Kasus pembunuhan
Vina Cirebon yang hingga kini belum menemukan titik terang adalah cermin
ketidakadilan sosial yang masih kental di Indonesia. Merujuk kepada Pierre
Bourdieu tentang Habitus, Modal, dan Ranah, kita dapat melihat bagaimana
ketimpangan sosial dan struktur kekuasaan memengaruhi proses hukum di negara
ini, termasuk dalam kasus Vina Cirebon.
Bourdieu
menjelaskan bahwa habitus adalah serangkaian disposisi yang dibentuk oleh
lingkungan sosial dan sejarah individu. Habitus ini menciptakan kecenderungan
untuk bertindak sesuai dengan kepentingan kelas sosial tertentu. Dalam konteks
kasus Vina Cirebon, habitus para aktor dalam sistem hukum—polisi, jaksa, hingga
hakim—dibentuk oleh lingkungan sosial dan budaya yang sering kali lebih
menguntungkan bagi mereka yang memiliki modal sosial dan ekonomi yang kuat.
Stratifikasi
sosial juga memiliki konsekuensinya. Bourdieu menyebutkan bahwa mereka yang
memiliki modal ekonomi dan sosial yang besar sering kali mendapatkan perlakuan
yang lebih baik dan keadilan yang lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang
tidak memiliki modal tersebut. Ini karena stratifikasi sosial mereka
memungkinkan mereka memiliki akses ke modal yang lebih baik.
Dalam kasus Vina
Cirebon, kurangnya perhatian media sebelumnya dan lambatnya proses penyelidikan
mencerminkan posisi sosial keluarga korban yang mungkin tidak memiliki modal
sosial dan ekonomi yang kuat. Kasus ini sempat mengendap selama delapan tahun,
dengan perjalanan penuh teka-teki sejak kematian Vina Dewi (16) pada 27 Agustus
2016.
Modal dalam
Penyelesaian Kasus
Modal dalam teori
Bourdieu tidak hanya terbatas pada kekayaan materi, tetapi juga meliputi modal
sosial, budaya, dan simbolik. Kasus Vina Cirebon menunjukkan betapa pentingnya
modal-modal ini dalam mempengaruhi hasil dari sebuah proses hukum. Modal ekonomi
(kekayaan), modal sosial (jaringan dan koneksi), dan modal simbolik (status dan
reputasi) sangat memengaruhi bagaimana kasus ini diproses.
Keluarga korban
yang mungkin tidak memiliki akses ke jaringan sosial yang kuat (modal sosial)
dan kurangnya pengaruh dalam ranah hukum (modal simbolik) membuat suara mereka
sulit didengar. Modal sosial dapat mencakup hubungan dengan media, LSM, atau
tokoh masyarakat yang dapat membantu mengangkat kasus ini ke publik. Modal
simbolik mencakup reputasi atau status sosial yang dapat membuat aparat hukum
lebih responsif terhadap kasus yang mereka tangani.
Sebagai
perbandingan, kasus-kasus lain yang melibatkan individu dengan modal sosial dan
simbolik yang tinggi, seperti kasus yang melibatkan pejabat atau selebriti,
sering kali mendapatkan perhatian yang lebih besar dan penanganan yang lebih
cepat. Misalnya, kasus pembunuhan seorang artis terkenal biasanya akan menjadi
sorotan media, dan tekanan publik yang besar dapat memaksa aparat penegak hukum
untuk bertindak cepat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya modal-modal ini
dalam menentukan bagaimana hukum ditegakkan.
Ranah Hukum dan
Praktik Sosial yang Timpang
Ranah (field)
dalam teori Bourdieu adalah arena sosial di mana berbagai modal dipertaruhkan
dan diperjuangkan. Ranah hukum di Indonesia, seperti yang ditunjukkan dalam
kasus Vina Cirebon, sering kali didominasi oleh mereka yang memiliki modal
ekonomi dan sosial yang besar. Dominasi ini membuat praktik sosial dalam ranah
hukum cenderung bias dan tidak adil.
Dalam kasus Vina
Cirebon, praktik sosial yang timpang ini terlihat jelas dalam lambatnya
penanganan kasus. Meski sudah lebih dari setahun sejak kejadian, belum ada
tersangka yang ditangkap, dan keluarga korban masih berjuang untuk mendapatkan
keadilan. Ini menunjukkan bahwa modal ekonomi dan sosial sangat berpengaruh
dalam menentukan kecepatan dan hasil proses hukum. Tanpa modal sosial dan
ekonomi yang kuat, keluarga korban tidak memiliki daya tawar yang cukup untuk
mendesak aparat hukum bertindak lebih cepat dan transparan.
Untuk memperjelas
asumsi ini, mari kita lihat contoh konkret dalam kasus Vina Cirebon. Salah satu
faktor utama yang memperlambat proses hukum sebelumnya adalah kurangnya tekanan
publik dan perhatian media. Dalam kasus lain yang melibatkan individu berpengaruh
atau terkenal, media sering kali memberikan perhatian besar, menciptakan
tekanan bagi aparat penegak hukum untuk bertindak cepat. Sebagai contoh, dalam
kasus pembunuhan yang melibatkan selebriti atau pejabat tinggi, proses
penyelidikan dan peradilan biasanya berjalan lebih cepat karena adanya sorotan
media dan tekanan publik yang intens.
Sebaliknya, dalam
kasus Vina Cirebon, perhatian media yang minim dan kurangnya desakan dari
publik dapat diasumsikan sebagai akibat dari kurangnya modal sosial dan
simbolik keluarga korban. Tanpa jaringan sosial yang kuat dan dukungan dari
figur-figur berpengaruh, sulit bagi keluarga korban untuk mendorong percepatan
penyelesaian kasus ini. Dalam konteks ini, modal sosial dan simbolik sangat
penting untuk memastikan bahwa kasus ini mendapatkan perhatian yang layak dari
media dan publik.
Untuk memperjelas
lebih lanjut, mari kita lihat contoh dari luar negeri yang menunjukkan
bagaimana modal sosial dan simbolik memengaruhi proses hukum. Misalnya, kasus
pembunuhan Trayvon Martin di Amerika Serikat pada tahun 2012. Meskipun awalnya
kasus ini tidak mendapatkan banyak perhatian, tekanan dari kelompok-kelompok
hak asasi manusia, media, dan tokoh masyarakat akhirnya membuat kasus ini
menjadi sorotan nasional. Keluarga Martin memiliki dukungan yang kuat dari
berbagai jaringan sosial dan figur berpengaruh, yang membantu menekan sistem
hukum untuk bertindak lebih cepat dan adil.
Contoh lain adalah
kasus pembunuhan Oscar Grant pada tahun 2009, yang juga mendapatkan perhatian
besar dari media dan publik setelah video kejadian tersebar luas. Dalam kedua
kasus ini, modal sosial dan simbolik yang kuat membantu keluarga korban mendapatkan
keadilan yang lebih cepat dan transparan. Ini menunjukkan bahwa tanpa
modal-modal tersebut, sangat sulit bagi keluarga korban untuk memastikan bahwa
kasus mereka diproses dengan cepat dan adil.
Bagaimana Supaya
Tidak Berulang?
Kasus Vina Cirebon
dari sudut analisis teoritikal Bourdieu menunjukkan bahwa reformasi hukum di
Indonesia harus memperhatikan aspek-aspek sosial dan struktural yang
mempengaruhi proses hukum. Reformasi ini harus mencakup upaya untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem hukum, serta
memperkuat dukungan bagi keluarga korban yang tidak memiliki modal sosial dan
ekonomi yang kuat.
Salah satu langkah
yang bisa diambil adalah memperkuat peran LSM dan organisasi masyarakat sipil
dalam mendampingi keluarga korban. Organisasi-organisasi ini dapat membantu
mengangkat kasus ke publik dan menciptakan tekanan bagi aparat hukum untuk
bertindak cepat. Selain itu, reformasi juga harus mencakup upaya untuk
meningkatkan akses keadilan bagi semua warga negara, tanpa memandang status
sosial dan ekonomi.
Pembinaan berkelanjutan bagi aparat penegak hukum juga sangat penting untuk mengubah habitus yang ada. Aparat hukum harus sering-sering dibina untuk lebih sensitif terhadap ketimpangan sosial dan lebih responsif terhadap kasus-kasus yang melibatkan korban dari latar belakang ekonomi dan sosial yang lemah. Ini memerlukan perubahan budaya dalam institusi hukum yang hanya bisa dicapai melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan.
Dalam era digital saat ini, peran netizen sangat penting dalam menuntut keadilan. Kekuatan media sosial dan partisipasi publik dapat menjadi modal sosial yang signifikan untuk menekan sistem hukum agar lebih adil dan transparan. Dukungan netizen dapat membantu mengangkat kasus-kasus yang terlupakan, seperti kasus Vina Cirebon, sehingga mendapatkan perhatian dan penanganan yang layak. Mari kita terus memperjuangkan keadilan, baik melalui jalur hukum formal maupun melalui kekuatan kolektif masyarakat di dunia maya.***