Oleh: Syamsul Kurniawan
Presiden Joko Widodo mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu dalam memberantas judi online. Langkah ini bukan hanya tindakan hukum, tetapi juga seruan moral yang mendesak. Saya setuju tentang ini.
Baudrillard dalam “Simulacra
and Simulation” (1981) memperkenalkan konsep simulacra untuk menggambarkan
bagaimana realitas dan representasi berbaur hingga batas di antara keduanya
menjadi kabur, seperti fenomena judi online. Jelas, dalam dunia yang semakin
digital, kita tidak hanya mengonsumsi realitas, tetapi juga berbagai versi
realitas yang telah dimediasi oleh teknologi.
Dalam pandangan
Baudrillard, simulacra adalah tiruan yang menggantikan realitas sejati. Judi
online, dengan grafik canggih dan antarmuka interaktifnya, menciptakan dunia
yang tampak nyata namun sebenarnya hanyalah simulasi. Pengguna terjebak dalam hyperrealism,
sebuah keadaan di mana simulasi menjadi lebih nyata daripada realitas itu
sendiri.
Ketergantungan dan Ilusi
Kontrol
Salah satu aspek paling
berbahaya dari judi online adalah ilusi kontrol yang ditawarkannya. Pengguna
merasa mereka memiliki kendali atas permainan, sementara pada kenyataannya,
mereka hanyalah pion dalam permainan yang dikendalikan oleh sistem. Ini adalah
bentuk simulacra yang sempurna, di mana realitas digantikan oleh representasi
yang tampak lebih nyata dan memikat.
Ilusi kontrol ini
diperkuat oleh elemen-elemen seperti bonus, hadiah, dan insentif lainnya yang
membuat pengguna merasa mereka bisa mengalahkan sistem. Padahal, di balik
layar, algoritma judi online dirancang untuk memaksimalkan keuntungan penyedia
layanan. Pengguna tidak lebih dari sekadar konsumen yang terperangkap dalam
lingkaran kecanduan.
Tidak hanya itu, judi
online juga menciptakan realitas hyperreal di mana pengguna tidak lagi dapat
membedakan antara kenyataan dan ilusi. Mereka hidup dalam dunia virtual yang
penuh dengan kegembiraan semu dan harapan palsu. Dalam jangka panjang, ini dapat
berdampak serius pada kesejahteraan mental dan finansial individu.
Baudrillard dalam "Simulacra
and Simulation" menyatakan bahwa dalam era hyperrealism, masyarakat
rentan terjebak dalam dunia simulasi yang menggantikan realitas. Hal ini sangat
relevan dalam konteks judi online, di mana pengguna menghabiskan waktu dan uang
dalam dunia yang tidak nyata. Mereka mengejar mimpi yang tidak pernah terwujud,
sementara kenyataan di sekitar mereka semakin terabaikan.
Cendekiawan Muslim,
Bagaimana Berperan?
Untuk mengatasi tren judi
online, kita perlu memandang peran pendidikan karakter dan agama melalui
kacamata yang lebih kritis dan sistematis. Talcott Parsons dalam "The
Social System" (1951) menekankan pentingnya empat fungsi utama dalam
sistem sosial: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola.
Cendekiawan Muslim dapat memainkan peran kunci dalam keempat fungsi ini untuk
mengatasi dampak negatif dari judi online dan fenomena simulacra yang
dijelaskan oleh Baudrillard.
Pertama, dalam hal
adaptasi, cendekiawan Muslim dapat membantu masyarakat beradaptasi dengan
perubahan cepat dalam teknologi dan informasi. Mereka bisa mengembangkan
kurikulum pendidikan yang mengintegrasikan teknologi modern dengan nilai-nilai
Islam, sehingga generasi muda bisa memahami dan memanfaatkan teknologi secara
bijak. Ini termasuk menanamkan kesadaran kritis terhadap godaan simulacra dan
ilusi yang ditawarkan oleh judi online.
Kedua, dalam hal
pencapaian tujuan, cendekiawan Muslim dapat membantu merumuskan tujuan sosial
dan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kebutuhan zaman. Mereka
bisa menjadi pemimpin yang mengarahkan masyarakat untuk mencapai tujuan kolektif
yang bermanfaat, seperti kesejahteraan sosial, keadilan, dan keberlanjutan
lingkungan. Dengan fokus pada tujuan yang lebih tinggi dan bermakna, masyarakat
dapat diarahkan untuk menjauhi aktivitas yang merugikan seperti judi online.
Ketiga, dalam hal
integrasi, cendekiawan Muslim dapat menjadi jembatan antara tradisi dan
modernitas, antara nilai-nilai agama dan tuntutan zaman. Mereka memiliki
tanggung jawab untuk menafsirkan ajaran-ajaran Islam dengan cara yang relevan
dengan konteks sosial dan politik kontemporer. Dengan demikian, mereka membantu
mengintegrasikan masyarakat Muslim ke dalam dunia modern tanpa kehilangan
identitas mereka, sekaligus mempromosikan nilai-nilai moral yang kuat sebagai
benteng melawan godaan simulacra.
Keempat, dalam hal
pemeliharaan pola, cendekiawan Muslim dapat berfungsi sebagai penjaga
nilai-nilai moral dan etika yang mendasari masyarakat. Di era di mana moralitas
sering dikompromikan demi keuntungan material, cendekiawan Muslim dapat
mengingatkan kita tentang pentingnya integritas, kejujuran, dan keadilan.
Mereka berperan sebagai panutan yang menunjukkan bahwa nilai-nilai ini esensial
untuk kehidupan yang bermakna.
Pendidikan Karakter dan
Moralitas sebagai Benteng
Pandangan Thomas Lickona
dalam bukunya "Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility" (1991) sangat relevan dalam konteks ini.
Lickona menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai fondasi dalam
membentuk individu yang bermoral dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter
harus dimulai sejak dini dan melibatkan semua aspek kehidupan anak, baik di
sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
Dalam konteks judi
online, pendidikan karakter berfungsi sebagai benteng yang kuat. Dengan
menanamkan nilai-nilai moral yang kokoh, individu akan lebih mampu mengenali
dan menolak godaan dari simulacra yang ditawarkan oleh judi online. Mereka akan
lebih kritis dalam menghadapi dunia digital dan lebih waspada terhadap bahaya
yang tersembunyi di balik layar.
Agama juga memiliki peran
penting dalam mengatasi masalah judi online. Banyak ajaran agama yang
mengajarkan tentang pentingnya hidup dengan jujur, menghindari perbuatan yang
merugikan diri sendiri dan orang lain, serta menjalani hidup dengan penuh
tanggung jawab. Nilai-nilai ini menjadi panduan moral yang kuat bagi individu
dalam menghadapi godaan judi online.
Institusi keagamaan juga
dapat berperan aktif dengan memberikan edukasi dan bimbingan kepada jemaatnya
tentang bahaya judi online. Melalui khotbah, diskusi, dan program-program
lainnya, agama membantu masyarakat tetap berpijak pada nilai-nilai moral yang
benar dan menjauh dari perilaku yang merusak, termasuk judi online.
Ajakan Presiden Jokowi
untuk memberantas judi online adalah langkah awal yang penting. Namun, untuk
benar-benar mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih
komprehensif. Pendidikan karakter dan kesadaran beragama perlu ditingkatkan di
tengah-tengah masyarakat. Masyarakat harus diajak untuk lebih kritis dalam
menghadapi dunia digital dan menyadari bahwa tidak semua yang tampak nyata
adalah realitas sejati.
Selain itu, regulasi yang
ketat dan penegakan hukum yang efektif sangat diperlukan untuk membatasi akses
dan pengaruh judi online. Pemerintah perlu bekerja sama dengan berbagai pihak,
termasuk penyedia layanan internet dan perusahaan teknologi, untuk menciptakan
lingkungan digital yang lebih aman dan sehat.***