Iklan

Kekuasaan Algoritma: Ketika Tragedi Menjadi Konten di Media Sosial

syamsul kurniawan
Thursday, September 26, 2024
Last Updated 2025-01-16T15:13:28Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Sore yang sepi, dengan secangkir kopi yang terlupa gulanya, aku membaca sebuah berita online yang menyentak batin. Di Gorontalo, seorang oknum guru di MAN terlibat tindakan asusila terhadap salah seorang siswinya. Bukan hanya tindakan keji itu yang mengguncang, tetapi juga cara peristiwa tersebut menyebar, viral di media sosial, seolah-olah kasus ini adalah konten yang layak dikonsumsi publik. Video dan jejak digital dari kejadian ini menyebar dengan cepat, menjadi topik pembicaraan di jagad maya, memantik rasa marah, jijik, dan simpati yang bercampur aduk. Namun, lebih dari itu, tersebarnya peristiwa ini menunjukkan wajah nyata dari kekuatan algoritma media sosial yang semakin memegang kendali atas cara kita merespons, menghakimi, dan memahami dunia di sekitar kita.

 

Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai ruang untuk berjejaring dan berbagi, kini telah berkembang menjadi alat yang membentuk persepsi publik secara masif. Dalam kasus asusila di Gorontalo, kita menyaksikan bagaimana algoritma media sosial berperan sebagai penggerak utama penyebaran informasi. Setiap kali pengguna berinteraksi—menonton, berbagi, atau berkomentar—algoritma bekerja untuk mempromosikan konten tersebut lebih luas, memaksimalkan visibilitasnya demi keterlibatan pengguna yang lebih besar.

 

Dalam konteks ini, jejak digital yang terbentuk akibat peristiwa tragis tersebut menciptakan realitas yang sulit dihapuskan, terutama bagi korban. Setiap video yang dibagikan, setiap artikel yang diunggah, dan setiap komentar yang ditinggalkan, menambah lapisan baru pada trauma korban. Korban tidak hanya mengalami kekerasan fisik dan emosional, tetapi juga terperangkap dalam penghakiman sosial yang tiada henti di dunia digital. Jejak digital ini bersifat abadi; bahkan setelah kasusnya selesai di mata hukum, citra dan nama korban tetap tergantung di ruang digital, di mana mereka terus-menerus dihadapkan pada pengawasan dan penilaian publik.

 

Untuk memahami lebih dalam dampak algoritma terhadap korban, kita dapat merujuk pada konsep “Panopticon” yang diperkenalkan oleh Michel Foucault. Dalam gagasan ini, “Panopticon” adalah menara pengawasan yang memungkinkan pengawas untuk memantau penghuni penjara tanpa diketahui apakah mereka sedang diawasi atau tidak. Rasa diawasi inilah yang pada akhirnya mendisiplinkan individu untuk bertindak sesuai norma yang ditetapkan. Dalam dunia digital, algoritma media sosial memainkan peran serupa. Korban asusila di Gorontalo, dan bahkan masyarakat yang menjadi bagian dari ruang digital tersebut, selalu merasa diawasi—bukan oleh individu tertentu, melainkan oleh sistem yang bekerja tanpa henti.

 

Pengguna media sosial dapat menjadi "pengawas" yang memproduksi dan menyebarkan konten dengan atau tanpa niat menyakiti, tetapi hasil akhirnya adalah korban terus-menerus berada di bawah sorotan. Setiap tindakan mereka, setiap upaya untuk melanjutkan hidup, selalu dibayangi oleh perasaan bahwa mereka sedang diawasi oleh dunia digital. Algoritma yang bekerja secara otomatis ini memperbesar pengaruhnya, mendisiplinkan dan membentuk perilaku serta kesadaran korban dan masyarakat.

 

Selain berfungsi sebagai alat pengawasan, algoritma media sosial juga menciptakan lapisan simulasi yang mengaburkan batas antara realitas dan dunia maya. Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang “simulacra” dan “simulasi”, menekankan bagaimana citra di era postmodern tidak lagi merepresentasikan realitas, tetapi justru menggantikan realitas itu sendiri. Kasus asusila ini menjadi lebih dari sekadar tragedi pribadi—ia menjadi konten yang diproduksi, dipelintir, dan disebarkan oleh media sosial untuk dikonsumsi publik.

 

Algoritma yang mendukung penyebaran konten ini bertindak sebagai mesin yang terus memproduksi realitas baru. Setiap kali video atau berita tentang kasus ini muncul di linimasa pengguna, kejadian aslinya semakin tenggelam dalam lautan representasi digital. Konten yang beredar sering kali kehilangan konteks aslinya, menggantikan pengalaman nyata dengan versi yang telah diolah dan diproduksi ulang sesuai dengan logika algoritma yang mementingkan keterlibatan pengguna. Akhirnya, yang tertinggal bukan lagi kisah korban dan pelaku dalam bentuk yang murni, tetapi sebuah citra yang dikonstruksi, diproduksi, dan dipertahankan oleh sistem algoritmik yang tak terlihat.

 

Penghakiman Sosial dan Krisis Moralitas

 

Dampak dari algoritma media sosial dalam kasus ini juga memunculkan pertanyaan mendalam tentang moralitas. Jonathan Haidt, dalam teorinya tentang “moral foundations”, menjelaskan bahwa masyarakat menilai tindakan berdasarkan sejumlah fondasi moral, termasuk kepedulian, keadilan, kebebasan, dan kesucian. Dalam konteks media sosial, algoritma tidak peduli dengan nilai-nilai moral ini—mereka hanya memperkuat konten yang paling memicu emosi dan keterlibatan pengguna.

 

Ketika algoritma media sosial memperkuat dan memperluas penyebaran kasus asusila ini, fondasi moral yang seharusnya menjadi pedoman bagi masyarakat tampaknya terabaikan. Kepedulian terhadap korban tergantikan oleh hasrat untuk berbagi dan mengomentari peristiwa yang viral. Keadilan yang dicari bukanlah keadilan dalam konteks hukum, melainkan bentuk penghakiman sosial yang terjadi di ruang digital. Pengguna media sosial menjadi hakim tanpa palu, memberikan vonis tanpa proses pengadilan yang adil.

 

Dalam ruang digital ini, batas antara empati dan sensasi menjadi kabur. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan interaksi mendorong pengguna untuk terlibat dalam diskusi, bahkan ketika diskusi tersebut tidak memperhitungkan dampak bagi korban. Setiap klik, setiap komentar, setiap *share* membawa konsekuensi moral yang tidak langsung terlihat, tetapi sangat nyata bagi mereka yang menjadi sasaran—dalam hal ini, korban.

 

Algoritma yang Tidak Berhati

 

Pada akhirnya, peran algoritma media sosial dalam kasus asusila ini menunjukkan bagaimana teknologi, yang pada dasarnya netral, dapat memperbesar efek dari sebuah tragedi. Algoritma tidak memiliki hati nurani; mereka tidak peduli pada moralitas atau keadilan. Mereka hanya dirancang untuk memaksimalkan interaksi dan meningkatkan visibilitas konten. Dalam konteks ini, mereka menjadi kekuatan yang tanpa sadar memperparah penderitaan korban, menjadikan trauma sebagai komoditas yang diperdagangkan dalam pasar atensi digital.

 

Pengguna media sosial sering kali tidak menyadari bahwa interaksi mereka—baik itu dalam bentuk komentar, “like”, atau “share”—diperkuat oleh sistem yang memperlakukan tragedi sebagai konten yang layak dipromosikan. Dalam dunia ini, korban kehilangan otonomi atas citra mereka, dan realitas menjadi sesuatu yang bisa diproduksi ulang sesuai dengan kepentingan algoritma.

 

Sebagai masyarakat yang hidup di era digital, kita perlu mempertanyakan peran algoritma dalam kehidupan kita. Apakah kita sadar bahwa setiap tindakan kita di dunia maya turut membentuk nasib orang lain? Apakah kita memahami bahwa algoritma yang mengatur media sosial tidak memiliki moralitas dan hanya memanfaatkan tragedi untuk keuntungan komersial?

 

Kasus asusila di Gorontalo adalah cermin bagi kita semua. Ia memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh algoritma dalam membentuk persepsi kita tentang realitas, moralitas, dan keadilan. Namun, yang lebih penting, ia menunjukkan bahwa kita memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya mengandalkan algoritma dalam menilai dunia di sekitar kita. Sebagai individu yang beradab, kita harus mampu melampaui logika algoritma dan memikirkan dampak dari setiap tindakan kita, baik di dunia nyata maupun di dunia digital.

 

Sore ini, saat aku menyesap kopi yang telah terlupa manisnya, aku merenungkan realitas yang kita hadapi. Secangkir kopi yang hangat ini seharusnya menjadi pengingat bahwa dalam setiap interaksi kita di dunia maya, ada kehidupan nyata yang terpengaruh. Kita memiliki kekuatan untuk memilih, untuk tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga menjadi pembela keadilan dan empati. Mari kita gunakan kekuatan tersebut untuk memastikan bahwa tragedi tidak hanya menjadi konten, tetapi pelajaran berharga yang mengingatkan kita akan kemanusiaan kita.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now