Oleh: Syamsul Kurniawan
Sore yang sepi, dengan secangkir kopi
yang terlupa gulanya, aku membaca sebuah berita online yang menyentak batin. Di
Gorontalo, seorang oknum guru di MAN terlibat tindakan asusila terhadap salah
seorang siswinya. Bukan hanya tindakan keji itu yang mengguncang, tetapi juga
cara peristiwa tersebut menyebar, viral di media sosial, seolah-olah kasus ini
adalah konten yang layak dikonsumsi publik. Video dan jejak digital dari
kejadian ini menyebar dengan cepat, menjadi topik pembicaraan di jagad maya,
memantik rasa marah, jijik, dan simpati yang bercampur aduk. Namun, lebih dari
itu, tersebarnya peristiwa ini menunjukkan wajah nyata dari kekuatan algoritma
media sosial yang semakin memegang kendali atas cara kita merespons,
menghakimi, dan memahami dunia di sekitar kita.
Media sosial, yang awalnya dirancang
sebagai ruang untuk berjejaring dan berbagi, kini telah berkembang menjadi alat
yang membentuk persepsi publik secara masif. Dalam kasus asusila di Gorontalo,
kita menyaksikan bagaimana algoritma media sosial berperan sebagai penggerak
utama penyebaran informasi. Setiap kali pengguna berinteraksi—menonton,
berbagi, atau berkomentar—algoritma bekerja untuk mempromosikan konten tersebut
lebih luas, memaksimalkan visibilitasnya demi keterlibatan pengguna yang lebih
besar.
Dalam konteks ini, jejak digital yang
terbentuk akibat peristiwa tragis tersebut menciptakan realitas yang sulit
dihapuskan, terutama bagi korban. Setiap video yang dibagikan, setiap artikel
yang diunggah, dan setiap komentar yang ditinggalkan, menambah lapisan baru
pada trauma korban. Korban tidak hanya mengalami kekerasan fisik dan emosional,
tetapi juga terperangkap dalam penghakiman sosial yang tiada henti di dunia
digital. Jejak digital ini bersifat abadi; bahkan setelah kasusnya selesai di
mata hukum, citra dan nama korban tetap tergantung di ruang digital, di mana
mereka terus-menerus dihadapkan pada pengawasan dan penilaian publik.
Untuk memahami lebih dalam dampak
algoritma terhadap korban, kita dapat merujuk pada konsep “Panopticon” yang
diperkenalkan oleh Michel Foucault. Dalam gagasan ini, “Panopticon” adalah
menara pengawasan yang memungkinkan pengawas untuk memantau penghuni penjara
tanpa diketahui apakah mereka sedang diawasi atau tidak. Rasa diawasi inilah
yang pada akhirnya mendisiplinkan individu untuk bertindak sesuai norma yang
ditetapkan. Dalam dunia digital, algoritma media sosial memainkan peran serupa.
Korban asusila di Gorontalo, dan bahkan masyarakat yang menjadi bagian dari
ruang digital tersebut, selalu merasa diawasi—bukan oleh individu tertentu,
melainkan oleh sistem yang bekerja tanpa henti.
Pengguna media sosial dapat menjadi
"pengawas" yang memproduksi dan menyebarkan konten dengan atau tanpa
niat menyakiti, tetapi hasil akhirnya adalah korban terus-menerus berada di
bawah sorotan. Setiap tindakan mereka, setiap upaya untuk melanjutkan hidup,
selalu dibayangi oleh perasaan bahwa mereka sedang diawasi oleh dunia digital.
Algoritma yang bekerja secara otomatis ini memperbesar pengaruhnya,
mendisiplinkan dan membentuk perilaku serta kesadaran korban dan masyarakat.
Selain berfungsi sebagai alat
pengawasan, algoritma media sosial juga menciptakan lapisan simulasi yang
mengaburkan batas antara realitas dan dunia maya. Jean Baudrillard, dalam
teorinya tentang “simulacra” dan “simulasi”, menekankan bagaimana citra di era
postmodern tidak lagi merepresentasikan realitas, tetapi justru menggantikan
realitas itu sendiri. Kasus asusila ini menjadi lebih dari sekadar tragedi
pribadi—ia menjadi konten yang diproduksi, dipelintir, dan disebarkan oleh
media sosial untuk dikonsumsi publik.
Algoritma yang mendukung penyebaran
konten ini bertindak sebagai mesin yang terus memproduksi realitas baru. Setiap
kali video atau berita tentang kasus ini muncul di linimasa pengguna, kejadian
aslinya semakin tenggelam dalam lautan representasi digital. Konten yang
beredar sering kali kehilangan konteks aslinya, menggantikan pengalaman nyata
dengan versi yang telah diolah dan diproduksi ulang sesuai dengan logika
algoritma yang mementingkan keterlibatan pengguna. Akhirnya, yang tertinggal
bukan lagi kisah korban dan pelaku dalam bentuk yang murni, tetapi sebuah citra
yang dikonstruksi, diproduksi, dan dipertahankan oleh sistem algoritmik yang
tak terlihat.
Penghakiman Sosial dan Krisis
Moralitas
Dampak dari algoritma media sosial dalam
kasus ini juga memunculkan pertanyaan mendalam tentang moralitas. Jonathan
Haidt, dalam teorinya tentang “moral foundations”, menjelaskan bahwa masyarakat
menilai tindakan berdasarkan sejumlah fondasi moral, termasuk kepedulian,
keadilan, kebebasan, dan kesucian. Dalam konteks media sosial, algoritma tidak
peduli dengan nilai-nilai moral ini—mereka hanya memperkuat konten yang paling
memicu emosi dan keterlibatan pengguna.
Ketika algoritma media sosial memperkuat
dan memperluas penyebaran kasus asusila ini, fondasi moral yang seharusnya
menjadi pedoman bagi masyarakat tampaknya terabaikan. Kepedulian terhadap
korban tergantikan oleh hasrat untuk berbagi dan mengomentari peristiwa yang
viral. Keadilan yang dicari bukanlah keadilan dalam konteks hukum, melainkan
bentuk penghakiman sosial yang terjadi di ruang digital. Pengguna media sosial
menjadi hakim tanpa palu, memberikan vonis tanpa proses pengadilan yang adil.
Dalam ruang digital ini, batas antara
empati dan sensasi menjadi kabur. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan
interaksi mendorong pengguna untuk terlibat dalam diskusi, bahkan ketika
diskusi tersebut tidak memperhitungkan dampak bagi korban. Setiap klik, setiap
komentar, setiap *share* membawa konsekuensi moral yang tidak langsung
terlihat, tetapi sangat nyata bagi mereka yang menjadi sasaran—dalam hal ini,
korban.
Algoritma yang Tidak Berhati
Pada akhirnya, peran algoritma media
sosial dalam kasus asusila ini menunjukkan bagaimana teknologi, yang pada
dasarnya netral, dapat memperbesar efek dari sebuah tragedi. Algoritma tidak
memiliki hati nurani; mereka tidak peduli pada moralitas atau keadilan. Mereka
hanya dirancang untuk memaksimalkan interaksi dan meningkatkan visibilitas
konten. Dalam konteks ini, mereka menjadi kekuatan yang tanpa sadar memperparah
penderitaan korban, menjadikan trauma sebagai komoditas yang diperdagangkan
dalam pasar atensi digital.
Pengguna media sosial sering kali tidak
menyadari bahwa interaksi mereka—baik itu dalam bentuk komentar, “like”, atau “share”—diperkuat
oleh sistem yang memperlakukan tragedi sebagai konten yang layak dipromosikan.
Dalam dunia ini, korban kehilangan otonomi atas citra mereka, dan realitas
menjadi sesuatu yang bisa diproduksi ulang sesuai dengan kepentingan algoritma.
Sebagai masyarakat yang hidup di era
digital, kita perlu mempertanyakan peran algoritma dalam kehidupan kita. Apakah
kita sadar bahwa setiap tindakan kita di dunia maya turut membentuk nasib orang
lain? Apakah kita memahami bahwa algoritma yang mengatur media sosial tidak
memiliki moralitas dan hanya memanfaatkan tragedi untuk keuntungan komersial?
Kasus asusila di Gorontalo adalah cermin
bagi kita semua. Ia memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh algoritma dalam
membentuk persepsi kita tentang realitas, moralitas, dan keadilan. Namun, yang
lebih penting, ia menunjukkan bahwa kita memiliki tanggung jawab moral untuk
tidak hanya mengandalkan algoritma dalam menilai dunia di sekitar kita. Sebagai
individu yang beradab, kita harus mampu melampaui logika algoritma dan
memikirkan dampak dari setiap tindakan kita, baik di dunia nyata maupun di
dunia digital.
Sore ini, saat aku menyesap kopi yang
telah terlupa manisnya, aku merenungkan realitas yang kita hadapi. Secangkir
kopi yang hangat ini seharusnya menjadi pengingat bahwa dalam setiap interaksi
kita di dunia maya, ada kehidupan nyata yang terpengaruh. Kita memiliki
kekuatan untuk memilih, untuk tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga
menjadi pembela keadilan dan empati. Mari kita gunakan kekuatan tersebut untuk
memastikan bahwa tragedi tidak hanya menjadi konten, tetapi pelajaran berharga
yang mengingatkan kita akan kemanusiaan kita.***