Oleh: Syamsul Kurniawan
Radikalisme, khususnya dalam konteks agama, telah menjadi fenomena global yang semakin mengkhawatirkan, dan Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tidak kebal dari ancaman ini. Dalam beberapa dekade terakhir, munculnya gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam telah memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pemerintah. Tindakan-tindakan radikal, mulai dari intoleransi agama hingga terorisme, kerap dihubungkan dengan pemahaman yang sempit tentang konsep-konsep keagamaan, terutama jihad. Jihad, yang seharusnya berarti perjuangan untuk mencapai kebaikan dan keadilan, sering kali dimanipulasi untuk membenarkan tindakan kekerasan.
Tetapi,
radikalisme tidak muncul begitu saja. Tidak ada yang bangun tidur suatu pagi,
tiba-tiba menjadi radikal. Ini adalah hasil dari proses panjang—proses bertahap
yang terjadi dalam cara seseorang berpikir, bertindak, dan berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. James Clear, dalam bukunya Atomic Habits (2018),
memberikan perspektif menarik tentang bagaimana perubahan kecil yang tampaknya
sepele dapat menumpuk dan berdampak besar pada kehidupan seseorang. Clear
menyebut konsep ini sebagai “atomic habits”, atau kebiasaan kecil. Ia
berpendapat bahwa kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten dapat
menghasilkan perubahan besar dalam jangka panjang. Jika kita memproyeksikan
konsep ini ke dalam konteks radikalisme, kita bisa mengasumsikan bahwa radikalisme
juga tumbuh melalui akumulasi kebiasaan kecil yang secara bertahap mengubah
identitas seseorang.
Pada mulanya, radikalisme mungkin muncul melalui tindakan-tindakan yang tampak biasa. Bayangkan seseorang yang memilih untuk mengikuti forum-forum diskusi agama yang eksklusif, atau mengonsumsi konten-konten keagamaan yang ekstrem di media sosial. Perlahan tapi pasti, kebiasaan ini mulai membentuk pola pikirnya. Dia mulai berpikir lebih sempit, lebih eksklusif, dan lebih intoleran. Dalam pandangan Clear, kebiasaan yang dilakukan berulang kali menciptakan pola yang kemudian membentuk identitas individu. Seseorang yang mulai terbiasa berpikir secara eksklusif, intoleran, dan ekstrem pada akhirnya akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok yang memegang nilai-nilai tersebut.
Tantangan
Radikalisme di Indonesia
Indonesia, dengan sejarah panjang kerukunan antarumat beragama, kini menghadapi tantangan besar terkait meningkatnya radikalisme di kalangan generasi muda. Penelitian menunjukkan bahwa kelompok-kelompok radikal berhasil menarik simpati sebagian mahasiswa dan anak muda melalui media sosial, forum diskusi tertutup, serta kegiatan-kegiatan agama yang eksklusif. Lebih dari itu, fenomena radikalisasi sering kali berakar dari ketidakpuasan sosial, ekonomi, dan politik yang dirasakan oleh kelompok-kelompok tertentu di masyarakat. Dalam situasi seperti ini, kebiasaan kecil yang terkait dengan pemikiran kritis dan moderasi jarang ditemukan. Sebaliknya, kebiasaan yang mengarah pada eksklusivitas dan intoleransi justru berkembang pesat.
Kita
tidak bisa menutup mata terhadap data yang menunjukkan bahwa sejumlah mahasiswa
di Indonesia menyetujui pandangan radikal terkait agama. Dalam sejumlah hasil survey
satu dasawarsa terakhir, ditemukan bahwa cukup banyak mahasiswa dan pelajar di
Indonesia terpapar dan mendukung konsep jihad kekerasan sebagai bentuk
perjuangan agama. Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan, terutama karena
sebagian besar dari mereka merupakan generasi muda yang seharusnya menjadi agen
perubahan positif di masyarakat.
Berangkat dari masalah ini, muncul tantangan-tantangan, yang jika dikerucutkan setidaknya mengarah kepada tiga bentuk:
1.
Transformasi Identitas melalui Kebiasaan
Dalam pandangan “Atomic Habits”, transformasi identitas menuju radikalisme merupakan hasil dari akumulasi kebiasaan kecil yang tidak disadari. Ketika seseorang mulai mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok yang “murni” secara ideologi, ia cenderung untuk semakin menjauh dari kelompok masyarakat lain yang berbeda pandangan. Kebiasaan kecil seperti berpartisipasi dalam kelompok eksklusif atau memilih bacaan yang mendukung pandangan ekstrem mulai membentuk cara seseorang berpikir dan merasakan tentang diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa identitas mereka adalah bagian dari perjuangan yang lebih besar, dan inilah yang membuat mereka terus terlibat dalam kegiatan-kegiatan radikal.
Namun, penting untuk dicatat bahwa teori kebiasaan tidak hanya menjelaskan bagaimana seseorang bisa menjadi radikal. Lebih dari itu, teori ini juga menawarkan jalan untuk mengatasi radikalisme dengan mengubah kebiasaan. James Clear menekankan bahwa kebiasaan buruk bisa diubah dengan menggantinya dengan kebiasaan yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Ini memberikan harapan bahwa proses radikalisasi bisa dibalik jika kita mampu membantu individu-individu untuk mengadopsi kebiasaan baru yang membangun identitas moderat, inklusif, dan damai.
Kebiasaan-kebiasaan ini mungkin dimulai dengan langkah-langkah kecil, seperti melibatkan diri dalam dialog lintas agama, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, atau memperluas bacaan keagamaan dari sumber-sumber yang lebih beragam. Jika kebiasaan negatif bisa membentuk identitas radikal, maka kebiasaan positif juga bisa menciptakan identitas yang lebih inklusif. Dalam pandangan Clear, perubahan kecil yang konsisten—seperti meluangkan beberapa menit setiap hari untuk merenungkan pandangan kita tentang orang lain atau mengikuti diskusi yang memperluas perspektif—dapat membawa dampak besar dalam jangka panjang.
2.
Pendidikan dan Kebiasaan Kecil
Dalam konteks pendidikan, peran kebiasaan kecil sangat penting dalam membentuk perilaku mahasiswa dan generasi muda. Institusi pendidikan, mulai dari sekolah hingga universitas, harus mampu memperkenalkan kebiasaan positif sejak dini, terutama melalui kurikulum yang menekankan pengembangan karakter, toleransi, dan berpikir kritis. Kurikulum yang tidak hanya memberikan informasi teoretis, tetapi juga mendorong siswa untuk berpikir kritis dan terbuka terhadap perbedaan, dapat menjadi benteng awal untuk mencegah tumbuhnya radikalisme di kalangan generasi muda.
Lebih dari itu, lingkungan kampus perlu dibentuk sedemikian rupa agar mendorong kebiasaan sosial yang inklusif dan dialogis, bukan eksklusif dan sektarian. Kebiasaan kecil seperti keterlibatan dalam kelompok diskusi yang sehat atau partisipasi dalam kegiatan sosial yang melibatkan keragaman budaya dapat membantu membentuk identitas yang moderat dan toleran. Mahasiswa perlu dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang mendorong interaksi lintas budaya dan agama, sehingga mereka terbiasa untuk berdialog dengan mereka yang berbeda pandangan.
Sebaliknya, kampus yang cenderung membiarkan tumbuhnya kelompok-kelompok diskusi eksklusif tanpa pengawasan, atau yang tidak memberikan ruang untuk dialog lintas agama, dapat menjadi lahan subur bagi berkembangnya radikalisme. Dalam kasus ini, kebiasaan kecil yang mengarah pada eksklusivitas dapat dengan cepat berakumulasi menjadi pola pikir radikal. Oleh karena itu, peran institusi pendidikan sangat krusial dalam membentuk kebiasaan sosial yang moderat dan inklusif di kalangan mahasiswa.
3. Media Sosial dan Kebiasaan Berpikir
Salah satu faktor penting yang berkontribusi pada proses radikalisasi ini adalah eksposur terhadap media sosial. Media sosial telah menjadi sarana efektif bagi penyebaran ideologi radikal, terutama di kalangan mahasiswa dan generasi muda. Algoritma media sosial yang cenderung mendorong konten-konten ekstrem, dikombinasikan dengan kebiasaan mengonsumsi informasi secara pasif, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya radikalisme. Ini adalah contoh nyata bagaimana kebiasaan kecil—seperti memilih konten di media sosial atau mengikuti forum diskusi tertutup—dapat membentuk pola pikir seseorang secara signifikan.
Dengan demikian, peran media sosial dalam membentuk kebiasaan berpikir ini juga tidak boleh diabaikan. Dalam dunia digital saat ini, informasi dan konten yang tersebar di media sosial memiliki kekuatan besar dalam membentuk cara seseorang memandang dunia. Kebiasaan mengonsumsi konten ekstremis di media sosial mungkin tampak sepele, tetapi dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat berakumulasi dan mengarah pada perubahan identitas seseorang. Seseorang yang setiap hari menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton video radikal atau membaca artikel-artikel ekstrem lama-kelamaan akan mulai melihat dunia melalui lensa yang sempit dan penuh kecurigaan.
Untuk itu, penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil untuk memantau dan mengendalikan arus informasi di media sosial. Kita perlu mendorong penyebaran konten-konten yang mempromosikan inklusivitas, perdamaian, dan toleransi. Media sosial harus menjadi alat untuk menyebarkan kebiasaan berpikir yang moderat, bukan menjadi lahan subur bagi berkembangnya ideologi ekstremis. Dengan demikian, kita dapat membentuk kebiasaan berpikir yang lebih sehat dan mencegah terjadinya radikalisasi di kalangan generasi muda.
Masa Depan yang Inklusif
Kita
harus ingat bahwa radikalisme tidak hanya menyangkut pemikiran atau ideologi,
tetapi juga merupakan hasil dari kebiasaan yang terbentuk melalui pengalaman
sehari-hari. Memahami bagaimana kebiasaan ini terbentuk dan bagaimana
kebiasaan-kebiasaan baru yang positif bisa diperkenalkan adalah kunci dalam
upaya mencegah radikalisme di kalangan mahasiswa dan generasi muda. Dengan
memanfaatkan teori "Atomic Habits" yang diperkenalkan oleh James Clear, kita
bisa melihat bahwa perubahan kecil yang dilakukan secara konsisten dapat
membentuk atau mengubah identitas seseorang secara signifikan. Ini memberikan
kita strategi baru dalam melawan radikalisme: melalui kebiasaan kecil yang
positif, kita dapat membantu membentuk identitas yang lebih inklusif, moderat,
dan damai.
Radikalisme bukanlah fenomena yang datang tiba-tiba, tetapi sebuah proses bertahap yang didorong oleh kebiasaan yang berulang-ulang. Sama halnya, kita bisa melawannya dengan perubahan kebiasaan kecil yang sama-sama bertahap. Tindakan seperti berpartisipasi dalam dialog lintas agama, terlibat dalam kegiatan sosial yang inklusif, serta memperluas sumber bacaan yang memperkaya wawasan, bisa menjadi kebiasaan baru yang mampu menggeser pola pikir radikal.
Banyak pihak yang bisa berperan dalam membentuk kebiasaan-kebiasaan positif ini. Institusi pendidikan dapat mengintegrasikan kurikulum yang mendorong keterbukaan dan toleransi, sementara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil bisa bekerja sama dalam mempromosikan konten-konten positif di media sosial. Langkah-langkah kecil ini, ketika dilakukan secara konsisten dan luas, akan berdampak besar dalam jangka panjang.
Kita tidak bisa menepis bahwa radikalisme merupakan ancaman serius bagi masa depan generasi muda di Indonesia. Namun, dengan memahami bahwa kebiasaan kecil memiliki kekuatan untuk membentuk identitas seseorang, kita juga bisa optimis bahwa radikalisme bisa dicegah. Dengan menggantikan kebiasaan negatif yang mendorong eksklusivitas dan intoleransi dengan kebiasaan yang mempromosikan keterbukaan, dialog, dan perdamaian, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan toleran.
Langkah
ini tidak akan langsung mengubah segalanya, tetapi seperti yang dikatakan James
Clear, perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan secara
konsisten. Dan kebiasaan ini, bila diterapkan dengan tepat, memiliki potensi
untuk mengubah wajah radikalisme di Indonesia menjadi masa lalu yang kita
pelajari, bukan ancaman yang kita hadapi.***