Oleh: Syamsul Kurniawan
Saat
saya menulis opini ini, ingatan saya melayang ke sebuah malam di Kota
Pontianak. Bersama beberapa teman, kami duduk di sudut kafe, menikmati kopi
robusta khas kota ini, sambil mengobrol santai tentang peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW 1446 H yang akan datang. Perbincangan kami berkembang dari
topik-topik keagamaan yang biasanya muncul dalam peringatan Maulid: surga,
neraka, pahala, dosa. Namun, seringkali pembahasan tersebut terasa sangat
seremonial, tanpa menyentuh persoalan-persoalan konkret yang dihadapi
masyarakat.
Salah
satu teman saya mengeluhkan, "Penceramah sering bicara tentang hal-hal
spiritual, tetapi mengapa jarang ada yang membahas kemiskinan atau
ketidakadilan yang kita hadapi sehari-hari?" Pertanyaan ini membuat saya
terhenti sejenak. Benar, mengapa banyak penceramah yang melewatkan isu-isu
sosial yang nyata, seperti penurunan jumlah kelas menengah atau ketimpangan
ekonomi, padahal peringatan Maulid seharusnya menjadi momen refleksi yang
mendalam terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW yang relevan dengan zaman sekarang?
Jihad
dalam Konteks Sosial: Mengapa Penting?
Dalam
diskusi kami di warung kopi itu, saya teringat tentang konsep jihad yang sering
disalahartikan dan dikaitkan dengan kekerasan atau perang fisik. Padahal, jihad
dalam Islam memiliki makna yang jauh lebih luas. Secara etimologis, jihad
berasal dari kata "jahada" yang berarti mencurahkan segala kemampuan.
Menurut Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic (1993),
jihad dapat diartikan sebagai perjuangan atau pertempuran, dan sering
disalahartikan sebagai "perang suci". Namun, jihad fi sabilillah yang
sesungguhnya adalah perjuangan di jalan Allah, yang bisa berupa apa saja, mulai
dari melawan hawa nafsu hingga usaha menegakkan keadilan sosial.
Tentu
saja, jihad adalah kewajiban yang terus berlangsung hingga hari kiamat, dengan
tingkat tertingginya berupa perang di jalan Allah, namun juga mencakup
perjuangan dengan lisan, pena, dan tindakan nyata dalam melawan keburukan. Nabi
Muhammad SAW juga bersabda bahwa jihad tertinggi adalah mengatakan kebenaran di
hadapan penguasa yang zalim. Oleh karena itu, jihad sosial, seperti perjuangan
melawan kemiskinan dan ketidakadilan, juga merupakan bagian dari jihad fi
sabilillah.
Dalam
konteks ini, saya melihat bahwa tantangan yang kita hadapi di Indonesia saat
ini, termasuk penurunan kelas menengah, adalah bagian dari pertempuran sosial
yang harus diperjuangkan sebagai bentuk jihad modern. Badan Pusat Statistik
(BPS) melaporkan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia telah menurun dari 57,33
juta pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024. Penurunan ini bukan sekadar angka,
tetapi mencerminkan ketidakadilan struktural yang semakin memperlebar jurang
antara yang kaya dan yang miskin.
Penurunan
kelas menengah tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara
lain di dunia. Presiden Joko Widodo, dalam sebuah pidatonya, menyebutkan bahwa
penurunan kelas menengah adalah masalah global, terutama sebagai dampak dari
perlambatan ekonomi global dan pandemi Covid-19. Namun, masalah ini di
Indonesia sangat terasa karena ketidakadilan ekonomi yang sudah lama mengakar.
Seperti yang dijelaskan Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique
of the Judgement of Taste (1984), kemiskinan dan ketidakadilan tidak hanya
disebabkan oleh kekurangan modal ekonomi, tetapi juga oleh kurangnya modal
sosial dan kultural. Mereka yang tidak memiliki akses ke pendidikan,
pengetahuan, atau jaringan sosial yang kuat akan semakin terpinggirkan dalam
sistem ekonomi yang tidak adil ini.
Obrolan
kami di kafe malam itu semakin memperdalam refleksi saya. Jika kita benar-benar
ingin memahami dan memperingati Maulid Nabi, maka jihad sosial seharusnya
menjadi topik yang lebih sering dibicarakan. Nabi Muhammad SAW mengajarkan
bahwa Islam adalah agama yang menegakkan keadilan, baik untuk sesama Muslim
maupun non-Muslim. Jihad yang sejati bukan tentang perang fisik, tetapi tentang
perjuangan untuk menegakkan keadilan di semua aspek kehidupan.
Jihad
sosial, dalam konteks modern, melibatkan perjuangan melawan kemiskinan dan
ketimpangan. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab
setiap individu yang mampu memberikan kontribusi untuk menciptakan perubahan
sosial. Nabi SAW telah menunjukkan kepada kita bahwa zakat, sedekah, dan infak
bukan hanya amal pribadi, tetapi bagian dari sistem ekonomi yang bertujuan
untuk menciptakan keseimbangan dan pemerataan kekayaan.
Namun,
ini tidak mudah. Jean Baudrillard, dalam Simulacra and Simulation
(1994), menyatakan bahwa media modern sering kali menciptakan
"hyperreality", di mana representasi media membentuk pandangan yang
tidak akurat tentang realitas. Dalam konteks kemiskinan, media sering
menampilkan narasi yang salah, seolah-olah kemiskinan adalah hasil dari
kegagalan individu, bukan hasil dari sistem ekonomi yang tidak adil. Hal ini
memperparah ketidakadilan, karena masyarakat mulai menyalahkan individu yang
miskin, tanpa memahami akar permasalahan yang lebih dalam.
Obrolan
kami malam itu juga menyinggung bagaimana media sering gagal menyajikan
analisis yang mendalam tentang kemiskinan. Salah seorang teman saya, yang
bekerja di sektor media, mengakui bahwa berita kemiskinan sering kali
disederhanakan menjadi kisah personal, tanpa menjelaskan bagaimana ketimpangan
struktural menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit ditembus. Ini adalah
salah satu tantangan dalam jihad intelektual kita: melawan narasi palsu yang
diciptakan oleh media dan menyajikan analisis yang lebih jujur dan akurat
tentang realitas kemiskinan di Indonesia.
Menegakkan
Keadilan: Jihad Sosial di Zaman Ini
Seandainya
para penceramah Maulid lebih sering membahas jihad sosial, peringatan ini akan
terasa lebih relevan dan mendalam. Jihad tidak hanya berarti perang fisik,
tetapi juga perjuangan melawan segala bentuk ketidakadilan. Nabi Muhammad SAW
telah menunjukkan kepada kita bahwa jihad yang paling utama adalah jihad untuk
memperbaiki diri dan masyarakat. Perjuangan melawan kemiskinan, ketimpangan,
dan penindasan adalah bentuk jihad yang paling relevan di zaman sekarang.
Memperingati
Maulid Nabi seharusnya tidak hanya menjadi seremonial belaka, tetapi menjadi
momen refleksi mendalam tentang bagaimana kita bisa menerapkan ajaran-ajaran
beliau dalam kehidupan nyata. Jihad sosial, dalam bentuk perjuangan untuk
menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, adalah salah satu cara
terbaik untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam tindakan nyata.
Pada
akhirnya, jihad sosial bukan hanya tugas para pemimpin atau cendekiawan. Ini
adalah tanggung jawab setiap Muslim dan setiap individu yang peduli pada
keadilan sosial. Dalam jihad ini, kita memperjuangkan bukan hanya kepentingan
diri sendiri, tetapi juga kepentingan masyarakat luas. Rasulullah SAW
mengajarkan bahwa jihad yang paling mulia adalah perjuangan untuk menegakkan
keadilan, baik dalam skala kecil maupun besar.
Sebagai
umat Muslim yang memperingati Maulid Nabi, mari kita jadikan jihad sosial
sebagai bagian dari misi hidup kita. Dengan memperjuangkan keadilan sosial,
kita tidak hanya mengenang Rasulullah, tetapi juga melanjutkan perjuangan
beliau untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan sejahtera. Jihad fi
sabilillah tidak hanya berarti perang, tetapi juga perjuangan untuk
menyempurnakan dunia ini dengan akhlak yang mulia dan keadilan sosial.***