efektif.

 

PBAK adalah langkah awal bagi mahasiswa baru untuk memasuki dunia akademik yang lebih besar. Ini adalah kesempatan emas untuk menanamkan nilai-nilai luhur yang akan membentuk karakter mereka di masa depan. Karena itu melalui PBAK, kita tidak hanya perlu mencegah bullying, tetapi juga penting menyiapkan karakter mahasiswa baru yang memiliki integritas, kemandirian, dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang menciptakan kampus yang aman, tetapi juga tentang membentuk masa depan Indonesia yang lebih baik, di mana setiap individu dihargai, dilindungi, dan diberdayakan.

 

Dengan menciptakan budaya yang berlandaskan nilai-nilai luhur dan kebiasaan positif, kita semua bisa berkontribusi untuk membuat PBAK menjadi pengalaman yang bermakna, penuh dengan pembelajaran, dan bebas dari intimidasi. Setiap tindakan kecil yang diambil dengan sadar dapat membawa perubahan besar, baik bagi individu maupun komunitas. Saatnya kita bersama-sama membangun kampus yang lebih beradab, di mana setiap mahasiswa dapat berkembang dengan aman dan nyaman, sesuai dengan potensi terbaik mereka.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now