Dari rahim kelembagaan pendidikan Islam, dalam hal ini
perguruan tinggi keagamaan Islam, selayaknya bisa dilahirkan juru-juru dakwah,
yang tidak hanya mampu menyampaikan pesan-pesan moderasi beragama di
tengah-tengah umat, melainkan juga selayaknya bisa menghayati dan
mengamalkannya dalam konteks “aksi nyata” di kehidupannya sehari-hari. Dengan
kata lain, mereka diharapkan tidak hanya mampu melakukan da’wah bil lisan,
tetapi juga da’wah bil hal. Kecenderungan ini mestinya menjadi
perhatian dari Program Studi (Prodi) Pendidikan Agama Islam (PAI) di suatu
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam terhadap bakal alumni-alumninya.
Bisa dimafhumi, pada masa Nabi Muhammad Saw hidup,
model dakwah semacam ini telah dipraktikkan dan diteladankan langsung olehnya.
Dalam konteks aksi nyata pun demikian. Dalam suatu hadits, diriwayatkan
tentang bagaimana Nabi Muhammad Saw pernah memberikan izin kepada Asma binti
Abi Bakar untuk berbuat baik kepada ibunya yang tidak memeluk agama Islam.
Berdasarkan ini, Nabi Saw menunjukkan keteladanannya dalam aksi nyata seputar moderasi beragama.
Darinya kita belajar bahwa dalam agama Islam, sikap toleransi dan mengedepankan
kasih sayang harus diutamakan, bahkan dalam hubungan suatu keluarga yang
anggota-anggotanya relatif berbeda dari sisi agama yang dipeluk.
Contoh yang lain adalah tentang kisah Nabi Muhammad
Saw yang memperlakukan seorang pengemis tunanetra di suatu sudut Pasar Medinah,
yang walaupun sehari-harinya pengemis tersebut mencaci-makinya, Nabi Saw memperlakukannya
dengn sangat baik. Pengemis Yahudi
tersebut merasa jijik dan muak bila mendengar orang menyebut nama Muhammad.
Bahkan, ia menuduh Nabi Muhammad sebagai tukang sihir dan pembohong besar.
Pengemis itu sering berkata bahwa siapa pun mesti mewaspadai sosok bernama
Muhammad.
Nabi Muhammad Saw sama
sekali tak membenci dan dendam kepadanya. Beliau hanya tersenyum dan selalu
bersikap lembut terhadapnya. Nabi Saw juga rela meluangkan waktu setiap pagi
untuk menyuapkan makanan kepada pengemis buta tersebut. Kebiasaan tersebut terus berlanjut, dan si pengemis
itu tidak tahu bahwa yang menyuapinya makanan setiap hari ialah Nabi Muhammad
Saw, orang yang ia benci.
Setelah Nabi Muhammad Saw
wafat, senyatanya tidak ada lagi yang datang menyuapkan makanan kepada si
pengemis tunanetra tersebut. Selang beberapa waktu, Abu Bakar bin Shiddiq
menggantikan kebiasaan Nabi tersebut, berkat informasi yang diberikan oleh
Aisyah ra. Sesampainya di sana, di tempat di
mana seorang pengemis tunanetra biasanya berada, Abu Bakar mencoba mencontoh
apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhamaad Saw kepada si pengemis tunanetra,
yaitu menyuapkan makanan kepada si pengemis. Namun, siapa sangka, ia malah
dapat teguran kerasa dari si pengemis. "Siapakah Engkau?". Abu Bakar
menjawab, "Aku orang yang biasa". Pengemis itu berkata lagi, "Bukan. Pasti engkau bukan orang yang
biasa mendatangiku. Apabila ia datang, tak usah tangan ini memegang dan tak
usah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku.
Dan, ia terlebih dahulu dihaluskan makanan tersebut, setelah itu ia berikan
padaku". Mendengar ucapan si pengemis, Abu Bakar menangis terharu dan
berkata, "Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku merupakan
salah satu sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia merupakan Nabi
Muhammad, Rasulullah Saw, yang sehari-harinya engkau caci maki di sini".
Seketika, si pengemis pun menyesal dan menangis mendengar penjelasan dari Abu
Bakar. "Benarkah demikian?, tanya si pengemis. “Selama ini aku selalu
menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia
mendatangiku dengan membawa makanan tiap pagi, ia begitu mulia", demikian
katanya. Orang yang membenci Nabi SAW itu lantas bersyahadat di hadapan Abu
Bakar ra.
Berdasarkan kisah ini,
jelas Nabi Muhammad Saw, sangat bisa diteladani dalam soal aksi nyata.
Ia tidak hanya mendakwahkannya secara lisan (bil lisan), namun juga
mempraktikkannya dalam perbuatannya sehari-hari (bil hal). Dalam dua
kisah tentang Nabi Muhammad Saw di atas, bahwa dalam dakwah, khususnya dalam
membumikan moderasi beragama, selayaknya para juru dakwah memahami bahwa da’wah
bil lisan tidaklah cukup, perlu diikuti dengan da’wah bil hal
sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw. Justru, sebagian
besar dari model dakwah Nabi Saw banyak dengan perbuatan nyata.
Berdasarkan
ini, praktik dakwah yang senyatanya telah ada sejak lama di tengah-tengah umat
Islam, selayaknya bisa menyentuh pada ranah isu-isu strategis kekinian. Tidak
hanya, pada ranah da’wah bi lisan, dalam konteks ranah da’wah bil hal
juga relevan dilakukan. Aksi nyata, membuat dan mengembangkan model kelembagaan
pendidikan Islam yang moderat dan modern, yang walaupun demikian berbiaya murah
sehingga dapat diakses oleh siapapun, dan bahkan bisa diakses tidak hanya
kalangan umat Islam tetapi pula mereka yang non muslim. Apakah ini berlebihan?
Saya kira tidak! Justru, dengan cara demikianlah da’wah Islamiyah bisa
betul-betul diterima di tengah-tengah masyarakat kita, yang faktanya plural
dari sisi agama.Juru-juru dakwah yang selayaknya dilahirkan dari rahim Prodi
PAI adalah juru-juru dakwah yang memperhatikan betul tentang hal ini. Oleh
sebab itulah, Prodi PAI, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, di IAIN Pontianak
tidak hanya menginsersikan moderasi beragama di materi-materi kuliah (pada
semua mata kuliah yang diberikan) yang relevan tidak hanya untuk mencetak
profil seorang guru agama Islam, tetapi juga dengan profil
tambahan bisa berdakwah di tengah-tengah masyarakat baik secara lisan maupun aksi nyata. Bahkan, ada
mata kuliah pilihan, yaitu khitabah yang sangat relevan dalam konteks ini diberikan di semester akhir.
Fokus
dari esei ini adalah untuk mendeskripsikan seputar relevansi Prodi PAI dalam
melahirkan juru-juru dakwah yang beraksi nyata. Tulisan ini bisa
menjadi masukan kritis, terutama soal dikotomi di perguruan tinggi keagamaan
Islam yang menganggap bahwa Prodi PAI hanya sebatas mengurusi calon-calon guru
agama Islam, dan sementara untuk menjadi juru-juru dakwah mereka bisa berkuliah
di prodi-prodi yang ada di Fakultas Dakwah. Tentu, dikotomi semacam ini tidak
selayaknya terjadi.
Yang Harus Diperhatikan
Prodi PAI selayaknya mampu melahirkan
dari rahim pendidikannya, alumni-alumni yang mampu berdakwah, tidak hanya
secara lisan tetapi juga bil hal. Apalagi jelas, misi mendidikkan agama Islam
yang diemban para alumni, beririsan dengan misi dakwah yang harus ia tunaikan.
Dengan kata lain, tidak saja alumni dari prodi-prodi di Fakultas Ushuluddin
Adab dan Dakwah yang mengemban misi dakwah.
Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti ajakan,
seruan, atau panggilan. Sedangkan secara istilah berarti mengajak, atau
berusaha dengan cara-cara tertentu untuk mengajak orang seorang atau kelompok
manusia agar menganut, menyetujui, mengikuti suatu paham atau konsepsi Islam.
Jadi sesungguhnya dalam definisi dakwah seperti ini sudah mencakup pengertian dakwah
secara lisan dan dakwah bil hal.
Hanya saja karena dakwah mengalami perkembangan
pengertian sehari-hari, menjadi sangat identik dengan tabligh, penyampaian secara lisan, maka da’wah bil hal
kurang mendapat perhatian. Pengkajian pengertian dakwah bil hal diperlukan untuk menetralisir pengertian tersebut,
yaitu untuk melengkapi pengertian da’wah dalam
kehidupan sehari-hari yang cenderung dikonotasikan dengan bil lisan tersebut.
Selain da’wah
bil lisan dan da’wah bil hal, dalam
masyarakat juga timbul berbagai istilah, seperti dakwah Islamiyah dan dakwah
pembangunan, Dari berbagai peristilahan tersebut kata-kata dakwah menurut
penulis merupakan istilah yang netral dan umum. Kata ini setelah mendapatkan
atribut di belakangnya, maka istilah tersebut sudah menunjuk kepada pengertian
tertentu. Bahkan dalam konteks pendidikan agama Islam yang diberikan di sekolah/
madrasah/ pesantren sepatutnya juga mengemban misi dakwah.
Terdapat benang merah yang jelas di sini, yakni bahwa dakwah
adalah upaya apapun untuk mempengaruhi atau merubah kondisi orang seorang atau
kelompok manusia dari kondisi yang kurang baik menjadi lebih baik sesuai dengan
dimensi, ruang dan waktu tertentu. Dakwah (apapun atributnya) dalam konteks
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah mengacu kepada upaya
menciptakan keadaan orang-seorang dan kelompok manusia untuk dapat meningkatkan
taraf kehidupannya yang sesuai, selaras dan seimbang antara kehidupan jasmaniah
dan kebutuhan rohaniah, yang diridhoi oleh Allah SWT.
Da’wah
bil lisan
merupakan penyadaran diri dalam konteks hubungan seseorang dengan dunia
sekitarnya, sementara da’wah bil hal
adalah dakwah untuk menciptakan perubahan dalam dataran struktural, politik,
ekonomi dan sebagainya melalui prosedur kelembagaan. Sementara da’wah bil lisan merupakan penyadaran
diri dalam konteks hubungan seseorang dengan dunia sekitarnya. Sedangkan dakwah bil hal adalah dakwah untuk
menciptakan perubahan dalam level praktis, politik, ekonomi dan sebagainya
melalui prosedur kelembagaan. Maka da’wah
bil hal adalah dakwah yang lebih mementingkan atau menekankan pada dimensi
kemasyarakatan, motivasinya lebih dekat kepada pengertian rahmatan lil‘alamin.
Namun demikian pengertian-pengertian di atas bukan
pengertian yang menyeluruh yang dapat mewakili pengertian da’wah bil hal secara keseluruhan. Jika pengertian da’wah bil hal motivasinya lebih dekat
kepada pengertian rahmatan lil’alamin,
demikian pula da’wah bil lisan yang
memberikan motivasi kepada pengertian rahmatan
lil‘alamin. Seyogyanya dakwah bil
lisan lebih ditujukan kepada penanggulangan awal, merintis dan penyadaran
pertama, sedangkan da’wah bil hal
meneruskan.
Baik da’wah bil
lisan maupun bil hal, yang harapannya bisa dilahirkan dari rahim pendidikan Prodi PAI,
tujuannya adalah mewujudkan manusia berkualitas.
Dengan demikian, baik da’wah bil lisan maupun bil hal mengarah pada
upaya mengajak orang-seorang atau
kelompok orang yang mengikuti prinsip
bil hikmah wal mau’izhatil hasanah dan
lebih menekankan kepada kegiatan nyata di lapangan, dengan amal perbuatan,
memberikan keteladanan, berorientasi kepada pemecahan masalah bersama,
melaksanakan hal-hal yang konkrit terutama di bidang ibadah ghairu mahdhah di samping ibadah
mahdhah, ia juga lebih menekankan
pada action approach di samping
oral approach.
Menurut pengertian ini jelas bahwa dakwah bil hal bukan berarti tidak di
dahului dengan berbicara antara da‘i
dan mad‘i, tetapi dia sama sebagaimana
dakwah bil lisan yang menggunakan
pendekatan berbicara, dakwah bil hal
pun demikian. Hanya saja da’wah bil hal
menggunakan perbuatan nyata sebagai fokus usahanya. Da’wah bil hal sebagai dakwah yang
memakai pendekatan sosial atau dalam istilah Inggris “society development”, yang mempunyai konotasi baik aspek maupun
caranya.
Da’wah
bil hal
yang boleh dikatakan sama pentingnya dengan da’wah bil lisan, pada
dasarnya adalah upaya untuk lebih mendekatkan dakwah dengan masyarakat sebagai
objek dakwah, sehingga misi dakwah diharapkan lebih sukses dengan berdaya guna,
dan pada akhirnya tercipta kondisi baldatun
thayyibatun warabbun ghafur. Ini berarti dakwah Islam tidak hanya terbatas
pada bil lisan dalam bentuk himbauan
saja, akan tetapi juga mengajak orang-seorang atau kelompok manusia untuk
berbuat nyata (bil hal) di tengah-tengah
masyarakat untuk memecahkan masalah konkrit yang sedang dihadapinya.
Berdasarkan paparan di atas, bahwa yang dimaksud dengan da’wah bil lisan maupun dakwah bil hal adalah upaya mengajak orang-perorang maupun kelompok untuk mengembangkan diri dan masyarakat dalam rangka integritas dan sosialisasi ajaran Islam ke dalam semua aspek kehidupan manusia, baik untuk mewujudkan tatanan sosial ekonomi maupun kebutuhan jasmani dan rohani lainnya yang lebih baik, baik disampaikan secara lisan maupun ajakan beraksi nyata. Mungkinkah, ini bisa dilakukan oleh alumni-alumni PAI? Di IAIN Pontianak, sebagaimana telah saya singgung dimuka, kecuali melalui insersi materi-materi yang relevan untuk kebutuhan dakwah di semua mata kuliah yang diberikan, kurikulum di Prodi PAI IAIN Pontianak menyediakan satu mata kuliah khusus sehubungan dengan kebutuhan ini yaitu mata kuliah khitabah.
Maka melalui mata kuliah khitabah ini, karakteristik dari dakwah juga perlu dibekalkan. Tidak hanya seputar tips berdakwah secara lisan, tetapi juga dakwah bil hal. Kaitannya dengan da’wah bil hal, relevan bagi dosen mengajarkan ke mahasiswa seputar: satu, dakwah yang menggunakan pendekatan tindakan nyata; dua, dakwah yang menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan; tiga, dakwah untuk mengembangkan diri dan masyarakat; empat, lebih banyak menggunakan analisis sosial; lima, mengarah kepada gerakan praktis dan pemecahan masalah; enam, berposisi komplementer; tujuh, banyak menggunakan mekanisme gerakan; dan delapan, dakwah yang merupakan manifestasi dari kesadaran keagamaan yang dimiliki seseorang atau kelompok. Dengan demikian, sudah terang-benderang, bahwa tidak hanya lulusan Prodi-Prodi Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah yang mengemban misi dakwah, Prodi PAI di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, juga memiliki peluang yang sama. Tidak selayaknya ini didikotomikan, meminjam istilah M. Amin Abdullah.(Abdullah, 2006).***