Oleh: Syamsul Kurniawan
DALAM praktek
keagamaan, sering kali terjadi perbedaan mencolok antara ajaran ideal agama dan
kenyataan sosial-keagamaan yang ada di lapangan. Konsep “das sollen”
(ide moral) dan “das sein” (fakta sosial) sering kali tidak sejalan.
Dalam konteks Islam misalnya, sikap intoleran yang diperagakan oleh "oknum" muslim dari kelompok muslim “garis keras” mencederai citra Islam yang dikenal
sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan li al-‘âlamîn).
Sikap keras dan intoleran ini jelas bertentangan dengan tujuan utama ajaran
Islam, yaitu untuk memelihara lima aspek penting kehidupan: jiwa, agama, harta,
keturunan, dan akal (al-Mawardi, 1996).
Mengapa Muncul?
Untuk memahami
sebab-sebab munculnya pemikiran ekstremisme di kalangan umat Islam, kita dapat
menggunakan teori habitus dari Pierre Bourdieu. Teori ini menggarisbawahi bahwa
pemikiran dan perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial dan sejarah
kehidupan mereka, yang membentuk pola pikir dan respons terhadap lingkungan
sosial (Bourdieu, 1990). Dalam konteks ekstremisme, habitus kelompok ekstremis
sering kali dibentuk oleh pengalaman sejarah, kondisi sosial-ekonomi, dan
kekacauan politik yang mereka alami.
Sejarah dan
dinamika umat Islam menunjukkan bahwa ekstremisme bukanlah fenomena baru.
Berbagai periode konflik dan ketegangan politik dalam sejarah Islam, seperti
era Khawarij di masa awal Islam, telah menunjukkan bagaimana kondisi sosial dan
ketidakpuasan dapat mendorong radikalisasi (Sivan, 1985). Pada masa itu,
kelompok Khawarij muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap
pemerintahan Umayyah yang dianggap tidak memenuhi prinsip-prinsip Islam yang
ketat.
Dengan memahami
pola-pola ini, kita dapat melihat bahwa ekstremisme sering kali muncul dalam
konteks ketidakadilan sosial dan ketidakpuasan terhadap keadaan politik yang
tidak memadai. Ketidakpuasan ini kemudian membentuk habitus kelompok ekstremis,
mendorong mereka untuk mengadopsi ideologi yang sangat keras sebagai bentuk
protes terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan.
Pentingnya Meneladani
Nabi Saw
Dalam hal ini, ekstremisme
terjadi oleh karena sebagian oknum muslim dari kelompok muslim “garis keras”
kurang mampu meneladani sifat dan perilaku Nabi Saw. Jelas, meneladani sifat
dan perilaku Nabi Saw menjadi sangat penting dalam konteks kita sebagai muslim.
Misi utama Nabi Saw adalah menyempurnakan akhlak, sebagaimana tercatat dalam
berbagai literatur hadis (baca misalnya: al-Bukhari, 1997). Nabi Saw dengan
misi yang diembannya, menunjukkan sebuah contoh kehidupan yang syarat dengan
toleransi dan kebijaksanaan. Sangat-sangat moderat. Hadis-hadis Nabi Saw yang
autentik jelas mencerminkan potret moderasi dan kebaikan, yang sangat relevan
untuk diadaptasi dalam konteks kontemporer, sebagaimana saat ini (Kamali,
2015).
Dengan demikian,
untuk memahami dan mengimplementasikan konsep moderasi Islam atau “wasatîyah”,
penting bagi kita tidak hanya merujuk ke Al-Qur‘an, tetapi juga penting merujuk
pada hadis-hadis Nabi Saw dengan pemahaman yang komprehensif. “Tidak
setengah-setengah.
Ketauladanan Nabi
Saw dalam hal ini bisa diterjemahkan ke dalam nilai-nilai universal yang
mendasari praktek keagamaan dan sosial yang damai. Dengan memahami esensi baik dari
Al-Qur‘an dan hadis-hadis tersebut, selayaknya umat Islam dapat lebih mudah
menerapkan prinsip-prinsip moderasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
nilai-nilai luhur Islam dapat direalisasikan secara konkret di tengah-tengah
masyarakat. Ini bukan hanya akan memperbaiki citra Islam yang dirusak oleh
oknum-oknum ekstrem yang mengaku muslim, tetapi juga akan memperkuat hubungan
antarindividu dan komunitas baik internal umat Islam maupun eksternal umat
Islam dengan pemeluk ajaran agama lain, yang pada gilirannya menciptakan
masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif.
Menimbang Peran
Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Pendidikan agama
Islam di sekolah jelas memainkan peran krusial dalam membentuk sikap dan
pandangan siswa terhadap ajaran agama mereka. Dalam konteks Islam, pendidikan
agama yang moderat di sekolah-sekolah dapat berfungsi sebagai alat untuk
menanamkan nilai-nilai “wasatîyah” (moderasi) dan melawan ekstremisme.
Jika kita merujuk
ke teori habitus yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, bahwa individu tidak
hanya dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya di sekitarnya, tetapi juga
oleh internalisasi dari struktur sosial yang membentuk pola pikir dan perilaku
mereka (Bourdieu, 1990). Dalam konteks pendidikan agama Islam, habitus bisa
merujuk pada cara-cara di mana nilai-nilai, norma, dan keyakinan agama
ditanamkan dan dipertahankan melalui pendidikan formal dan informal. Sehingga
ia bisa saja “ekstrem” dan bisa saja “moderat.”
Lantas, bagaimana
peran pendidikan agama Islam di sekolah bisa membentuk habitus yang moderat
pada warga sekolah, terutama siswa-siswa yang belajar? Setidaknya ada empat
strategi pencapaian:
1. Kurikulum yang
Seimbang dan Inklusif
Salah satu cara
untuk menanamkan nilai-nilai “wasatîyah” adalah dengan mengembangkan
kurikulum pendidikan agama yang seimbang dan inklusif. Kurikulum yang baik
harus mencakup berbagai aspek ajaran Islam yang menekankan moderasi dan
toleransi. Misalnya, pelajaran tentang sejarah Islam yang mencakup kontribusi berbagai
kalangan dalam sejarah Islam, serta nilai-nilai universal seperti toleransi dan
keadilan sosial, dapat membantu siswa memahami bahwa Islam adalah agama yang
inklusif dan moderat.
Sebagai contoh,
kurikulum harus menyertakan studi tentang peran Nabi Saw dalam memperkenalkan
prinsip-prinsip moderasi dalam masyarakat Islam awal. Ini mencakup ajaran Nabi
Saw yang menekankan pentingnya toleransi, keadilan, dan keseimbangan dalam
kehidupan sehari-hari (Kamali, 2015). Dengan memahami konteks historis dan
ajaran moderat ini, siswa yang belajar agama Islam dapat menginternalisasi
nilai-nilai tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan mereka.
2. Pendekatan
Pedagogis yang Berorientasi pada Dialog
Pendidikan agama
Islam yang moderat harus mengadopsi pendekatan pedagogis yang berorientasi pada
dialog dan diskusi terbuka. Pendekatan ini memungkinkan siswa untuk
mengeksplorasi dan memahami berbagai pandangan dalam kerangka Islam, serta
mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Dengan berdialog tentang berbagai
interpretasi ajaran agama dan isu-isu kontemporer, siswa dapat mengembangkan
sikap yang lebih toleran dan terbuka terhadap perbedaan.
Teori habitus
menunjukkan bahwa kebiasaan dan pola pikir individu terbentuk melalui proses
belajar dan pengalaman sosial. Dengan mengadopsi metode pembelajaran yang
berbasis pada dialog, siswa tidak hanya menerima informasi secara pasif tetapi
juga aktif terlibat dalam proses pembelajaran, yang membantu membentuk habitus
mereka dalam konteks moderasi (Bourdieu, 1990).
3. Peran Guru
sebagai Model dan Fasilitator
Guru-guru di
sekolah, terutama Guru Agama Islam memainkan peran penting dalam membentuk
habitus siswa. Guru-guru yang menerapkan nilai-nilai moderat dalam pengajaran
mereka akan menjadi teladan yang efektif bagi siswa. Selain mengajarkan
kurikulum yang seimbang, Guru-guru juga harus mempraktikkan nilai-nilai
tersebut dalam interaksi sehari-hari dengan siswa. Misalnya, Guru-guru yang
menunjukkan sikap toleransi dan menghargai perbedaan dalam kelas akan membantu
menanamkan nilai-nilai tersebut dalam habitus siswa.
Selain itu,
pelatihan profesional bagi guru-guru untuk memahami dan mengajarkan
prinsip-prinsip moderasi dalam Islam sangat penting. Pada konteks ini, kegiatan
semacam “Penguatan Moderasi Beragama” menjadi sebuah hal yang penting bagi
mereka. Pada penguatan ini diharapkan akan terwujud pemahaman yang mendalam
pada mereka tentang ajaran Islam yang moderat dan bagaimana menerapkannya dalam
konteks pendidikan (Sivan, 1985).
4. Penguatan
Konteks Sosial dan Keluarga
Habitus siswa
juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial mereka, termasuk keluarga dan
masyarakat. Dengan demikian, sekolah bukan satu-satunya yang menentukan habitus
moderasi beragama siswa. Pendidikan agama Islam yang moderat di sekolah-sekolah
tentu saja harus diintegrasikan dengan upaya-upaya penguatan moderasi beragama
dalam konteks keluarga dan masyarakat. Apa yang diajarkan orang tua dan apa
yang dialami siswa-siswa sehubungan dengan praktik beragama, yang mempromosikan
nilai-nilai moderat dapat membantu menciptakan lingkungan yang konsisten antara
sekolah, rumah dan di masyarakat.
Berdasarkan ini,
pendidikan agama Islam yang moderat di sekolah-sekolah dapat berfungsi sebagai
alat yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai “wasatîyah” dalam diri
siswa. Melalui kurikulum yang seimbang, pendekatan pedagogis yang berbasis
dialog, peran guru sebagai model, dan penguatan konteks sosial dan keluarga,
pendidikan agama Islam dapat membantu membentuk habitus moderat yang mendukung
toleransi dan inklusivitas. Dengan demikian, pendidikan agama Islam yang
moderat bukan hanya mendidik siswa tentang ajaran agama mereka tetapi juga
membekali mereka dengan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk menghadapi
tantangan kontemporer dan mengatasi ekstremisme. Untuk itu Kerjasama yang harmonis
antara sekolah, keluarga dan masyarakat jelas sangat-sangat penting di sini.
REFERENSI
al-Bukhari, M. I.
(1997). Sahih al-Bukhari. Dar al-Salam.
al-Mawardi, A.
(1996). The Ordinances of Government. Cambridge University Press.
Kamali, M. H.
(2015). The Middle Path of Moderation in Islam. Oxford University Press.
Bourdieu, P.
(1990). The Logic of Practice. Stanford University Press.
Sivan, E. (1985).
Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics. Yale University
Press.