Oleh: Syamsul Kurniawan
PAGI ini, seperti biasa, saya duduk di depan layar
komputer yang penuh dengan file-file tugas mahasiswa, hasil unggahan dari
Google Form. Di tangan kiri saya, secangkir kopi hitam pekat yang masih
mengepul. Rasanya sedikit pahit, namun justru di situ letak kenikmatannya. Ada
sesuatu yang hampir ritualistik dalam momen ini, ketika saya membuka satu per
satu file, memeriksa setiap tulisan, dan mencoba menelusuri jejak-jejak
pemikiran yang tertuang di dalamnya. Dalam pekerjaan ini, saya sering kali
menemukan keasyikan tersendiri: bukan sekadar menilai hasil akhir, tetapi juga
menikmati proses menyaksikan mahasiswa saya tumbuh dalam menulis, meski itu
berarti saya harus sabar menghadapi kesalahan yang berulang.
Namun, ketika membuka tugas-tugas ini, saya mendapati
bahwa banyak dari mereka belum memahami sepenuhnya apa itu karya tulis ilmiah.
Portofolio tugas-tugas mereka, meskipun dalam format digital, tetap membawa
masalah lama—kebiasaan copy-paste yang masih sering mendominasi. Di tengah arus
informasi yang begitu mudah diakses, para mahasiswa ini tampaknya belum bisa
lepas dari godaan untuk mengambil jalan pintas. Ini adalah sebuah tantangan
besar. Karya tulis ilmiah harus asli, bermanfaat, ilmiah, konsisten, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dan tugas saya sebagai dosen adalah memastikan bahwa
mereka memahami dan memenuhi semua syarat tersebut.
Asli (Original)
Hal pertama yang saya tekankan dalam setiap kesempatan
adalah pentingnya keaslian. Menulis ilmiah bukan hanya soal menyalin informasi
yang sudah ada, tetapi soal menghadirkan gagasan yang lahir dari proses
berpikir kritis dan orisinal. Dalam Atomic Habits (2018), James Clear
mengatakan bahwa perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan
secara konsisten. Begitu juga dengan menulis orisinal. Mungkin mereka belum
terbiasa, mungkin mereka merasa takut salah, tapi mereka harus memulainya dari
langkah kecil: menyuarakan pikiran mereka sendiri.
Kebiasaan copy-paste ini sebenarnya adalah bentuk
ketakutan yang terselubung. Ketakutan bahwa pemikiran mereka mungkin tidak
cukup baik, tidak cukup berbobot. Sebagai dosen, saya berusaha membangun
kepercayaan diri mereka, menunjukkan bahwa setiap pemikiran, sejauh itu jujur
dan lahir dari proses berpikir yang mandiri, memiliki nilai. Orisinalitas
adalah jantung dari sebuah karya tulis ilmiah. Jika seorang mahasiswa tidak
bisa menulis dengan pemikiran sendiri, maka ia kehilangan esensi dari proses
belajar itu sendiri.
Bermanfaat (Useful)
Namun, keaslian saja tidak cukup. Sebuah tulisan harus
memberikan manfaat. Saya selalu bertanya kepada mahasiswa, "Apa yang ingin
kalian sampaikan dalam tulisan ini? Apa yang akan diperoleh pembaca dari karya
kalian?" Ini sering kali menjadi pertanyaan yang membuat mereka terdiam
sejenak, berpikir, mungkin untuk pertama kalinya dalam proses menulis mereka,
tentang apa manfaat konkret dari apa yang mereka tulis.
Karya tulis ilmiah harus memberikan sumbangsih,
walaupun kecil, terhadap pengetahuan. Mereka harus belajar menempatkan diri
bukan hanya sebagai penulis, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas akademik
yang lebih besar, yang setiap ide dan gagasannya bisa membawa perubahan atau
sekurang-kurangnya membuka pintu bagi diskusi baru. Ketika mahasiswa mulai
menyadari pentingnya menulis yang bermanfaat, tulisan mereka mulai berubah,
dari sekadar tugas yang harus diselesaikan menjadi sesuatu yang lebih berarti.
Ilmiah (Scientific)
Banyak mahasiswa yang masih belum terbiasa dengan
pendekatan ini. Mereka sering kali terjebak dalam narasi yang terlalu
subjektif, tanpa memberikan bukti yang kuat. Di sinilah saya mencoba membantu
mereka memahami bahwa sebuah argumen hanya akan sekuat data yang mendukungnya.
Menulis ilmiah mengharuskan mereka untuk tidak hanya memahami topik yang
dibahas, tetapi juga mampu menganalisis dan menyajikan data secara kritis.
Konsisten (Consistency)
Sambil menyeruput kopi yang sudah mulai mendingin,
saya juga merenung tentang betapa pentingnya konsistensi dalam menulis. Sebuah
tulisan yang baik harus konsisten dalam alur berpikir dan gaya penulisan.
Banyak dari tugas mahasiswa yang sering kali kehilangan benang merah di tengah
jalan. Mereka mulai dengan kuat, tetapi kemudian melemah karena tidak mampu
menjaga fokus atau konsistensi argumen.
Saya sering kali mengingatkan mereka bahwa konsistensi
adalah cerminan dari cara berpikir yang terstruktur. Menulis bukan hanya soal
menyampaikan gagasan, tetapi juga soal menyampaikan gagasan itu secara runtut
dan logis. Seperti yang ditekankan James Clear, kebiasaan kecil yang dilakukan
secara konsisten akan membawa hasil yang signifikan. Dalam hal ini, kebiasaan
menulis dengan alur yang jelas dan konsisten akan membantu mereka menghasilkan
tulisan yang lebih baik.
Dapat Dipertanggungjawabkan (Responsibility)
Terakhir, dan mungkin yang paling krusial, adalah
tanggung jawab. Setiap kata, kalimat, dan paragraf dalam karya tulis ilmiah
harus dapat dipertanggungjawabkan. Ini adalah masalah integritas akademik. Di
era digital ini, ketika informasi bisa dengan mudah diakses dan disalin,
mahasiswa harus diajari bahwa tanggung jawab akademik tidak bisa diabaikan.
Karya tulis yang dihasilkan harus mencerminkan kejujuran dan usaha mereka
sendiri.
Saya sering kali merasa perlu mengingatkan mereka
bahwa karya tulis bukanlah sekadar tugas yang harus diselesaikan, tetapi sebuah
pernyataan tanggung jawab intelektual. Jika mereka tidak bisa bertanggung jawab
atas apa yang mereka tulis, maka nilai dari tulisan itu pun hilang. Tanggung
jawab ini mencakup segala aspek, mulai dari cara mereka mengutip sumber, hingga
cara mereka menyusun argumen.
***
Melihat file-file tugas yang masih menumpuk di layar,
saya tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Membangun pemahaman tentang
orisinalitas, manfaat, ilmiah, konsistensi, dan tanggung jawab dalam menulis
ilmiah bukanlah tugas yang mudah. Namun, di situlah saya menemukan kenikmatan.
Seperti secangkir kopi yang pahit namun nikmat, proses ini mungkin tidak selalu
mudah atau manis, tetapi di dalamnya ada kepuasan tersendiri.
Saya menikmati pekerjaan saya sebagai dosen, tidak
hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai teman perjalanan bagi mahasiswa dalam
menemukan kemampuan mereka sendiri. Jika mereka bisa memahami syarat-syarat
dasar ini, saya yakin, mereka akan mampu menulis tanpa rasa takut, tanpa
terbebani oleh ketakutan bahwa tulisan mereka tidak cukup baik. Mereka akan
belajar bahwa menulis adalah sebuah proses, sebuah perjalanan yang memerlukan
kesabaran dan ketekunan. Dan ketika itu tercapai, secangkir kopi di pagi hari
akan terasa lebih manis.***