ABAD
21 ditandai dengan berbagai kemajuan teknologi yang demikian pesat, terutama
dalam ranah komunikasi dan informasi. Teknologi telah menjadi bagian yang sulit
dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Kemajuan-kemajuan dalam sisi ini memberi
dampak yang signifikan terhadap berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang
pendidikan. Dengan berbagai kemajuan teknologi yang ada saat ini, rasanya mubazir
jika tidak bisa dimanfaatkan oleh para praktisi pendidikan, khususnya guru,
untuk membantu mewujudkan terciptanya pembelajaran bermutu dan menyenangkan.
Model pembelajaran yang berbasis kecakapan abad 21, adalah model
pembelajaran yang dirancang dengan menggabungkan setidaknya kompetensi abad 21,
yaitu: satu, learning skills (kemampuan belajar); dua, literacy
skills (kemampuan literasi); dan tiga, life skills (keterampilan
hidup). Ketiganya ini mesti dibangun dengan semangat “berdamai dengan
perubahan”. Hal ini berarti, model pembelajaran abad 21 menghendaki peserta
didik, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mahir
dalam mengembangkannya.
Dalam konteks pembelajaran di lembaga pendidikan Islam, selayaknya
ini menjadi masalah, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang masih
cenderung mendikotomikan agama dan sains. Pada kasus lembaga-lembaga pendidikan
Islam ini, sikap “anti perubahan” menjadikannya ketinggalan dan sulit
beradaptasi dengan tren abad 21. Contohnya, di masa pandemi covid-19.
Pengalaman
Berharga Saat Pandemi Covid-19
Pengalaman berharga kita dapatkan pada masa pandemi covid-19, yaitu
bagaimana sikap resistensi sebagian pesantren terhadap himbauan pemerintah
untuk memindahkan pembelajaran, dari yang sebelumnya tatap muka (luring) ke
online (daring) mengakibatkan banyaknya korban dari kalangan santri yang
terpapar covid-19.
Resistensi yang datang dari
pihak internal pesantren itu sendiri sesungguhnya bisa kita mengerti. Sistem
sosial pesantren dengan sistem mondoknya dan pemeliharaan unsur-unsur pesantren
telah sedemikian mapan. Prasyarat sebuah sistem sosial mencapai kemapanannya,
oleh Talcott Parsons dikatakan karena memenuhi prasyarat adaptasi (adaptation),
mekanisme pencapaian tujuan yang jelas (goal attainment), unsur-unsur
kelembagaan yang terintegrasi (integration), dan pola-pola yang dirawat
dan diperkuat (latency).(Parsons, 1987) Kecenderungan ini diamini oleh
Nurchalish Madjid. Bahwa kata Nurchalish Madjid, hal itu dapat dilihat dari
proses pembelajaran atau praktik belajar mengajar di pesantren. Sejak dulu
sebagian pesantren di Indonesia telah mempertahankan karakteristik ketradisionalannya,
mempunyai tujuan, dan biasanya dirumuskan oleh kiai selaku pembimbing pertama
dan key person di pesantren.(Madjid, 1997)
Tentunya tidak sebagian
pesantren an sich yang menunjukkan resistensi terhadap hal ini selama
pandemi covid-19, juga ada sebagian madrasah yang ngotot menyelenggarakan
pembelajaran secara tatap muka, walaupun kala itu mereka berada di zona merah
covid-19, sebab mereka merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan fasilitas yang
serba terbatas. Satu sisi ini bisa kita pahami, bagaimana fasilitas pesantren/
madrasah yang mendukung terselenggaranya model pembelajaran online (daring)
memang masih banyak yang belum memadahi, dan tambahan lagi munculnya stigma di
tengah-tengah masyarakat seputar pandemi yang dinilai sebagai bentuk
konspirasi. (Humas UIN Jakarta, 2022)
Berdasarkan ini, maka tantangannya bagi
kelembagaan pendidikan pasca pandemi covid-19, adalah: satu, pergeseran
orientasi. Selama ini pembelajaran di kelembagaan pendidikan Islam hanya
dianggap sebuah teori tanpa harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dalam kasus ini perlunya pembelajaran dan perubahan cara berpikir
bahwasanya tujuan pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak hanya
menekankan pada aspek kognitif saja melainkan afektif dan psikomotorik yang
juga perlu diperhatikan. Tentulah
perubahan orientasi ini menyebabkan perubahan metode belajar dan penilaian
dalam tercapainya tujuan belajar. Sehingga menghasilkan pribadi yang tidak
hanya bertakwa kepada Allah Swt serta dapat menjadi pribadi yang aktif dan
sadar akan perubahan teknologi informasi dan komunikasi serta berkembang sesuai
dengan tuntutan zaman. Pandemi covid-19, selayaknya membuka mata kita, bahwa
pergeseran orientasi tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi mendesak untuk
dikerjakan.
Dua,
pengembangan model pembelajaran. Pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam,
perlu dikembangkan mengikuti perkembangan zaman dan menjadikan peserta didik
tertarik terhadap materi pembelajaran. Kaitan dengan model ini, baik dari segi perencanaan pembelajaran
pelaksanaan pembelajaran dan sumber pembelajaran, serta evaluasi, mestinya sejalan dengan
kebutuhan pasca-pandemi covid-19. Berdasarkan pengalaman berharga masa pandemi
covid-19, selayaknya pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam,
dirancang dengan menggabungkan tiga kompetensi abad 21, yakni kemampuan belajar
(learning skills), kemampuan literasi (literacy skills),
keterampilan hidup (life skills), keterampilan dan sikap, serta
penguasaan terhadap teknologi. Artinya, di masa pasca-pandemi covid-19 ini
peserta didik tidak hanya dituntut untuk mahir dalam ilmu pengetahuan, namu
lebih dari itu, peserta didik juga harus terampil dalam menggunakan teknologi,
menjadi insan literat, serta memiliki akhlak yang baik.***