Oleh: Syamsul Kurniawan
Dalam memandang relasi antara agama dan
kebudayaan, pandangan Sachiko Murata dalam bukunya The Tao of Islam (1992)
memberikan perspektif yang sangat relevan. Murata, seorang ahli studi Islam,
menyatakan bahwa Islam, pada intinya, memiliki kedalaman yang sejalan dengan
pemikiran-pemikiran Timur, termasuk konsep-konsep dalam Taoism yang
menekankan keselarasan antara prinsip ilahi dan kehidupan sehari-hari. Konsep
ini menunjukkan bagaimana Islam tidak bertentangan dengan elemen-elemen budaya
lokal, tetapi malah dapat mengakomodasi dan memperkaya praktik budaya tersebut
dalam kerangka nilai-nilai spiritual yang universal.
Sachiko Murata dalam The Tao of Islam
mengungkapkan bahwa Islam, meskipun berasal dari tradisi Arab dan kawasan Timur
Tengah, memiliki kedalaman yang memungkinkan agama ini untuk berinteraksi
dengan berbagai budaya lokal. Dalam pemikiran Murata, Islam, jika dilihat dari
aspek mistisnya, tidak hanya berbicara tentang syariah atau aturan hukum yang
ketat, tetapi juga berbicara tentang harmoni dengan alam semesta dan manusia.
Inilah yang sejalan dengan konsep Tao dalam Taoism, yang
menekankan keseimbangan dan keselarasan. Agama Islam, dalam pengertian ini,
memiliki dimensi yang memungkinkan ia untuk akomodatif terhadap kebudayaan
lokal yang beragam.
Dalam konteks Indonesia, dengan keragaman budaya
lokal yang sangat kaya, relasi antara agama Islam dan kebudayaan lokal dapat
dilihat sebagai saling melengkapi dan memperkaya. Seperti yang dijelaskan oleh
Murata, keberadaan fitrah manusia dalam Islam memungkinkan agama ini
untuk hadir dalam berbagai bentuk yang menyatu dengan kebudayaan setempat.
Islam tidak memaksakan bentuk tertentu terhadap budaya lokal, tetapi lebih
kepada bagaimana ajaran Islam bisa disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat untuk menciptakan keselarasan yang saling mendukung.
Corak Keagamaan Lokal dan Islam
Di Indonesia, corak keagamaan lokal, khususnya
dalam tradisi Islam, memiliki banyak adaptasi terhadap kebudayaan setempat.
Dalam banyak kasus, seperti dalam perayaan Maulid Nabi yang digelar dengan
nuansa budaya Jawa, Islam menunjukkan sikap akomodatif yang sangat jelas
terhadap budaya lokal. Murata menekankan bahwa Islam tidak sekadar sebagai
sistem hukum atau ritual, tetapi lebih sebagai jalan hidup yang memungkinkan
umatnya untuk berinteraksi dengan dunia sekitar mereka. Dalam hal ini, Islam di
Indonesia tidak hanya berdiri sendiri sebagai sistem keyakinan yang terpisah
dari kebudayaan, tetapi justru terjalin erat dengan kebudayaan lokal yang
memberikan warna pada ekspresi agama.
Namun, sebagaimana yang telah diungkapkan,
masalah sering muncul ketika ada perbedaan penafsiran antara kebudayaan lokal
dan ajaran agama. Dalam banyak hal, budaya lokal yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip agama sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap kemurnian
ajaran agama. Sachiko Murata dalam bukunya mengungkapkan bahwa pada dasarnya,
prinsip Tao mengajarkan keselarasan dan penerimaan terhadap
keberagaman yang ada. Dalam pandangannya, jika Islam bisa dipahami sebagai
suatu ajaran yang mengarah pada kedamaian universal, maka pemahaman tentang
perbedaan budaya seharusnya tidak menjadi halangan untuk beradaptasi dan
menghargai perbedaan tersebut. Sebaliknya, perbedaan budaya lokal justru dapat
dilihat sebagai bagian dari keindahan ciptaan Tuhan yang harus dihargai.
Nilai-Nilai Budaya dan Keagamaan yang
Mendorong Perdamaian
Di dalam The Tao of Islam (1992), Murata menekankan pentingnya
kedamaian sebagai inti dari ajaran Islam, yang sejalan dengan nilai-nilai dalam
kebudayaan lokal yang juga mengutamakan kerukunan. Dalam konteks Indonesia,
nilai rukun yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat selaras dengan
ajaran Islam yang mengedepankan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah basyariyah.
Nilai-nilai ini menjadi landasan bagi terciptanya perdamaian, karena keduanya
mengajarkan pentingnya menghargai perbedaan dan bekerja bersama demi kebaikan
bersama.
Sikap akomodatif terhadap budaya lokal, bisa
menjadi sarana yang sangat efektif dalam memperkuat toleransi dan perdamaian.
Islam, melalui ajaran yang moderat, tidak menentang atau menghapus kebudayaan
lokal, tetapi memberikan ruang untuk budaya tersebut berkembang dalam kerangka
yang lebih luas dan lebih mendalam.
Memecahkan Problematika Akomodasi
terhadap Kebudayaan Lokal
Berdasarkan pandangan Murata, memecahkan masalah
yang timbul dalam hubungan antara agama dan budaya lokal adalah dengan
mengadopsi pendekatan yang inklusif dan adaptif. Murata berpendapat bahwa
pendekatan yang harus diambil dalam berinteraksi dengan kebudayaan lokal adalah
melalui pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama yang lebih universal.
Islam, yang merupakan agama dengan wawasan yang luas, harus mengakomodasi
kebudayaan lokal dan melihatnya sebagai bagian dari kekayaan manusia yang perlu
dijaga dan dihargai. Mengadopsi prinsip Tao yang menekankan
keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan adalah kunci untuk menyelesaikan
permasalahan ini.
Sikap moderat yang ditunjukkan oleh Islam
terhadap budaya lokal, seperti yang dipaparkan di atas, sangat penting untuk
menciptakan kedamaian dalam masyarakat yang beragam. Agama Islam, dengan ajaran
yang moderat, tidak hanya memperkenalkan nilai-nilai spiritual tetapi juga
mengakomodasi budaya lokal sebagai bagian dari keragaman yang harus dihargai.
Melalui pemahaman yang lebih mendalam dan inklusif, budaya lokal dan agama
dapat saling memperkaya dan berjalan beriringan untuk menciptakan masyarakat
yang damai dan harmonis.***